Jam dua siang. Seharusnya aku terlelap karena sejak tadi merasa mengantuk, badan pun terasa pegal. Akan tetapi, pikiran yang bersarang memang sangat mengganggu, apalagi tidak ada lawan bicara.Teman? Aku punya banyak teman, hanya satu yang bisa dipercaya. Sayang sekali karena dia sedang berada di Kalimantan menyusul orang tua tunggalnya. Aku rindu dan kami lost contact entah mengapa. Jika dia tahu beratnya kehidupan yang aku jalani, apakah dia menjatuhkan air mata?Ponsel yang tergeletak di nakas berdering memecah lamunan. Aku segera meraihnya dan segera merekahkan senyuman begitu membaca nama kontak yang tertera. 'Dek Tania'. Dia pasti baru pulang dari sekolah dan merindukan kakaknya yang paling baik dan tidak sombong ini."Halo, Dek?" sapaku dengan nada suara khas orang kegirangan."Kak, Ibu mau bicara, kangen katanya. Aku alihkan ke panggilan video, ya?"Aku mengiakan, kemudian panggilan pun teralihkan. Air mata sejuk seketika meleleh di kedua pipi ini. Ibu dan Tania tersenyum, jel
"Istri kedua? Maksudnya orang ketiga?" timpal yang lain.Aku memaksakan senyum lantas kembali memutar badan demi menatap mereka satu per satu, kecuali Bi Sumi. Mungkin memang sudah terbiasa mengomentari hidup orang hingga dia bisa bersikap biasa saja seolah-olah tidak mengatakan apa pun. Bagaimana menghadapi mereka? Mungkin aku ini dianggap remeh karena terkesan lebih muda, tetapi sebaiknya sadar akan posisinya.Memang benar bahwa aku adalah istri kedua, tetapi calon ibu dari anak Mas Al nanti. Tentu saja dia akan melindungi aku walau hanya di hadapan mereka jika tidak ingin nama baiknya tercoreng. Aku pun bisa membalas apabila mereka mencoba mencari masalah."Aku rasa kalian mau menanyakan sesuatu. Katakan sebelum aku kembali ke kamar!""Kamu istri kedua Pak Al, kan? Bu Jessi yang malang, dia harus berbagi suami karena orang ketiga. Dengar-dengar kamu itu dibantu, tapi malah memanfaatkan kelemahannya. Mentang-mentang mereka belum punya keturunan, kamu malah merebut suaminya. Gadis ti
Aku membawa nampan berisi nasi yang sudah ada lauknya sesuai pilihan Mas Al sebelum Dea bertingkah, segelas air pun harus ada atau dia akan tersedak. Tiba di depan pintu yang setengah terbuka, jantung tiba-tiba berdegup kencang, hati diselimuti rasa takut, berbagai prasangka begitu mengganggu. "Letakkan di situ!" perintahnya menunjuk meja kecil dengan dagu. Kedua matanya fokus menatap laptop. Entah apa yang sedang dia lakukan melihat tangan kekar itu tidak bergerak sama sekali. "Kalau gitu aku—" "Duduk. Saya mau tanya sesuatu sama kamu!" Aku menuruti perintah lelaki itu seraya memutar otak berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan yang terlintas dalam hati. Bagaimana jika Mas Al membahas masalah kemarin, akankah dia bisa memaklumi? Tidak. Dia tidak harus peduli padaku. Lelaki bertubuh tinggi itu hanya mencintai satu wanita seumur hidupnya. Apa yang bisa diharapkan selain amarah? Bahkan aku bisa merasakan bagaimana darah itu mendidih dalam dirinya. Beberapa detik kemudian,
Bab 14"Sonia, kamu di mana?" Sekali lagi Mas Al memanggil. Aku segera menyimpan foto tadi ke dalam kotak, kemudian memindahkan pot sekuat tenaga. Berat memang, tetapi tidak ada jalan lain.Setelah beres, aku segera menoleh ke belakang dengan harapan masih sendirian di taman. Alhamdulillah, Tuhan masih memberi pertolongan. Aku sendirian dan entah di mana lelaki jangkung itu. Kenapa pula dia mencari, padahal seolah-olah muak dekat dengan wanita lain, kecuali Kak Jes?"Sonia!""Mas Al!"Bersamaan, seperti diberi aba-aba. Aku mendekat padanya yang menatap dingin. Dia mengikis jarak di antara kami. "Kamu ngapain di sini?""Nggak, Pak. Tadi aku cuma ngerasa jenuh aja.""Malam-malam begini ngerasa jenuh?""Iya, Pak. Tamannya terang banget kek siang, jadi aku suka melihat tanaman di sini." Semoga saja Mas Al percaya."Kenapa harus ke taman setelah makan malam dan bukannya tidur?""Sebelum kita menikah, tidak ada peraturan aku hanya boleh ke taman pagi atau sore aja, Pak. Mau aku tidur di sin
"Siapa pengirim pesan ini? Apa mungkin Dea?" tanyaku pada diri sendiri sambil terus membaca ulang kalimat tadi.Sebuah pesan berisi ancaman. Di dunia ini hanya beberapa orang yang tahu aku adalah istri kedua, kurang dari sepuluh manusia melihat kelakuanku sehari-hari. Selain Dea, tidak ada yang seolah-olah membenci diriku. Bagaimana mungkin itu adalah Mas Al?Meski begitu, aku tidak boleh merasa takut. Memangnya apa yang sudah aku lakukan? Orang itu pun aku pastikan mustahil tertawa di atas penderitaanku, siapa pun dia.Sial. Nomor asing itu kembali mengirim pesan.[Jangan merasa bangga karena menikah dengan lelaki itu. Dia sama sekali tidak mencintaimu. Aku mengenal dia lebih dari siapa pun. Jessica yang bodoh malah membiarkannya menikah lagi. Aku yakin suatu hari dia pasti menyesali keputusannya meskipun punya anak hasil dari berbagi. Dan kamu, jangan pernah berpikir bisa merebut lelaki itu. Mengerti?!]Aneh. Orang itu mengenal Kak Jes juga. Akan tetapi, hanya menyebut nama. Hal ini
"Sayangku Jessica ...." Ucapan itu keluar dari bibir Mas Al ketika dia baru saja tiba di rumah. Aku yang sedang menonton televisi memilih pura-pura tidak mendengar, apalagi melihat mereka.Sepertinya kebahagiaan Mas Al hanya ada pada satu wanita. Betapa beruntungnya Kak Jes dan semoga kelak aku mendapat lelaki yang jauh lebih baik. Jujur saja, tentu ada perasaan iri sebagai perempuan dan sedikit sekali cemburu sebagai seorang istri.Mas Al kembali berkata cinta setelah beberapa hari ini hanya bersikap dingin pada kami semua. Terusik, aku pun diam-diam menoleh dan melihat matanya menatap penuh kerinduan. Tentu karena dia sedang bersama wanita yang begitu dia inginkan selamanya.Tiba-tiba aku merasa mual ketika Kak Jes menyemprot parfum yang dia bawa tadi ke bahu Mas Al. Entah kenapa, mungkin karena aromanya begitu menusuk indra penciuman. Sebelum mereka menyadari dan menganggap diri ini sangat kampungan, aku segera menjauh menuju kamar mandi tamu.Rasanya persendian ini lemas, keringat
"Kamu sakit, Dek?" tanya Mas Al pada Kak Jes ketika kami baru saja tiba di rumah."Nggak, Mas. Aku nganter Sonia. Bi Sumi mungkin ngira aku yang sakit."Raut wajah Mas Al berubah dingin lalu kembali melempar pertanyaan. "Apa dia baik-baik aja?""Tidak, Mas. Dia tidak baik-baik aja." Kak Jes menjawab sambil melebarkan senyum. "Selamat, Mas.""Maksudmu?""Sonia mengandung.""Oh, syukurlah. Jadi, dia bisa segera pergi dari sini nanti dan aku tidak perlu repot sama keinginanmu lagi."Jujur saja, respons Mas Al teramat melukai hati. Aku tidak mengharapkan apa pun selain melihat dia bahagia karena akan memiliki anak. Namun, sepertinya memang percuma. Aku hanya menghela napas berat, kemudian pamit pada Kak Jes untuk masuk kamar.Hari ini terasa melelahkan, apalagi Mas Al ada di rumah. Aku mengira setiap hari dia akan sibuk dengan pekerjaan di kantor, tetapi kenapa dia bisa pulang sebelum sore? Ah, ya, mungkin Bi Sumi memberi kabar begitu tahu kami ke klinik tadi.Mengingat tentang Bi Sumi, w
PoV 3 _______________ "Pokoknya kita harus pake aturan lama!" tegas Albian pada istrinya yang memasang raut wajah kesal. "Nggak, Mas. Aku gak mau!" Albian mengusap wajah kasar. Bagaimana tidak, istrinya semakin hari semakin susah diatur. Dulu dia selalu ingin tinggal terpisah dari orang tua, Albian menuruti meskipun harus berdebat panjang dengan keluarganya. Setelah itu mengatakan bahwa dia tidak ingin rumah yang terlalu mewah, Albian mengiakan. Lama kelamaan, Jessica memecat para pelayan yang ikut dengan mereka, menyisakan supir, Bi Sumi dan dua orang lainnya. Bertahun-tahun Albian mengalah karena begitu cinta pada istrinya, bahkan tidak tahu-menahu tentang CCTV di rumah. Sekarang dia ingin semua ART memakai seragam khusus seperti saat dia tinggal di rumah orang tuanya, tetapi Jessica menolak dengan tegas. Ketika ditanyai alasan, dia hanya diam. "Kenapa, Sayang? Toh, kita mampu ngasih mereka seragam atau banyakin pelayan di rumah. Dengan begitu, kamu gak harus ngurus taman
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng