semangat pagi Kakak-Kakak. Doakan Dewi supaya selamat ya T.T ditunggu komentarnya Terima kasih ^^
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara lembut itu membuat Denver menoleh. Dia berbalik dan menatap sosok wanita cantik sedang berdiri di ambang pintu ruang periksa."Tante Dayana!" serunya dengan suara menggema di ruangan. Denver melangkah dengan hentakkan sepatu kulit pada lantai yang terdengar berat di koridor sempit klinik, seakan mencerminkan gejolak amarah dalam dadanya. Rahang pria itu mengeras dan tatapan iris cokelat karamelnya tampak menyala penuh ketegasan.Raut wajah Dokter Dayana berubah tegang saat melihat Denver kini berdiri di hadapannya."Dokter Denver? Ada apa kamu ke sini pagi-pagi sekali?" tanya wanita itu dengan suara yang tentu saja dibuat setenang mungkin.Denver melangkah makin dekat, tidak ada kehangatan seperti biasa pada dirinya. Saat ini hanya aura dingin memenuhi koridor. "Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Di mana Dewi?"Untuk sesaat Dayana terdiam dengan sorot mata berusaha menghindari tatapan tajam keponakannya itu."Dewi yang mana maksudmu?" tanya Dokter itu dengan datar."Katakan
Rumah Sakit JB kini tidak seramah dulu bagi Denver. Pascamenghilangnya Dewi, bisik-bisik dan tatapan tajam mulai mengisi setiap sudut gedung. Beberapa minggu ini gosip tentang skandal hubungan rahasia antara Denver dan Dewi menyebar luas.Perawat-perawat berbisik di koridor."Katanya, Dewi itu hamil anaknya Dokter Denver.""Sstt... Istrinya, Bu Carissa, pantas saja pernah ngamuk di rumah sakit. Katanya lagi, Dewi bukan mengundurkan diri tapi … sudah dipecat."Denver melangkah melewati lorong panjang. Percakapan itu langsung terhenti. Sorot mata sinis menusuk punggungnya, tetapi Denver hanya menarik napas panjang.Dia menahan gejolak amarah yang mendidih. Netra cokelat karamelnya menyisir tajam setiap sudut, menantang siapa pun yang berani bicara."Daripada kalian bergosip, lebih baik gunakan waktu untuk merawat pasien," ucap Denver dingin dengan intonasi tegas bagai cambuk. Kemudian dia berlalu.Setiap langkah Denver terasa makin berat, seolah lantai rumah sakit pun ikut menghakiminya
Dewi berdiri membeku di balik tirai, jantungnya seolah berlomba dengan suara mesin mobil yang mendekat. Range Rover putih berhenti dengan gagah di halaman vila. Valerie melangkah cepat mendekati Dewi, menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Siapa itu, Wi?" bisiknya seraya melirik ke luar. Gelengan kecil Dewi berikan sebagai jawaban. Sesunggunya dia juga tidak tahu, hanya saja hati kecilnya menginginkan Denver. Keduanya pun sama-sama mengintip dari balik jendela besar ini. Beberapa saat kemudian, sopir membuka pintu dan seorang wanita elegan, berusia senja dengan rambut perak tersisir rapi keluar dari kendaraan. "Bu Nayla ...." Suara Dewi tercekat. Langkah-langkah berat Oma Nayla terdengar mendekati pintu vila. Valerie segera berinisiatif membuka pintu. Bersamaan dengan itu, Dewi memegang perutnya yang menegang. Napas gadis itu tersengal dan tubuhnya bergetar, rasa sesak pun memenuhi rongga dadanya. Oma Nayla mendekat dan sorot matanya menyelidik setiap inchi tubuh Dewi. "
Dewi menahan napas, tubuhnya gemetar hebat melihat dua pria tinggi melangkah mendekat. Wajah mereka keras, dingin, dan tanpa belas kasihan."To—"Belum sempat Dewi berteriak, sepasang tangan kekar membekap mulutnya. Tubuh mungil itu diseret kasar ke dalam mobil hitam. Dewi meronta, memukul dan mencakar, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat."Diam!" bentak seorang pria dari dalam mobil.Dalam kepanikan, Dewi menatap ke spion yang menggantung dalam mobil. Mata sipitnya membelalak saat mengenali sosok di balik kemudi."Mas Bima…," ucap Dewi dengan intonasi serak dan gemetar. "Tolong, Mas. Lepaskan aku."Bima menoleh sekilas, matanya dingin. "Berisik kamu, Dewi. Kalau saja kamu nurut dan jauhi Denver, semua ini tidak akan terjadi!"Mobil SUV hitam melaju kencang menjauh dari vila dan membelah jalanan pedesaan yang tampak lengang. Dewi menangis dalam diam, merasakan perutnya yang sakit makin menyiksa.Tubuh Dewi hanya
Suasana canggung memenuhi ruangan klinik kecil ini. Napas Dewi tersengal membuat dada sesak bagai terhimpit beban tak kasatmata. Dewi memilih pura-pura tidur daripada menatap pria yang sudah menorehkan luka begitu dalam di hatinya. “Sial, kenapa perutku mulas!” Bima mengumpat pelan sambil berjalan ke dalam toilet. Dewi membuka sedikit matanya, dia melihat kegusaran di wajah Bima. Bunyi kunci pun terdengar, menjadi tanda bahwa pria itu memerlukan waktu sedikit lebih lama. Tanpa membuang waktu, Dewi menarik set infus dari tangannya. Cairan merah menetes di lantai, tetapi dia begitu hapal bagaimana cara menghentikannya. Jantungnya gadis itu berdegup keras, mungkin saja menggema di telinga. Meskipun tubunya gemetaran, dia memaksa dirinya melangkah. Lorong sempit klinik terasa lebih panjang dan mencekam. Dinding putih seakan menyempit, menghimpit langkahnya yang tanpa alas kaki. “Aku harus pergi…,” bisiknya pada diri sendiri. Pintu keluar makin dekat. "DEWI!" Suara Bima menggema
“Ayah,” gumam Dewi lirih, menatap Pak Danang yang tengah ditangani oleh tim dokter. Sesak di dada tak kunjung reda, seolah menyesakkan napasnya.Dia tidak pernah menyangka, pilihannya menerima kesepakatan dengan Denver malah membawa masalah yang jauh lebih besar.Dewi berpikir, setelah menerima uang dan ayahnya sembuh, semua akan berjalan lancar. Namun kenyataannya, menjadi ibu pengganti tidak semudah itu. Bukan hanya menyangkut hubungan terlarang, tetapi kini melibatkan banyak orang.“Percayalah, ayahmu akan baik-baik saja,” tutur Valerie dengan suara terdengar ragu dan tatapan gelisah menyapu ranjang pasien.Dewi menggigit bibir, tubuhnya bergetar. Lelehan ening mulai mengalir di pelukan Valerie.Gadis itu berbisik, “Aku bersyukur Dokter Denver mau membantu, tapi sekarang ... aku pikir ini semua salah.”Valerie mengelus punggung Dewi dengan lembut, lalu matanya tajam mengamati sekitar. “Kamu tidak sendiri, Dewi. Aku … di sini.”Akan tetapi, mereka tidak menyadari sepasang mata tengah
Suasana rumah sakit yang sunyi berubah mencekam ketika langkah pelan seseorang tidak meninggalkan gema di lorong. Bayangan hitamnya menyelinap di antara redup cahaya, mendekati ruang VIP.Pintu terbuka perlahan, menciptakan gerakan yang menyeramkan. Sosok itu berdiri di sisi ranjang Pak Danang, menyeringai melihat pria paruh baya terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya."Bangun!" bisiknya tajam sambil mengguncang bahu Danang.Danang terbangun setengah sadar dan napasnya terengah. Mata hitam pria paruh baya itu memandang nanar sosok di dekatnya."Sudah tahu kelakuan putrimu?" Suara itu dingin. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto dan menyodorkannya. "Lihat, dia menjual diri demi bayar pengobatanmu. Dia bukan gadis polos yang kamu banggakan."Foto-foto itu jatuh ke pangkuan Danang. Tangan keriput itu gemetar saat mengambil satu per satu potret Dewi bersama Denver, dengan tatapan dan kedekatan yang tidak pantas.Seketika dada Danang sesak dan napasnya memburu. Bahkan Jantungny
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta
Dewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil
Dewi nyaris menjatuhkan ponselnya ketika suara panik dari seberang terdengar lagi. "Dirga ... Dirga menghilang, Bu! Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah, tapi tidak ada!" Suara pengasuh terdengar putus asa. Ada isak tangis dan keriuhan di sana. Dewi langsung terduduk. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, setelah kesadarannya kembali dia melompat panik dari atas ranjang. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, menarik pakaiannya yang berserakan di atas karpet dan meraih tasnya dengan tangan gemetar. Denver yang belum memahami situasi, mengernyit melihat istrinya yang tampak panik. "Dewi, ada apa?" "Sayang ... Dirga hilang! Anak kita," histeris Dewi dengan suara pecah saat mengucapkan itu. Tanpa menunggu jawaban, Dewi langsung berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Denver bergegas menyusul, meraih kunci helikopter dan mengikuti langkah istrinya yang sudah setengah berlari keluar. Wanita itu tidak peduli meskipun kakinya masih lemas, dan jalannya hampir tersandun
** Baca setelah berbuka puasa**Dewi berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga kebanggaan universitasnya. Sorak-sorai memenuhi auditorium saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik. Tangannya sedikit gemetar saat menerima ijazah dari rektor, tetapi senyum di wajahnya tak dapat disembunyikan."Selamat, Dewi. Ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunanmu," ujar rektor dengan bangga."Terima kasih, Pak," jawab Dewi dengan suara bergetar, merasakan momen ini sebagai titik puncak dari perjuangannya selama bertahun-tahun.Dari tempat duduk tamu undangan, Denver menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di sisinya, Danis dan Oma Nayla juga bertepuk tangan meriah. Namun, perhatian Dewi sempat tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana—Darius.Senyum pria itu ramah, tetapi tatapan itu membuat Dewi merasa bersalah mengingat perjuangan Darius. Itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan baginya.Saat Dewi turun dari panggung, Darius menghampirinya lebih dulu, sedangk
** Baca setelah berbuka puasa** ^^Satu tahun berlalu.“Sayang, aku belum pakai kemeja!” teriak Denver dari dalam kamar, matanya tetap terpaku pada layar ponsel, sibuk mengetik sesuatu.Dewi, yang baru saja selesai merias wajahnya, mendengkus pelan. Dia masih mengenakan jubah mandi merah muda dan belum sempat berganti pakaian. Dengan langkah cepat, dia menghampiri sang suami yang duduk di tepi ranjang.“Kenapa tidak pakai sendiri?” tanyanya dengan nada sedikit kesal. Belakangan ini, Denver makin manja, membuatnya sering meminta bantuan untuk hal-hal kecil.“Tolong, Sayang. Tanganku sibuk,” jawab Denver, mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi menggoda.“Kalau begitu, taruh dulu ponselnya dan pakai sendiri!” gerutu Dewi, meskipun akhirnya tetap berbalik untuk mengambil kemeja yang sudah dia siapkan di gantungan.Akan tetapi, sebelum sempat menjauh, tangan Denver sudah melin