Anda pasti tidak akan percaya siapa pelakunya, Pak,” kata Ruslan dengan ekspresi wajah tegang. Dia melangkah masuk ke ruang kerja Denver di rumah sakit setelah membuat janji sebelumnya.“Apa yang kamu temukan, Ruslan? Siapa peneror itu?” tanya Denver. Dia menegakkan punggung, kedua siku bertumpu di atas meja, jemarinya saling mengunci dan tatapan tajam mengarah pada asisten pribadinya.Ruslan menyerahkan tablet berisi laporan penting yang berhasil dikumpulkan dalam dua hari terakhir. Pria itu berdiri tegak di depan meja kerja Denver yang tampak rapi. Denver mengambil tablet itu, menggulir layar, membaca dengan seksama setiap kalimat. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga bergetar. Sebuah dengusan keluar dari hidung Dokter itu, diikuti gelengan penuh amarah.“Jadi dia pelakunya,” geram Denver, “berani sekali dia mengusik Dewi! Apa kamu punya bukti transaksi penarikan uang di rekening Carissa?”“Pihak Bank hanya memberitahu ada transaksi mencurigakan. Mereka meminta Anda sela
Sungguh saat ini Dewi merasa tegang hingga tangannya berkeringat dingin. Dia yakin orang yang menyekapnya adalah anak buah Bima atau mungkin debt collector. Namun, satu hal dikenalnya adalah aroma parfum maskulin milik seseorang. “Dokter Denver?” gumam Dewi sangat pelan. Pria itu mengangguk dan menggerakkan kepala, Dewi bisa melihat garis-garis wajah tegas Dokter tampan. Dia pun menghela napas lega karena bukan orang jahat di hadapannya. Hanya saja, pria itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya—memerintah Dewi tidak bersuara.Gadis itu pun paham dan mengangguk. Bahkan dia dapat melihat kehadiran seseorang melalui pantulan bodi mobil di sampingnya. ‘Mas Bima,’ katanya dalam hati. Dia tersenyum getir karena hubungan pernikahan macam apa ini, seorang istri takut menemui suaminya sendiri? Dewi lebih memilih bersama Denver. Tampak Bima sedang mencari-cari seseorang dengan kesal. Pria itu juga melakukan panggilan suara, entah siapa yang dihubungi. Hanya terlihat gerakan mulut saja. Ti
“Hmmm, Rudi, ya? Tapi … Rudi yang mana?” gumam Carissa sambil berjalan menuju balkon kamar. Tangannya menyalakan sebatang rokok, mengepulkan asap tipis membubung perlahan ke langit. Mata wanita itu menyipit, mengamati taman luas dan otaknya berpikir keras mencari-cari sosok pria kaya yang dibicarakan Bima beberapa hari lalu.Tiga hari ini Carissa menikmati ranjang empuk di kamar pribadinya. Namun, keindahan rumah mewah itu menjadi penjara. Kegiatan syuting terhenti sementara. Bahkan Denver terpaksa membayar denda besar kepada salah satu rumah produksi. Tapi bukan Carissa namanya kalau dia diam saja. Wanita itu meraih ponsel lain dari laci. Dengan senyuman tipis yang penuh rencana, dia mengetik pesan singkat dan mengirimkan kepada seseorang.Di tempat lain, suasana berbeda menyelimuti ruang perawatan VIP. Dewi duduk di samping tempat tidur sang ayah, Danang, yang kini tampak lebih segar. Senyum pria paruh baya itu merekah sambil membelai punggung tangan putri kebanggannya.“Makasih, Wi
Suara langkah menggema di ruang tamu rumah kontrakan yang sepi. Hujan deras masih menghantam tanah di luar dan udara malam terasa menusuk tulang. Membuat Dewi menggigit bibir dengan kedua tangan menggenggam ujung sweater merah muda. Netra sipit gadis itu tidak lepas dari jendela. “Dewi?” panggil Danang memecah keheningan. Pria paruh baya itu melangkah mendekat, sorot matanya lembut. “Bima enggak jemput, ya? Mau menginap?” Dewi menggeleng cepat, lalu mengusap lengan berisi ayahnya dengan lembut. “Tidak perlu, Ayah. Dewi tunggu reda saja,” jawabnya seraya tersenyum tipis. Danang mengusap kepala Dewi pelan. “Ya, sudah. Kalau nanti pulang, pamit sama Danu saja. Ayah tidur dulu, ya?” “Iya, Ayah. Istirahatlah, jangan lupa pesan dokter.” Dewi mengangkat jari telunjuk, membuat Danang terkekeh kecil sebelum melangkah ke kamar di samping ruang keluarga. Sudah sepuluh hari ini Dewi menjenguk Danang pascalepas rawat. Dia tidak mengizinkan sang ayah pulang ke kampung halaman sebelum kondis
Dewi bergeming menatap punggung Denver yang perlahan menjauh. Ada rasa ragu menggelayut pikiran, seolah langkah pria itu menyiratkan sesuatu. Dia bergegas menutup pintu yang memberi suasana hening membuat dadanya sesak. Dia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran yang tidak menentu. Dengan langkah cepat, Dewi mengganti pakaian, dan merebahkan diri di atas ranjang. Namun, matanya tetap terbuka. Pikirannya mencoba memahami bagaimana Denver harus berpuasa.“Kali ini pembuahan harus berhasil,” gumam Dewi.Malam itu berlalu dalam gelisah. Keesokan harinya, Dewi terbangun dengan napas terengah. Dia meraih ponsel di atas nakas, melihat jam menunjukkan pukul 05.30. Gadis itu pun bergegas siap-siap bekerja.Sesampainya di rumah sakit, Dewi menaruh tas di loker, membawa ponsel dan uang secukupnya di saku. Saat briefing, matanya bertemu sepasang manik cokelat karamel di dalam ruangan luas in. Seketika, ingatan akan malam sebelumnya kembali menghantam.Selesai briefing, Dewi menjalankan
“Dewi …,” kata Denver di sela pagutan keduanya. Jakun pria itu turun naik, dan terasa jelas bagaimana celana panjang hitamnya mulai sesak. Dewi mengerang pelan, tubuhnya sedikit menggeliat ketika desakan itu menekan bagian bawah tubuhnya. Dia sudah dewasa, memahami apa yang mungkin akan terjadi. Namun, otaknya berperang dengan tubuhnya dipenuhi gelombang hormon memabukkan.“Aahh,” desahan tertahan meluncur dari bibir Dewi ketika satu tangan Denver perlahan menyentuh pahanya, masih tertutup oleh daster merah jambu.Gadis itu membelalakkan mata sipitnya, merasakan jemari pria itu kini menelusup ke balik kain tipis. Perintah otak untuk menghentikan tangan itu beradu dengan desakan tubuh untuk menyerah pada sentuhan.Oksitosin dan dopamin mengambil alih. Tubuh Dewi bereuforia, merespons sentuhan lembut menggetarkan. Ketika jemari Denver berani menarik kain terakhir yang melapisi, dia hanya bisa memejamkan mata dan menggigit bibir untuk menahan gejolak panas menyerang setiap sel tubuhnya.
Dewi masih memandang layar ponsel di meja dengan tatapan kosong. Nama ‘Istriku’ yang tertera membuat perasaan bersalah bercampur iri menyusup ke dalam hatinya.Dia tahu perasaan itu salah, tetapi makin sulit diabaikan. Dia pun segera menjauh dari Denver, duduk di pinggir ranjang dan membiarkan pria itu menerima panggilan suara. Dewi memandangi Denver yang berjalan menuju balkon sambil menggulir layar ponsel.Dia memilih tidak menguping, lalu membaringkan tubuh dan menarik selimut seolah melindungi diri dari kerapuhan.“Aku bodoh,” gumamnya pelan. Dewi menatap balkon yang hanya terhalang kaca dengan pandangan hampa. Lelehan hangat seketika mengalir sebelum akhirnya dia tertidur.Sedangkan di balkon, Denver mendengkus ketika mendengar istrinya meminta uang.“Ayolah, Baby, kirim 50 juta. Aku takut gaunnya dibeli orang duluan,” rengek Carissa.“Bukannya gaunmu sudah banyak?” Denver memijat pelipis karena wanita itu menjadikan dirinya bagai mesin ATM hidup.“Ini ‘kan untuk hari spesial kit
“Ruslan, apa tidak ada catatan detail soal ke mana uang itu?” tanya Denver tetap tenang, tetapi matanya tajam menatap sang asisten yang berdiri di seberangnya. Ruslan mengangguk sambil menyerahkan berkas di tangannya. “Betul, Pak. Dari laporan pihak bank, ada penarikan secara berkala dari rekening Bu Carissa. Terakhir pagi ini, sejumlah 50 juta. Tapi, tidak ada keterangan jelas ke mana uang itu digunakan.” Denver membuka berkas tersebut, membaca dengan saksama. Jari-jarinya mengetuk meja kayu besar di ruang kerjanya di J&B Pharmacy. Dia menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit ruangan sejenak. “Ini aneh. Carissa bukan tipe orang yang kekurangan uang,” gumam Denver dengan jemari saling tertaut. Ketegangan belum berakhir, ponsel Denver berdering. Dia menerimanya tanpa mengalihkan pandangan dari Ruslan. “Ya, Rudi?” Suara di seberang terdengar sedikit tergesa-ge
“Dokter Denver,” ucap Dewi tanpa suara. Bibir mungilnya bergerak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.Jantung Dewi berdegup begitu cepat karena lonjakan hormon dopamin, seakan ingin melompat dari dadanya. Tubuh mungilnya seakan membeku, tetapi hatinya juga berontak.Dia ingin mendekat, ingin berlari ke dalam pelukan pria itu, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh Danis.“Untuk apa kamu ke sana? Tunggulah sampai acara konferensi pers ini selesai,” bisik Danis, sorot mata hitamnya jelas melarang.Dewi menelan ludah dan menggeleng. Napas gadis itu tersengal, tetapi dia tidak peduli. Ini Denver. Ayah dari Dirgantara, juga pria yang mengisi kehampaan selama setahun belakangan.Dengan gerakan tegas, Dewi melepaskan cengkeraman tangan Danis yang tidak terlalu kuat. Sepasang kaki yang dibingkai heels putih melangkah begitu lemas ke arah Denver.Mata mereka saling bertemu, ada kerinduan yang begitu pekat.Denver melengkungkan senyum, tetapi berbeda dari Darius yang mengepalkan tangan
Setibanya di Kota Malang, Denver langsung menggunakan taksi menuju kediaman Danis. Sepanjang jalan, jari-jarinya pria itu terus mengetuk layar ponsel.Dia mencoba menghubungi Dewi dan Astuti. Namun, hasilnya tetap sama—panggilan tak terjawab."Sial!" gumam Denver, rahangnya mengeras. “Ke mana mereka semua?”Pikiran pria itu seketika dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika Dewi sudah dipaksa menikah? Bagaimana jika Darius sedang menggenggam tangannya di altar? Bagaimana jika Dirgantra menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya?Bahkan parahnya lagi, jika Dewi benar-benar dibawa menjauh, entah ke mana. Bukankah itu sulit bagi Denver untuk merebutnya lagi?Jantung Denver berdetak lebih cepat dari biasanya dan denyut nadinya terasa hingga di pelipis. Dia tidak bisa tinggal diam!“Permisi, Pak. Sudah sampai tujuan,” ujar sopir taksi dengan suara pelan. “Pak?”Seketika Denver tersentak dari lamunan mengerikan itu. Dia mengembuskan napas kasar, untuk menepis kekhawatiran yang terus menghantu
"Pak, Anda yakin mau ke Malang hari ini?" tanya Ruslan yang melangkah cepat mengikuti ritme Denver."Siapkan saja semuanya, Ruslan! Aku tidak bisa membiarkan Darius menikahi Dewi! Apalagi Pak Danis pasti memaksa Dewi," geram Denver, matanya menyala penuh amarah."Tapi … bagaimana dengan Nyonya Dwyne, Pak? Kondisinya tidak memungkinkan ditinggal," tukas Ruslan, suaranya terdengar ragu.Langkah Denver terhenti. Pikiran Dokter tampan itu berkecamuk. Jika saja tubuhnya bisa terbagi dua, dia pasti akan melakukan itu. Dwyne, Dewi, dan Dirgantara adalah tanggung jawabnya.Dia tidak ingin kehilangan mereka!"Tangan Anda, Pak," tunjuk Ruslan.Denver menatap pergelangan tangannya. Darah segar menetes dari luka bekas infus yang terbuka, tetapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya mendengkus ketika melihat Darius sedang berjalan bersama pasien lain."Kamu benar, Ruslan. Untuk saat ini, Mama tidak bisa ditinggal. Pastikan Darius tetap di sini! Katakan pada direktur, jangan memberinya izin!"
Dewi mengepalkan tangan, suaranya tercekat. "Pak Danis …"Di belakang pria itu, dua orang pengurus rumah tangga berdiri, salah satunya membawa nampan berisi makanan."Papa mau makan siang bareng kamu, Wi," ujar Danis, suaranya lembut.Astuti memberi isyarat agar Dewi menurut. Dengan langkah ragu, Dewi turun dari ranjang dan duduk bersama Danis di meja bundar. Beragam hidangan khas Malang tersaji di hadapannya.Danis menyendokkan lauk ke piring kosong Dewi dan tersenyum hangat. "Makan yang banyak, Wi. Seorang ibu harus kuat. Setelah kamu terbiasa di sini, Papa akan mengenalkan kamu ke semua orang. Termasuk adikmu yang sekarang kuliah di luar negeri."Senyuman hangat Danis seharusnya membuat tenang. Seharusnya, pelukan keluarga yang telah lama hilang ini terasa nyaman. Tapi kenapa justru ada ketakutan yang menggelayut di dadanya? Kenapa setiap sendok makanan yang diberikan Danis terasa seperti belenggu yang makin mengikatnya?"Ayo, makan," Danis menepuk punggung Dewi dengan lembut.Setel
"Ini semua demi kebaikanmu, Dewi," tutur Danis yang duduk di depan Dewi. Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan putrinya, tetapi Dewi menariknya. Ada keengganan dalam diri, sebuah dorongan kuat untuk menolak sentuhan itu. Dewi menggeleng, entah mengapa dia merasa pertemuan ini tidak seharusnya terjadi. Dalam hatinya, dia berharap biarlah segalanya tetap seperti dulu—biarlah dia tetap menjadi putri Danang dan Tari, bukan seperti ini. "Pak Danis, tolong … a–aku mau pulang," lirihnya sambil mendekap erat tubuh Dirga yang terbangun beberapa saat lalu. Danis berdeham. "Pulang? Rumahmu di Malang, bukan di Jakarta," ucapnya tenang, "pesawat lepas landas. Tidak ada jalan untuk turun." Tangan Dewi mencengkeram lengan kursi dengan erat, kukunya hampir menekan kulit sendiri. Detak jantung gadis itu berdetak begitu cepat, sedangkan pikirannya kacau. Dia ingin berteriak, meminta seseorang menghentikan pesawat ini. Namun, dia hanya bisa duduk di sana, menatap kosong ke luar jendela, melihat
"Apa peringatanku kurang, Denver?" Suara tegas itu kembali memenuhi ruangan.Dewi yang bersembunyi di balik punggung kekar Denver mendongak menatap kepala Dokter tampan itu dari belakang. Mata sipitnya makin menyipit, menciptakan garis tanya di sana. Ada ketegangan yang memenuhi udara, membuat gadis itu menggigit bibir dengan gelisah.Sungguh, dia tidak tahu ada kesepakatan apa antara Danis dan Denver.Sebelum sempat bertanya, suara Oma Nayla menggema di ruangan ini. Wanita senja itu melangkah ke depan dengan tatapan menyelidik."Sebenarnya ada apa ini?"Denver menoleh pada sang oma, manik karamelnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Dewi berusaha mencari makna di balik sorot mata itu, tetapi rasanya terlalu rumit untuk diterjemahkan."Tolong tetap di sini bersama Dewi dan Mama," kata Denver pada sang oma dengan suara pelan, tetapi penuh ketegasan.Tatapan Denver bergeser pada Dewi-nya, hingga sorot mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang ingin gadis itu tanyakan, tetapi Denver su
"Pak Danis," gumam Dewi. Pikirannya langsung tertuju pada pria yang menyatakan diri sebagai ayah kandungnya. Benar, seperti kata Darius, tepat hari ini Danis boleh pulang. Mungkin pria itu ingin bertemu dengannya.Dia meraih sweater merah muda dan tas selempang hitamnya, lalu mengikat rambut dengan asal dan menghubungi ojek online.Akann tetapi, baru saja Dewi keluar dari kamar, pandangannya bertemu dengan Denver yang sedang berbincang bersama Dirga. Dia pun menjadi kaku.Denver memang tidak bersuara, tetapi tatapan tajamnya menyiratkan sebuah pertanyaan."Umm … a—ku ada perlu ke rumah sakit, sebentar. Aku akan segera kembali," gugup Dewi sambil meremas tali tasnya.Lagi, Denver tidak menanggapi. Bahkan pria itu melenggang pergi menjauhi Dewi. Membuat gadis itu menelan rasa kecewa. Dia bukan berharap diantar, tetapi cukup mendapat sahutan saja sudah melegakan hati.Pria itu justru menuju ke ruangan lain. Seolah enggan melihat wajah Dewi."Tidak apa-apa, Dewi. Lagi pula ini memang sala
Tangan Denver yang terkepal tepat di depan dadanya menunjukkan garis-garis otot dan pembuluh darah, menandakan betapa tegangnya dia. Napas pria itu berat, nyaris tersendat, dan dia harus menyeka matanya yang hampir basah.Setelahnya, Denver turun dari ranjang pasien, lalu berdiri di samping ranjang sang mama, menatap penuh sayang sembari membelai bahunya.“Apa Dokter Mario sudah selesai operasi? Katakan padanya mamaku butuh pertolongan secepatnya!” tegas Denver dengan suara tegang.Seorang perawat bergegas mencari informasi.Bilik gawat darurat mulai lengang. Perawat dan beberapa dokter yang sempat memberikan pertolongan pertama kembali ke pos masing-masing. Tersisa Denver dan dokter umum.Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang memberitahu, “Dokter Mario segera ke sini, Dok.”Denver tidak menyahut, hanya menatap layar monitor yang bergerak, menunjukkan angka-angka penunjuk kehidupan.Setelahnya, Dwyne menjalani pemeriksaan oleh tim dokter spesialis. Wanita itu didiagnosis menga
“Mama ini bukan anak kecil yang bisa diajak bercanda, Denver!” tegas Dwyne, tetapi gestur tubuhnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu gemetar membuat tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan sesuatu.“Menurut Mama, apa aku sedang bercanda? Untuk apa?” sahut Denver sembari mendekati mereka yang berdiri terpaku di tempat.Sejenak pria itu menatap Dewi dalam, lantas memejamkan mata. Dia teringat percakapannya dengan Danis beberapa saat lalu.Tadi, selesai praktik, Denver sengaja menemui Danis secara langsung. Dia merasa harus mengetahui kebenaran ini dari berbagai sumber. Danis mengakuinya, bahkan memberikan Denver selembar foto usang.Dalam foto itu, seorang wanita tengah mengandung, dan wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Namun, pria tampan di sampingnya bukanlah Denver—melainkan Danis sewaktu muda.Ya, dia tahu itu, sebab beberapa kali Dwyne dan mendiang ayahnya membawa Denver kecil berkunjung ke rumah pria itu. Masih jelas dalam ingatannya foto Danis muda.Termas