Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja.
“Jadi, kau ada pertanyaan lagi?”
Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri.
“Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai aku menjemput,” matanya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan. “Kau bisa coba-coba baju Sofia di sana,” tangannya menunjuk sebuah pintu berukirkan bunga di kayunya.
“Di mana?”
“Itu,” tunjuknya lagi, seakan aku tidak bisa melihatnya untuk pertama kali.
“Itu pintu, maksudku… mana lemarinya?”
Matteo menghela napas lelah dan berjalan menuju pintu. Dua tangannya mendorong pintu ke dalam, menunjukkan ruang penyimpanan luas berisi mungkin ratusan baju dan gaun. Sebuah kaca besar juga terdapat di dalam, dengan sepatu-sepatu berhak tinggi dan perhiasan yang tersusun rapi di dalam almari kaca.
Mulutku terbuka lebar, menganga dan terpana. “Bersikaplah normal di acara makan malam nanti dan jangan mudah terpesona pada setiap hal kecil, mereka semua akan mencurigaimu dan aku,” ucapnya. Kini aku memandangnya sinis. Bukan salahku aku teralahir di keluarga yang tidak sekaya D’Angelo! Dan bukan salahku ini kali pertamaku melihat ruangan khusus untuk berpakaian.
“Memang kenapa kalau mereka curiga?” kutanyakan saja langsung padanya.
Matteo meletakkan tangannya ke arah leher, menunjukkan gerakan memotong. “Kita mati.”
“Sungguh?” mataku berkedip.
“Tidak, tapi itu kemungkinan paling parah,” ia mengangkat bahu tak bersalah. Matteo kini berjalan mengitari ruangan pakaian selagi aku memilah-milih gaun cantik yang bergelantung rapi.
“Jadi… apa alasan Sofia minggat dari mansion seluas ini?” aku coba lagi mengangkat topik yang satu ini. Alasan dari kepergian Sofia masih mengusik pikiranku. Aku perlu tahu penyebab kaburnya Sofia dari rumah gedang ini sebelum menyetujui syarat dan ketentuan untuk bersandiwara. Bukan hanya menjelma menjadi gadis biasa, aku harus berlakon menjadi anak bungsu dari keluarga mafia kaya raya yang memiliki otoritas untuk memenggal kepalaku saat mereka tahu bahwa aku palsu.
Matteo awalnya tidak menjawabku dan malah menatap jejeran sepatu berhak tinggi. “Lihat dan dengar baik-baik sekitarmu saat makan malam nanti, kau mungkin akan lebih mengerti hal yang dialami Sofia secara kalian… sama-sama perempuan,”
“Tidak bisakah kau katakan padaku sekarang?” aku berkacak pinggang. “Aku sedang mempertaruhkan nyawaku di sini,”
“Sofia tidak sedramatis ini,” suaranya berucap datar.
“Oh, kalau begitu bilang saja Sofia baru menabrakkan mobilnya ke jurang di pinggir Pesisir Amalfi! Bilang bahwa anak bungsu kesayangan mereka telah gegar otak dan butuh pertolongan medis secepatnya,” sambil mendengus aku menarik satu gaun dan meletakkannya di depan tubuh. “Bagaimana kalau aku pakai baju ini untuk makan malam?” kupamerkan kain yang selaras dengan langit biru cerah.
“Intinya nanti kau harus minta maaf lebih dulu, ah jangan yang itu, kenakan warna merah saja,” dia masih pula memberi saran di sela diskusi taktiknya. “Kau pokoknya nanti menurut saja padaku,”
Aku tidak membalasnya lagi dan langsung bergerak untuk mencari gaun merah sembari bersenandung. Kau berpikir tidak ada orang normal yang setenang aku? Tidak, sesungguhnya dadaku juga berdebar seperti orang pada umumnya dan aku hanya berlagak berani saja. Keputusan yang kuambil secara spontan ini tidak semudah kelihatannya. Tentu fisikku begitu mirip dengan foto Sofia yang ditunjukkan oleh Matteo, tapi bagaimana dengan tata krama dan cara ia berprilaku? Emma bukanlah Sofia!
"Aku akan tetap mencari Sofia selama kau akan menjadi penggantinya di sini,” ujarnya.
Aku terdiam lama sebelum mengangguk setuju dan berkata, “Baiklah,”. Lagipula butuh waktu berapa lama sih untuk menemukan gadis itu? Paling tidak 3 hari. Keluargaku juga pasti tidak akan keberatan, atau malah tidak akan menyadari, bahwa aku tidak menghadiri perayaan ulang tahun keseratus sebelas kakek. Sejak dulu eksistensiku tidak pernah begitu menonjol di antara keenam saudaraku. Jadi tidak masalah, aku bisa berpura-pura selama itu.
.
.
Pemandangan dari atas balkon menunjukkan lanskap hijau luas yang menghadap jalan berkelok dihiasi pohon cemara jakung di tiap sisi serta perbukitan. Perkiraanku mengatakan bahwa mansion megah ini terletak di Toskana. Kemungkinan besar mereka menculikku, melemparku ke dalam bagasi, dan menginjak gas selama hampir dua jam menuju tempat ini. Bayangkan, dua jam! Dua jam mengendarai dan tidak membuahkan hasil, karena bukan Sofia yang mereka tangkap melainkan Emma Franco.
Kutatap lagi pemandangan sekitar. Hampir mustahil rasanya untuk kabur dari mansion ini. Dari tadi kulihat tidak ada satu pun rumah di dekat properti pribadi D’Angelo. Sial, bahkan mungkin beribu-ribu hektare tanah di depan bangunan ini semuanya milik mereka. Kecil kemungkinanku untuk mengikat selimut lalu berseluncur turun seperti yang kulihat dalam film-film. Turunnya sih bisa, tapi setelah itu aku akan mati kelaparan karena tidak kunjung menemukan jalan menuju peradaban manusia di luar sana.
Apa mungkin ini yang membuat Sofia kabur? Karena ia berdiam sendiri bagaikan burung yang terperangkap dalam sangkar emas.
Tiba-tiba otakku berjalan lebih cepat. Aku ingin menulis. Pengalaman ini pantas untuk dijadikan sebuah autobiografi. Daripada menulis cerita fantasi yang tidak ada habisnya itu, tidakkah lebih baik bagiku untuk menulis kisah penculikanku? Ini mungkin tidak akan sengeri kisah penculikan lainnya karena aku hanya dikurung dalam mansion besar di tengah antah berantah di Toskana, tapi tetap saja, siapa yang mengira ada gadis yang diculik dan malah mendapatkan kemewahan yang belum pernah ia dapat sebelumnya.
“Aku mau menonton anime…”
“Kita bisa tonton bersama setelah makan malam, ayo bersiap,” suara Matteo mengejutkanku. Aku bahkan tidak mendengarnya membuka pintu.
“Apa keluarga ini tidak mengenal kata mengetuk?” kutatap langit jingga sebentar sebelum berbalik dan mengikuti Matteo.
“Aku sudah mengetuk, kau terlalu banyak bicara sendiri sampai tidak mendengarku,”
“Kau mendengarnya?” aku memandangnya ngeri.
“Yap, lama sekali,” ia mendorong tubuhku, memaksaku duduk di depan meja rias. Kemudian tangannya menyentuh rambutku perlahan.
“Aku harus belajar menutup mulut, kan?” mataku memandanginya lewat kaca selagi melempar pertanyaan.
Matteo tidak menjawab pertanyaan retorisku dan lebih memilih fokus menata rambutku. Dengan telaten ia menyisiri helai ikalku lalu menyusunnya sedemikian rupa; dua sisi diambil dan diikat ke belakang dengan sebuah pita. Lalu Matteo meletakkan dua tangannya di kedua bahuku. “Pura-puranya dimulai dari sekarang.”
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku