“Lalu tema apa yang akan kamu bawakan?” suara dari seseorang pria melalui ponsel.
“Romeo and Juliet,” jawab seorang perempuan yang tengah berbaring telungkup di atas ranjang. Rambutnya panjang dengan dress berwarna putih. Namanya Alesha Caroline, perempuan cantik berusia 22 tahun.“Aku tebak, kamu yang jadi Juliet. Terus aku yang jadi Romeo..”Alesha tertawa pelan. “Come on Aldrich, gak ada Romeo yang meninggalkan Juliet bertahun-tahun dan gak pernah pulang. Terus Juliet lagi yang mau nyamperin Romeo.”Sedikit menyindir kekasihnya yang tidak pernah pulang beberapa tahun terakhir. Sudah dua tahun terakhir Aldrich tidak pulang. Katanya, pekerjaan di sana semakin banyak dan tidak bisa ditinggal.“Sorry…” Aldrich menunjukkan ekspresi bersalahnya. “Tapi aku bukan bang Toyib kok—”“Aldrich,” sargah Alesha kesal. Aldrich itu mirip pelawak—bawaannya memang bercanda terus.Aldrich tertawa ringan. “Beneran sayang. Nanti kalau aku sudah dapat uang banyak dan harta yang berlimpah, aku bakal pulang terus lamar kamu. Kamu bisa keluar dari Panti dan kita bisa hidup bahagia.”Itu adalah cita-cita mereka berdua. Aldrich bekerja merantau di Italia untuk mencari harta yang banyak supaya bisa mengajak Alesha menikah dan keluar dari Panti Asuhan. Panti Asuhan mendidik dan membesarkan anak-anak dengan sistem kerajaan. Mereka dilatih berprilaku seperti tuan putri. Kemudian saat mereka dewasa akan ada orang-orang dari kalangan atas yang mengadopsi.Alasan mengapa Alesha masih berada di Panti Asuhan padahal umurnya sudah dewasa, karena Alesha berbakat. Alesha menghasilkan pundi-pundi uangnya sendiri dengan melakukan pertunjukkan balet. Panti Asuhan tetap tidak bisa melepaskannya. Harus ada seseorang dengan ekonomi mapan yang menjemputnya.Alesha tersenyum. “Semoga semesta bisa mendengar doa dari pria yang gak pernah berdoa ini.”“Semesta selalu mendukungku untuk memperjuangkan hubungan kita,” Aldrich mengedipkan mata. “Alesha my princess. I love you.”Tentunya Alesha sudah biasa. Selain pelawak, Aldrich juga perayu. “I love you more my big boy.”“Bye the way siapa yang jadi Romeonya?”“Alex.”“Come on, babe. Alex? Dia bahkan lebih pantas jadi Juliet daripada Romeo.”Alesha terperanjat melihat kilatan senter yang masuk di sela-sela jendela kamarnya. Itu pasti penjaga Panti yang melakukan pengecekan apakah semuanya sudah tidur atau belum di jam 10.“Sepertinya kamu harus tidur.”Alesha mengerucutkan bibirnya sambil mengangguk. “See you di Italia. Ti amo.” Setelah itu segera menutup ponselnya, menaikkan selimut sampai sebatas leher.Kemudian berpura-pura tidur saat petugas mulai membuka pintu kamar satu persatu.~~Hanya ada beberapa siswa dari Akademi balet yang terpilih melakukan Pertunjukkan di Italia. Salah satunya adalah Alesha. Kini ia sudah menginjakkan kaki di Italia. Alesha memejamkan mata—seperti keluar dari penjara, ia benar-benar bisa menghirup udara bebas tanpa menghawatirkan apapun.Sebelum berlatih, untuk bersantai sejenak mereka diajak ke sebuah pantai. Di sana benar-benar indah. Selama ini Alesha hanya bisa melihatnya di layar ponselnya. Ia memotret lautan biru yang terbentang di depannya. Kemudian mengirimkan kepada kekasihnya.“Kak Alesha,” panggil seseorang dari samping Alesha.“Ya?” Alesha menoleh.“Aku harap, aku bisa kayak kak Alesha. Bisa nolak diadopsi dan punya pacar yang ganteng dan humoris kayak kak Aldrich.” Freya benar-benar berharap nasibnya akan sama seperti Alesha.Alesha mengangguk. Mengusap bahu perempuan yang usianya berada di bawahnya. “Kamu pasti bisa Freya. Bunda gak pernah nolak permintaan anak-anaknya yang berbakat. Jadi kamu harus semangat supaya bisa buktiin kalau kamu berprestasi.”Alesha memilih menyendiri. Ia berjalan sembari memotret apa yang menurutnya menarik. Pandangan terhenti pada sebuah benda yang baru saja terjatuh. Alesha mengambilnya—kotak yang berisi batangan rokok yang masih penuh. Pemiliknya mungkin adalah gerombolan orang-orang yang berpakaian hitam yang mulai berjalan menjauh.Alesha segera berlari menyusul. “Sir,” panggilnya.Belum sempat berbicara. Salah satu orang di sana menunjukkan lima jari, artinya menolak.“Tapi barang anda terjatuh.” Alesha menggunakan bahasa inggris.“Tidak menerima pengemis,” jawab salah satu dari mereka.Alesha mengerjapkan mata. “Saya hanya ingin mengembalikan barang ini pada anda.”Kini semua mata menatapnya. Beberapa pria yang di sana menggeleng lelah. Menganggap Alesha benar-benar seperti pengemis yang meminta uang.“Kenapa membuat keributan? Ingin mati?” tanya seorang pria yang menggunakan kacamata hitam. Auranya sungguh berbeda dengan pria lain. Nampak dingin dengan suara rendahnya. Kini berjalan mendekat ke arah Alesha.Alesha mengernyit sebentar. Dengan berani mengambil tangan pria itu. “Ini milik anda yang tadi terjatuh.” Lalu mendongak, menatap pria itu. “GWS ya, Pak. Mati jangan dibuat mainan,” ucapnya dalam bahasa Indonesia.Kemudian segera berbalik dan menjauh. Berlari menyusul rombongannya yang sudah masuk ke dalam bis. Tidak diketahui oleh Alesha jika pria tadi tengah menahan emosinya yang ingin segera meledak. Tangannya meremas kotak yang berisi rokok itu hingga hancur.~~Alesha kini telah siap. Ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna putih gading. Romeo and Juliet, kisah klasik yang sampai kini masih menjadi kisah romantis kesukaannya. Alesha bahagia bisa menjadi Juliet, meski Romeo-nya bukan Aldrich.“Al, gue nervous banget, please.” Alex mengambil tangan Alesha dan mengusapnya beberapa kali.Alesha merasakan jika tangan Alex benar-benar dingin. Ia juga gugup, wajar saja karena ini adalah pengalaman pertama mereka melakukan pertunjukkan di Negara orang.“Kita pasti bisa. Semuanya pasti berjalan lancar.” Alesha mengusap punggung tangan Alex. “Gue pergi sebentar.” Alesha segera berlari keluar.Ia tersenyum saat melihat seorang pria yang menggunakan pakaian serba hitam dengan tangan yang membawa sebuah bunga. Alesha langsung berlari kemudian menghambur di pelukan Aldrich.“I miss you so much,” ucap Alesha dengan perasaan yang membuncah. Mencium beberapa kali pipi Aldrich dari samping. Ia benar-benar bahagia bisa bertemu kekasihnya.Aldrich mengangkat tubuh Alesha dengan ringan, memutarnya beberapa kali. Setelah itu mengecup dahi Alesha beberapa detik. “I miss you too. Rasanya ingin mati karena menahan rindu.”“ALESHA WAKTUNYA SIAP-SIAP,” teriak gurunya. Alesha tidak rela melepaskan genggaman tangannya.“Nanti ketemu lagi.” Aldrich mengusap puncak kepala Alesha.Alesha mengangguk. Ia membawa bunga pemberian Aldrich ke dalam. Berjalan mundur masuk ke dalam gedung. Tidak lupa sebelum benar-benar masuk—Alesha membuat hati dengan tangannya untuk Aldrich.Acara sudah mulai—Alesha melakukan skenarionya. Alex mengangkat tubuhnya, setelah itu ia melakukan gerakan memutar. Sudah 15 menit pertunjukkan berlalu. Sesekali Alesha menatap Aldrich yang duduk di kursi tengah, memastikan jika kekasihnya tetap berada di sana untuk menontonnya sampai akhir.DOORDOORSemua orang yang di sana terkejut. Alesha berhenti. Tubuhnya lemas—hanya dalam kurun waktu seperkian detik, ia sudah mendapati kekasihnya tengah tergeletak dengan kepala yang berlumuran darah karena tertembak.“Aldrich…”Keadaan menjadi sangat kacau. Semua orang berhamburan keluar dengan ketakutan akan bernasib sama dengan pria yang tiba-tiba tertembak. Tidak bagi seorang perempuan yang kini tengah bercucuran air mata. “ALDRICH,” teriak Alesha berlari. Menangkup wajah Aldrich dengan kedua tangannya. “Aldrich bangun!” teriaknya. Aldrich tidak bergeming. “Aldrich jangan tinggalin aku. Aldrich please bertahan.” Alesha mencoba mengguncang tubuh Aldrich. Alesha tidak peduli jika dirinya berada dalam bahaya. Saat ini ia hanya ingin Aldrich membuka mata—kemudian berkata jika tidak akan meninggalkannya sendirian. “Alesha butuh Aldrich.” Alesha memeluk Aldrich. “Aldrich bangun…” lirih Alesha. Ia bahkan tidak peduli dengan dressnya yang sudah berlumuran darah. “Katanya kamu mau ngajak aku lihat Menara Pizza?” Alesha berharap ini hanya mimpi. Ia menampar dirinya sendiri. “Bangun Alesha! Lo mimpi!” Alesha menatap kembali Aldrich yang berada di pelukannya. “ALDRICH BANGUN! ALESHA GAK MAU SENDIRI LAGI!” DO
BRAK Pintu lemari dibuka dengan paksa. Alesha menunduk dalam-dalam. Percuma saja bersembunyi di dalam lemari, pada akhirnya ia juga akan tertangkap oleh mereka. Menggerakkan badannya, berusaha berlari. Namun salah satu dari mereka berhasil menghentikannya. “Lepaskan aku.” Alesha berusaha melepaskan diri. “Siapa kau?” tanya seorang pria yang tengah duduk di atas sofa dengan jari yang mengapit rokok. “Kau kekasih Aldrich?” Alesha menatap pria itu. Pria dengan kemeja hitam rapi. Pria tersebut nampak mengangkat sudut bibirnya tersenyum. Bagi Alesha pria itu mengerikan, meskpun kedua matanya tertutup dengan kacamata hitam. Alesha yakin pria di depannya bukan pria baik-baik. “Jawab aku. Apa kau kekasih Aldrich?” pria itu mengangkat dagu Alesha. Meneliti wajah Alesha yang khas orang Asia seperti Aldrich. Karena Alesha yang tidak kunjung menjawab pertanyaan. Pria itu semakin kencang mencengkram dagu Alesha. “Jawab aku atau aku akan menyitimu?” Alesha tertawa. “Tidak ada asalan untukku
Apa yang harus Alesha lakukan agar memikat Garvin. Alesha sungguh tidak berpengalaman. Kenapa skenario yang diciptakan Wiliam sangat rumit seperti ini. Seharusnya Wiliam bisa membuat Alesha langsung bersama Garvin tanpa acara pamer-pamer tubuh pada pria hidung belang lainnya.Acara pelelangan wanita. Wiliam memang membuat rencana dengan memasukkan Alesha ke dalamnya. Agar Alesha bisa memikat Garvin dengan kecantikannya. Setelah itu—Alesha akan menjalankan rencana yang sudah mereka susun. Wiliam duduk di belakang—sesekali menyesap sebatang rokok yang berada di jarinya. Ia menatap punggung Garvin yang berada di depannya.“Kita sambut wanita yang sudah terpilih,” suara MC menggelora.Alesha berada di urutan nomer 5 alhasil ia berjalan di urutan paling belakang. Tangannya mulai berkeringat dingin. Wajahnya terasa sangat kaku tanpa ekspresi.“Start.”Para wanita lain sibuk melepaskan pakaiannya—kemudian bergoyang dengan sensual. Apa yang dilakukan Alesha? Wanita itu hanya diam.“KENAPA DIA
“Apa yang kau lakukan.” Tangan Alesha dicekal oleh Garvin.Tertangkap basah—pergerakan Alesha langsung dibekukan oleh Garvin. kedua tangannya dicekal di atas kasur. Garvin mengambil jarum itu—menelitinya sebentar. Pertama kali melihatnya—ia langsung tahu jika jarum itu berbahaya. Jika jarum itu mengenai lehernya, dalam hitungan menit ia akan kehilangan nyawa.“Jawab aku. Siapa yang menyuruhmu?” aura Garvin berubah menjadi sangat dingin. Ia mengambil sebuah borgol di dalam lacinya.“LEPASKAN AKU! KAU PANTAS MATI!” teriak Alesha berusaha melepaskan diri. Namun kedua tangannya lebih dulu diborgol oleh Garvin.“Kau sudah mengirim uang ke tempat bordil?” tanya Garvin di sebuah telepon.“Baru setengah, Sir.” “Tidak usah kirim. Turuti saja perintahku.”Disaat Garvin masih bertelepon dengan seseorang. Alesha bangkit—meskipun gerakan tangannya sangat terbatas. Hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap membunuh Garvin. Pria itu harus mati.Alesha mendekat ke arah dressnya. Mengambil sebuah
Alesha mengangguk.“Kau jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin tanpa rasa kasihan langsung menarik lakban yang menutup mulut Alesha. Tarikan lakban yang kuat membuat seakan bibir Alesha ikut tertarik juga.“Apa yang Wiliam katakan padamu?”Alesha menatap Garvin dengan sorot kebenciannya. “Aku lelah. Semuanya nampak membingungkan. Tidak bisakah kau langsung membunuhku saja?”Jawaban Alesha membuat Garvin mengepalkan tangannya. Emosinya kini mulai naik. “Kau ingin aku membunuhmu?”Alesha mengangguk. “Seharusnya aku tidak terlibat dengan kalian. Tapi setidaknya aku tahu pembunuh Aldrich, antara kau dan Wiliam. Aku bisa pergi dan menyusul Aldrich. Kalian bisa bertengkar sesuka hati kalian.”Tidak ada harapan untuk hidup. Alesha benar-benar putus asa. Tidak ada kejelasan yang nampak di depan matanya. Semuanya abu-abu dan membingungkan. Selain teka-teki tentang pembunuh Aldrich sebenarn
“Aku mencintai Aldrich. Dia segalanya bagiku.”“Cinta?” Garvin tertawa. Tawa yang menggelegar, tawa yang benar-benar lepas dan murni karena memang lucu. Cinta? Satu kata yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan konyol.Alesha bangun. Berdiri di hadapan Garvin. “Apa ini artinya kau memaafkan Aldrich?”Garvin mendadak terdiam. Menatap Alesha dengan tajam. Dia sedikit menunduk karena tinggi Alesha yang hanya sebatas lehernya. “Tidak ada kata maaf untuk penghianat. Aku harap dia berada di tempat paling buruk selain dunia ini.”Wajah Alesha memerah menahan amarah. Tangannya mengepal—kemudian mengacungkan jari tengahnya pada Garvin. “Doa buruk akan kembali pada sang pemilik. Doa buruk akan menjadi boomerang untuk pemiliknya.”“Mau kupotong jarimu hah?!”Alesha segera menekuk jarinya kembali.“Sekarang nikmati hidupmu di penjara ini. Kau akan mend
Tubuh Alesha ditarik oleh dua pria. Diseretnya melewati lorong gelap. Digelandang masuk ke dalam ruangan lain yang tidak kalah mengerikan. Ruangan dengan aroma amis yang begitu pekat. Juga ada beberapa kerangkeng besi yang menempel di tembok. Alat-alat berat lain yang ditaruh di sebuah rak terbuka.Alesha mencoba memberontak melepaskan diri. Tapi orang-orang itu begitu mudahnya memasang kerangkeng pada tubuhnya. Tubuhnya berada di atas dan membentuk huruf X dengan kerangkeng yang melilit.“Jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin mengambil duduk di sofa. Mengambil rokok kemudian menyulutnya perlahan.“Apa kau selama ini mendapatkan harta dari Aldrich?”“Itu urusan pribadiku,” jawab Alesha.CETARSebuah cambuk menyambar tubuhnya. “Akkh.” Alesha meringis kesakitan.“Jawab dengan jujur atau kau akan mendapatkan cambukan dan pukulan. Kutanya sekali lagi apa kau selama
Alesha bertepuk tangan pelan. “Selamat untuk kalian berdua.” “TUTUP MULUTMU! JANGAN BERBICARA!” kesal Garvin berteriak. Xavier tersenyum. Ia mendekati Alesha. “Kami tidak seperti yang kau pikirkan.” Mengusap dahi Alesha pelan. “Namaku Xavier, semoga cepat sembuh.” Alesha membalas senyum Xavier sembari mengangguk. “Aku pergi dulu.” Xavier menunjukkan jarinya. “Jangan menyiksanya jika ingin dia segera sembuh!” katanya pada Garvin. “Kau menyukainya?” tanya Garvin. Alesha mengangguk pelan. “Siapa yang tidak suka dengan pria tampan dan penuh keramahan seperti Xavier. Semua wanita pasti juga akan menyukainya.” “Waah. Tidak kusangka kau akan berpaling dari kekasih yang kau cintai itu secepat ini.” Garvin menggeleng dengan tangan yang bersindekap. “Aku hanya menyukainya. Sebatas kekaguman seperti mengidolakan seorang aktor.” Alesha bangun dan duduk sembari menatap Garvin. Berada di ruangan yang jauh lebih baik dari penjara. Kamar ini sangat luas dan nyaman. Juga kasur empuk yang ia du
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun