Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk.
Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat.
Pelukannya terasa hangat.
Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya.
Aku terdiam. Kenapa Sofia harus kabur jika keluarganya saja sebaik ini? Gadis itu tidak punya rasa bersyukur rupanya.
Dua tepukan di punggungku mengakhiri pelukannya dan ia kembali duduk. Aku tersenyum pada yang lain secara singkat sebelum mulai berjalan mengitari meja makan untuk duduk di samping Matteo. Suara tarikan kursiku yang terdengar di dalam hening ruang membuat bahuku terangkat kikuk. Aku segera duduk sebelum menarik lebih banyak perhatian lagi.
“Aku belum bisa melihat alasan mengapa Sofia pergi,” bisikanku mengundang tolehan kepala dari Matteo. “Apa yang memelukku tadi ayahmu?”
Matteo menggeleng pelan. “Itu Paman Andrea,” ia balas berbisik. “Yang di sana itu baru ayah, jangan lihat matanya secara langsung, rasanya sama seperti menatap iris Tifon, aku bahkan tidak tahu seperti apa mata Tifon…” hidungnya menunjuk pria yang duduk di ujung meja. Tampilannya necis dengan kemeja putih berkerah dan dasi bercorak garis abu-abu. Sebuah jenggot lebat keabuan dan kumis tebal membingkai wajah tegasnya, membuatnya terlihat tua. Rambut hitamnya yang disisir ke belakang tampak seperti baru disemir, warnanya begitu pekat dan mengilap.
“Bagaimana hidup di luar sana, Sofia?” seorang wanita yang tampak sebaya dengan mama bertanya. Aku tersenyum kecil, hendak menjawab tapi mendadak terpotong.
“Tentu saja menyedihkan, anak baru dewasa seumur Sofia pasti ingin sesekali melawan, tapi lihat… dia kembali lagi, kau merindukan hidup mewah ini kan? Baru saja 3 bulan tapi kau sudah pulang, haha,” wanita itu sepertinya berusaha tertawa dengan anggun tapi menurutku mirip sekali dengan ringkikan kuda yang kehabisan napas.
Aku benar-benar ingin membalasnya. Ingin sekali aku berkata bahwa pria bodoh di sampingkulah yang menyeretku masuk ke dalam mansion ini. Andaikan Sofia yang sesungguhnya ada di sini, dia pasti juga lebih memilih kehidupan luar. Dia hanya akan berada di sini karena kakaknya telah membuatnya pingsan dan menculiknya.
“Jangan berkata seperti itu, Sofia pasti sudah puas bersenang-senang di luar sana dan ingin bertemu dengan keluarganya lagi, dia merindukan kita,” Paman Andrea menyela.
“Hmph, bersenang-senang apanya… dia hanya melawan perintahku,” ayah menyantap lebih dulu makanan yang sudah tersedia di atas meja.
“Hush, hiraukan saja ayahmu,” seorang wanita berpenampilan sederhana bersuara. “Mau ibu ambilkan makanannya? Mau ya,” tidak memedulikan responku, ia langsung mengambil makanan dan meletakkannya ke atas piring putih. “Makan ini, makan banyak-banyak, ibu lihat kau semakin kurus,”
Aku menatap lenganku. Apa iya? Padahal keluarga asliku selalu menganggapku gemuk. Kedua tanganku menerima uluran piring dan meletakkannya di atas meja, kini menatap lama. Suara gaduh dari bibi-bibi dan paman-paman yang berbicara tentang urusan bisnis kini semakin memudar di telingaku. Aku lapar.
Kuangkat lagi kepalaku dan kulihat meja yang sudah mulai terisi penuh, kecuali satu kursi di sampingku. Tampaknya tidak ada yang mau ataupun berhak menempati tempat itu. Kursi yang diletakkan tepat di samping kanan istri dari kepala keluarga D’Angelo, yang berarti siapapun yang akan duduk di sana adalah orang yang sangat penting. Tamu kehormatan.
“Kursi kosong ini apa ada yang menempati?” aku menyenggol lengan Matteo dan bertanya pelan. Pria itu mengangguk kecil.
“Ada, Nicolas Romano namanya,”
“Nicolas Romano? Aku tidak pernah mendengarnya, bisa tolong jelaskan? Aku sedikit penasaran kenapa dia tidak datang tepat waktu,”
“Hahh…” Matteo menghela napas. Sepertinya dia sudah lelah mendengar rentetan pertanyaan dariku. Tapi apa kalian bisa menyalahkanku? Aku punya tendensi membuat orang lain kesal sampai kepala mereka meledak, ini sudah menjadi keahlianku. “Kau ini kenapa ingin tahu sekali sih? Kalau dia tidak datang ya biarkan saja, dia terkenal arogan, jadi walaupun sudah dapat undangan sekalipun itu dari presiden, kalau dia tidak mau datang ya tidak datang.”
Mudah sekali cara berpikir si Nicolas Romano ini. Tebakanku adalah dia orang yang lumayan dihormati. Mungkin saja si Nicolas ini adalah pria tua berbadan bungkuk yang sudah tidak kuat lagi berjalan, makanya dia tidak datang.
Aku memasukkan pasta bolognese ke dalam mulutku. Tidak perlu menghabiskan banyak waktu, aku sudah sangat lapar. Saat aku masih terlalu fokus menikmati makan malam, kudengar langkah kaki muncul dari depan. Aku menatap sosok yang melangkah mendekat. Pria itu berdiri dalam balutan jas formal seperti pria-pria lain yang tengah duduk. Matanya tajam dan ada jambang yang membingkai wajahnya. Rambutnya pendek dan bergelombang. Selain memiliki tatapan menusuk dan menyeramkan, tubuhnya juga jangkung dan besar, ia bahkan jauh lebih tinggi dari orang-orang tinggi yang sudah pernah kutemui.
Suara yang sebelumnya masih sibuk berbincang seketika diam. Seakan-akan sebuah angin datang membawa suara mereka pergi. Suasana terasa hening dan langkah pria tidak bernama itu semakin berat. Ia mengambil kursi dan duduk tepat di seberangku tanpa berkata apapun.
Nicolas Romano.
Pria ini yang bernama Nicolas Romano? Jadi dia bukan pria uzur kaya raya seperti yang kubayangkan? Oh! Oh…
“Oh,” gumamku.
Aku menoleh untuk melihat Matteo. Baru saja menarik napas, ia memotongku dengan mengatakan. “Akan kubuang mayatmu ke dasar danau jika kau bertanya lagi, jangan buat aku menyesal telah menjadikanmu pengganti Sofia,”
Hei, aku tersinggung! “Seharusnya kau sudah menyesal menculikku dari awal,”
Aku kembali melanjutkan makan malamku, tidak lagi menghiraukan pria di samping. Pria itu tampan, sekilas memang menakutkan, tapi tampan. Mataku tidak pernah berbohong. Perawakannya seperti pria yang selalu jadi protagonis dalam bukuku. Kupandangi dia untuk beberapa saat sebelum matanya menatapku balik, membuatku segera mengalihkan pandang pada piring berisikan pasta di atas meja.
“Ibumu tidak pernah mengajarkanmu untuk tidak memelototi seseorang?” suara beratnya memecah sunyi seisi meja.
Aku lantas mengangkat wajah. “Kau bicara pada siapa?” tanyaku lancang.
“Jaga ucapanmu!” samar suara kecil Matteo terdengar akan segera menangis. Aku hanya memandangnya dengan kesal sebelum berpaling pada Nicolas. “Tuhan, aku berdoa padamu dan semua yang mendengarkan…” kudengar Matteo mulai memanjatkan doa, dua tangannya mengatup di depan dada.
“Oh,” sebelah alisnya naik ketika ia dengar suaraku. Kemudian matanya menajam. “Ada yang aneh,” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, tangan menyentuh dagu untuk sesaat. Matanya seperti mengawasiku, melihat setiap gerak-gerikku. Tapi untunglah fokusnya segera berpindah pada Tuan D’Angelo yang mulai membahas strategi penjualan narkoba. Tunggu, narkoba?
Kepalaku menoleh cepat. Apa ini sesuatu yang normal dibahas saat makan malam? Kutatap Matteo, tapi dia bahkan tidak mau melihatku sama sekali. Sial. Ia mencampakkanku begitu saja. Kini yang terdengar hanya dentingan peralatan perak di atas meja makan serta suara berat kepala keluarga D’Angelo.
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku