Refleks Dewi mendorong tubuh Denver hingga pria itu mundur. Keduanya sama-sama terkejut menatap ke arah pintu rooftop. Di sana, berdiri seorang wanita berambut pirang kecokelatan sedang menatap sengit kepada pasangan terlarang itu. “Pantas aja aku telepon enggak diangkat. Ternyata kamu … ya, ampun Denver!” pekik wanita itu sambil memijat pelipis yang terasa berdenyut ketika melihat Denver mencium Dewi penuh perasaan. “Bukannya kamu sudah pulang? Untuk apa datang ke sini lagi, Val?” tanya pria itu dengan santai. Padahal Denver terciduk selingkuh. Sedangkan Dewi menunduk, dia tidak kuasa ditatap tajam menusuk oleh wanita cantik di hadapannya. Dua tangan Dewi meremas tali tas yang menempel di badannya. Gadis itu menyakini nasibnya sudah berakhir dan Denver pasti meninggalkannya, lalu bagaimana dengan semua uang pemberian pria itu, sungguh dia tidak akan bisa membayarnya. “Apa kamu tahu kalau istrimu si Carissa itu kecelakaan? Sekarang dia ada di Rumah sakit JB, Denver! Cepatlah k
“Kamu serius Ruslan?” tanya Denver dengan mata menyipit dan kedua tangan yang terkepal sampai buku jarinya memutih. Embusan napas pria itu terdengar kasar dan berat selesai membaca email yang dikirim bawahannya. "Benar, Pak. Ada dugaan kecelakaan itu disengaja dan direncanakan karena rem mobil Nyonya Carissa dilepas. Tapi saya belum menemukan pelakunya,” kata Ruslan melalui sambungan telepon. “Selidiki terus Ruslan, jangan lengah!” titah Dokter tampan. Kali ini tatapan Denver bergeser pada Carissa yang masih tidur. “Dilaksanakan Pak!” sahut Ruslan. Sambungan telepon berakhir. Namun Denver masih menatap layar pipih di tangannya. Dia memeriksa aplikasi chat, tidak ada balasan apa pun dari Dewi. Dia mendesah dan bersandar pada dinding, tentu karena perasaan asing merayap dalam hati. Denver teringat tatapan sendu Dewi ketika semalam dia tinggalkan bersama Valerie. Beruntung Adik Sepupu itu bisa diandalkan mengantar Dewi dengan selamat ke apartemen. Saat ini Denver berdiri di
Rasa penasaran mendalam menuntun langkah Dewi mengikuti pria misterius yang menggendong anak kecil. Mata sipitnya tercengang ketika sosok itu masuk ke ruang rawat Carissa. Bahkan pria itu sempat menyeringai kepada Dewi. “Siapa dia?” gumam Dewi. Entah mengapa bulu kuduknya merinding.Dewi kembali berjalan mendekati bangsal rawat Carissa. Dia ingin tahu ada hubungan apa antara istri Denver dengan anak kecil cantik itu. Hanya saja, getar pada ponsel mengganggu. Dia menghela napas ketika rekan satu tim mengirimkan pesan:[Wi, ada tamu, nih. Nyari kamu, sambil nangis. Cepat ke ruang informasi IGD!]Terpaksa Dewi memutar arah badan. Dia pun berjalan meninggalkan area presidential suite.Sedangkan di dalam ruang perawatan Carissa, seorang pria berdiri di balik pintu, kemudian mengintip ke luar kamar. “Chico, kenapa kamu datang ke sini?! Dan kamu lagi ngapain?” sembur Carissa. “Berani banget kamu bawa Caca ke sini!” “Caca kangen sama kamu. Dia demam.” Pria itu berjalan mendekati ranjang pas
Dewi masih menunggu sampai satu jam lamanya. Embusan angin makin dingin menusuk kulit membuat setiap helaan napas berasap tipis. Gadis itu tidak menggunakan jaket tebal, hanya blus panjang merah muda. Netra sipitnya juga selalu menatap ke arah kedatangan mobil. Sayang, tidak ada siapa pun yang dikenal.Ketika gerimis berjatuhan, Dewi mulai ragu menunggu lebih lama lagi. Namun, saat hujan makin deras, dia memutar badan menuju rumah sakit. Gadis itu sempat menatap koridor panjang di mana letak poli obgyn, masih ramai memang.“Seingatku, Dokter Denver tidak praktik sampai malam,” gumam gadis itu sambil memandangi beberapa ibu hamil.Pada akhirnya Dewi memilih duduk bersama Danu di depan ICU—menunggui Danang. Tentu saja penampilan cantik gadis itu menimbulkan kecurigaan dari kakaknya.“Oh … Bima lupa jemput? Mungkin dia lagi ketemu klien,” kata Danu yang begitu santai mengupas kacang kulit panggang.Dewi menoleh dan memperhatikan Danu. Meskipun selalu galak dan menuntutnya menginkuti kehen
Denver melangkah cepat menuju kamar rawat Carissa, masih dihantui isi pesan yang baru diterimanya. Aroma antiseptic menusuk rongga hidung kala dia mendorong pintu hingga terbuka pelan-pelan. Lampu redup di dalam ruangan memancarkan suasana hening dan ganjil. Carissa tampak terlelap di atas ranjang, napas artis cantik itu tampak teratur. Namun Denver tetap berjaga-jaga.Beberapa detik Denver terdiam dan berdiri di ambang pintu. Dia memastikan tak ada orang lain di ruangan itu. Setelah yakin situasi aman, dia masuk dan mendekat ke sisi ranjang Carissa. Wajah cantik wanita itu tampak damai, tetapi bagi Denver, damai itu hanyalah kedok belaka.Tangan Denver merogoh saku celana, mengambil ponsel. Denver menekan tombol panggilan. Suara di ujung sana langsung menjawab.“Ruslan, lacak nomor telepon untukku,” Denver berkata pelan, suaranya terdengar datar, tetapi penuh tuntutan. Dia mengirim nomor misterius yang mengirim pesan padanya. “Cari tahu siapa pemiliknya, dan apa hubungannya dengan Car
“Jangan! Aku tidak boleh menemui Dokter Denver sekarang,” gumam Dewi sangat pelan. Dia mati-matian mengendalikan rasa cemas, tangannya yang masih bergetar hebat tak mampu menahan ponsel, hingga benda itu terjatuh ke lantai. Dengan otot tegang di leher, Dewi buru-buru memungut ponsel. Dia tahu nasibnya berada di ujung tanduk. Foto itu, meski wajahnya sengaja diblur, tetap menunjukkan ciri-ciri yang hampir tidak terbantahkan. Siapa lagi jika bukan dia? Sedangkan Denver, hanya terlihat tangan dan tubuh bagian bawahnya. Jelas sekali siapa yang ingin dijatuhkan oleh sang pengambil gambar. Akibatnya, Dewi kehilangan konsentrasi bekerja. Gerak-gerik gadis itu penuh kewaspadaan. Rekan-rekannya pun mulai mengamati, beberapa melontarkan komentar pedas. Bahkan bersumpah akan mencari tahu siapa perempuan di foto itu. “Dewi, kamu pucat banget? Kamu sakit, ya?” tanya salah satu rekan di IGD. Pertanyaan itu membuat Dewi mak
“Apa yang paling bikin kamu takut sekarang?” tanya Denver, suaranya mengalun tenang dan penuh perhatian.Dewi menunduk, jemari rampingnya meremas pinggiran sofa abu-abu yang terasa dingin di tangan. Untuk sejenak dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “Aku takut semuanya semakin buruk. Foto itu … dan apa yang akan orang-orang katakana nantinya, Dokter?”Denver menggeser posisi duduknya, mendekat. “Aku di sini untuk bantu kamu.”Dewi menatap Denver dengan mata sedikit kemerahan, lalu menyahut lirih, “Apa Dokter tahu apa yang mereka bicarakan di rumah sakit? Semuanya menyalahkan aku, kalau sampai terbukti ….” Suaranya tertahan dan menunduk.“Lihat aku,” potong Denver dengan lembut, membuat Dewi perlahan mengangkat wajahnya. “Aku pastikan tidak ada yang menyakitimu lagi.”Netra hitam Dewi berkaca-kaca mendengar ucapan Denver yang membuatnya merasa agak tenang.“Terima kasih, tapi … apa bisa aku melalui semua ini?” tanya gadis itu lirih.“Bisa!” jawab Denver dengan keyakinan
Anda pasti tidak akan percaya siapa pelakunya, Pak,” kata Ruslan dengan ekspresi wajah tegang. Dia melangkah masuk ke ruang kerja Denver di rumah sakit setelah membuat janji sebelumnya.“Apa yang kamu temukan, Ruslan? Siapa peneror itu?” tanya Denver. Dia menegakkan punggung, kedua siku bertumpu di atas meja, jemarinya saling mengunci dan tatapan tajam mengarah pada asisten pribadinya.Ruslan menyerahkan tablet berisi laporan penting yang berhasil dikumpulkan dalam dua hari terakhir. Pria itu berdiri tegak di depan meja kerja Denver yang tampak rapi. Denver mengambil tablet itu, menggulir layar, membaca dengan seksama setiap kalimat. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga bergetar. Sebuah dengusan keluar dari hidung Dokter itu, diikuti gelengan penuh amarah.“Jadi dia pelakunya,” geram Denver, “berani sekali dia mengusik Dewi! Apa kamu punya bukti transaksi penarikan uang di rekening Carissa?”“Pihak Bank hanya memberitahu ada transaksi mencurigakan. Mereka meminta Anda sela
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur
Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver terduduk di sofa kamarnya. Dia mengepalkan tangan. Ingatannya tentang bagaimana dia tertidur karena lelah tidak seharusnya berakhir seperti ini. Mata cokelat karamel melirik ke arah Carissa yang masih tertidur dengan wajah tenang. Ketidakadilan situasi ini membuat dada pria itu sesak. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur. "Bangun!" seru Denver dengan nada keras, membuat Carissa terlonjak kaget. Carissa membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. "Selamat pagi, Baby," sapa wanita itu lembut, seolah-olah tidak ada yang salah. "Apa yang kamu campur di minumanku semalam, Carissa?" Suara Denver naik satu oktaf. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" Carissa menghela napas panjang, lalu matanya menatap Denver dengan tatapan dingin. "Aku enggak melakukan apa-apa, Denver. Kamu sendiri yang capek dan tertidur. Jangan berlebihan." "Jangan berlebihan?!" teriak Denver, emosinya memuncak. "Kamu memanfaatkan aku! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ka
Pagi ini langit tampak kelabu dan hujan gerimis mulai turun, membuat Dewi enggan beranjak dari ranjang. Dia meringkuk lebih dalam di bawah selimut, tetapi matanya terpaku pada jendela yang dihiasi tetesan air. Hati Ibu hamil itu bergejolak. Perasaan rindu, khawatir, dan bimbang bercampur aduk. “Apa kamu merindukan papamu?” bisiknya sambil membelai lembut perut yang masih rata. “Kita akan bertemu dengannya nanti di rumah sakit, ya.” Setelah menarik napas panjang, Dewi memutuskan untuk bangkit. Pada pukul enam pagi, dia sudah bersiap-siap untuk bekerja. Tidak ada Denver atau Pak Agus yang menjemputnya pagi ini. Dewi memesan taksi online seperti biasa. Saat menunggu di lobi apartemen, seorang resepsionis menyapanya dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. Hanya ada namanya sebagai penerima. “Ini untuk Anda, Nona Dewi. Baru saja dikirim.” Dewi menerima amplop itu dengan rasa penasaran. Begitu membukanya, sepasang netra sipit langsung tertumbuk pada selembar surat perjanjian. Itu adalah
Pukul lima sore, Dewi berdiri di depan pintu rumah ayahnya. Udara dingin menyapa, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Dalam perutnya, terdapat gerakan samar seperti kedutan. Ini mengingatkan Dewi akan kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dalam perjalanan ke rumah Danang, dia sempat mengirim pesan kepada Denver. Namun, tidak ada balasan,.dia yakin Dokter tampan itu sedang bersama istrinya. Pintu rumah terbuka, menampilkan wajah Danang yang mulai dipenuhi kerutan usia. Mata pria paruh baya itu menyipit, menelisik penampilan putrinya dengan perhatian seorang Ayah. “Kamu datang lagi, Nak?” tanya Danang sambil menarik pelan tangan Dewi ke dalam. “Ayo masuk. Ayah masak ayam goreng d. sambal kesukaanmu. Pasti kamu lapar, ya?” Dewi tersenyum kecil, senyuman yang terasa bagai sebuah tameng. “Iya, Ayah. Dewi lapar banget.” Tangan Ibu hamil itu refleks mengusap perut, mencoba menyalurkan kasih sayang yang tidak berani dia ungkapkan. Keduanya berjalan ke ruang makan. Aroma rempah
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga