Apa yang harus Alesha lakukan agar memikat Garvin. Alesha sungguh tidak berpengalaman. Kenapa skenario yang diciptakan Wiliam sangat rumit seperti ini. Seharusnya Wiliam bisa membuat Alesha langsung bersama Garvin tanpa acara pamer-pamer tubuh pada pria hidung belang lainnya.
Acara pelelangan wanita. Wiliam memang membuat rencana dengan memasukkan Alesha ke dalamnya. Agar Alesha bisa memikat Garvin dengan kecantikannya. Setelah itu—Alesha akan menjalankan rencana yang sudah mereka susun. Wiliam duduk di belakang—sesekali menyesap sebatang rokok yang berada di jarinya. Ia menatap punggung Garvin yang berada di depannya.
“Kita sambut wanita yang sudah terpilih,” suara MC menggelora.
Alesha berada di urutan nomer 5 alhasil ia berjalan di urutan paling belakang. Tangannya mulai berkeringat dingin. Wajahnya terasa sangat kaku tanpa ekspresi.
“Start.”
Para wanita lain sibuk melepaskan pakaiannya—kemudian bergoyang dengan sensual. Apa yang dilakukan Alesha? Wanita itu hanya diam.
“KENAPA DIAM SAJA? BUKA BAJUMU!”
“HEI PATUNG!”
Itu teriakan para hidung belang yang ingin melihat tubuh polos Alesha. Sang MC yang melihat kekacauan itu segera mendekati Alesha yang hanya diam saja.
“Apa yang kau lakukan? Kau bisa mengacaukan acara ini.”
Sang MC menarik lengan Alesha kasar hendak membawa Alesha turun dari panggung. Bisa-bisa acara yang sudah digelar ini kacau akibat ulah wanita yang tidak tahu diri seperti Alesha.
“Nomer 5. 900 ribu dollar,” suara pria.
Semuanya terkejut. MC yang tadinya hendak membawa Alesha turun kini menarik Alesha kembali agar tetap berada di panggung.
Semua orang tercengang. Garvin yang terkenal sangat pemilih wanita akhirnya mengangkat nomer lebih awal.
“Nomer 5. 1, 5 juta Dollar.” Itu Wiliam. Pria itu benar-benar mengibarkan bendera peperangan.
Garvin menoleh ke belakang. Terlihat jika pria itu menatap sengit Wiliam. Atmosfir antara dua pria itu benar-benar dingin dan menyeramkan.
“Nomer 5. 2 juta Dollar.” Pria hidung belang lain mulai ikut-ikutan.
“Nomer 5. 3 juta Dollar.” Wiliam kembali mengangkat nomernya.
Hening tidak ada yang menawar lagi. “Apakah masih ada yang ingin menawar?” tanya MC.
“Jika tidak ada maka—”
“Nomer 5. 10 juta dollar.”
Semua orang terkejut bukan main. Itu adalah jumlah yang fantastis yang pernah dikeluarkan. Garvin menatap Alesha dengan tatapannya yang tajam. Jika sudah menginginkan sesuatu—Garvin harus mendapatkannya.
“Apa masih ada yang menawar?” tanya MC.
Hening sebentar. “Jika tidak, Nomer 5 menjadi milik tuan Garvin Carver Blackton.”
~~
Alesha tidak tahu akan di bawah ke mana. Setelah dirinya terjual, astaga Alesha mengutuk perkataannya sendiri. Maksudnya setelah acara itu—Alesha resmi menjadi milik Garvin. Ia telah berganti pakaian—dress mini yang semula melekat pada tubuhnya sekarang berganti dengan dress selutut dengan bagian atas sedikit terbuka.
Dress yang katanya diberikan oleh Garvin itu lebih baik daripada Dressnya yang tadi. Mata Alesha ditutup dengan sebuah kain hitam. Ia tidak tahu dibawa ke mana—yang pasti mobil kini berhenti.
“Sudah sampai. Anda bisa membukanya, Nona.” Alesha meraba kain hitam yang menutupi matanya. Setelah bisa melihat dengan jelas—Alesha benar-benar takjub dengan bangunana di hadapannya.
Sebuah Mansions yang sangat mewah dan megah. Jauh lebih besar dari mililk Wiliam. Seorang pria dengan pakaian serba hitam membukakan pintu—Alesha keluar.
“Bukankah aku pernah bertemu dengan anda?” tanya Alesha.
“Dilarang berbicara.”
Alesha berdecak. Ia harus segera bertemu dengan Garvin untuk menjalankan misinya. Pria tadi menunjukkan jalan masuk. Mereka terus berjalan sampai berhenti pada sebuah pintu hitam yang tertutup.
“Tuan Garvin sudah menunggu.”
Alesha dengan ragu membuka pintu. Di sana ia bisa melihat pembunuh Aldrich. Ya, Garvin tengah duduk di atas sofa dengan gelas di tangannya. Alesha menatap Garvin lekat—perasaan marahnya kembali muncul. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Garvin mentertawakan jasad Aldrich yang berada di bawah kakinya.
“Kenapa hanya diam saja di sana? Benar-benar mau jadi patung?” sarkas Garvin.
Alesha berjalan mendekat. Menampilkan senyum secantik mungkin agar Garvin tergoda. Kemudian mengambil duduk di samping Garvin.
“Aku sudah membelimu mahal. Jadi kau harus memuaskanku,” ucap Garvin santai.
Alesha mengerjap. Kemudian mengangguk dengan senyum yang masih jelas terpancar di wajahnya. Tangannya bergerak mengambil botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas kecil Garvin.
“Aku tidak ingin mabuk,” ucapnya setelah Alesha selesai menuangkan minumannya. “Cepat buka bajumu,” perintahnya.
“Kenapa aku harus membuka bajuku?” tanya balik Alesha.
Garvin menatapnya tajam. “Buka sendiri atau aku yang merobeknya?”
Alesha mengepalkan tangannya erat. Ia harus bisa! Ia harus bisa melakukan semua ini untuk membunuh Garvin. Alesha bangkit—berdiri, perlahan membuka resleting dressnya. Menurunkan dressnya hingga kini tubuhnya hanya terbalut dengan pakaian dalam berwarna merah.
Pandangan Garvin tidak terlepas sedetikpun dari Alesha. Pertama kalinya melihat wanita yang begitu kaku. Wanita yang sama sekali tidak pandai menggodanya. Ia tersenyum tipis. Garvin baru sadar jika sudah menghabiskan jutaan dollar untuk wanita payah ini.
Garvin menepuk pahanya sendiri. “Kemarilah.”
Alesha berdiri kaku di hadapan Garvin. Dengan lancang Garvin menarik pinggang Alesha sehingga perempuan itu jatuh di pangkuannya. Jemari Garvin menelusuri wajah Alesha. “Ini bukan kali pertamaku melihatmu bukan?”
Alesha mengangguk. “Yang pertama di Klub dan kedua di Mansionmu.”
Garvin mencengkram pinggang Alesha. Selain payah juga lemot—Gavin ingin mengumpat. Bagaimana bisa ia membeli wanita seperti ini. “Kau yang ada di Pantai.”
“Benarkah?”
Garvin menarik tengkuk Alesha dan menciumnya. Melumat habis bibir manis milik Alesha yang terasa candu. Jemarinya mengusap rahang Alesha pelan. Meski Alesha membalas ciuman Garvin dengan kaku.
Selama hidup 22 tahun, ini adalah pertama kalinya ia berciuman dengan pria. Naasnya dengan pria yang telah membunuh kekasihnya sendiri. Meskipun Alesha tidak pernah praktek—tapi ia sering melihat bagaimana orang berciuman.
Entah bagaimana—Alesha sudah berada di gendongan Garvin. Pria itu menjatuhkan tubuh Alesha di atas ranjang. Garvin melepaskan pakaiannya sendiri. Melepaskan kemeja putih yang melekat di tubuhnya sehingga perut yang penuh dengan kotak-kotak hasil latihan fisik terlihat. Tubuh Garvin dipenuhi dengan jejak luka dan ukiran tatto penuh.
“Aku tidak bisa bermain lembut.” Setelah itu Garvin mencium Alesha kembali. Menggigit kecil leher jenjang perempuan itu.
Alesha tidak sepenuhnya telanjang. Ia masih menggunakan pakaian meski hanya dalaman saja. Tangan kirinya mengalun di leher Garvin, sedangkan tangan kanannya mengambil sesuatu yang tersimpan dari dalam dadanya. Sebuah jarum yang ukurannya sangat kecil.
Jarum itu berisi sebuah racun yang sangat berbahaya. Kata Wiliam tugasnya hanya menancapkan jarum itu ke leher Garvin dan seketika pria itu akan langsung terjatuh. Sekarang jarum itu sudah berada di tangan Alesha.
Alesha tersenyum di sela-sela ciuman mereka. ‘Kau akan mati,’ ucapnya dalam hati. Tangan Alesha bergerak akan menancapkan jarum itu tepat di leher Garvin.
“Apa yang kau lakukan.” Tangan Alesha dicekal oleh Garvin.Tertangkap basah—pergerakan Alesha langsung dibekukan oleh Garvin. kedua tangannya dicekal di atas kasur. Garvin mengambil jarum itu—menelitinya sebentar. Pertama kali melihatnya—ia langsung tahu jika jarum itu berbahaya. Jika jarum itu mengenai lehernya, dalam hitungan menit ia akan kehilangan nyawa.“Jawab aku. Siapa yang menyuruhmu?” aura Garvin berubah menjadi sangat dingin. Ia mengambil sebuah borgol di dalam lacinya.“LEPASKAN AKU! KAU PANTAS MATI!” teriak Alesha berusaha melepaskan diri. Namun kedua tangannya lebih dulu diborgol oleh Garvin.“Kau sudah mengirim uang ke tempat bordil?” tanya Garvin di sebuah telepon.“Baru setengah, Sir.” “Tidak usah kirim. Turuti saja perintahku.”Disaat Garvin masih bertelepon dengan seseorang. Alesha bangkit—meskipun gerakan tangannya sangat terbatas. Hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap membunuh Garvin. Pria itu harus mati.Alesha mendekat ke arah dressnya. Mengambil sebuah
Alesha mengangguk.“Kau jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin tanpa rasa kasihan langsung menarik lakban yang menutup mulut Alesha. Tarikan lakban yang kuat membuat seakan bibir Alesha ikut tertarik juga.“Apa yang Wiliam katakan padamu?”Alesha menatap Garvin dengan sorot kebenciannya. “Aku lelah. Semuanya nampak membingungkan. Tidak bisakah kau langsung membunuhku saja?”Jawaban Alesha membuat Garvin mengepalkan tangannya. Emosinya kini mulai naik. “Kau ingin aku membunuhmu?”Alesha mengangguk. “Seharusnya aku tidak terlibat dengan kalian. Tapi setidaknya aku tahu pembunuh Aldrich, antara kau dan Wiliam. Aku bisa pergi dan menyusul Aldrich. Kalian bisa bertengkar sesuka hati kalian.”Tidak ada harapan untuk hidup. Alesha benar-benar putus asa. Tidak ada kejelasan yang nampak di depan matanya. Semuanya abu-abu dan membingungkan. Selain teka-teki tentang pembunuh Aldrich sebenarn
“Aku mencintai Aldrich. Dia segalanya bagiku.”“Cinta?” Garvin tertawa. Tawa yang menggelegar, tawa yang benar-benar lepas dan murni karena memang lucu. Cinta? Satu kata yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan konyol.Alesha bangun. Berdiri di hadapan Garvin. “Apa ini artinya kau memaafkan Aldrich?”Garvin mendadak terdiam. Menatap Alesha dengan tajam. Dia sedikit menunduk karena tinggi Alesha yang hanya sebatas lehernya. “Tidak ada kata maaf untuk penghianat. Aku harap dia berada di tempat paling buruk selain dunia ini.”Wajah Alesha memerah menahan amarah. Tangannya mengepal—kemudian mengacungkan jari tengahnya pada Garvin. “Doa buruk akan kembali pada sang pemilik. Doa buruk akan menjadi boomerang untuk pemiliknya.”“Mau kupotong jarimu hah?!”Alesha segera menekuk jarinya kembali.“Sekarang nikmati hidupmu di penjara ini. Kau akan mend
Tubuh Alesha ditarik oleh dua pria. Diseretnya melewati lorong gelap. Digelandang masuk ke dalam ruangan lain yang tidak kalah mengerikan. Ruangan dengan aroma amis yang begitu pekat. Juga ada beberapa kerangkeng besi yang menempel di tembok. Alat-alat berat lain yang ditaruh di sebuah rak terbuka.Alesha mencoba memberontak melepaskan diri. Tapi orang-orang itu begitu mudahnya memasang kerangkeng pada tubuhnya. Tubuhnya berada di atas dan membentuk huruf X dengan kerangkeng yang melilit.“Jawab pertanyaanku dengan jujur.” Garvin mengambil duduk di sofa. Mengambil rokok kemudian menyulutnya perlahan.“Apa kau selama ini mendapatkan harta dari Aldrich?”“Itu urusan pribadiku,” jawab Alesha.CETARSebuah cambuk menyambar tubuhnya. “Akkh.” Alesha meringis kesakitan.“Jawab dengan jujur atau kau akan mendapatkan cambukan dan pukulan. Kutanya sekali lagi apa kau selama
Alesha bertepuk tangan pelan. “Selamat untuk kalian berdua.” “TUTUP MULUTMU! JANGAN BERBICARA!” kesal Garvin berteriak. Xavier tersenyum. Ia mendekati Alesha. “Kami tidak seperti yang kau pikirkan.” Mengusap dahi Alesha pelan. “Namaku Xavier, semoga cepat sembuh.” Alesha membalas senyum Xavier sembari mengangguk. “Aku pergi dulu.” Xavier menunjukkan jarinya. “Jangan menyiksanya jika ingin dia segera sembuh!” katanya pada Garvin. “Kau menyukainya?” tanya Garvin. Alesha mengangguk pelan. “Siapa yang tidak suka dengan pria tampan dan penuh keramahan seperti Xavier. Semua wanita pasti juga akan menyukainya.” “Waah. Tidak kusangka kau akan berpaling dari kekasih yang kau cintai itu secepat ini.” Garvin menggeleng dengan tangan yang bersindekap. “Aku hanya menyukainya. Sebatas kekaguman seperti mengidolakan seorang aktor.” Alesha bangun dan duduk sembari menatap Garvin. Berada di ruangan yang jauh lebih baik dari penjara. Kamar ini sangat luas dan nyaman. Juga kasur empuk yang ia du
“Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi semesta tidak pernah berpihak padaku. Aku tidak mau menyusahkan diri sendiri dengan memikirkan hal yang tidak bisa terwujud. Aku hanya akan mengikuti alur.” Itulah jawaban Alesha beberapa menit yang lalu, jawaban yang mampu membuat Garvin terdiam kehabisan kata-kata. Mereka sampai di sebuah gedung. Begitu ramai dengan orang-orang kelas atas. Ada banyak sekali security yang berjaga di luar gedung. Dilakukan pengecekan sangat ketat sebelum masuk. Tamu akan diijinkan masuk apabila menunjukkan undangan. Tanpa undangan tidak akan bisa masuk. Garvin berdiri di sebelah Alesha. Tanpa aba-aba, tangannya bergerak menarik Alesha mendekat dari samping. Memeluk pinggang wanita itu dengan erat. “Kenapa seperti ini?” tanya Alesha. Ia tidak nyaman tangan kekar Garvin bertengger di pinggang rampingnya. Ia mendongak meminta penjelasan pada Garvin. “Jawab aku.” “Diam saja.” Garvin menatap sekitarnya. Garvin tidak serta merta datang seorang diri. Ia membawa
Benar dugaan Garvin. Dia juga menunduk berpura-pura ketakutan seperti yang orang-orang lakukan. Pesta seperti ini sangat rentan dengan penjarahan. Pasti ada Mafia yang mengincar karena Pesta terisi dengan orang-orang kalangan atas yang bergelimang harta. Mereka yang ketakutan akan senantiasa melepaskan barang-barang mereka. Seperti seorang pria tua buncit yang bersembunyi di bawah kolong meja. Ia mengangkat jam tangan bermerek rolex seharga jutaan dollar ke atas. “Aku menyerahkan jamku.” Ada lagi seorang wanita yang melepaskan semua perhiasannya. Dari jumlahnya—Garvin bisa menebak harganya yang hampir mencapi satu juta dollar. Garvin berdiri. Merapikan kemejanya. Ia nampak tidak peduli dengan pria yang telah menatapnya, juga mengacungkan pistol ke arahnya. Garvin dengan santainya menampilkan smikrnya sembari mengarahkan pistolnya ke arah pria itu. “Hentikan,” ucap Garvin santai. “Jangan mencampuri urusanku. Kusarankan kau pergi dari sini.” Pria itu menggunakan sebuah topeng. Tapi
“Dasar bajingan. Kau membahayakannya lagi!” seloroh seorang pria. Xavier menendang kaki kanan Garvin.Garvin membalikkan badannya. “Hentikan. Aku tidak ingin bertengkar denganmu,” balasnya malas. Garvin memang sedang mode senggol bacok. Bahkan anak buahnya saja tidak berani mengeluarkan satu katapun. Bisa-bisa mereka ditelan hidup-hidup oleh Garvin.“Oke-oke.” Xavier yang melihat kemarahan Garvin akhirnya diam untuk tidak mencari masalah pada temannya itu. “Aku sudah mengeluarkan peluru dari dadanya. Beruntung sekali kau langsung membawanya ke sini. Jika kau terlambat satu menit saja—dia tidak akan tertolong. Itu bukan peluru biasa, melainkan peluru yang sudah diracun. Racun itu bisa saja cepat menyebar ke seluruh tubuhnya jika pelurunya tidak segera diambil.”Garvin hanya mengangguk. Pandagannya masih terpusat pada seorang wanita yang berbaring di ruang perawatan intensif dengan alat-alat medis menancap di tubuhnya.“Dia akan bangun dalam hitungan hari. Jangan menunggunya. Bekerjalah
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun