Suara lembut itu membuat Denver menoleh. Dia berbalik dan menatap sosok wanita cantik sedang berdiri di ambang pintu ruang periksa."Tante Dayana!" serunya dengan suara menggema di ruangan. Denver melangkah dengan hentakkan sepatu kulit pada lantai yang terdengar berat di koridor sempit klinik, seakan mencerminkan gejolak amarah dalam dadanya. Rahang pria itu mengeras dan tatapan iris cokelat karamelnya tampak menyala penuh ketegasan.Raut wajah Dokter Dayana berubah tegang saat melihat Denver kini berdiri di hadapannya."Dokter Denver? Ada apa kamu ke sini pagi-pagi sekali?" tanya wanita itu dengan suara yang tentu saja dibuat setenang mungkin.Denver melangkah makin dekat, tidak ada kehangatan seperti biasa pada dirinya. Saat ini hanya aura dingin memenuhi koridor. "Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Di mana Dewi?"Untuk sesaat Dayana terdiam dengan sorot mata berusaha menghindari tatapan tajam keponakannya itu."Dewi yang mana maksudmu?" tanya Dokter itu dengan datar."Katakan
Rumah Sakit JB kini tidak seramah dulu bagi Denver. Pascamenghilangnya Dewi, bisik-bisik dan tatapan tajam mulai mengisi setiap sudut gedung. Beberapa minggu ini gosip tentang skandal hubungan rahasia antara Denver dan Dewi menyebar luas.Perawat-perawat berbisik di koridor."Katanya, Dewi itu hamil anaknya Dokter Denver.""Sstt... Istrinya, Bu Carissa, pantas saja pernah ngamuk di rumah sakit. Katanya lagi, Dewi bukan mengundurkan diri tapi … sudah dipecat."Denver melangkah melewati lorong panjang. Percakapan itu langsung terhenti. Sorot mata sinis menusuk punggungnya, tetapi Denver hanya menarik napas panjang.Dia menahan gejolak amarah yang mendidih. Netra cokelat karamelnya menyisir tajam setiap sudut, menantang siapa pun yang berani bicara."Daripada kalian bergosip, lebih baik gunakan waktu untuk merawat pasien," ucap Denver dingin dengan intonasi tegas bagai cambuk. Kemudian dia berlalu.Setiap langkah Denver terasa makin berat, seolah lantai rumah sakit pun ikut menghakiminya
Dewi berdiri membeku di balik tirai, jantungnya seolah berlomba dengan suara mesin mobil yang mendekat. Range Rover putih berhenti dengan gagah di halaman vila. Valerie melangkah cepat mendekati Dewi, menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Siapa itu, Wi?" bisiknya seraya melirik ke luar. Gelengan kecil Dewi berikan sebagai jawaban. Sesunggunya dia juga tidak tahu, hanya saja hati kecilnya menginginkan Denver. Keduanya pun sama-sama mengintip dari balik jendela besar ini. Beberapa saat kemudian, sopir membuka pintu dan seorang wanita elegan, berusia senja dengan rambut perak tersisir rapi keluar dari kendaraan. "Bu Nayla ...." Suara Dewi tercekat. Langkah-langkah berat Oma Nayla terdengar mendekati pintu vila. Valerie segera berinisiatif membuka pintu. Bersamaan dengan itu, Dewi memegang perutnya yang menegang. Napas gadis itu tersengal dan tubuhnya bergetar, rasa sesak pun memenuhi rongga dadanya. Oma Nayla mendekat dan sorot matanya menyelidik setiap inchi tubuh Dewi. "
Dewi menahan napas, tubuhnya gemetar hebat melihat dua pria tinggi melangkah mendekat. Wajah mereka keras, dingin, dan tanpa belas kasihan."To—"Belum sempat Dewi berteriak, sepasang tangan kekar membekap mulutnya. Tubuh mungil itu diseret kasar ke dalam mobil hitam. Dewi meronta, memukul dan mencakar, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat."Diam!" bentak seorang pria dari dalam mobil.Dalam kepanikan, Dewi menatap ke spion yang menggantung dalam mobil. Mata sipitnya membelalak saat mengenali sosok di balik kemudi."Mas Bima…," ucap Dewi dengan intonasi serak dan gemetar. "Tolong, Mas. Lepaskan aku."Bima menoleh sekilas, matanya dingin. "Berisik kamu, Dewi. Kalau saja kamu nurut dan jauhi Denver, semua ini tidak akan terjadi!"Mobil SUV hitam melaju kencang menjauh dari vila dan membelah jalanan pedesaan yang tampak lengang. Dewi menangis dalam diam, merasakan perutnya yang sakit makin menyiksa.Tubuh Dewi hanya
Suasana canggung memenuhi ruangan klinik kecil ini. Napas Dewi tersengal membuat dada sesak bagai terhimpit beban tak kasatmata. Dewi memilih pura-pura tidur daripada menatap pria yang sudah menorehkan luka begitu dalam di hatinya. “Sial, kenapa perutku mulas!” Bima mengumpat pelan sambil berjalan ke dalam toilet. Dewi membuka sedikit matanya, dia melihat kegusaran di wajah Bima. Bunyi kunci pun terdengar, menjadi tanda bahwa pria itu memerlukan waktu sedikit lebih lama. Tanpa membuang waktu, Dewi menarik set infus dari tangannya. Cairan merah menetes di lantai, tetapi dia begitu hapal bagaimana cara menghentikannya. Jantungnya gadis itu berdegup keras, mungkin saja menggema di telinga. Meskipun tubunya gemetaran, dia memaksa dirinya melangkah. Lorong sempit klinik terasa lebih panjang dan mencekam. Dinding putih seakan menyempit, menghimpit langkahnya yang tanpa alas kaki. “Aku harus pergi…,” bisiknya pada diri sendiri. Pintu keluar makin dekat. "DEWI!" Suara Bima menggema
“Ayah,” gumam Dewi lirih, menatap Pak Danang yang tengah ditangani oleh tim dokter. Sesak di dada tak kunjung reda, seolah menyesakkan napasnya.Dia tidak pernah menyangka, pilihannya menerima kesepakatan dengan Denver malah membawa masalah yang jauh lebih besar.Dewi berpikir, setelah menerima uang dan ayahnya sembuh, semua akan berjalan lancar. Namun kenyataannya, menjadi ibu pengganti tidak semudah itu. Bukan hanya menyangkut hubungan terlarang, tetapi kini melibatkan banyak orang.“Percayalah, ayahmu akan baik-baik saja,” tutur Valerie dengan suara terdengar ragu dan tatapan gelisah menyapu ranjang pasien.Dewi menggigit bibir, tubuhnya bergetar. Lelehan ening mulai mengalir di pelukan Valerie.Gadis itu berbisik, “Aku bersyukur Dokter Denver mau membantu, tapi sekarang ... aku pikir ini semua salah.”Valerie mengelus punggung Dewi dengan lembut, lalu matanya tajam mengamati sekitar. “Kamu tidak sendiri, Dewi. Aku … di sini.”Akan tetapi, mereka tidak menyadari sepasang mata tengah
Suasana rumah sakit yang sunyi berubah mencekam ketika langkah pelan seseorang tidak meninggalkan gema di lorong. Bayangan hitamnya menyelinap di antara redup cahaya, mendekati ruang VIP.Pintu terbuka perlahan, menciptakan gerakan yang menyeramkan. Sosok itu berdiri di sisi ranjang Pak Danang, menyeringai melihat pria paruh baya terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya."Bangun!" bisiknya tajam sambil mengguncang bahu Danang.Danang terbangun setengah sadar dan napasnya terengah. Mata hitam pria paruh baya itu memandang nanar sosok di dekatnya."Sudah tahu kelakuan putrimu?" Suara itu dingin. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto dan menyodorkannya. "Lihat, dia menjual diri demi bayar pengobatanmu. Dia bukan gadis polos yang kamu banggakan."Foto-foto itu jatuh ke pangkuan Danang. Tangan keriput itu gemetar saat mengambil satu per satu potret Dewi bersama Denver, dengan tatapan dan kedekatan yang tidak pantas.Seketika dada Danang sesak dan napasnya memburu. Bahkan Jantungny
“Aku tidak bisa menerimanya lagi, Niang!” tegas Denver, suaranya menggelegar di ruang tamu megah itu. Napasnya memburu, menahan emosi yang hampir meledak.Niang menatap tajam dan wajah senjanya tampak datar. “Kalian sama-sama selingkuh, bukankah impas jika kembali dan memulai semua dari awal? Ingatlah, Denver, keluarga Sailendra punya andil besar dalam karirmu itu!” Intonasinya meninggi, memberi tekanan yang menyesakkan.Tatapan Denver menjadi mengeras dan tangan kanannya mengepal erat. Dia menggenggam flashdisk seolah benda kecil itu mampu meledakkan seisi rumah. Matanya beralih menatap Carissa yang berdiri di depannya dengan senyum sinis.“Kamu juga jangan lupa, Denver. Mendiang papamu menyuruhmu untuk setia pada kami dan menjagaku apa pun yang terjadi!” Carissa bagai menumpahkan minyak ke api yang sudah membara.“Jangan sebut papaku, Carissa!” bentak Denver dengan rahang mengeras. Suara pria itu menggetarkan dinding ruangan, membuat Carissa seketika bungkam.Tanpa pikir panjang, De
“Dokter Denver,” ucap Dewi tanpa suara. Bibir mungilnya bergerak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.Jantung Dewi berdegup begitu cepat karena lonjakan hormon dopamin, seakan ingin melompat dari dadanya. Tubuh mungilnya seakan membeku, tetapi hatinya juga berontak.Dia ingin mendekat, ingin berlari ke dalam pelukan pria itu, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh Danis.“Untuk apa kamu ke sana? Tunggulah sampai acara konferensi pers ini selesai,” bisik Danis, sorot mata hitamnya jelas melarang.Dewi menelan ludah dan menggeleng. Napas gadis itu tersengal, tetapi dia tidak peduli. Ini Denver. Ayah dari Dirgantara, juga pria yang mengisi kehampaan selama setahun belakangan.Dengan gerakan tegas, Dewi melepaskan cengkeraman tangan Danis yang tidak terlalu kuat. Sepasang kaki yang dibingkai heels putih melangkah begitu lemas ke arah Denver.Mata mereka saling bertemu, ada kerinduan yang begitu pekat.Denver melengkungkan senyum, tetapi berbeda dari Darius yang mengepalkan tangan
Setibanya di Kota Malang, Denver langsung menggunakan taksi menuju kediaman Danis. Sepanjang jalan, jari-jarinya pria itu terus mengetuk layar ponsel.Dia mencoba menghubungi Dewi dan Astuti. Namun, hasilnya tetap sama—panggilan tak terjawab."Sial!" gumam Denver, rahangnya mengeras. “Ke mana mereka semua?”Pikiran pria itu seketika dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika Dewi sudah dipaksa menikah? Bagaimana jika Darius sedang menggenggam tangannya di altar? Bagaimana jika Dirgantra menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya?Bahkan parahnya lagi, jika Dewi benar-benar dibawa menjauh, entah ke mana. Bukankah itu sulit bagi Denver untuk merebutnya lagi?Jantung Denver berdetak lebih cepat dari biasanya dan denyut nadinya terasa hingga di pelipis. Dia tidak bisa tinggal diam!“Permisi, Pak. Sudah sampai tujuan,” ujar sopir taksi dengan suara pelan. “Pak?”Seketika Denver tersentak dari lamunan mengerikan itu. Dia mengembuskan napas kasar, untuk menepis kekhawatiran yang terus menghantu
"Pak, Anda yakin mau ke Malang hari ini?" tanya Ruslan yang melangkah cepat mengikuti ritme Denver."Siapkan saja semuanya, Ruslan! Aku tidak bisa membiarkan Darius menikahi Dewi! Apalagi Pak Danis pasti memaksa Dewi," geram Denver, matanya menyala penuh amarah."Tapi … bagaimana dengan Nyonya Dwyne, Pak? Kondisinya tidak memungkinkan ditinggal," tukas Ruslan, suaranya terdengar ragu.Langkah Denver terhenti. Pikiran Dokter tampan itu berkecamuk. Jika saja tubuhnya bisa terbagi dua, dia pasti akan melakukan itu. Dwyne, Dewi, dan Dirgantara adalah tanggung jawabnya.Dia tidak ingin kehilangan mereka!"Tangan Anda, Pak," tunjuk Ruslan.Denver menatap pergelangan tangannya. Darah segar menetes dari luka bekas infus yang terbuka, tetapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya mendengkus ketika melihat Darius sedang berjalan bersama pasien lain."Kamu benar, Ruslan. Untuk saat ini, Mama tidak bisa ditinggal. Pastikan Darius tetap di sini! Katakan pada direktur, jangan memberinya izin!"
Dewi mengepalkan tangan, suaranya tercekat. "Pak Danis …"Di belakang pria itu, dua orang pengurus rumah tangga berdiri, salah satunya membawa nampan berisi makanan."Papa mau makan siang bareng kamu, Wi," ujar Danis, suaranya lembut.Astuti memberi isyarat agar Dewi menurut. Dengan langkah ragu, Dewi turun dari ranjang dan duduk bersama Danis di meja bundar. Beragam hidangan khas Malang tersaji di hadapannya.Danis menyendokkan lauk ke piring kosong Dewi dan tersenyum hangat. "Makan yang banyak, Wi. Seorang ibu harus kuat. Setelah kamu terbiasa di sini, Papa akan mengenalkan kamu ke semua orang. Termasuk adikmu yang sekarang kuliah di luar negeri."Senyuman hangat Danis seharusnya membuat tenang. Seharusnya, pelukan keluarga yang telah lama hilang ini terasa nyaman. Tapi kenapa justru ada ketakutan yang menggelayut di dadanya? Kenapa setiap sendok makanan yang diberikan Danis terasa seperti belenggu yang makin mengikatnya?"Ayo, makan," Danis menepuk punggung Dewi dengan lembut.Setel
"Ini semua demi kebaikanmu, Dewi," tutur Danis yang duduk di depan Dewi. Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan putrinya, tetapi Dewi menariknya. Ada keengganan dalam diri, sebuah dorongan kuat untuk menolak sentuhan itu. Dewi menggeleng, entah mengapa dia merasa pertemuan ini tidak seharusnya terjadi. Dalam hatinya, dia berharap biarlah segalanya tetap seperti dulu—biarlah dia tetap menjadi putri Danang dan Tari, bukan seperti ini. "Pak Danis, tolong … a–aku mau pulang," lirihnya sambil mendekap erat tubuh Dirga yang terbangun beberapa saat lalu. Danis berdeham. "Pulang? Rumahmu di Malang, bukan di Jakarta," ucapnya tenang, "pesawat lepas landas. Tidak ada jalan untuk turun." Tangan Dewi mencengkeram lengan kursi dengan erat, kukunya hampir menekan kulit sendiri. Detak jantung gadis itu berdetak begitu cepat, sedangkan pikirannya kacau. Dia ingin berteriak, meminta seseorang menghentikan pesawat ini. Namun, dia hanya bisa duduk di sana, menatap kosong ke luar jendela, melihat
"Apa peringatanku kurang, Denver?" Suara tegas itu kembali memenuhi ruangan.Dewi yang bersembunyi di balik punggung kekar Denver mendongak menatap kepala Dokter tampan itu dari belakang. Mata sipitnya makin menyipit, menciptakan garis tanya di sana. Ada ketegangan yang memenuhi udara, membuat gadis itu menggigit bibir dengan gelisah.Sungguh, dia tidak tahu ada kesepakatan apa antara Danis dan Denver.Sebelum sempat bertanya, suara Oma Nayla menggema di ruangan ini. Wanita senja itu melangkah ke depan dengan tatapan menyelidik."Sebenarnya ada apa ini?"Denver menoleh pada sang oma, manik karamelnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Dewi berusaha mencari makna di balik sorot mata itu, tetapi rasanya terlalu rumit untuk diterjemahkan."Tolong tetap di sini bersama Dewi dan Mama," kata Denver pada sang oma dengan suara pelan, tetapi penuh ketegasan.Tatapan Denver bergeser pada Dewi-nya, hingga sorot mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang ingin gadis itu tanyakan, tetapi Denver su
"Pak Danis," gumam Dewi. Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyatakan diri sebagai ayah kandungnya. Benar, seperti kata Darius, tepat hari ini Danis boleh pulang. Mungkin pria itu ingin bertemu dengannya.Dia meraih sweater merah muda dan tas selempang hitamnya, lalu mengikat rambut dengan asal dan menghubungi ojek online.Akann tetapi, baru saja Dewi keluar dari kamar, pandangannya bertemu dengan Denver yang sedang berbincang bersama Dirga. Dia pun menjadi kaku.Denver memang tidak bersuara, tetapi tatapan tajamnya menyiratkan sebuah pertanyaan."Umm … a—ku ada perlu ke rumah sakit, sebentar. Aku akan segera kembali," gugup Dewi sambil meremas tali tasnya.Lagi, Denver tidak menanggapi. Bahkan pria itu melenggang pergi menjauhi Dewi. Membuat gadis itu menelan rasa kecewa. Dia bukan berharap diantar, tetapi cukup mendapat sahutan saja sudah melegakan hati.Pria itu justru menuju ke ruangan lain. Seolah enggan melihat wajah Dewi."Tidak apa-apa, Dewi. Lagi pula ini memang sala
Tangan Denver yang terkepal tepat di depan dadanya menunjukkan garis-garis otot dan pembuluh darah, menandakan betapa tegangnya dia. Napas pria itu berat, nyaris tersendat, dan dia harus menyeka matanya yang hampir basah.Setelahnya, Denver turun dari ranjang pasien, lalu berdiri di samping ranjang sang mama, menatap penuh sayang sembari membelai bahunya.“Apa Dokter Mario sudah selesai operasi? Katakan padanya mamaku butuh pertolongan secepatnya!” tegas Denver dengan suara tegang.Seorang perawat bergegas mencari informasi.Bilik gawat darurat mulai lengang. Perawat dan beberapa dokter yang sempat memberikan pertolongan pertama kembali ke pos masing-masing. Tersisa Denver dan dokter umum.Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang memberitahu, “Dokter Mario segera ke sini, Dok.”Denver tidak menyahut, hanya menatap layar monitor yang bergerak, menunjukkan angka-angka penunjuk kehidupan.Setelahnya, Dwyne menjalani pemeriksaan oleh tim dokter spesialis. Wanita itu didiagnosis menga
“Mama ini bukan anak kecil yang bisa diajak bercanda, Denver!” tegas Dwyne, tetapi gestur tubuhnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu gemetar membuat tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan sesuatu.“Menurut Mama, apa aku sedang bercanda? Untuk apa?” sahut Denver sembari mendekati mereka yang berdiri terpaku di tempat.Sejenak pria itu menatap Dewi dalam, lantas memejamkan mata. Dia teringat percakapannya dengan Danis beberapa saat lalu.Tadi, selesai praktik, Denver sengaja menemui Danis secara langsung. Dia merasa harus mengetahui kebenaran ini dari berbagai sumber. Danis mengakuinya, bahkan memberikan Denver selembar foto usang.Dalam foto itu, seorang wanita tengah mengandung, dan wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Namun, pria tampan di sampingnya bukanlah Denver—melainkan Danis sewaktu muda.Ya, dia tahu itu, sebab beberapa kali Dwyne dan mendiang ayahnya membawa Denver kecil berkunjung ke rumah pria itu. Masih jelas dalam ingatannya foto Danis muda.Termas