Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh.
Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku baru bisa bernapas lega setelah melihat jalanan datar.
Ketika kakiku berbelok ke sebuah gang yang jauh lebih sepi, aku mulai merasa merinding. Padahal malam itu tidak sedingin biasanya, toh sebuah jaket sudah kukenakan di atas pakaian crop top-ku untuk menghalau udara malam hari. Tapi firasatku mengatakan untuk tidak masuk ke dalam jalan luas di sudut kiriku.
Kutolehkan kepala ke kanan, depan, dan belakang, berharap seseorang muncul untuk menemani. Sayang sekali jalanan itu sepi seperti kota mati. Aku menatap jalan kosong itu sekali lagi, memastikan tidak ada siapapun di sana. Mataku terpejam, batin mulai menghitung untuk meredakan kecemasan yang membumbung.
Kau penakut sekali!
Ah, sudahlah, ini satu-satunya jalan yang bisa kutempuh untuk sampai lebih cepat di rumah!
Jadi aku maju. Dan kau tahu apa yang terjadi berikutnya? Aku sungguh tidak terkejut ketika sebuah sapu tangan pink norak diletakkan di depan hidungku, mencuri kesadaranku secara perlahan dan membuat sekitarku menjadi gelap gulita.
.
.
Yang aku tahu selanjutnya aku sudah berada di atas kursi dalam sebuah kamar luas berisikan pernak-pernik mahal. Tidak hanya duduk, aku terikat oleh tali sabut kasar hingga punggungku menyentuh kepala kursi. Sudah berapa lama posturku tidak sebagus ini? Duduk 90 derajat bukanlah hal normal bagi penulis yang selalu membungkuk sepertiku.
“Ugh!” aku mengerang, berusaha melepaskan diri dari jeratan tali. Tapi semuanya sia-sia, tali tetap bergeming. Bahkan kedua kakiku pun sudah diikat pada kaki kursi. Baiklah, sepertinya ini pertama kalinya ada yang tertarik untuk menculik dan mengikatku hidup-hidup. Kuratapi nasib sembari menatap seisi ruangan lebih jelas. Ada televisi 100 inchi berada tepat di atas karangan bunga palsu, sebuah meja putih bundar, kasur berukuran king size dihiasi karpet berbulu rasfur di bawahnya, dan kandelir kaca mewah. Di kananku terdapat pintu kaca yang mengarah pada balkon berhiaskan bunga begonia dan fuchsia.
Apa aku diculik dan dibawa ke tempat yang jauh lebih baik dari rumah sempitku?
Mendadak kudengar pintu terbuka. Aku menoleh cepat, menatap siapa yang sekiranya sudi menculikku. “Sofia, akhirnya kami bisa membawamu pulang juga,” ujarnya. Aku mengernyit. “Besok akan diadakan upacara pemakaman, kenakan pakaian hitam terbaikmu.”
Yang tengah berbicara itu adalah seorang pria dengan umur kisaran 30 tahun. Rambut hitamnya kelihatan seperti disemir dan ditata ke belakang. Di bawah matanya terdapat kantung mata hitam legam yang membuatnya tampak tidak tidur seminggu. Aku tidak mengenalnya dan dia memanggilku Sofia. Oke… kurasa ada kesalahpahaman besar di sini. “Aku bukan Sofia,” ucapku.
“Berhenti bercanda dan akan kulepas talimu,”
“Tapi aku bukan Sofia!”
“Dan aku bukan kakakmu, oh kurasa begitu…” suaranya sarkastik ketika membalas, sebuah pisau keluar entah dari mana dan kakinya berjalan mendekat. Otakku berputar cepat, berusaha meluruskan kesalahan dalam insiden penculikan ini.
“Namaku Emma, Emma Franco, biasa dipanggil Emm juga,”
“…Emma?” ia berhenti sebentar. Lalu pisau jatuh dari tangannya dan ia berlutut di depanku, tangannya meraih dua pipiku kuat. “Apa kau tidak sengaja menabrakkan kepalamu di batu?”
“Kalau gegar otak yang kau maksud, tidak. Aku bukan Sofia,”
Bagaimana caraku bisa meyakinkan orang ini bahwa aku bukan adik kesayangannya yang ia harapkan mengenakan pakaian berduka esok hari? Cara apalagi yang mampu menyadarkannya bahwa Sofia sudah tergantikan oleh gadis miskin dari antah berantah? Aku sudah kehabisan cara. Rasanya otakku bekerja lebih lambat di antara kemilau lampu yang berpendar hangat. Kalau saja kakekku ada di sini, kira-kira apa yang akan dikatakannya untuk keluar dari situasi ini?
Lalu tercetus ide jenius dari kepalaku. “Tanda lahir! Apa Sofia punya tanda lahir?”
Pria yang masih belum kuketahui namanya itu menggeleng. Aku berdecih. “Kalian tidak melihat kartu identitasku dulu sebelum menculik? Dimana tas dan koperku?” aku menoleh, mencari-cari keberadaan barang-barang pentingku.
“Oh, kuletakkan di sana,” pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sebuah tas selempang mini. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana raut malasnya berganti menjadi terkejut, takut, lalu panik. “Oh tidak tidak tidak…!” ia memasukkannya lagi dengan kasar. “Jadi kau bukan Sofia D’Angelo?”
“D’Angelo? Ppft! Mana mungkin aku berasal dari keluarga i–” aku menutup mulut secepat mungkin. D’Angelo katanya? Sofia adalah bagian dari keluarga mafia itu? Tamat sudah riwayatku. Mereka tahu aku bukan Sofia dan akan segera meletakkanku di bawah guillotine lalu mempertontonkan eksekusi matiku pada setiap anggota organisasi. Harusnya aku berpura-pura lupa ingatan dan bertanya dulu sebenarnya siapa nama keluargaku.
Kukira hanya aku yang mulai merasa panik, tapi aku dengar pria itu memekik tertahan. Kali ini suaranya lebih mirip tikus terjepit. “Ayah akan membunuhku kalau tahu aku belum berhasil menemukan Sofia!” ia berjalan kalut. Langkahnya gelisah dan tidak menentu.
“Permisi…” aku bersuara. “Bisa kau lepaskan talinya? Ini mulai menyakiti pergelangan tanganku,”
“Bagaimana ini… bagaimana ini…”
Gumamannya yang tanpa akhir itu mulai mengacaukan isi kepalaku. Jadi aku berteriak dengan seluruh tenaga yang kupunya, berharap ia mendengarnya. “Lepaskan tali ini lalu kita bisa pikirkan solusinya!”
Ia menoleh, mungkin terkejut mendengar gadis muda memiliki suara sedalam dan sekencang itu. Tapi aku tidak peduli lagi. Tanganku mulai sakit dan aku ingin duduk membungkuk lagi. Pinggangku rasanya sudah mau menyerah saja. “…aku bisa jadi Sofia kalau kau mau! Aku bisa berperan jadi adikmu kalau kau butuh!” seruku.
Pria berambut sewarna jelaga itu menatapku seakan-akan aku orang gila. Tapi ia bergerak, mengambil pisau yang tergeletak, dan membantu memotong tali. Kesepakatan itu tidak terucap, tapi aku tahu ia menjetujui ide cemerlangku. Sepertinya kami berdua lah orang gilanya.
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku