“Dokter mau apa?” tanya Dewi. Netra hitam pekatnya mengamati setiap gerakan Denver.Suara maskulin Denver menyahut, “Menurutmu aku mau apa?”Gadis itu mereguk saliva ketika Denver menanggalkan jaket kulit dan melempar pelan ke arah Dewi. Namun, dia tidak bisa menangkap dengan baik, sebab kedua tangannya mendadak tremor.Ekspresi Denver tampak dingin, seolah pria itu berniat menghardik Dewi karena menjatuhkan jaket kulit. Gadis itu gelagapan ketika Denver mengikis jarak dan berdiri tepat di hadapannya. Denver mengambil jaketnya dan menyerahkan ke pelukan Dewi.Kegugupan Dewi makin bertambah kala Denver mengangkat tubuh mungilnya dan mendudukkan gadis itu di atas meja konter besar.“Ah!” pekik Dewi.“Tunggulah di sini,” bisik pria itu seraya menyapukan jemari ramping di pipi Dewi.Setelah itu, Denver menggunakan apron dan memfillet ikan dori. Ya, Dokter tampan membawa Dewi ke dapur salah satu café terkenal di Ibu Kota. Tadinya, gadis itu berpikir akan berakhir mendesah di atas ranjang e
Refleks Dewi mendorong tubuh Denver hingga pria itu mundur. Keduanya sama-sama terkejut menatap ke arah pintu rooftop. Di sana, berdiri seorang wanita berambut pirang kecokelatan sedang menatap sengit kepada pasangan terlarang itu. “Pantas aja aku telepon enggak diangkat. Ternyata kamu … ya, ampun Denver!” pekik wanita itu sambil memijat pelipis yang terasa berdenyut ketika melihat Denver mencium Dewi penuh perasaan. “Bukannya kamu sudah pulang? Untuk apa datang ke sini lagi, Val?” tanya pria itu dengan santai. Padahal Denver terciduk selingkuh. Sedangkan Dewi menunduk, dia tidak kuasa ditatap tajam menusuk oleh wanita cantik di hadapannya. Dua tangan Dewi meremas tali tas yang menempel di badannya. Gadis itu menyakini nasibnya sudah berakhir dan Denver pasti meninggalkannya, lalu bagaimana dengan semua uang pemberian pria itu, sungguh dia tidak akan bisa membayarnya. “Apa kamu tahu kalau istrimu si Carissa itu kecelakaan? Sekarang dia ada di Rumah sakit JB, Denver! Cepatlah k
“Kamu serius Ruslan?” tanya Denver dengan mata menyipit dan kedua tangan yang terkepal sampai buku jarinya memutih. Embusan napas pria itu terdengar kasar dan berat selesai membaca email yang dikirim bawahannya. "Benar, Pak. Ada dugaan kecelakaan itu disengaja dan direncanakan karena rem mobil Nyonya Carissa dilepas. Tapi saya belum menemukan pelakunya,” kata Ruslan melalui sambungan telepon. “Selidiki terus Ruslan, jangan lengah!” titah Dokter tampan. Kali ini tatapan Denver bergeser pada Carissa yang masih tidur. “Dilaksanakan Pak!” sahut Ruslan. Sambungan telepon berakhir. Namun Denver masih menatap layar pipih di tangannya. Dia memeriksa aplikasi chat, tidak ada balasan apa pun dari Dewi. Dia mendesah dan bersandar pada dinding, tentu karena perasaan asing merayap dalam hati. Denver teringat tatapan sendu Dewi ketika semalam dia tinggalkan bersama Valerie. Beruntung Adik Sepupu itu bisa diandalkan mengantar Dewi dengan selamat ke apartemen. Saat ini Denver berdiri di
Rasa penasaran mendalam menuntun langkah Dewi mengikuti pria misterius yang menggendong anak kecil. Mata sipitnya tercengang ketika sosok itu masuk ke ruang rawat Carissa. Bahkan pria itu sempat menyeringai kepada Dewi. “Siapa dia?” gumam Dewi. Entah mengapa bulu kuduknya merinding.Dewi kembali berjalan mendekati bangsal rawat Carissa. Dia ingin tahu ada hubungan apa antara istri Denver dengan anak kecil cantik itu. Hanya saja, getar pada ponsel mengganggu. Dia menghela napas ketika rekan satu tim mengirimkan pesan:[Wi, ada tamu, nih. Nyari kamu, sambil nangis. Cepat ke ruang informasi IGD!]Terpaksa Dewi memutar arah badan. Dia pun berjalan meninggalkan area presidential suite.Sedangkan di dalam ruang perawatan Carissa, seorang pria berdiri di balik pintu, kemudian mengintip ke luar kamar. “Chico, kenapa kamu datang ke sini?! Dan kamu lagi ngapain?” sembur Carissa. “Berani banget kamu bawa Caca ke sini!” “Caca kangen sama kamu. Dia demam.” Pria itu berjalan mendekati ranjang pas
Dewi masih menunggu sampai satu jam lamanya. Embusan angin makin dingin menusuk kulit membuat setiap helaan napas berasap tipis. Gadis itu tidak menggunakan jaket tebal, hanya blus panjang merah muda. Netra sipitnya juga selalu menatap ke arah kedatangan mobil. Sayang, tidak ada siapa pun yang dikenal.Ketika gerimis berjatuhan, Dewi mulai ragu menunggu lebih lama lagi. Namun, saat hujan makin deras, dia memutar badan menuju rumah sakit. Gadis itu sempat menatap koridor panjang di mana letak poli obgyn, masih ramai memang.“Seingatku, Dokter Denver tidak praktik sampai malam,” gumam gadis itu sambil memandangi beberapa ibu hamil.Pada akhirnya Dewi memilih duduk bersama Danu di depan ICU—menunggui Danang. Tentu saja penampilan cantik gadis itu menimbulkan kecurigaan dari kakaknya.“Oh … Bima lupa jemput? Mungkin dia lagi ketemu klien,” kata Danu yang begitu santai mengupas kacang kulit panggang.Dewi menoleh dan memperhatikan Danu. Meskipun selalu galak dan menuntutnya menginkuti kehen
Denver melangkah cepat menuju kamar rawat Carissa, masih dihantui isi pesan yang baru diterimanya. Aroma antiseptic menusuk rongga hidung kala dia mendorong pintu hingga terbuka pelan-pelan. Lampu redup di dalam ruangan memancarkan suasana hening dan ganjil. Carissa tampak terlelap di atas ranjang, napas artis cantik itu tampak teratur. Namun Denver tetap berjaga-jaga.Beberapa detik Denver terdiam dan berdiri di ambang pintu. Dia memastikan tak ada orang lain di ruangan itu. Setelah yakin situasi aman, dia masuk dan mendekat ke sisi ranjang Carissa. Wajah cantik wanita itu tampak damai, tetapi bagi Denver, damai itu hanyalah kedok belaka.Tangan Denver merogoh saku celana, mengambil ponsel. Denver menekan tombol panggilan. Suara di ujung sana langsung menjawab.“Ruslan, lacak nomor telepon untukku,” Denver berkata pelan, suaranya terdengar datar, tetapi penuh tuntutan. Dia mengirim nomor misterius yang mengirim pesan padanya. “Cari tahu siapa pemiliknya, dan apa hubungannya dengan Car
“Jangan! Aku tidak boleh menemui Dokter Denver sekarang,” gumam Dewi sangat pelan. Dia mati-matian mengendalikan rasa cemas, tangannya yang masih bergetar hebat tak mampu menahan ponsel, hingga benda itu terjatuh ke lantai. Dengan otot tegang di leher, Dewi buru-buru memungut ponsel. Dia tahu nasibnya berada di ujung tanduk. Foto itu, meski wajahnya sengaja diblur, tetap menunjukkan ciri-ciri yang hampir tidak terbantahkan. Siapa lagi jika bukan dia? Sedangkan Denver, hanya terlihat tangan dan tubuh bagian bawahnya. Jelas sekali siapa yang ingin dijatuhkan oleh sang pengambil gambar. Akibatnya, Dewi kehilangan konsentrasi bekerja. Gerak-gerik gadis itu penuh kewaspadaan. Rekan-rekannya pun mulai mengamati, beberapa melontarkan komentar pedas. Bahkan bersumpah akan mencari tahu siapa perempuan di foto itu. “Dewi, kamu pucat banget? Kamu sakit, ya?” tanya salah satu rekan di IGD. Pertanyaan itu membuat Dewi mak
“Apa yang paling bikin kamu takut sekarang?” tanya Denver, suaranya mengalun tenang dan penuh perhatian.Dewi menunduk, jemari rampingnya meremas pinggiran sofa abu-abu yang terasa dingin di tangan. Untuk sejenak dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “Aku takut semuanya semakin buruk. Foto itu … dan apa yang akan orang-orang katakana nantinya, Dokter?”Denver menggeser posisi duduknya, mendekat. “Aku di sini untuk bantu kamu.”Dewi menatap Denver dengan mata sedikit kemerahan, lalu menyahut lirih, “Apa Dokter tahu apa yang mereka bicarakan di rumah sakit? Semuanya menyalahkan aku, kalau sampai terbukti ….” Suaranya tertahan dan menunduk.“Lihat aku,” potong Denver dengan lembut, membuat Dewi perlahan mengangkat wajahnya. “Aku pastikan tidak ada yang menyakitimu lagi.”Netra hitam Dewi berkaca-kaca mendengar ucapan Denver yang membuatnya merasa agak tenang.“Terima kasih, tapi … apa bisa aku melalui semua ini?” tanya gadis itu lirih.“Bisa!” jawab Denver dengan keyakinan
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa