Share

Bab 3

Setelah diberi waktu berpikir selama sepekan, aku terpaksa setuju. Bukan tanpa alasan, tetapi kemarin salah satu pegawai bank lewat di depan rumah dan tidak sengaja bertemu dengan Ibu. Kami kembali diberi peringatan, memalukan karena ditonton banyak tetangga. Apakah di dunia ini tidak ada rasa kasihan sedikit pun?

Selain itu, orang-orang tempat Ibu mengutang pun datang dengan dalih tersebar sebuah kabar bahwa aku akan menikah dengan orang kaya. Entah siapa yang menjadi dalang di balik semuanya. Sungguh, aku berharap ada portal yang membawaku menuju dunia lain di mana orang-orang begitu baik tanpa saling menjatuhkan.

"Nak Jes sudah di depan."

Aku menghela napas berat, menatap sekilas pada wanita paruh baya itu. Keriput menghiasi wajahnya yang lesu dan sedikit pucat. Jika bukan karena ingin meringankan beban Ibu, maka aku pasti menolak bertemu dengan siapa pun. Di satu sisi, terbesit keinginan mengakhiri hidup dengan harapan mereka mengikhlaskan utang itu karena kasihan, di sisi lain, takut menghadapi kematian.

Air mata berbaris di pipi, terasa hangat. Perlahan, tangan ini menyeka sebelum mengulas senyum dan melangkah panjang menuju ruang tamu. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan dikenalkan pada lelaki bernama Mas Al itu meskipun belum tahu dia akan setuju untuk menikah lagi atau tidak.

Bagaimana jika iya? Bukankah lelaki, terutama ketika merasa mapan, sangat mudah terpikat pada wanita lain? Mereka belum memiliki anak, tidak menutup kemungkinan itu alasan dari suaminya saja agar bisa menikahi seseorang dari masa lalu. Ah, bukankah pikiran ini melayang terlalu jauh? Bahkan kami belum mengenal satu sama lain dan aku sudah sibuk dengan banyak prasangka.

"Kita berangkat sekarang? Kebetulan Mas Al ada di rumah dan tadi aku beralasan ada urusan sebentar. Dia pasti lagi nunggu." Kak Jes menjelaskan.

"Tapi aku takut, Kak."

"Takut kenapa?" tanya Kak Jes meledakkan tawa, "Mas Al gak pernah makan orang. Pokoknya kamu santai aja, ya."

Sekali lagi, aku menatap Ibu yang tersenyum tipis. Ada kesedihan terpancar di kedua matanya, tetapi seolah-olah menyerah kepada takdir. Satu jam yang lalu, aku mengintip ke kamar Ibu dan melihatnya menangis di atas sajadah lusuh, memohon agar Tuhan memberi kami jalan keluar dari setiap masalah yang ada. Untuk itu, aku berusaha menguatkan diri sendiri dan mencoba yakin bahwa setelah hujan, ada pelangi.

Dua jam telah berlalu, sekarang aku duduk di ruang tamu yang begitu luas dengan beberapa hiasan sederhana, tetapi terlihat mewah dan elegan. Pada dinding sebelah kanan ada dua bingkai foto—sepasang suami istri—terlihat bahagia dengan senyum alami.

"Mas, kamu mau bahagiain aku, kan?" Suara Kak Jes memecah lamunan. Tidak lama setelah itu, dia keluar sambil menggandeng tangan suaminya.

Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, kulit putih, rahang tegas, dan memiliki tatapan tajam. Aku diam-diam menggigit bibir karena merasa gugup. Bagaimana jika menikah nanti, dia melakukan kekerasan padaku?

"Bahagiain kamu nggak harus nikah lagi. Aku udah bahagia kayak gini meskipun tanpa anak. Lagi pula bisa aja aku yang bermasalah." Lelaki itu menolak tegas.

"Mas, kamu gak bermasalah, makanya aku berusaha. Sekarang kamu kenalan dulu sama Sonia, baru bisa kamu putusin," balas Kak Jes lagi, "itu kalau kamu beneran cinta sama aku!"

"Cinta? Kamu meragukan cinta aku, Sayang?"

"Iya, aku mau kita punya anak. Kamu nggak mungkin lupa sama aturan yang dibuat keluarga kamu, kan? Emang mau kita berakhir di kontrakan sepetak? Nggak sayang sama aku? Janjimu mau buat aku bahagia selamanya, Mas." Kali ini intonasi suaranya menurun, aku bisa melihat dia menundukkan kepala dalam seolah-olah menyembunyikan kesedihan. Ah, rasanya tidak nyaman berada di sini dan menjadi sebab mereka beradu mulut.

"Tapi aku nggak mungkin menduakanmu. Wanita mana yang mau berbagi cinta, Sayang? Aku tahu semua berat kamu lalui. Kamu terpaksa mencari perempuan untuk aku, kan?"

Kak Jes kembali menatap suaminya, kemudian menarik tangan kekar itu dan menuntunnya menuju kursi di mana aku berada. Jantung berdegup tidak normal, berbagai prasangka bersarang dalam jiwa. Sungguh, diri ini takut apabila mendapat bentakan dan hinaan dari seseorang.

Lelaki itu memalingkan wajah ketika aku menyapa dengan sopan. Angkuh sekali seolah-olah aku memang tidak layak dipandang. Rahangnya mengetat sempurna, marah? Namun, Kak Jes mengusap punggung tangan lelaki itu seraya menampilkan gigi yang berderet rapi.

"Kamu cinta sama aku, kamu sayang sama aku. Jadi, kamu harus mau nerima kehadiran Sonia. Dia perempuan baik-baik dan nggak mungkin merebut kamu dariku."

"Sonia mungkin perempuan baik-baik, tetapi aku nggak bisa nerima dia apa pun alasannya. Aku cuma mau menikah sama kamu dan itu janji sejak kita masih pacaran. Aku gak mungkin—"

"Dengar, Mas!" Kak Jes memotong pembicaraan suaminya. "Aku selalu ingat janji itu, tapi aku melakukan ini demi kebaikan kita bersama. Kita saling menguntungkan dan Sonia pun sebenarnya berat. Dia harus bayar utang bank yang ditinggal ... nanti aku ceritain. Intinya, kamu harus mau nikah sama dia biar kita segera punya anak."

"Tidak!"

"Mas, kamu itu beneran sayang sama aku nggak, sih?"

"Kak Jes, maaf kalau kehadiranku merusak kebah—"

"Aku yang membawamu ke sini!" bantah Kak Jes dengan tegas. Aku hanya bisa mengangguk samar karena tidak lagi berani membuka suara. Biarlah, aku mengikuti alur yang mereka inginkan saja.

Beberapa saat hening, Kak Jes kembali membujuk suaminya. Dia mengatakan bahwa Mas Al bisa menjatuhkan talak begitu anak dilahirkan. Jujur, hati merasakan perih luar biasa. Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini, Tuhan? Menikah hanya untuk melahirkan anak, kemudian menjadi seorang janda.

Di masa yang akan datang, adakah yang bisa menerima keadaanku? Mungkin sebagian bear mengira aku adalah perusak rumah tangga lalu dicerai karena istri sah masih sangat dicintai. Berat, tetapi saat mencoba mencari jalan lain, buntu.

"Kalau Mas mau, minggu depan kalian bisa menikah. Sederhana saja acaranya," kata Kak Jes lagi.

Minggu depan? Oh, Tuhan, kenapa cepat sekali? Andai saja dibolehkan, aku ingin menjadi babu seumur hidup saja di sini asal bisa mendapat uang untuk melunasi utang bank. Namun, Kak Jes tentu menolak karena kami harus saling membantu.

"Apa harus menikah lagi? Kamu telat haid, kan? Bisa aja lagi hamil. Besok pagi test pack. Aku khawatir nikah, tahu-tahu kamu udah mengandung aja."

"Mas, aku haid sekarang, pagi tadi keluarnya. Jadi, nggak mungkin malah hamil." Kak Jes mengecup pipi lelaki itu singkat. "Sekarang kenalan sama Sonia. Dia baik, kok, Mas."

Lelaki itu menghela napas berat lalu beralih menatapku dan bertanya, "Kamu tidak punya rencana untuk menyukai saya, kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status