Sebenrnya yang salah kan Mama dwyne T.T jadi Denver yang nanggung >,<
Dewi melangkah gontai mendekati Denver yang dicecar oleh pria paruh baya itu. Hatinya meringis mendengar kalimat perintah yang keluar dari mulut Pak Didit.Jari-jarinya makin erat menggenggam tangan sang suami, seolah menegaskan bahwa dia tidak akan menyerahkan Denver pada siapa pun. Bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi Dirga—anak mereka jauh lebih berhak memiliki ayahnya.Melihat pasangan itu membuat Didit kembali bersuara. “Dania tanggung jawabmu, Denver!”Alis Denver mengerut dan dia terkekeh. “Sejak kapan Dania menjadi tanggung jawabku? Saya tidak pernah menjanjikan apa pun padanya! Sejak awal saya dan putri Anda tidak memiliki hubungan apa pun. Semua ini hanya kesalahpahaman yang dibuat keluarga Anda sendiri.”“Kamu tega Denver!” geram Didit.“Sebelumnya saya mohon maaf, Pak,” ucap Dewi terdengar tegas. Denver yang berdiri di sampingnya berusaha menahan Dewi agar tidak ikut campur, tetapi wanita itu hanya menatapnya tajam, menolak mundur.Pak Didit menyipitkan mata, tatapan
Di rumah sakit lain, Darius berdiri tegak di depan ranjang pasien, jemarinya mencengkeram kotak cincin dengan kuat. Tatapannya menusuk, menatap Dania yang terisak di bawah selimut.Seharusnya dia tidak perlu mengambil keputusan sejauh ini, tetapi keadaan memaksanya."Putriku tidak mencintaimu!" bentak Didit, suaranya bergetar marah. Dia mengibaskan tangan, mengusir Darius dari ruangan.Darius terkekeh, senyum miring menghiasi wajahnya. "Apa cinta masih dibutuhkan dalam situasi seperti ini, Pak Didit? Atau Anda hanya ingin menyelamatkan harga diri keluarga Anda?"Didit mengepalkan tangan, ekspresinya mengeras. Amarah terpancar jelas dari sorot matanya, seolah ingin menerjang Darius saat itu juga."Menikah hari ini atau tidak ada satu pun pria yang mau dengannya!" ancam Darius, suaranya dingin dan tajam.Dania tersentak, tangisnya makin keras. Didit menoleh pada putrinya dengan kebingungan dan amarah yang bercampur menjadi satu."Apa kamu bisa berjanji akan mencintai putriku?" tanya Did
Pukul 12 malam, Dewi terbangun. Matanya langsung tertuju pada Dirga yang tertidur nyenyak di samping Denver. Bocah itu benar-benar melepaskan rindu, bahkan tak lagi mencari Dewi seperti sebelumnya. "Dirgantara anak Mama, cepat sehat, Nak. Sekarang Papa sudah di sini," bisik Dewi lembut. Dia mengecup pelipis putranya, membuat anak itu menggerakkan pipi seakan geli dalam tidurnya. Tatapan Dewi pun beralih pada Denver. Pipi pria itu masih menunjukkan sisa memar, dan punggung tangannya dihiasi cakaran yang tampak cukup dalam. Meskipun mulai memudar, tetap saja luka itu membuat dadanya terasa sesak. Tanpa suara, dia meraih cairan pembersih luka, lalu dengan hati-hati mengoleskannya. Dewi berusaha agar gerakannya tidak membangunkan Denver, karena jika pria itu sadar, pasti akan besar kepala. Setelah selesai, dia duduk sejenak, menatap paras rupawan suami yang tertidur lelap. Jarinya bergerak di udara, membentuk tanda hati untuk Dirga dan Denver. Akan tetapi, pikirannya kembali t
“Dewi, aku memang marah. Tapi aku tidak pernah memaki wanita yang tidak berdaya!” Suara Danis menggelegar, matanya menyala penuh kemarahan. Dewi kebingungan berdiri di tengah ruangan. Satu sisi, dia ingin menghampiri Dwyne yang terlihat begitu rapuh. Namun, di sisi lain, Danis adalah ayah kandungnya. Dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Sebelum Dewi sempat membuka mulut, Denver lebih dulu berbicara. "Sayang, kamu ke kamar saja. Kasihan Dirga, dia butuh istirahat,” kata Denver lembut tetapi penuh ketegasan. Dewi mengangguk, mengambil alih bayinya dari gendongan sang suami, lalu melangkah ke lantai dua. Hanya saja, saat menapaki tangga, perasaannya masih berkecamuk. Setelah memastikan Dewi benar-benar pergi, Denver kembali menatap Danis dengan pandangan tegas. “Sebenarnya ada masalah apa, Pak?” Danis mendengkus tajam. “Karena ulah keluarga kalian, Darius harus menikahi perempuan depresi! Masa depannya suram!” Suaranya bergetar karena emosi. Mata karamel Denver menggel
Dewi memeluk tubuhnya sendiri, membiarkan angin malam menyapu kulitnya yang hanya tertutup kimono tipis.Netra sipit wanita itu menatap ke halaman yang sunyi, di mana lampu-lampu taman menyala redup. Sejak tadi, dia menunggu di balkon, berharap melihat mobil suaminya memasuki gerbang.'Kapan dia pulang?' batinnya.Jemari ramping wanita itu meremas ujung kimono, detak jantungnya terasa lebih cepat tanpa alasan yang jelas.Malam ini terasa lebih panjang dari biasanya. Rasa rindu yang dia pendam selama beberapa hari terakhir begitu menyesakkan.Baru saja hendak berbalik masuk, suara langkah berat terdengar mendekat dari belakang.Dewi menoleh dan mendapati Denver berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.Pria itu melangkah mendekat dengan sweater rajut merah muda di tangannya. Tanpa berkata-kata, dia menyampirkan di bahu Dewi, lalu merangkulnya erat."Kenapa berdiri di sini, Sayang?" bisik pria itu lembut, suara beratnya terdengar begitu mendamaikan.Dew
Dewi terbangun dengan mata yang masih berat. Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang terasa kosong dan dingin. Dahinya berkerut. 'Pergi ke mana dia?' batinnya.Mata sipitnya mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang mulai masuk dari celah tirai. Suara detak jam terasa lebih nyaring dalam keheningan. Seingatnya, semalam Denver masih bersamanya, membaca buku di sampingnya setelah mereka gagal melanjutkan sesi bercinta yang kedua. Bahkan, dia sempat memindahkan Dirga ke ranjang utama agar tidur lebih nyaman.Akan tetapi, kini, sosok suaminya tidak ada.Dewi segera meraih ponselnya, matanya mencari pesan dari Denver. Mungkin saja pria itu ada kegiatan mendesak. Namun, belum sempat dia mengecek layar, pintu kamar terbuka.Denver muncul dengan nampan kecil di tangannya, aroma sup krim ayam yang mengepul memenuhi ruangan. Senyum hangat pria itu langsung menghapus kecemasan di hati Dewi.“Sarapan untukmu, Sayang.”Dewi tersenyum melihat perhatian suaminya, tetapi ekspr
Darius menatap layar ponselnya dengan rahang mengatup, menekan rem mobil dengan kasar di depan area sepi. Titik merah di layar masih bergerak, tetapi dia sudah tahu pasti ke mana tujuannya. "Dia pikir bisa lolos dariku begitu saja?" gumamnya dengan suara serak tertahan amarah. Begitu mobilnya berhenti di tempat tujuan, Darius keluar dengan langkah panjang. Mata hitamnya menyapu area sekitar, memastikan keberadaan seseorang yang dia cari. Udara dingin malam ini menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat bulu kuduknya berdiri—melainkan sosok di balik batang pohon besar, menatap ke arah rumah keluarga Bradley dengan sorot mata penuh obsesi. "Heh, sedang apa di sini?" tegurnya dingin. Dania tersentak, tubuhnya langsung kaku. Perlahan, dia berbalik, dan seketika wajahnya berubah tegang. "Kamu … Darius?" Suara Dania bergetar, tetapi detik berikutnya, dia menyeringai. "Mau apa kamu di sini?" "Seharusnya aku yang bertanya," desis Darius. Dengan cepat, tangannya mencengkeram pergel
“Om Danis? Kenapa ke sini?” tanya Darius sambil melangkah mendekati sosok yang kini tersenyum dan menatapnya dengan sendu.“Om rindu sama kamu. Ditunggu di apartemen, kamu tidak pulang, ya, sudah Om ke sini. Bagaimana kabarmu?” tanya Danis dengan penuh perhatian.Tangan Darius terbuka lebar, dia langsung menghambur ke dalam pelukan pamannya yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandung. Dekapan ini terasa begitu nyaman, seakan melepas lelah atas beban berat yang selama ini dipikulnya.Akan tetapi, dia juga cemas jika keputusan besarnya ini membuat Dani marah padanya.“Om bangga sama kamu, dan terima kasih, Darius. Demi Dewi, kamu ....” Danis tidak bisa melanjutkan. Suaranya tercekat membayangkan betapa berat hari-hari yang harus dijalani Darius ke depannya.“Tolong jangan sedih, Om. Bukankah aku sudah janji mau melindungi Dewi? Ya, ini caraku. Doakan saja aku dan Dania bahagia.” Darius meraih tangan Danis, lalu mengecupnya penuh hormat.Danis menghela napas panjang, mata hitamnya berkab
"Makanlah yang benar! Kasihan anak itu," kata Darius yang bicara tanpa menatap Maharani.Saat ini Maharani duduk di tempat tidur, tangannya gemetar saat menyendokkan nasi ke mulutnya."Iya, Dok. Makasih sudah mau tinggal sebentar di sini.""Bukan masalah," sahut Darius masih sama.Darius ada di sana, menemaninya, dia duduk di kursi di dekat ranjang, tetapi tidak benar-benar memperhatikannya. Pria itu lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik sesuatu dengan ekspresi datar. Baru saja Maharani menelan beberapa suap, dia terperangah dengan kehadiran Dania yang masuk kamar.Wanita itu mengawasi dengan tatapan tajam, seolah memastikan Maharani tidak melewatkan satu butir nasi pun."Habiskan Ran! Badanmu itu sangat lemah, aku tidak mau anak itu kurang gizi!" ucap wanita itu tajam."Iya, Dok. Aku pasti habiskan, kok." Mulut Maharani terus mengunyah, meskipun terasa perih.Suasana benar-benar mencekam. Maharani merasa seperti tahanan yang sedang diawasi sipir penjara.Tidak lama perhat
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak."Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit." Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu. Dewi terseny
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel