Share

Bab 4

Aku menelan saliva. Pertanyaan macam apa itu? Apakah aku ini dianggap perempuan rendahan yang bisa dengan mudah termakan bujuk rayu lelaki? Ah, andai saja bukan karena utang, aku pasti menolak menikahi lelaki beristri, terutama dengan alasan sekadar melahirkan anak.

Sungguh, aku sama sekali tidak peduli lelaki di hadapanku adalah orang kaya yang tampan dan terlihat gagah, ini masalah hati. Sejak dulu, aku berharap menikah dengan seseorang yang cintanya setara agar bisa menerima aku apa adanya dan setelah tua nanti, cinta di antara kami tidak pernah memudar. Namun, harapan telah hirap sesaat setelah aku menginjakkan kaki di rumah mewah ini.

"Mas, kenapa kamu nanya gitu ke Sonia?" tanya Kak Jes dengan nada tidak suka.

"Sonia!" Bukannya menjawab, Mas Al justru menyebut namaku penuh penekanan seolah-olah menuntut jawaban.

Aku mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya tidak ada niat menyukai—"

"Bagus, pegang kata-katamu dan ingat satu hal, aku mau menikahimu karena mencintai istriku. Hanya dia yang mengisi ruang hati ini, tidak untuk perempuan lain meskipun nanti mengandung anakku, termasuk kamu. Ingat pula batasanmu dan jangan pernah mengharapkan perhatian dariku!"

"Mas, kamu serius mengabulkan keinginanku?" tanya Kak Jes dengan suara gemetar. Aku bisa melihat kedua matanya memancarkan kebahagiaan. Sementara itu, Mas Al mengangguk tanpa ekspresi, tetapi membawa sang istri dalam pelukan lalu mengelus lembut kepalanya.

Aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Sekali lagi aku berandai dengan penuh harap bahwa setelah utang dibayar lunas oleh mereka, malaikat ditugaskan Tuhan untuk segera mencabut nyawa ini. Bukan aku tidak memikirkan keluarga, tetapi semua terasa berat. Menjalani kehidupan sebagai istri kedua tentu saja memiliki banyak rintangan.

Bagaimana dengan tanggapan tetangga nanti? Aku bisa saja menutup mata dan telinga, apalagi jika menetap di sini. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibu? Sanggupkah beliau melangkah keluar rumah dan mendengar anaknya dijadikan buah bibir? Tentu saja ada gosip atau mungkin fitnah tentangku—dianggap perebut lelaki orang, seperti yang sedang marak sekarang.

"Orang kepercayaanku akan mengurus semua utang orang tuamu, Sonia. Pekan depan kalian menikah siri dan selama itu pula kamu harus bersembunyi di sini. Aku khawatir namamu dicap buruk oleh mereka. Kamu paham maksud aku, kan?" Kak Jes memecah lamunanku.

"Kamu mau menyembunyikan dia, tapi gimana sama anak yang selalu kamu jadikan alasan itu, Sayang?"

Menurutku, Mas Al sangat mencintai istrinya. Dari cara lelaki itu menatap Kak Jes sudah memberi jawaban, berbeda ketika beradu pandang denganku tadi, dingin tanpa eskpresi. Betapa beruntung wanita itu, hidup bergelimang harta dan dicintai dengan hebat oleh suamiya. Akan tetapi, Tuhan selalu berlaku adil dengan memberinya ujian tanpa kehadiran anak dalam pernikahan mereka.

"Aku sudah lama mendambakan ini, Mas. Aku akan mengatur semuanya. Kamu cukup menikah dengan Sonia, tetapi jangan jadi suami yang kejam, ya. Aku gak mau gadis sebaik Sonia menjadi trauma karenamu!"

"Aku tidak bisa berjanji." Setelah itu, Mas Al meninggalkan ruang tamu. Entah kenapa, aku merasa lega setelah kepergiannya. Mungkin karena kurang nyaman dengan sikap dingin lelaki itu.

"Kamu tenang aja, Sonia. Mas Al itu sebenarnya baik, cuma dia terlalu sayang sama aku. Aku pastikan kamu nggak akan pernah dimarahi," kata Kak Jess mencoba menenangkan aku, mungkin wajah ini jelas menampilkan gurat ketakutan.

Meski begitu, aku hanya bisa diam. Entah mengapa hati begitu yakin bahwa kehidupan setelah pernikahan tidak akan mudah dilalui. Selain sikap Mas Al yang begitu dingin, tanggapan tetangga, aku juga mengkhawatirkan hari di mana ketika semua kebenaran terungkap.

***

Benar kata orang, ketika menunggu, pasti waktu bergerak terasa lambat dan begitu juga sebaliknya. Gaun pengantin sederhana melekat di badan dalam acara yang hanya dihadiri penghulu, dua saksi, dan tentu saja adalah ibu dan adikku. Mereka berdua terlihat tidak bahagia, tetapi mengulum senyum meskipun kedua mata masih memerah dan bengkak, seperti habis menangis sepanjang malam.

Aku sendiri menahan tangis sejak kemarin demi memberi kekuatan pada diri sendiri. Utang Bapak dan Ibu telah dilunasi sepenuhnya, bahkan Kak Jes berjanji akan memberiku uang seratus juta apabila berhasil mengandung sampai melahirkan anak untuk mereka.

"Sonia!" Aku tersentak ketika Kak Jes memegang pundak ini. Dua detik kemudian, mereka menyebut kata sah.

Apa? Secepat itu? Mungkinkah karena aku menghabiskan waktu dengan melamun saja tadi hingga tidak menyadari semuanya? Sesuatu yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya telah terjadi dalam waktu cepat, menjadi seorang istri dari lelaki yang telah menikah.

Setelah membaca doa, Mas Al segera meninggalkan kami menuju kamarnya. Tentu saja acara sederhana ini berlangsung di ruangan tertutup, bahkan penghulu dan yang lainnya memakai kemeja biasa. Aku menarik napas dalam sebelum tenggelam dalam pelukan Ibu dan menumpahkan air mata.

"Kamu yang sabar, Nak. Maafkan Ibu karena nggak sanggup nyari uang buat bayar utang bapakmu. Andai saja—"

"Sudah, Bu. Aku nggak apa-apa. Aku cuma sedih karena kita pasti jarang ketemu. Nanti sesekali aku video call, kok."

Ibu tidak menjawab, tetapi aku bisa mendengar isakan kecilnya. Hidup sebagai orang miskin, utang menggunung dan hanya menemukan jalan buntu. Tidak ada pilihan memang selain harus menikahi Mas Al dan melahirkan anak untuknya. Setelah itu, aku berencana pindah ke luar kota, tetapi harus ada bukti bahwa aku pernah menikah secara sah demi mewanti-wanti tuduhan di masa depan ketika ada pemuda yang hendak mempersunting.

Benarkah? Gadis sepertiku mungkin saja dianggap sebagai perempuan hina karena rela menikah demi uang. Ah, entahlah. Sebaiknya aku hanya memikirkan tentang hari ini. Di sore hari, saat-saat melelahkan. Mas Al saja enggan mengganti pakaian kerjanya sebelum ijab qabul tadi. Pun tidak lama setelah itu, keluargaku tercinta harus pamit sebelum matahari terbenam.

"Kak Jess ...," panggilku sangat pelan, perempuan yang memakai pemerah bibir menyala itu menoleh lantas tersenyum, "aku ... apa aku bisa?"

"Tenang saja, Sonia. Aku bilang sudah mengatur semuanya. Malam nanti, pakai lingerie yang aku berikan tadi. Masuk ke kamarku sekitar pukul sepuluh, saat itu Mas Al pasti sudah meminum obatnya."

"Obat?" Aku terkejut bukan main karena paham apa yang dibicarakan oleh Kak Jess. Benar, tidak akan terjadi hal itu jika menunggu keinginannya dan aku khawatir Mas Al justru menolak dan melontarkan hinaan.

Kak Jess tersenyum, kemudian memintaku istirahat di dalam kamar yang telah disediakan. Di rumah ini ada satu asisten rumah tangga yang dipanggil Bi Sumi. Namun, entah mengapa sejak pertemuan pertama kami, wanita paruh baya itu tidak pernah tersenyum dan hanya menatap lekat padaku. Kenapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status