Share

Terjebak Jadi Istri Kedua sang CEO
Terjebak Jadi Istri Kedua sang CEO
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1

PENGHUNI TANAH/BANGUNAN INI ADALAH NASABAH PENUNGGAK DAN DALAM PENGAWASAN KHUSUS PT. BANK KONOHA, TBK. SEGERA SELESAIKAN TUNGGAKAN KREDIT ANDA.

Kepalaku benar-benar sakit setiap melihat plang dari Bank Konoha yang ditempel di pintu utama. Utang yang ditinggalkan Bapak tersisa seratus juta dan harus dilunasi dalam waktu satu bulan setelah selama ini banyak memberi alasan. Pasalnya, beliau menutup semua akses komunikasi setelah menghilang. Di rumah pun hanya ada aku, Ibu, dan adik berusia empat belas tahun.

"Ibu tidak tahu harus minta bantuan ke siapa lagi, bahkan keluarga saja pada abai. Terakhir bulan kemarin waktu Ibu ketemu sama pamanmu, dia malah marah-marah," ucap Ibu dengan raut wajah sedih, "adikmu pun banyak keperluan sekolah. Mungkin sebaiknya berhenti saja supaya bisa bantu—"

"Tidak, Bu. Tania harus tetap sekolah, aku akan berusaha gimana pun caranya!" potongku cepat seolah-olah mudah mencari uang.

Mengapa dunia tidak adil pada kami? Di luar sana, ada kemungkinan Bapak bersenang-senang dengan temannya, entah sudah menikah lagi atau belum. Aku kesal, kenapa harus pergi meninggalkan utang sebanyak itu? Terutama karena rumah dijadikan jaminan.

Aku sudah berusaha mencari Bapak ke beberapa tempat, juga ke rumah teman lamanya. Namun, mereka mengaku tidak tahu. Kabar terakhir yang aku dengar, beliau pindah ke luar kota. Andai saja ada kesempatan bertemu, sudah lama lisan ini melontarkan sumpah serapah untuknya.

"Bu, gimana kalau aku merantau ke kota?"

Ide itu tiba-tiba saja muncul dalam benak. Merantau ke kota adalah pilihan terakhir karena kami tidak memiliki harta benda. Entah bagaimana cara Bapak dulu menyakinkan pihak bank untuk meminjam uang. Aku sama sekali tidak mengerti.

Ah, percuma memikirkan itu semua, apalagi berangan Bapak pulang membawa uang. Rumah ini adalah tempat tinggal yang harus dipertahankan jika tidak ingin berakhir di jalanan. Aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan ketika melihat Ibu hanya diam, mungkin sedang menimbang keputusan.

"Waktu kita hanya sebentar, Sonia. Apa ada jaminan kamu bisa mendapat uang seratus juta jika merantau ke kota? Pikirkan semuanya baik-baik. Selain belum punya tempat tinggal dan pekerjaan, kamu mau minta bantuan siapa di sana? Ibu tidak setuju."

Benar kata Ibu bahwa merantau ke kota tidak menjamin aku segera mendapat uang. Akan tetapi, jika dipikirkan lagi, aku ini seorang gadis yang masih bugar dan lumayan cantik. Mungkin bisa menawarkan diri di sebuah tempat jahannam asal rumah kami tidak dilelang, adik pun bisa melanjutkan pendidikan.

Ini ide konyol, tetapi aku benar-benar buntu. Di usia sekarang, harusnya aku duduk di bangku kuliah bersama teman sebaya, tetapi apa mau dikata jika ekonomi belum stabil? Untuk menikah dengan orang kaya pun rasanya mustahil mengingat aku tidak memiliki kemampuan khusus yang bisa dibanggakan.

"Ibu mau coba pinjam duit ke Bu Endang. Kemarin katanya dapat arisan, mungkin bisa bantu kita. Kamu hangatkan lagi lauk tadi malam untuk kita makan," kata Ibu sebelum melangkah keluar.

Aku hanya menghela napas berat, kemudian mengikuti diam-diam karena khawatir Ibu mendapat penolakan dan hinaan yang tidak seharusnya. Bu Endang memang baik, bahkan beberapa kali memberi kami makanan. Akan tetapi, bukankah hati manusia mudah berubah?

Jalan kaki hingga lima menit, aku melihat Ibu masuk ke rumah besar bernuansa putih itu. Ada dua mobil terparkir di halaman depan. Andai saja Tuhan mau menukar kehidupan kami, aku pasti sangat senang. Entah bagaimana caranya aku bisa bergelimang harta, minimal bisa membeli semua yang selama ini hanya sebatas angan.

"Kalau aku kasih, Bu Siti mau bayar pakai apa? Daun? Uban?" teriak Bu Endang dengan kedua mata menyalak tajam.

Aku menggigit bibir menatap Ibu dari jarak tiga meter. Meskipun tidak terlihat dengan kedua mata, tetapi aku bisa merasakan luka di dalam hatinya. Lihatlah perempuan tua yang telah melahirkan aku ke dunia, dia menunduk seraya meremas daster lusuh yang dikenakan.

"Mau Sonia ke luar kota, kek, mau dia pindah ke luar negeri, belum tentu bisa bayar utang Bu Siti. Sepuluh juta bukan duit sedikit. Ah, tidak, jangankan sepuluh juta, sejuta aja aku ngerasa berat. Kalau cuma lima ratus, mungkin bisa dipertimbangkan!" bentak Bu Endang lagi, entah apa yang Ibu katakan sebelumnya.

"Bu!" panggilku seraya mengikis jarak sebelum Ibu kembali membuka suara, "kita pulang sekarang. Aku udah nemu solusinya!"

Wanita paruh baya itu menoleh lantas menyeka air mata. Ada luka terpancar di sana. Aku memalingkan wajah, sungguh tidak bisa menerima sikap Bu Endang tadi. Namun, sebagai orang miskin, kami seolah-olah tidak punya hak untuk membalas, bahkan sekadar membela diri.

"Kamu yakin, Sonia?" tanya Ibu, suaranya terdengar memilukan. Aku pun mengangguk.

"Halah, Sonia. Jangan sok, deh, kamu. Mau dapat uang dari mana? Kalo aja ada solusi, rumah kamu gak mungkin dikasih plang gitu," sela Bu Endang dengan raut wajah tidak bersalah.

Baru saja ingin membalas, tangan Ibu langsung memberi isyarat. Entahlah, mungkin karena wanita di hadapan kami baik pada saat tertentu. Tidak lama setelah itu, kami meninggalkan halaman rumah Bu Endang dengan perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Betapa sulit menahan air mata. Aku tidak masalah andai dibentak orang lain, tetapi melihat Ibu diperlakukan demikian, hati bagai tersayat sembilu. Ibu wanita kuat, bahkan masih bisa mengulum senyum ketika aku menggerutu kesal karena masalah tadi.

Begitu tiba di rumah, masalah baru kembali datang. Aku mengusap wajah gusar melihat beberapa tetangga berkumpul di sana. Sebagian dari mereka mengeluarkan ponsel, mungkin melakukan siaran langsung untuk dijadikan konten. Mereka menyadari kehadiran kami dan langsung menatap sinis, aku pun membuka suara. "Sudah, Ibu-Ibu. Rumah aku ini bukan tempat wisata, jadi gak usah ngumpul di sini."

"Memalukan. Rumah sampai dikasih plang gini. Kabarnya bapakmu malah nikah lagi, bahagia itu sekarang, sedangkan kamu pusing nyari pinjaman!" celetuk salah seorang di antara mereka.

"Biarin. Lagian gak cuma bapakku, kalian juga pasti punya utang, kan?" balasku tidak mau kalah.

"Punya, tapi gak sebanyak utangmu. Mending rumah jelek kamu ini diserahin sama pihak bank aja ketimbang nyusahin diri sendiri."

Ya Tuhan, kalau aku balas lagi ucapan wanita itu, masalah pasti semakin panjang. Mereka berjumlah lima orang dan kalau aku diserbu, pasti kalah. Kasihan Ibu kalau kami dipermalukan lagi. Terutama karena salah satu dari mereka mengarahkan ponselnya pada kami sambil terus berbicara.

Benar, dia sedang melakukan siaran langsung dengan suara yang seolah-olah menunjukkan rasa simpati. Meminta donasi pada warga Fesbuk? Aku tersenyum miring. Ingin rasanya melempari mereka dengan batu.

"Aku yang akan melunasi utang keluarga Sonia." Sebuah suara mengejutkan kami semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status