Saat makan malam, Kak Jess memberi isyarat bahwa aku harus memulai pembicaraan dengan Mas Al yang hanya diam. Entah kenapa, lelaki itu benar-benar terlihat ingin aku pergi karena dianggap sebagai benalu, mungkin. Tidakkah dia menyadari bahwa aku pun sangat membenci pernikahan ini? Tidak ada kebahagiaan seperti yang diceritakan oleh orang-orang.
"Pak Al tidak makan daging ikan, ya?" tanyaku basa-basi karena di piring lelaki itu hanya ada nasi, ayam, dan telur rebus. Orang kaya dengan lauk sederhana, aku tersenyum dalam hati.
"Panggil Mas Al, Sonia. Kalau manggil kek tadi, kesannya kamu itu bawahan atau anaknya." Kak Jess menegur dan aku hanya bisa menatapnya, ragu.
Setelahnya kembali hening. Lelaki batu itu meninggalkan meja makan begitu saja, mungkin dia marah pada Kak Jess karena memintaku memanggilnya 'Mas'. Entahlah. Aku harus banyak makan malam ini sebelum menjadi babu esok hari.
"Jangan lupa pakai parfum yang aku beri!" Wanita di sampingku pun berdiri dan mengejar suaminya. Ah, tidak, maksudku adalah suami kami.
"Non, maaf, Bibi mau tanya sesuatu." Bi Sumi mendekat, aku pun mengangguk sebagai bentuk persetujuan atas permintaannya. "Sudah lama kenal sama Bu Jessica?"
"Baru-baru ini, Bi. Kenapa, ya?" Aku mengerutkan kening menatap wanita paruh baya itu. Entahlah, hanya saja aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Ah, tidak. Pak Al itu sangat cinta dan sayang sama Bu Jess. Bibi cuma heran karena Bapak mau menikah lagi, padahal sebelumnya mereka beradu mulut setiap kali Bu Jess memintanya."
Aku mengangguk sebagai respons karena enggan membuka suara. Bi Sumi sendiri langsung pergi begitu saja, entah apa yang ada dalam pikirannya. Meskipun seorang asisten rumah tangga, tetapi bukan berarti harus terbuka padanya. Kami belum saling mengenal, aku khawatir ada rencana yang sedang dijalankan dan melibatkan aku.
Bukan mau suuzon, tetapi kasus demikian sedang marak. Misal saja membunuh majikan demi uang atau mungkin hendak menjadikan anak gadisnya sebagai orang ketiga. Ah, memikirkan itu semua hanya mengulur waktu. Aku pun kembali melanjutkan makan sebelum terlambat.
Selesai makan, aku segera ke kamar yang ada diantai dua dan menunggu pesan dari Kak Jess. Katanya, jika Mas Al sudah dalam pengaruh obat, maka aku harus bergegas menuju kamarnya dan merebahkan diri dalam keadaan mati lampu. Aku hanya bisa pasrah dengan harapan segera hamil, melahirkan, dan meninggalkan kehidupan ini.
Ponsel bergetar, sekarang adalah waktunya. Aku melangkah panjang keluar kamar menuju ruangan dengan pintu bernuansa merah muda itu. Saat membukanya, ternyata sangat luas dan harum. Aku tersenyum, betapa beruntungnya Kak Jess menikah dengan Mas Al. Sadar akan tugas, aku segera mematikan lampu dan melepas piyama menyisakan pakaian kurang bahan lalu merebahkan diri di tempat tidur yang besar itu. Nyaman, suhu dalam ruangan begitu dingin, aku memeluk diri sendiri.
"Sayang ...." Suara berat itu berhasil membuatku tersentak.
Dia pasti Mas Al. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sama sekali tidak punya pengalaman dan bagaimana jika dia menyadari hal itu ketika kami sedang dalam penyatuan? Jantung berdegup tidak normal, kedua mata berkedip lebih sering dari biasanya.
Tidak lama kemudian, aku merasakan seseorang menyentu kaki ini pelan sampai ke tangan. Dia menciumnya penuh kelembutan. Aku hanya bisa mematung, napas memburu, sementara jantung seperti ingin melompat.
"Sayang, aku merindukanmu," katanya lagi. Ah, benar, suara itu milik Mas Al, tetapi kali ini terasa berat.
Aku memejamkan mata katika dia menyentuh leher belakang ini dan mengunci pergerakanku. Biar saja semuanya berlalu, aku tidak akan menyesal, semua demi Ibu. Lagi pula, tidak ada jalan untuk lari dari sini. Andaipun berhasil, Kak Jess pasti marah besar dan akan berakibat fatal bagiku sekeluarga. Miris memang.
Hawa dingin yang tadinya menusuk kulit, kini sirna bersamaan dengan suara-suara kecil yang keluar dari mulut kami. Mahkota itu telah hilang, direnggut lelaki yang berstatus suami. Sungguh, aku berharap waktu cepat berlalu setiap kali mendengarnya menyebut nama Kak Jess. Perempuan mana pun pasti merasa cemburu dan sakit hati.
Aku mengucek mata ketika menyadari seseorang menepuk pelan pipi ini. Ternyata itu Kak Jess dan .... Apa? Aku segera bangun, tetapi enggan beranjak begitu menyadari pakaian berada di bawah lantai. Menoleh ke kanan, Mas Al masih terlelap.
"Pakai sekarang sebelum Mas Al bangun!" perintah Kak Jess menyerahkan piyama padaku.
Tanpa menunggu waktu lagi, aku segera mengenakan pakaian itu. Aneh rasanya karena tanpa dalaman. Namun, sebelum pergi, aku menatap dalam pada Kak Jess lantas berkata, "Kak, maafin aku. Tolong jangan benci aku!"
"Tidak, Sonia. Aku malah senang karena rencana kita berhasil. Semalam Mas Al unboxing kamu, kan?"
Aku mengangguk. "Bagaimana dengan darah yang ada diseprei ini, Kak? Kalau Mas Al lihat, pasti tahu kalau yang tidur semalam dengannya itu bukan Kak Jess. Aku takut."
"Kenapa harus takut? Mas Al suami kamu juga. Sudah, sekarang kamu mandi dan sarapan, aku harus bangunkan Mas Al dulu."
"Berhenti di sana!" Suara berat Mas Al mengejutkanku. "Ada yang harus aku sampaikan."
Aku pun menoleh. Lelaki itu telah berada dalam posisi duduk, bersandar pada kepala ranjang. Tatapannya tajam dan lagi-lagi tanpa senyuman. Bibir itu ... aku merasakannya tadi malam.
"Kamu telah mendapatkan tujuanmu. Mulai hari ini, jaga jarak dengan saya dan jangan mengharapkan apa pun. Semoga kamu segera hamil, melahirkan, dan enyah dari hadapanku!"
Kalimat menusuk itu .... Aku hanya bisa menghela napas, kemudian mengangguk sebelum meninggalkan kamar mereka. Sebelum benar-benar masuk kamar sendiri, tangan ini ditarik oleh Bi Sumi. Dia memelukku erat, sekilas.
"Non, sebelum semuanya terlambat, tolong pergi dari sini." Bi Sumi mengatup kedua tangan di depan dada.
"Apa yang terlambat, Bi?"
"Bapak sudah ...?" Aku mengangguk. Wajahnya menyiratkan putus asa. "Ya sudah, kalau Non Sonia butuh bantuan, cari Bibi saja. Bibi sudah lama bekerja di sini. Siapa tahu bisa ngasih solusi."
"Aku nggak paham maksud Bibi apa. Maaf, ya, aku mau mandi dulu." Setelah mengucapkan itu, aku bergegas masuk kamar, tetapi telinga ini masih bisa mendengar suara wanita paruh baya tadi dengan samar. Kalau tidak salah, dia memintaku berhati-hati dengan Kak Jess.
Kenapa? Bukankah Kak Jess itu baik? Dia membantuku melunasi utang meskipun harus menikah dengan suaminya. Mas Al sangat mencintai Kak Jess, bukankah artinya dia adalah istri yang baik? Bi Sumi ada-ada saja, aku malah menaruh curiga padanya.
Ponsel yang tergeletak indah di nakas bergetar. Aku mendekat, meraih, dan membaca pesan dari Kak Jess.
[Makasih, ya, udah mau bantu aku, Sonia. Kalau berhasil, Mas Al pasti takluk sama kamu. Aku bahagia, kamu bahagia, masing-masing.]
Bab 6Ternyata hari yang aku lalui tidak semudah yang dibayangkan. Kami pernah berbagi, tetapi lelaki itu seolah-olah hanya menganggapku hama. Ketika berusaha mendekat karena permintaan Kak Jes, misal saja membuatkan sarapan, dia pasti menolak. Aku pun semakin menyadari bahwa dia hanya mencintai istri pertamanya.Sungguh, aku sama sekali tidak mengharapkan balasan karena suatu hari pasti diusir dari sini setelah melahirkan anak mereka. Rasanya memuakkan, ingin mengamuk sebisa mungkin. Namun, bagaimana dengan Ibu dan Tania? Bahagia mungkin saja menyapa karena kami bisa berkumpul seperti dulu, hanya saja ....Ah, ini berat sekali. Kak Jes terlalu baik mau melunasi semua utang, bahkan memberi jaminan untuk makan sehari-hari keluargaku. Kabarnya Tania juga akan dibiayai, terutama jika aku melahirkan anak laki-laki nanti. Bukankah ini sedikit lebih baik daripada tinggal di rumah bordil? Menghela napas, takdir benar-benar tidak berpihak.Dulu, aku pernah melihat keluarga yang selalu dipenuh
"Jangan mudah percaya sama orang asing. Bisa jadi dia berusaha memanfaatkanmu, Sonia. Mungkin dia bersikap baik, tetapi tidak menutup kemungkinan kamu masuk dalam perangkapnya. Apalagi sekarang, kejujuran hampir punah, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan," lanjut Kak Jes lagi.Aku memutar otak, berusaha mencerna setiap kalimat yang terucap dari mulut wanita cantik itu. Dia melebarkan senyum, tetapi aku tidak bisa membaca pikirannya. Apa maksud kalimat tadi? Apakah secara tidak langsung menuduh Bi Sumi senang memanfaatkan orang lain? Jika iya, mengapa masih bekerja di sini?Sungguh, aku ingin menanyakan semuanya pada Kak Jes, tetapi harus mengurungkan niat ketika melihat wanita paruh baya yang sedang dibicarakan tadi menatap lekat padaku seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu."Jangan melamun, nanti kerasukan." Kak Jes kembali membuka suara. Kami beradu pandang. "Aku ke sini karena mau ngasih kamu sesuatu.""Sesuatu?"Kak Jes mengangguk, kemudian menarik tanganku masuk rumah
"Kak, aku nggak harus tinggal di sini. Sebaiknya aku pulang ke rumah ibuku saja.""Kenapa gitu?""Aku nggak mau hubungan Kak Jes dan Mas Al memburuk karena aku. Aku nggak mau mood Mas Al rusak karena melihat aku. Jika aku hamil, aku pasti mengabari Kak Jes.""Gimana kamu mau hamil kalau nggak tinggal di sini, Sonia? Meskipun kamu hamil anak Mas Al, Mas Al pasti nggak mau mengakui itu darah dagingnya karena bisa aja, kan, kamu tidur sama lelaki lain?""Tidur sama lelaki lain?" Kedua mataku seketika menyipit mendengar tuduhan itu. Apa Kak Jes menyadari apa yang tadi dia ucapkan?"Maksudku bisa jadi Mas Al berprasangka gitu. Udah, kamu di sini aja. Aku gak apa-apa dan gak ngerasa cemburu, kok. Malah senang kalau kalian bisa dekat.""Kenapa?"Kak Jes hanya tersenyum, kemudian meraih camilan yang ada di sampingnya. Pertanyaanku tadi tidak menemukan jawaban. Pun susah menerka-nerka karena raut wajah Kak Jes biasa saja, bahkan bisa tertawa lepas ketika menonton acara komedi.Kata orang, semu
Badan terasa remuk ketika tangan seseorang menyentuh lembut pundak ini. Aku membuka mata, menguceknya berulang kali agar pandangan tidak lagi pudar. Setelah mandi pagi tadi, rupanya aku terlelap. Bagaimana tidak, Mas Al mengamuk tadi malam karena aku tergugu di depan kamar dengan isakan kecil.Dia begitu jahat, padahal apa salahnya menganggap aku ini adik atau mungkin teman? Tidak bisakah dia tersenyum manis barang sebentar? Memang hati ini tidak menaruh harap, tetapi tetap membutuhkan kasih sayang karena bagaimanapun aku adalah seorang perempuan.Sebelum semuanya berubah, aku adalah gadis kecil yang manja. Bapak begitu menyayangi kami. Untuk itu, aku seperti tidak percaya ketika beliau berubah hampir seratus persen. Mengapa? Setiap malam aku akan bertanya kepada bulan alasan Bapak bersikap demikian, tetapi tidak kunjung menemukan jawaban."Sonia!" Suara berat itu menggema dalam kamar membuat tersadar dari lamunan.Mas Al berdiri tanpa ekspresi. Aku segera bangun dan membalas tatapann
"Bi Sumi, bicaralah!" pintaku penuh penekanan.Wanita paruh baya itu menunduk sekilas sebelum kembali menatap mataku. Dia pun menjawab, "Bibi akan cerita kalau Non Sonia percaya sama Bibi.""Kenapa gitu?""Karena ada kemungkinan Non Sonia ngadu ke Bu Jessi.""Paling aku mengawasi saja, Bi."Detik selanjutnya kami terdiam begitu lama. Aku sibuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh Bi Sumi dan mungkin dia sendiri sedang berusaha menyusun kalimat. Entahlah. Pada intinya, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.Andai saja boleh, bukankah aku mendambakan kebebasan? Aku berharap bisa segera pergi dari sini dan hidup sesuai keinginan hati. Akan tetapi, terlalu besar resikonya apabila nanti melarikan diri sesuai saran dari Bi Sumi. Mereka orang kaya dan tentu mudah menemukan aku di mana pun.Hidup miskin memang nasib buruk karena kita terkadang harus masuk dalam perangkap dosa. Bukan hanya itu, keadilan tidak berlaku bagi kami. Dalam sebuah drama yang pernah aku lihat, ada salah satu d
Jam dua siang. Seharusnya aku terlelap karena sejak tadi merasa mengantuk, badan pun terasa pegal. Akan tetapi, pikiran yang bersarang memang sangat mengganggu, apalagi tidak ada lawan bicara.Teman? Aku punya banyak teman, hanya satu yang bisa dipercaya. Sayang sekali karena dia sedang berada di Kalimantan menyusul orang tua tunggalnya. Aku rindu dan kami lost contact entah mengapa. Jika dia tahu beratnya kehidupan yang aku jalani, apakah dia menjatuhkan air mata?Ponsel yang tergeletak di nakas berdering memecah lamunan. Aku segera meraihnya dan segera merekahkan senyuman begitu membaca nama kontak yang tertera. 'Dek Tania'. Dia pasti baru pulang dari sekolah dan merindukan kakaknya yang paling baik dan tidak sombong ini."Halo, Dek?" sapaku dengan nada suara khas orang kegirangan."Kak, Ibu mau bicara, kangen katanya. Aku alihkan ke panggilan video, ya?"Aku mengiakan, kemudian panggilan pun teralihkan. Air mata sejuk seketika meleleh di kedua pipi ini. Ibu dan Tania tersenyum, jel
"Istri kedua? Maksudnya orang ketiga?" timpal yang lain.Aku memaksakan senyum lantas kembali memutar badan demi menatap mereka satu per satu, kecuali Bi Sumi. Mungkin memang sudah terbiasa mengomentari hidup orang hingga dia bisa bersikap biasa saja seolah-olah tidak mengatakan apa pun. Bagaimana menghadapi mereka? Mungkin aku ini dianggap remeh karena terkesan lebih muda, tetapi sebaiknya sadar akan posisinya.Memang benar bahwa aku adalah istri kedua, tetapi calon ibu dari anak Mas Al nanti. Tentu saja dia akan melindungi aku walau hanya di hadapan mereka jika tidak ingin nama baiknya tercoreng. Aku pun bisa membalas apabila mereka mencoba mencari masalah."Aku rasa kalian mau menanyakan sesuatu. Katakan sebelum aku kembali ke kamar!""Kamu istri kedua Pak Al, kan? Bu Jessi yang malang, dia harus berbagi suami karena orang ketiga. Dengar-dengar kamu itu dibantu, tapi malah memanfaatkan kelemahannya. Mentang-mentang mereka belum punya keturunan, kamu malah merebut suaminya. Gadis ti
Aku membawa nampan berisi nasi yang sudah ada lauknya sesuai pilihan Mas Al sebelum Dea bertingkah, segelas air pun harus ada atau dia akan tersedak. Tiba di depan pintu yang setengah terbuka, jantung tiba-tiba berdegup kencang, hati diselimuti rasa takut, berbagai prasangka begitu mengganggu. "Letakkan di situ!" perintahnya menunjuk meja kecil dengan dagu. Kedua matanya fokus menatap laptop. Entah apa yang sedang dia lakukan melihat tangan kekar itu tidak bergerak sama sekali. "Kalau gitu aku—" "Duduk. Saya mau tanya sesuatu sama kamu!" Aku menuruti perintah lelaki itu seraya memutar otak berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan yang terlintas dalam hati. Bagaimana jika Mas Al membahas masalah kemarin, akankah dia bisa memaklumi? Tidak. Dia tidak harus peduli padaku. Lelaki bertubuh tinggi itu hanya mencintai satu wanita seumur hidupnya. Apa yang bisa diharapkan selain amarah? Bahkan aku bisa merasakan bagaimana darah itu mendidih dalam dirinya. Beberapa detik kemudian,
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng