"Jangan mudah percaya sama orang asing. Bisa jadi dia berusaha memanfaatkanmu, Sonia. Mungkin dia bersikap baik, tetapi tidak menutup kemungkinan kamu masuk dalam perangkapnya. Apalagi sekarang, kejujuran hampir punah, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan," lanjut Kak Jes lagi.
Aku memutar otak, berusaha mencerna setiap kalimat yang terucap dari mulut wanita cantik itu. Dia melebarkan senyum, tetapi aku tidak bisa membaca pikirannya. Apa maksud kalimat tadi? Apakah secara tidak langsung menuduh Bi Sumi senang memanfaatkan orang lain? Jika iya, mengapa masih bekerja di sini? Sungguh, aku ingin menanyakan semuanya pada Kak Jes, tetapi harus mengurungkan niat ketika melihat wanita paruh baya yang sedang dibicarakan tadi menatap lekat padaku seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu. "Jangan melamun, nanti kerasukan." Kak Jes kembali membuka suara. Kami beradu pandang. "Aku ke sini karena mau ngasih kamu sesuatu." "Sesuatu?" Kak Jes mengangguk, kemudian menarik tanganku masuk rumah dan berhenti tepat di ruang keluarga. "Semua hadiah ini untukmu." "Tapi kenapa, Kak?" "Sudah, jangan banyak tanya. Malam nanti kamu pakai salah satu baju itu. Aku juga beli kosmetik dan skincare, jangan disia-siakan. Mas Al harus bisa melirikmu." "Kak, perjanjian kita adalah aku melahirkan anak untukmu, bukan mau menjadi orang ketiga sungguhan. Aku nggak peduli sama sikap Mas Al yang tak acuh." Wanita itu memutar bola mata malas. "Ikuti saja perintahku, Sonia!" Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering. Entah kenapa aku ikut terusik meskipun tidak membaca nama kontak yang tertera. Wanita itu menampilkan air muka terkejut, kemudian bergegas keluar rumah. Kedua kaki menuntun diri ini untuk mendekat. Aku bingung pada diri sendiri karena begitu penasaran dengan pembicaraan mereka. Kak Jes berdiri di depan rumah dan aku menguping di balik pintu yang sedikit terbuka. Entah apa yang penelepon itu katakan. "Percaya sama aku, Sayang. Semua akan baik-baik aja. Gadis itu pasti menuruti semua keinginanku." Ucapan Kak Jes tentu saja berhasil membuatku terkejut. Apa gadis yang dimaksud adalah aku? Lantas rencana apa yang sedang dia susun dengan Mas Al? Entahlah, aku semakin bingung karena sikap Kak Jes selama ini sama sekali tidak mencurigakan. Tentang dia yang tiba-tiba tahu tentang utang Bapak, itu hal biasa karena dia sedang mencari gadis untuk melahirkan anak suaminya. "Iya, iya. Setelah itu kita lari ke Amerika dan hidup bahagia. Aku juga nggak sabar melihat kehancurannya setiap mengingat kejadian beberapa tahun silam. Semesta sepertinya berpihak, aku merasa semua rencana kita berjalan dengan baik." Lagi, ucapan Kak Jes semakin menambah rasa penasaran. Baru saja merogoh kantong untuk mengambil ponsel karena ingin merekam suara, tiba-tiba tanganku ditarik kasar untuk menjauh dari tempat itu. Rupanya Bi Sumi. Kami berhenti di ruang keluarga. "Ambil barang-barang itu dan masuk kamar, Non. Jangan biasakan menguping di rumah ini karena kamu tidak tahu di mana CCTV diletakkan Bu Jessi." "CCTV?" "Iya, makanya Bibi tidak berani bertindak di sini. Hanya ada satu tempat yang aman dari pantauannya. Untuk itu, berhati-hatilah." "Boleh aku memastikan sesuatu, Bi?" Dia mengangguk. "Sebenarnya Bibi ini punya rencana apa?" "Suatu hari Non Sonia akan tahu," jawab Bi Sumi memalingkan wajahnya, "kamu hanya harus percaya sama Bibi, maka semua akan baik-baik aja. Minggu depan, dengan atau tanpa keinginanmu, Bibi akan coba membawa keponakan Bibi. Namanya Dewi." Tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Bi Sumi segera pergi, sementara aku langsung mengambil semua hadiah itu hendak membawanya ke kamar. Akan tetapi, sebelum mengambil paper bag terakhir, suara Kak Jes kembali mengusik indra pendengaran. "Sonia, besok aku harus melakukan perjalanan ke luar kota dan kamu di sini aja sama Mas Al. Siapkan pakaian untuknya dan jangan lupa menemaninya sarapan. Sekarang aku mau ke kantor Mas Al dulu untuk meminta izin." Aku mengangguk, kemudian meninggalkan ruangan itu dengan hati yang diselimuti banyak pertanyaan. Meskipun sekilas, tetapi aku bisa melihat Kak Jes tersenyum miring. Sekali lagi, kenapa? Apa keputusanku melahirkan anak untuk mereka adalah sebuah kesalahan? Entahlah, aku tidak banyak tahu tentang keluarga ini. Jika Kak Jes benar-benar menjadikanku umpan atau semacamnya, maka kupastikan dia hidup dalam penyesalan. Namun, sebenarnya apa yang sedang direncanakan Bi Sumi? Mengapa tidak memberitahuku semuanya sekarang? Malam telah tiba. Kami bertiga sudah duduk di meja makan. Aku tidak tahu daging apa ini, tetapi rasanya sangat empuk dan enak. Selain itu, ada ikan salmon. Nikmat, ini kali pertama dalam hidup karena aku berasal dari keluarga miskin. Biasanya makanan paling enak adalah ayam goreng meskipun tidak pakai sambal, hanya ditaburi sedikit penyedap rasa. "Mas, kok, diem aja?" Kak Jes membuka pembicaraan. "Memangnya mau bahas apa?" "Kamu lihat Sonia. Dia pakai baju bagus, lipstick-nya natural dan itu membuat wajahnya segar. Parfumnya juga kek beda, deh." Aku melipat bibir. Apa maksud Kak Jes? "Penampilan Sonia berubah atau tidak, itu sama sekali nggak penting. Lagi pula, baju dan apa pun yang dia pakai sekarang pasti karena keinginanmu, kan?" balas Mas Al tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan. Lelaki itu terlihat sangat menikmati masakan istrinya. Aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Setelah makan malam selesai, aku melihat lelaki itu tersenyum lembut dan menarik tangan Kak Jes menuju ruang keluarga, mungkin ingin menonton acara TV. Aku hanya mengamati, menelan duri karena kesalahan sendiri. Andai tidak ada utang yang ditinggalkan oleh Bapak, mungkin aku juga bisa hidup bahagia dan diratukan oleh lelaki yang tulus mencintaiku. "Sonia, ke sini sebentar!" panggil Kak Jes. Aku menurut, melangkah cepat menuju sumber suara. Di sofa warna krem itu, Mas Al duduk bersama istri tercintanya. Dia terlihat bahagia dan tidak sedingin saat di meja makan, tetapi pandangan matanya tetap di satu titik yang sama. Ragu, aku mendekat. "Iya, Kak?" "Duduklah, kita nonton bertiga." "Sayang!" tegur Mas Al menatap tidak suka. Lagi, aku menghela napas berat lantas menolak ajakan tadi dengan alasan lebih suka membaca novel, padahal tidak ada buku di dalam kamar. Kak Jes tertawa kecil, aku kembali beralasan bahwa maksudnya adalah novel online. "Pokoknya kamu harus ikut nonton!" pinta Kak Jes lagi dan kali ini penuh penekanan. Mas Al tiba-tiba berdiri. "Baiklah, kalau kamu bersikeras mengajak gadis itu menonton, silakan. Aku mau ke kamar duluan, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan malam ini." "Kok, gitu, Mas?" Kak Jes menarik tangan Mas Al, tetapi lelaki itu menepis dengan lembut, kemudian melangkah panjang meninggalkan kami. Bagaimana rasanya dianggap sebagai orang ketiga serta merusak kebahagiaan mereka? Mungkin jika anak ini lahir, Mas Al pun tidak akan menyukainya."Kak, aku nggak harus tinggal di sini. Sebaiknya aku pulang ke rumah ibuku saja.""Kenapa gitu?""Aku nggak mau hubungan Kak Jes dan Mas Al memburuk karena aku. Aku nggak mau mood Mas Al rusak karena melihat aku. Jika aku hamil, aku pasti mengabari Kak Jes.""Gimana kamu mau hamil kalau nggak tinggal di sini, Sonia? Meskipun kamu hamil anak Mas Al, Mas Al pasti nggak mau mengakui itu darah dagingnya karena bisa aja, kan, kamu tidur sama lelaki lain?""Tidur sama lelaki lain?" Kedua mataku seketika menyipit mendengar tuduhan itu. Apa Kak Jes menyadari apa yang tadi dia ucapkan?"Maksudku bisa jadi Mas Al berprasangka gitu. Udah, kamu di sini aja. Aku gak apa-apa dan gak ngerasa cemburu, kok. Malah senang kalau kalian bisa dekat.""Kenapa?"Kak Jes hanya tersenyum, kemudian meraih camilan yang ada di sampingnya. Pertanyaanku tadi tidak menemukan jawaban. Pun susah menerka-nerka karena raut wajah Kak Jes biasa saja, bahkan bisa tertawa lepas ketika menonton acara komedi.Kata orang, semu
Badan terasa remuk ketika tangan seseorang menyentuh lembut pundak ini. Aku membuka mata, menguceknya berulang kali agar pandangan tidak lagi pudar. Setelah mandi pagi tadi, rupanya aku terlelap. Bagaimana tidak, Mas Al mengamuk tadi malam karena aku tergugu di depan kamar dengan isakan kecil.Dia begitu jahat, padahal apa salahnya menganggap aku ini adik atau mungkin teman? Tidak bisakah dia tersenyum manis barang sebentar? Memang hati ini tidak menaruh harap, tetapi tetap membutuhkan kasih sayang karena bagaimanapun aku adalah seorang perempuan.Sebelum semuanya berubah, aku adalah gadis kecil yang manja. Bapak begitu menyayangi kami. Untuk itu, aku seperti tidak percaya ketika beliau berubah hampir seratus persen. Mengapa? Setiap malam aku akan bertanya kepada bulan alasan Bapak bersikap demikian, tetapi tidak kunjung menemukan jawaban."Sonia!" Suara berat itu menggema dalam kamar membuat tersadar dari lamunan.Mas Al berdiri tanpa ekspresi. Aku segera bangun dan membalas tatapann
"Bi Sumi, bicaralah!" pintaku penuh penekanan.Wanita paruh baya itu menunduk sekilas sebelum kembali menatap mataku. Dia pun menjawab, "Bibi akan cerita kalau Non Sonia percaya sama Bibi.""Kenapa gitu?""Karena ada kemungkinan Non Sonia ngadu ke Bu Jessi.""Paling aku mengawasi saja, Bi."Detik selanjutnya kami terdiam begitu lama. Aku sibuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh Bi Sumi dan mungkin dia sendiri sedang berusaha menyusun kalimat. Entahlah. Pada intinya, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.Andai saja boleh, bukankah aku mendambakan kebebasan? Aku berharap bisa segera pergi dari sini dan hidup sesuai keinginan hati. Akan tetapi, terlalu besar resikonya apabila nanti melarikan diri sesuai saran dari Bi Sumi. Mereka orang kaya dan tentu mudah menemukan aku di mana pun.Hidup miskin memang nasib buruk karena kita terkadang harus masuk dalam perangkap dosa. Bukan hanya itu, keadilan tidak berlaku bagi kami. Dalam sebuah drama yang pernah aku lihat, ada salah satu d
Jam dua siang. Seharusnya aku terlelap karena sejak tadi merasa mengantuk, badan pun terasa pegal. Akan tetapi, pikiran yang bersarang memang sangat mengganggu, apalagi tidak ada lawan bicara.Teman? Aku punya banyak teman, hanya satu yang bisa dipercaya. Sayang sekali karena dia sedang berada di Kalimantan menyusul orang tua tunggalnya. Aku rindu dan kami lost contact entah mengapa. Jika dia tahu beratnya kehidupan yang aku jalani, apakah dia menjatuhkan air mata?Ponsel yang tergeletak di nakas berdering memecah lamunan. Aku segera meraihnya dan segera merekahkan senyuman begitu membaca nama kontak yang tertera. 'Dek Tania'. Dia pasti baru pulang dari sekolah dan merindukan kakaknya yang paling baik dan tidak sombong ini."Halo, Dek?" sapaku dengan nada suara khas orang kegirangan."Kak, Ibu mau bicara, kangen katanya. Aku alihkan ke panggilan video, ya?"Aku mengiakan, kemudian panggilan pun teralihkan. Air mata sejuk seketika meleleh di kedua pipi ini. Ibu dan Tania tersenyum, jel
"Istri kedua? Maksudnya orang ketiga?" timpal yang lain.Aku memaksakan senyum lantas kembali memutar badan demi menatap mereka satu per satu, kecuali Bi Sumi. Mungkin memang sudah terbiasa mengomentari hidup orang hingga dia bisa bersikap biasa saja seolah-olah tidak mengatakan apa pun. Bagaimana menghadapi mereka? Mungkin aku ini dianggap remeh karena terkesan lebih muda, tetapi sebaiknya sadar akan posisinya.Memang benar bahwa aku adalah istri kedua, tetapi calon ibu dari anak Mas Al nanti. Tentu saja dia akan melindungi aku walau hanya di hadapan mereka jika tidak ingin nama baiknya tercoreng. Aku pun bisa membalas apabila mereka mencoba mencari masalah."Aku rasa kalian mau menanyakan sesuatu. Katakan sebelum aku kembali ke kamar!""Kamu istri kedua Pak Al, kan? Bu Jessi yang malang, dia harus berbagi suami karena orang ketiga. Dengar-dengar kamu itu dibantu, tapi malah memanfaatkan kelemahannya. Mentang-mentang mereka belum punya keturunan, kamu malah merebut suaminya. Gadis ti
Aku membawa nampan berisi nasi yang sudah ada lauknya sesuai pilihan Mas Al sebelum Dea bertingkah, segelas air pun harus ada atau dia akan tersedak. Tiba di depan pintu yang setengah terbuka, jantung tiba-tiba berdegup kencang, hati diselimuti rasa takut, berbagai prasangka begitu mengganggu. "Letakkan di situ!" perintahnya menunjuk meja kecil dengan dagu. Kedua matanya fokus menatap laptop. Entah apa yang sedang dia lakukan melihat tangan kekar itu tidak bergerak sama sekali. "Kalau gitu aku—" "Duduk. Saya mau tanya sesuatu sama kamu!" Aku menuruti perintah lelaki itu seraya memutar otak berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan yang terlintas dalam hati. Bagaimana jika Mas Al membahas masalah kemarin, akankah dia bisa memaklumi? Tidak. Dia tidak harus peduli padaku. Lelaki bertubuh tinggi itu hanya mencintai satu wanita seumur hidupnya. Apa yang bisa diharapkan selain amarah? Bahkan aku bisa merasakan bagaimana darah itu mendidih dalam dirinya. Beberapa detik kemudian,
Bab 14"Sonia, kamu di mana?" Sekali lagi Mas Al memanggil. Aku segera menyimpan foto tadi ke dalam kotak, kemudian memindahkan pot sekuat tenaga. Berat memang, tetapi tidak ada jalan lain.Setelah beres, aku segera menoleh ke belakang dengan harapan masih sendirian di taman. Alhamdulillah, Tuhan masih memberi pertolongan. Aku sendirian dan entah di mana lelaki jangkung itu. Kenapa pula dia mencari, padahal seolah-olah muak dekat dengan wanita lain, kecuali Kak Jes?"Sonia!""Mas Al!"Bersamaan, seperti diberi aba-aba. Aku mendekat padanya yang menatap dingin. Dia mengikis jarak di antara kami. "Kamu ngapain di sini?""Nggak, Pak. Tadi aku cuma ngerasa jenuh aja.""Malam-malam begini ngerasa jenuh?""Iya, Pak. Tamannya terang banget kek siang, jadi aku suka melihat tanaman di sini." Semoga saja Mas Al percaya."Kenapa harus ke taman setelah makan malam dan bukannya tidur?""Sebelum kita menikah, tidak ada peraturan aku hanya boleh ke taman pagi atau sore aja, Pak. Mau aku tidur di sin
"Siapa pengirim pesan ini? Apa mungkin Dea?" tanyaku pada diri sendiri sambil terus membaca ulang kalimat tadi.Sebuah pesan berisi ancaman. Di dunia ini hanya beberapa orang yang tahu aku adalah istri kedua, kurang dari sepuluh manusia melihat kelakuanku sehari-hari. Selain Dea, tidak ada yang seolah-olah membenci diriku. Bagaimana mungkin itu adalah Mas Al?Meski begitu, aku tidak boleh merasa takut. Memangnya apa yang sudah aku lakukan? Orang itu pun aku pastikan mustahil tertawa di atas penderitaanku, siapa pun dia.Sial. Nomor asing itu kembali mengirim pesan.[Jangan merasa bangga karena menikah dengan lelaki itu. Dia sama sekali tidak mencintaimu. Aku mengenal dia lebih dari siapa pun. Jessica yang bodoh malah membiarkannya menikah lagi. Aku yakin suatu hari dia pasti menyesali keputusannya meskipun punya anak hasil dari berbagi. Dan kamu, jangan pernah berpikir bisa merebut lelaki itu. Mengerti?!]Aneh. Orang itu mengenal Kak Jes juga. Akan tetapi, hanya menyebut nama. Hal ini
Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te
Suara tawa Farhan dan Alia menggema di halaman belakang rumah besar itu. Farhan, yang kini berusia tujuh tahun, tengah mengejar adiknya yang baru belajar berjalan dengan langkah kecil-kecil yang lucu. Sonia memandangi mereka dari teras sambil menyeduh teh hangat, senyum lembut menghiasi wajahnya."Mereka tumbuh begitu cepat," gumamnya.Albian muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan kecil berisi kue-kue kering. "Dan mereka semakin mirip dengan ibunya," katanya sambil duduk di samping Sonia.Sonia tersenyum sambil mengambil satu kue. "Kalau Farhan, mungkin. Tapi Alia jelas memiliki sikap keras kepala ayahnya.""Hati-hati, itu terdengar seperti kritik," goda Albian sambil tersenyum lebar."Tidak, itu pujian terselubung, Mas," balas Sonia sambil menahan tawa.Malam harinya setelah anak-anak tidur, Sonia dan Albian duduk bersama di ruang keluarga. Albian mengambil map kecil dari meja."Aku punya ide," katanya sambil membuka map itu dan menunjukkan brosur liburan, "bagaimana kalau kit
Cahaya mentari pagi menyusup ke dalam ruang kerja Sonia, yang dipenuhi dengan peta, dokumen, dan laporan. Sebagai inisiator utama proyek amal keluarga, Sonia telah membawa perubahan besar yang awalnya hanya bertujuan lokal, kini berkembang hingga ke tingkat internasional."Ibu, ini laporan dari cabang baru di Kamboja," kata seorang staf muda, menyerahkan sebuah dokumen kepada Sonia.Sonia menerima laporan itu dengan senyuman. "Terima kasih, Lisa. Pastikan mereka mendapatkan semua dukungan yang mereka butuhkan. Kita ingin hasil ini berkelanjutan, bukan hanya pencapaian sementara."Lisa mengangguk sebelum bergegas pergi. Proyek amal yang dimulai Sonia kini mencakup pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan di berbagai negara berkembang. Tantangannya semakin besar, tetapi semangat Sonia tetap menyala.Sungguh dia tidak menduga akan menjadi seorang wanita karir, padahal dulu hanya dipandang sebelah mata. Besar kemungkinan memang itu adalah buah dari kesabarannya. Sonia harus lebih
Angin musim gugur berembus lembut di taman belakang rumah besar keluarga Albian. Hari itu, keluarga besar mengadakan pertemuan santai untuk merayakan keberhasilan proyek amal yang baru saja selesai. Proyek tersebut tidak hanya membantu banyak orang, tetapi juga memperkuat citra keluarga di mata publik. Sonia, yang menjadi ujung tombak proyek itu, kini menjadi pusat perhatian.“Sonia, kamu benar-benar luar biasa,” kata salah satu bibi dari pihak Albian, Bu Gertrude. Dia dikenal sebagai salah satu anggota keluarga yang paling sulit memuji orang lain, “proyek ini berjalan sangat baik, dan aku yakin kontribusimu yang membuatnya berhasil.”Sonia tersenyum hangat, sedikit tersipu. “Terima kasih, Tante Gertrude. Tapi ini semua hasil kerja tim. Aku hanya melakukan bagian kecil.”Mertua, yang duduk tidak jauh dari mereka, hanya mengangguk kecil sambil menyesap tehnya. Meskipun dia tidak langsung memuji, tatapan matanya tidak lagi penuh keraguan seperti sebelumnya.“Sonia memang pekerja keras,”