Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka.
Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar.
Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah air mancur kolam di tengah. Aku berjalan mendekat, mata menatap pantulan cahaya lampu taman yang sinarnya redup di tengah gelapnya malam hari di Italia. Tunggu, ini tidak begitu gelap. Beberapa bintang dapat dilihat di atas langit. Menurut prediksiku, mansion ini berada di pinggir kota-kota besar Italia, atau bahkan jauh dari pemukiman.
Setelah menatap langit lumayan lama, bahuku meloncat, dikejutkan oleh suara langkah yang mendekat. “Apakah kabur membuatmu kehilangan refleks?” suara familiar itu bertanya.
Aku menolehkan wajah, mendapati Nicolas memandangiku. Mata birunya bersinar kekuningan di bawah bohlam lampu. Aku tidak tahu cara menyikapinya. Matteo belum menjelaskan padaku bagaimana hubungan Sofia dan Nicolas. Jadi aku memilih diam dan mengangguk pelan, kembali menatap air mancur, berharap ia cepat bosan dengan responsku.
“Ada yang aneh denganmu,” ia berujar, kaki berlapiskan pantofel itu kembali mendekat.
“Kurasa kau terlalu dekat,” aku berjalan mengitari air mancur sementara ia mengikuti di belakang, langkahnya tidak lebih cepat dariku.
“Katakan, apa yang terjadi di luar sana?” ia bertanya, tangan menyentuh pinggir kolam selagi ia membuntutiku.
“Kau yang katakan padaku, apa pedulimu?” aku malah balik bertanya, masih mengelilingi kolam air mancur.
“Aku hanya penasaran,” ucapnya.
Merasa kesal terus-terusan berjalan mengitari tempat yang sama, aku menghentikan lajuku dan berbalik untuk memandangnya. “Berhenti berjalan di belakangku,” aku berkata, dua tangan dilipat di depan dada.
Ia tidak berkata apapun dan malah mendekat, tangannya meraih helaian rambut hitamku. “Hentikan aku,” ucapnya pelan. “Kalau kau memang mau aku berhenti, lakukanlah, seperti dulu.”
Aku tidak menjawab, hanya dapat membiarkannya bermain dengan rambutku selagi kutatap wajahnya lama. Badanku mematung, aku bungkam, bisu, tak berani menjawab bahkan sepatah kata pun. Setelah beberapa saat, ia mulai melepaskan jemarinya dari rambut hitamku secara lembut. “Kau memang terlihat seperti Sofia… tapi aku tidak yakin sepenuhnya,” ujarnya, iris birunya dingin dan tidak bersahabat.
Jantungku berdebar kencang ketika ia mengatakannya. Wajahnya tidak berubah selama ia mengamatiku. Mendadak dari belakang sebuah tangan menarik lenganku cepat. “Apa-apaan?!” aku berseru.
“Ikut denganku,” suara Matteo berkata, tajam dan pelan.
Ini waktunya menutup mulutku. Matteo terdengar marah. Sepertinya ia akan mengomeliku semalaman penuh. Jadi aku diam dan mengangguk saja seperti adik penurut. Ia memberi anggukan kecil pada Nicolas sebelum menarikku kencang. Kami berdua sama sekali tidak bertukar kata ketika berjalan melintasi koridor luas mansion D’Angelo. Langkahnya cepat dan aku harus menyamainya tanpa mampu menyuarakan protes.
Ketika sudah membuka pintu kamar, ia mendorongku masuk, membuatku terjerembap. Ia melepaskan tanganku dengan kasar ketika melihatku duduk mengaduh di atas lantai. “Dengar, apa kau bisa untuk sementara waktu tidak pergi jauh dariku?” ia menarik napas dalam, tangan memijit pangkal hidung. “Kita berdua tidak ingin jati dirimu yang sesungguhnya terungkap bukan?”
“Aku ingin pulang,” ucapku pelan.
“Kau tahu kau belum bisa pulang.”
“Ini menakutkan,” untuk pertama kalinya adrenalinku melebur, tergantikan oleh emosi yang menumpuk dari realita. Kenyataannya memang mengerikan. Aku terjebak dalam keluarga mafia yang sewaktu-waktu bisa menembakkan kepalaku hingga pecah tanpa ampun. Air mataku mulai meleleh dan aku menunduk dengan kaki menyentuh lantai dingin. Kugigit bibir bawahku untuk menahan isakan yang memaksa keluar. “Aku takut.”
Matteo berlutut, tangannya menyentuh punggung tanganku lembut, memijatnya perlahan. Matanya memandangku penuh simpati. “Aku mengerti, tapi aku selalu ada di sisimu, oke?”
Aku terisak dan mulai menangis. “Apa kau akan membiarkanku mati jika suatu saat terjadi sesuatu?” tanyaku.
“Tidak akan terjadi apa-apa padamu selama aku masih hidup, hanya itu yang bisa aku janjikan.”
.
.
Pagi itu aku sebuah gaun selutut berwarna hitam kukenakan dengan sepasang sepatu hitam. Rambut ikalku kubiarkan tergerai menyentuh punggung. Aku tidak punya banyak waktu. Padahal Matteo sudah mengingatkan bahwa hari ini akan diadakan pemakaman dan memintaku berangkat bersama dengan mobil lain. Jadi aku berlari keluar, mencari mobil yang akan mengantarkanku. Sial, mereka semua sudah meninggalkanku.
Hampir pasrah, sebuah mobil mendadak berhenti tepat di depan teras mansion. Aku mengangkat alisku. Kaca hitamnya kemudian diturunkan. Dari dalam mobil nampak Nicolas menatapku lamat-lamat. “Masuk,” ucapnya singkat.
Pelan aku membuka pintu penumpang dan duduk tepat di sampingnya. Tapi ia tidak kunjung menjalankan mobil. “Ada masalah?” aku bertanya.
“Sabuk pengamanmu, Sofia.”
“Ah,” benar juga. Agak kikuk, tanganku buru-buru memasang sabuk pengaman.
Setelah itu tangannya menarik tuas persneling dan menginjak gas, mobil sedannya melaju keluar dari pekarangan kediaman D’Angelo. Kami terdiam seribu bahasa selama ia mengendarai mobil dan tidak ada musik yang dimainkan di radio. Jadi aku tidak punya pilihan lain selain termenung, hanyut dalam khayalan belaka selagi mata memandang puluhan hektare rumput hijau yang membentang begitu jauh. Lengkung langit biru juga membentuk cakrawala, menunjukkan pesona pedesaan Italia di musim panas.
Mendadak aku dikejutkan dengan tembakan bertubi-tubi yang datang dari samping kursi pengemudi. Aku menjerit dan menunduk. Nicolas hanya menggeritkan giginya sebelum memacu kecepatan mobil, tangannya dengan mahir memainkan persneling. “Terus menunduk, Sofia, lindungi kepalamu,” suruhnya, suaranya rendah dan tenang. Jadi aku ikuti instruksinya, kepalaku menunduk di atas kedua paha dengan tangan melindungi bagian atas. Dadaku terus berdebar ketakutan.
“Aku akan merusak halaman ayahmu, jadi bersiaplah,”
“Apa maksud–“
Dan ia membelokkan mobil dengan cepat, roda menghajar gundukan tanah dan rerumputan hijau. Tetap terdengar peluru yang ditembakkan berulang kali, mengejar mobil kami dari belakang. Wajah Nicolas mengeras dan urat di tangannya semakin terlihat ketika ia menggenggam persneling kuat-kuat.
“Keparat sialan,” bisiknya berisi sumpah serapah. “Sofia, kau bisa gunakan pistol kan?”
“Hah?!” aku berteriak tidak percaya. Selama dua puluh empat tahun aku hidup, hanya pistol mainan dan senapan airsoft yang pernah kupegang.
“Cepat,” ia membuka laci dashboard. “Kalau kau mau tetap hidup, angkat dan tembakkan pistol itu,”
Tanganku bergetar ketika mengangkat pistol. Aku menatap jeep cherokee yang mengikuti kami dari spion mobil. Napasku tidak beraturan. Panik merayap dalam dadaku. Satu tembakan dari mobil yang memburu kami melesat, meretakkan kaca belakang sedan milik Nicolas yang untungnya anti peluru. Tembakan itu meyakinkanku untuk balik menembakkan amunisi. Jadi dengan cepat aku mengeluarkan sebagian tubuhku dari jendela, tangan memegang erat pistol. Posisi ini memang riskan, tapi aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan.
Ya Tuhan, satu tembakan saja.
Tanpa membuang banyak waktu, aku meletakkan jari pada pelatuk dan menembakkan pistol ke arah roda mobil mereka.
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Aku terkejut bukan main ketika bibirnya maju beberapa senti untuk menyentuh bibirku. Matanya terkatup dan dua tangannya meraih bahuku, memegangku erat. Dengan cepat aku mendorong tubuhnya. “Apa—“ tunggu, tidak, aku tidak boleh gegabah dan harus bertindak sebagai Sofia. Buru-buru kututup mulut. Kupandangi pula gesturnya, bagaimana bola matanya melihatku dengan terkejut. “Aku seharusnya tahu,” ia kemudian mendesis, kedua tangannya mengepal dan ia melempar pandang pada pohon apel di sekitar dengan wajah muram serta gusar. “Seharusnya aku tidak pernah membantumu keluar dari mansion ini, kalau tahu kau akan begini tidak akan lagi kubiarkan kakimu melangkah jauh dari penjagaanku,” Aku terkesiap. Sepotong teka-teki baru mengisi puzzle dalam benakku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” aku mendengus dan kedua tanganku dilipat di depan dada, berusaha menarik penjelasan lain darinya dengan bersandiwara. Aku bahkan tidak tahu apa yang kuperankan. Kekasihnya? Apa mereka dekat? Apa ada oran
Hari berlalu begitu saja sejak kejadian penembakan yang hampir merenggut nyawaku. Terdengar dramatis dan tidak masuk akal? Mungkin. Tetapi sungguh, yang tidak masuk akal adalah bagaimana Nicolas mampu berlaku seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Punggungnya tetap tegak dan wajahnya arogan, bahkan setelah menuturkan kata maaf padaku. Aku menghembuskan napas, langkah menyeret entah kemana di atas ubin keramik lantai empat kediaman D’Angelo. Kutatap celah melengkung di koridor yang kulewati, menatap pemandangan pedesaan Italia di musim panas. Tidak jauh dari mansion berdiri, sebuah danau besar menjadi panorama sisi utara. Aku belum pernah melihatnya. Berada di lantai empat memang membuat jarak jauh sekalipun terlihat oleh mata. Kutatap danau tersebut dan pepohonan yang menaungi, membentuk kanopi. Airnya jernih bak telaga, riaknya ditiup angin sepoi. Angin semilir kemudian menerpa, membuat sebagian helai ikalku berterbangan. Bertepatan dengan angin, sebuah suara ketukan sepatu yang meng
Satu tembakan dari pistol yang kubidik berhasil memecahkan roda jeep tersebut, membuatnya oleng dan menabrak batang pohon ceri liar. Aku kembali memasukkan tubuhku ke dalam mobil dan menaikkan kaca jendela secepat mungkin. “Kau gila?!” mendadak suara Nicolas membuat bahuku meloncat. “Apa masalahmu?” aku mengerutkan kening. “Bagaimana bisa kau mengeluarkan badanmu seperti itu? Ini tidak seperti film yang biasa kau tonton di televisi!” ia berteriak, tangannya memegang erat kemudi. “Kau yang memberikan pistol itu kepadaku!” “Tapi aku tidak memintamu mengorbankan diri!” “Aku berhasil menghentikan mereka, jadi jangan berteriak padaku!” aku balas berseru. “Lalu bagaimana jika kau mati?!” sekarang ia menatapku. Dari balik iris birunya terlihat amarah yang membara. Hidungnya kempas-kempis seiring tarikan dan hembusan napas yang terdengar berat. “Apa kau pernah berpikir sekali saja bagaimana jika mereka berhasil menembakmu? Kau bukan bagian dari keluarga ini,” ia kembali menatap jalanan
Acara makan malam akhirnya berakhir. Kini kakiku yang beralaskan stiletto bergerak bebas di sekitar mansion, mengangumi lantai marmer dan belasan lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit atap. Tapi sejujurnya separuh diriku merasa gelisah dan takut. Perbicangan mereka mengenai usaha-usaha yang tengah mereka jalankan membuatku mual. Penjualan narkoba, perdagangan manusia, judi ilegal, usaha lintah darat, serta banyak lagi hal ilegal lain yang menjadi sumber kekayaan mereka. Rasanya tidak nyaman. Sebagian pria bertubuh tegap dalam balutan setelan berjas necis juga nampak berkeliaran di sekitar mansion. Terkadang beberapa dari mereka melewatiku. Namun hanya beberapa yang berhenti untuk sekedar melempar sapa padaku. Mengetahui fakta bahwa kebanyakan dari mereka kemungkinan besar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh seseorang membuat tengkukku terasa dingin. Jadi aku berjalan lebih cepat untuk menghindar. Langkah kakiku membawaku masuk ke sebuah taman kecil dengan sebuah
Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk. Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat. Pelukannya terasa hangat. Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya. Aku terdiam. Kenapa Sofia h
Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja. “Jadi, kau ada pertanyaan lagi?” Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri. “Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai ak
Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh. Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku
Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi. Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai. Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku