“Jangan! Aku tidak boleh menemui Dokter Denver sekarang,” gumam Dewi sangat pelan. Dia mati-matian mengendalikan rasa cemas, tangannya yang masih bergetar hebat tak mampu menahan ponsel, hingga benda itu terjatuh ke lantai.
Dengan otot tegang di leher, Dewi buru-buru memungut ponsel. Dia tahu nasibnya berada di ujung tanduk. Foto itu, meski wajahnya sengaja diblur, tetap menunjukkan ciri-ciri yang hampir tidak terbantahkan. Siapa lagi jika bukan dia? Sedangkan Denver, hanya terlihat tangan dan tubuh bagian bawahnya. Jelas sekali siapa yang ingin dijatuhkan oleh sang pengambil gambar. Akibatnya, Dewi kehilangan konsentrasi bekerja. Gerak-gerik gadis itu penuh kewaspadaan. Rekan-rekannya pun mulai mengamati, beberapa melontarkan komentar pedas. Bahkan bersumpah akan mencari tahu siapa perempuan di foto itu. “Dewi, kamu pucat banget? Kamu sakit, ya?” tanya salah satu rekan di IGD. Pertanyaan itu membuat Dewi mak“Apa yang paling bikin kamu takut sekarang?” tanya Denver, suaranya mengalun tenang dan penuh perhatian.Dewi menunduk, jemari rampingnya meremas pinggiran sofa abu-abu yang terasa dingin di tangan. Untuk sejenak dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “Aku takut semuanya semakin buruk. Foto itu … dan apa yang akan orang-orang katakana nantinya, Dokter?”Denver menggeser posisi duduknya, mendekat. “Aku di sini untuk bantu kamu.”Dewi menatap Denver dengan mata sedikit kemerahan, lalu menyahut lirih, “Apa Dokter tahu apa yang mereka bicarakan di rumah sakit? Semuanya menyalahkan aku, kalau sampai terbukti ….” Suaranya tertahan dan menunduk.“Lihat aku,” potong Denver dengan lembut, membuat Dewi perlahan mengangkat wajahnya. “Aku pastikan tidak ada yang menyakitimu lagi.”Netra hitam Dewi berkaca-kaca mendengar ucapan Denver yang membuatnya merasa agak tenang.“Terima kasih, tapi … apa bisa aku melalui semua ini?” tanya gadis itu lirih.“Bisa!” jawab Denver dengan keyakinan
Anda pasti tidak akan percaya siapa pelakunya, Pak,” kata Ruslan dengan ekspresi wajah tegang. Dia melangkah masuk ke ruang kerja Denver di rumah sakit setelah membuat janji sebelumnya.“Apa yang kamu temukan, Ruslan? Siapa peneror itu?” tanya Denver. Dia menegakkan punggung, kedua siku bertumpu di atas meja, jemarinya saling mengunci dan tatapan tajam mengarah pada asisten pribadinya.Ruslan menyerahkan tablet berisi laporan penting yang berhasil dikumpulkan dalam dua hari terakhir. Pria itu berdiri tegak di depan meja kerja Denver yang tampak rapi. Denver mengambil tablet itu, menggulir layar, membaca dengan seksama setiap kalimat. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga bergetar. Sebuah dengusan keluar dari hidung Dokter itu, diikuti gelengan penuh amarah.“Jadi dia pelakunya,” geram Denver, “berani sekali dia mengusik Dewi! Apa kamu punya bukti transaksi penarikan uang di rekening Carissa?”“Pihak Bank hanya memberitahu ada transaksi mencurigakan. Mereka meminta Anda sela
Sungguh saat ini Dewi merasa tegang hingga tangannya berkeringat dingin. Dia yakin orang yang menyekapnya adalah anak buah Bima atau mungkin debt collector. Namun, satu hal dikenalnya adalah aroma parfum maskulin milik seseorang. “Dokter Denver?” gumam Dewi sangat pelan. Pria itu mengangguk dan menggerakkan kepala, Dewi bisa melihat garis-garis wajah tegas Dokter tampan. Dia pun menghela napas lega karena bukan orang jahat di hadapannya. Hanya saja, pria itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya—memerintah Dewi tidak bersuara.Gadis itu pun paham dan mengangguk. Bahkan dia dapat melihat kehadiran seseorang melalui pantulan bodi mobil di sampingnya. ‘Mas Bima,’ katanya dalam hati. Dia tersenyum getir karena hubungan pernikahan macam apa ini, seorang istri takut menemui suaminya sendiri? Dewi lebih memilih bersama Denver. Tampak Bima sedang mencari-cari seseorang dengan kesal. Pria itu juga melakukan panggilan suara, entah siapa yang dihubungi. Hanya terlihat gerakan mulut saja. Ti
“Hmmm, Rudi, ya? Tapi … Rudi yang mana?” gumam Carissa sambil berjalan menuju balkon kamar. Tangannya menyalakan sebatang rokok, mengepulkan asap tipis membubung perlahan ke langit. Mata wanita itu menyipit, mengamati taman luas dan otaknya berpikir keras mencari-cari sosok pria kaya yang dibicarakan Bima beberapa hari lalu.Tiga hari ini Carissa menikmati ranjang empuk di kamar pribadinya. Namun, keindahan rumah mewah itu menjadi penjara. Kegiatan syuting terhenti sementara. Bahkan Denver terpaksa membayar denda besar kepada salah satu rumah produksi. Tapi bukan Carissa namanya kalau dia diam saja. Wanita itu meraih ponsel lain dari laci. Dengan senyuman tipis yang penuh rencana, dia mengetik pesan singkat dan mengirimkan kepada seseorang.Di tempat lain, suasana berbeda menyelimuti ruang perawatan VIP. Dewi duduk di samping tempat tidur sang ayah, Danang, yang kini tampak lebih segar. Senyum pria paruh baya itu merekah sambil membelai punggung tangan putri kebanggannya.“Makasih, Wi
Suara langkah menggema di ruang tamu rumah kontrakan yang sepi. Hujan deras masih menghantam tanah di luar dan udara malam terasa menusuk tulang. Membuat Dewi menggigit bibir dengan kedua tangan menggenggam ujung sweater merah muda. Netra sipit gadis itu tidak lepas dari jendela. “Dewi?” panggil Danang memecah keheningan. Pria paruh baya itu melangkah mendekat, sorot matanya lembut. “Bima enggak jemput, ya? Mau menginap?” Dewi menggeleng cepat, lalu mengusap lengan berisi ayahnya dengan lembut. “Tidak perlu, Ayah. Dewi tunggu reda saja,” jawabnya seraya tersenyum tipis. Danang mengusap kepala Dewi pelan. “Ya, sudah. Kalau nanti pulang, pamit sama Danu saja. Ayah tidur dulu, ya?” “Iya, Ayah. Istirahatlah, jangan lupa pesan dokter.” Dewi mengangkat jari telunjuk, membuat Danang terkekeh kecil sebelum melangkah ke kamar di samping ruang keluarga. Sudah sepuluh hari ini Dewi menjenguk Danang pascalepas rawat. Dia tidak mengizinkan sang ayah pulang ke kampung halaman sebelum kondis
Dewi bergeming menatap punggung Denver yang perlahan menjauh. Ada rasa ragu menggelayut pikiran, seolah langkah pria itu menyiratkan sesuatu. Dia bergegas menutup pintu yang memberi suasana hening membuat dadanya sesak. Dia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran yang tidak menentu. Dengan langkah cepat, Dewi mengganti pakaian, dan merebahkan diri di atas ranjang. Namun, matanya tetap terbuka. Pikirannya mencoba memahami bagaimana Denver harus berpuasa.“Kali ini pembuahan harus berhasil,” gumam Dewi.Malam itu berlalu dalam gelisah. Keesokan harinya, Dewi terbangun dengan napas terengah. Dia meraih ponsel di atas nakas, melihat jam menunjukkan pukul 05.30. Gadis itu pun bergegas siap-siap bekerja.Sesampainya di rumah sakit, Dewi menaruh tas di loker, membawa ponsel dan uang secukupnya di saku. Saat briefing, matanya bertemu sepasang manik cokelat karamel di dalam ruangan luas in. Seketika, ingatan akan malam sebelumnya kembali menghantam.Selesai briefing, Dewi menjalankan
“Dewi …,” kata Denver di sela pagutan keduanya. Jakun pria itu turun naik, dan terasa jelas bagaimana celana panjang hitamnya mulai sesak. Dewi mengerang pelan, tubuhnya sedikit menggeliat ketika desakan itu menekan bagian bawah tubuhnya. Dia sudah dewasa, memahami apa yang mungkin akan terjadi. Namun, otaknya berperang dengan tubuhnya dipenuhi gelombang hormon memabukkan.“Aahh,” desahan tertahan meluncur dari bibir Dewi ketika satu tangan Denver perlahan menyentuh pahanya, masih tertutup oleh daster merah jambu.Gadis itu membelalakkan mata sipitnya, merasakan jemari pria itu kini menelusup ke balik kain tipis. Perintah otak untuk menghentikan tangan itu beradu dengan desakan tubuh untuk menyerah pada sentuhan.Oksitosin dan dopamin mengambil alih. Tubuh Dewi bereuforia, merespons sentuhan lembut menggetarkan. Ketika jemari Denver berani menarik kain terakhir yang melapisi, dia hanya bisa memejamkan mata dan menggigit bibir untuk menahan gejolak panas menyerang setiap sel tubuhnya.
Dewi masih memandang layar ponsel di meja dengan tatapan kosong. Nama ‘Istriku’ yang tertera membuat perasaan bersalah bercampur iri menyusup ke dalam hatinya.Dia tahu perasaan itu salah, tetapi makin sulit diabaikan. Dia pun segera menjauh dari Denver, duduk di pinggir ranjang dan membiarkan pria itu menerima panggilan suara. Dewi memandangi Denver yang berjalan menuju balkon sambil menggulir layar ponsel.Dia memilih tidak menguping, lalu membaringkan tubuh dan menarik selimut seolah melindungi diri dari kerapuhan.“Aku bodoh,” gumamnya pelan. Dewi menatap balkon yang hanya terhalang kaca dengan pandangan hampa. Lelehan hangat seketika mengalir sebelum akhirnya dia tertidur.Sedangkan di balkon, Denver mendengkus ketika mendengar istrinya meminta uang.“Ayolah, Baby, kirim 50 juta. Aku takut gaunnya dibeli orang duluan,” rengek Carissa.“Bukannya gaunmu sudah banyak?” Denver memijat pelipis karena wanita itu menjadikan dirinya bagai mesin ATM hidup.“Ini ‘kan untuk hari spesial kit
Saat ini Denver duduk termenung di bangku logam. Sepuluh jemari tangannya saling menyatu erat dan menempel pada kening. Sesekali, pria itu juga menatap pintu ruang bank darah.Ketika seseorang ke luar dengan lengan terpasang plester, detik itu Denver mendapat jawaban bahwa darah yang didonorkan oleh sang pendonor cocok dengan Dewi.“Terima kasih, Darius,” ucap Denver sambil melengkungkan senyum tipis.“Dia juga pasienku,” jawab Darius sambil menatap tajam, lalu bertanya, “Boleh aku menjenguknya?”Denver menatap pria itu beberapa saat. Meskipun sosok di hadapannya telah berjasa, tetap saja berat hati Denver mengizinkan. Dia menggeleng dan berkata, “Dilarang masuk selain petugas ICU dan dokter yang bertanggung jawab.”“Aku hanya ingin memastikan Dewi baik-baik saja, Denver,” ujar Darius, matanya menatap lurus seolah mencari celah dalam keteguhan Denver. Namun, tatapan Denver yang dingin tetap tidak memberi ruang.“Baiklah, aku mengerti. Sampaikan salamku padanya, katakan dia wanita heba
Mata karamel Denver bergetar menatap roda-roda brankar bergerak cepat keluar dari ruang operasi. Tubuh pria itu melemas bagai kehilangan rangkanya setelah melakukan penyelamatan kepada Dewi, yang mengalami pendarahan.“Dewi …,” lirih Denver, kini bersandar pada pintu kaca.Akan tetapi, tangis bayi menyadarkan Denver untuk tetap tegar dan berdiri kokoh sebagai pria sekaligus ayah. Dia menoleh dan melihat tubuh kecil itu.“Dokter, bayi Anda akan kami bawa ke NICU,” ujar seorang tim neonatalogis.Denver mengangguk, lantas meraih bayinya dan menggendongnya ke luar dari ruang operasi. Namun, di depan pintu dia menggeram ketika sang mama melontarkan sebuah pertanyaan menyakitkan, “Bayinya baik-baik saja, ‘kan? Kamu harus cepat tes DNA!”“Cukup, Ma!” desis Denver tertahan seolah enggan mengusik tidur bayi kecilnya.“Apa lagi? Kita harus tahu dia anakmu atau bukan!” desak Dwyne yang mendapat tatapan tajam dari Denver.Tatapan Dwyne sedikit goyah, tetapi dia segera mengangkat dagu. “Aku hanya
Semua orang dalam ruangan tercengang mendengar pernyataan itu. Namun, Dwyne maju dan menatap tajam kepada orang itu. “Kamu bukan dokter di rumah sakit ini, Darius!” hardiknya.“Tante, ini kondisi darurat!” sergah Darius yang kemudian melangkah maju dan melihat Dewi terbaring tidak berdaya. “Sebagai dewan komite, aku harap Tante Dwyne memberiku izin,” sambungnya.Darius menatap Dewi yang terbaring lemah di brankar. “Aku tidak bisa membiarkan dia seperti ini,” ucapnya tegas dan sorot matanya menunjukkan rasa bersalah.Dwyne mengepalkan tangan dan membuang tatapan ke arah lain, tetapi rintih kesakitan Dewi serta isak tangis Astuti membuat wanita itu mendengkus, lalu mengangguk pelan.“Sebagai dokter tamu. Bantu dia sampai Denver selesai operasi pasien lain!” tegas Dwyne.Seketika Darius memeriksa catatan hasil pemeriksaan tanda vital Dewi. Dokter itu pun mengambil keputusan membawa Dewi ke ruang operasi.“Tolong, Dokter. Selamatkan Dewi dan anaknya!” pinta Astuti sambil terus menggenggam
Hari-hari yang dijalani Dewi seiring bertambahnya usia kandungan sangatlah berat. Sekarang, dia sama sekali kesulitan berjalan karena kakinya membengkak, termasuk wajah yang sebelumnya tirus. Dia pun menatap pantulan diri yang menyedihkan ini pada cermin.“Bertahanlah, Sayang,” gumamnya memandangi perut buncit.“Dewi, kenapa lama? Ada tamu!” teriak Astuti membuat Dewi buru-buru mencuci muka untuk menyamarkan garis sendu pada wajah.“Ya, Bu. Sebentar,” sahutnya.Sayang, rasa mual menyerangnya lagi hingga dia muntah. Padahal Denver sudah memberikan obat penunjang kesehatan untuk mengurangi dampak komplikasi, tetapi seolah tidak berpengaruh padanya.“Wi, kamu muntah lagi?” tanya Astuti.Dewi tidak menjawab karena desakan dari dalam lambung cukup hebat. Hingga Astuti menerobos masuk dan melihat dia sedang kepayahan. Ya, dia memang tidak pernah mengunci pintu.“Dewi bisa, Bu,” lirihnya sambil menyeka noda muntahan yang menempel pada dagu.“Jangan ngeyel, kamu, Wi! Ayo, Ibu bantu,” kata Ast
“Oh … sekarang Mama tahu, Ibu hamil yang kamu tolong waktu itu siapa,” sarkas Dwyne dengan senyum mengembang, tetapi terasa membuat bulu kuduk Dewi merinding.Melihat mamanya makin mendekat masuk, Denver berdiri tepat di depan Dewi. Menghalangi jarak pandang wanita itu. Dia yakin mamanya tidak akan tinggal diam saja.“Berhenti, Ma!” titah Denver begitu tegas. Bahkan saat ini rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga urat-urat di punggung tangan tampak jelas.“Mama mau tanya bagaimana kabarnya Dewi, apa salah?” Tatapan Dwyne beralih pada Denver. “Bagaimanapun katanya dia hamil keturunan kita, bukan?”“Aku mohon Mama jangan sakiti Dewi!” tegas Denver lagi.Alih-alih merasakan takut dan menciut, justru Dewi menggenggam pergelangan tangan Denver membuat pria itu menoleh.“Aku tidak apa-apa, Dokter,” lirih Dewi dengan kerlingan kelopak mata yang seolah meyakinkan.Denver pun menggeser badan.Kini tampaklah Dewi dan Dwyne saling berhadapan. Dua wanita berbeda usia yang memiliki posis
Dewi terkesiap, tubuhnya sedikit merapat ke dinding. Bayangan wanita elegan yang baru saja dia lihat di lobi rumah sakit masih jelas terpatri di pikirannya. Namun, saat dia memberanikan diri untuk mengintip lagi, sosok itu menghilang. “Bu Dwyne …,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar dan napas tercekat. Ketika Dewi sedang dirundung kegundahan, punggungnya mendadak ditepuk dari belakang. Dia tersentak, langsung berbalik dengan sorot mata penuh kewaspadaan. “Kenapa berdiri di sini?” tanya orang itu yang menatap dengan alis mengernyit. “Anda baik-baik saja?” Dewi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya kira … ya, saya baik-baik saja. Kenapa Dokter Darius ada di sini?” Netra hitamnya masih memindai penuh kewaspadaan ke sekitar. “Boleh saya bantu antar ke kamar?” tawar Darius ramah. Dewi ragu sejenak, lalu mengangguk karena bagaimanapun Dwyne bisa muncul kapan saja. “Terima kasih, Dokter.” Senyum hangat terukir pada wajah kurus Dewi. “Jangan sungkan meminta
Carissa berdiri di tengah ruangan sempit dengan wajah merah padam. Setelah dari gedung pengadilan dia langsung menuju apartemen. Kini tangan wanita itu menggenggam erat ponsel yang layarnya sudah retak. Komentar-komentar penuh hinaan dari media sosial terpampang jelas di depannya, seolah menertawakan keterpurukannya. “Dasar artis murahan!” “Pantas saja ditinggal suami!” Carissa melempar ponsel lagi ke sofa tua, napasnya pun memburu. Dia memutar tubuh ke arah anak kecil yang duduk di sudut ruangan, memeluk boneka usang dengan wajah ketakutan. “Kamu kenapa diam saja?! Jangan lihat aku dengan tatapan itu!” bentak Carissa, suaranya penuh dengan amarah. Bocah kecil itu hanya menunduk, tangannya semakin erat memeluk bonekanya. “Kamu ini cuma bikin hidupku tambah susah!” raung Carissa sambil menendang kursi kecil di dekatnya. Kursi itu terjatuh dengan bunyi keras, membuat anak itu makin mengecilkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, dan Chico muncul denga
Carissa mematung di tempat, mata bulatnya membelalak saat seseorang pria berdiri di ambang pintu. Pasalnya langkah pria itu memasuki ruangan dengan menggendong seorang anak kecil. Bocah itu mengenakan pakaian rapi, rambutnya diikat dua, dan kedua matanya yang besar menatap ke sekeliling dengan bingung. “Mama!” seru bocah itu, tangannya terulur ke arah Carissa. Suasana ruang sidang menjadi sunyi senyap. Bahkan suara detak jam di dinding terasa begitu jelas. Carissa makin membeku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Denver melangkah mendekati pria itu dengan tatapan dingin dan tegas. “Biar aku yang gendong dia, Ruslan,” ujar Denver yang diangguki asistennya. Ruslan menyerahkan bocah kecil itu dengan hati-hati. Tatapannya sempat bertemu mata Denver, mengisyaratkan bahwa mereka sudah melakukan segalanya untuk sampai pada momen ini. Bahkan Ruslan sempat baku hantam bersama Chico demi menghadirkan bocah itu di ruangan ini. Perlahan Denver meraih anak kecil itu dengan hati-hat
Pagi ini, Dewi terbangun dengan kepala yang terasa berat, seolah-olah ada beban tak kasat mata menghimpit pelipisnya. Napasnya pendek, dan dia mencoba bergerak dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, seolah semua tenaga terkuras habis. “Bu Astuti?” panggilnya dengan suara serak, yang hampir tenggelam dalam kesunyian kamar rumah sakit. Tatapan manik hitam tertuju ke pintu kamar yang setengah terbuka, berharap ada langkah kaki yang mendekat. Namun, yang terdengar hanya suara angin dari luar jendela. Rasa mual menyerang dengan tiba-tiba. Dewi berusaha bangkit dari tempat tidur, meskipun langkahnya tertatih. Tangan kurusnya meraba dinding dan berusaha mencari pegangan, tetapi pandangannya mulai kabur. Semua terasa berputar, dan tubuhnya terasa ringan seperti ingin jatuh. Saat itulah pintu terbuka dengan cepat. Aroma hangat sup ikan yang memenuhi udara membuat Dewi sedikit lega, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Ya ampun, Dewi!” seru Bu Astuti panik, lalu bergegas membantu Dewi to