Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth.
"Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng tersebut ke mangkuk berbahan beling. Laura yang dadanya masih berdebar ketakutan, gegas melanjutkan pekerjaannya mengiris bawang yang tinggal sedikit lagi. "Maafkan yang telah terjadi, Lau. Oma bisa jadi macan jika rasa kesal sudah di ubun-ubun," ujar Oma Beth tanpa menoleh. "Tidak masalah, Oma. Aku cukup mengerti." Laura menyunggingkan senyum tipis. Oma Beth yang masih kesal dengan Rick, tidak bercakap lagi. Pun Laura yang sungkan membuka percakapan duluan. Setelah melalui drama yang lumayan menegangkan bagi Laura, akhirnya acara memasak nasi goreng itu selesai juga. "Karena masaknya sudah selesai, aku mau pulang dulu ya, Oma, mau mandi. Nanti sekiranya Oma sudah selesai sarapan, aku akan datang lagi untuk mencuci piring." "Kamu tidak makan bersama kami?" Mata Oma Beth menyipit. Laura menggeleng. "Tidak, Oma. Aku menghargai peraturan anak Oma.""Kami bisa menunggumu sampai selesai berganti pakaian."Senyum tipis mengembang di bibir Laura. "Terima kasih atas penawarannya, Oma, tapi aku tidak mau anak Oma mengamuk karena perutnya sudah lapar."Kekehan keluar dari mulut Oma Beth. "Rick memang akan berubah jadi singa kalau sedang lapar. Baiklah, Lau, lain kali kita pasti makan bersama karena Oma sering makan bareng dengan orang yang bekerja di rumah. Tapi kamu harus mencicipi nasi goreng buatan Oma." Oma Beth mengambil wadah tertutup di rak piring, lalu menuang nasi goreng dan pelengkapnya. Laura hanya memandang dengan menahan air liur. Ia sudah tak sabar melahap nasi goreng hangat itu. Tadi ia sempat berpikir, Oma Beth tidak akan memberinya. Tambah satu lagi nilai plus untuk Oma Beth yang tidak pelit. Setelah mengunci pintu ruang tamu, Laura langsung duduk di sofa. Dengan tak sabar, ia langsung melahap nasi goreng lengkap dengan telur ceplok, acar timun dan wortel, serta taburan bawang goreng. Laura seperti tidak makan berbulan-bulan. Ia seperti baru merasakan nasi goreng, padahal nasi goreng buatan Bik Bedah sangat lezat tapi ia jarang menikmatinya karena ia lebih suka sarapan di kampus. Karena didera rasa lapar yang sangat, tak lama wadah nasi goreng itu kosong. Laura menatap nanar wadah tersebut. Tak ada sebutir nasi pun di wadah itu. Bersih seperti dijilat. Matanya berembun begitu saja. Ia tak pernah makan sebersih ini sebelumnya, selalu sisa banyak. Perut kenyang mengundang rasa kantuk. Biasanya Laura tidur setelah makan, tapi kali ini ia bergegas mandi dan merapikan diri. Ia memilih t-shirt lengan pendek dan celana sepanjang lutut agar bisa bergerak bebas saat bekerja nanti. Setelah memakai bedak tipis, ia menjepit rambutnya tinggi-tinggi. Lantas gadis itu melesat ke kamar depan sambil membawa wadah yang sudah ia cuci bersih. "Oma, aku datang." Laura mengetuk pintu. Daun pintu terbuka dan Laura tak ingin mengembangkan senyum dahulu, khawatir duda cerewet itu yang membukakan pintu. Dan kekhawatiran Laura terbukti, pria itu menatap Laura sebentar, lalu matanya memindai penampilan Laura dan ujung rambut hingga ujung kaki. Setengah mati Laura menahan diri untuk tidak mencebik dan membiarkan dirinya dikuliti duda cerewet itu. Demi sebuah masa depan yang sebentar lagi akan ia genggam. "Hmmm, masih kurang rapi, tapi lumayanlah daripada kusuruh dandan ulang nanti waktunu malah habis untuk bergonta ganti pakaian, jadi tidak kerja-kerja." Rick membuka pintu lebar-lebar agar Laura masuk. "Thank you." Laura memaksakan senyum palsunya. "Mami sedang mengantar Cla les renang. Pesannya jika kamu kembali, bekerjalah mulai sekarang. Rumah harus sudah glowing saat Mami pulang nanti."Laura memberi tatapan mendelik. "Oma Beth orang yang bijak, aku tidak percaya beliau menitipkan pesan seperti itu." Sumpah, ingin sekali rasanya Laura mencakar-cakar wajah duda itu, tapi yang ia lakukan hanya mempertahankan senyum palsunya. "Pembantu macam apa yang tidak percaya kepada bosnya?!" *Soalnya....""Halah, sudahlah!" hardik Rick mengibaskan tangan. "Aku tidak mau buang-buang waktu untuk berdebat dengan pembantu! Pekerjaanku banyak! Lekaslah bekerja, nanti Mami keburu datang. Dimulai dengan membersihkan kamarku dulu.""Baik, Pak.""Pak? Panggilan macam apa itu? Panggil aku tuan!" Rick melangkah ke kamarnya. Melalui matanya, ia mengisyaratkan agar Laura masuk ke kamar. Namun, sebelum memutuskan untuk masuk ke kamar duda cerewet itu, Laura tiba-tiba merasakan rumah ini amat sepi. Ke mana Jeff? Jika pria yang lebih hangat daripada kakaknya ini ada di kamar, berarti ia aman karena Laura yakin, Jeff pria yang baik. "Apakah saat ini kita cuma berdua di sini?" Laura melempar tatapab selidik saat di ambang pintu. "Jika sedang libur, Jeff menjadi sopir Mami ke mana pun Mami pergi, jadi tentu saja hanya kita berdua saat ini."Bola mata Laura terbeliak lebar. 'Hanya kami berdua dan dia menyuruh gue merapikan kamarnya?' gumam Laura di dalam hati. Tengkuknya bergidik ngeri ketika membayangkan duda cerewet itu memperkosanya. "No! No!" Laura menggeleng-geleng. Ketakutan terlukis jelas di wajahnya. "Ada masalah?" Rick menyipitkan pandangan. Melihat gadis itu menatapnya takut, ia jadi kepikiran sesuatu. "Kamu takut diperkosa saya? Kenapa masih berdiri di pintu kalau begitu!" sindir Rick. Mulut Laura tercungap. Duda cerewet itu bisa membaca jelas apa yang ia takutkan. Dan apa katanya tadi? 'Oh, jadi dia menantang gue untuk batal kerja di sini? Oke, Lau, jangan rendahkan harga diri lo! Masih banyak majikan yang mau nerima lo!' Ego Laura terusik. Namun, saat hendak meninggalkan tempat itu, sisi lain hatinya melarang. 'Majikan memang banyak, Lau, tapi siapa yang mau menerima orang asing? Bersyukurlah kamu ketemu Oma Beth yang mudah menerimamu! Abaikan duda cerewet ini! Fokus pada isi perutmu untuk hari-hari ke depan!'Baru saja Laura hendak mendebat pria itu, tapi Rick sudah menyerocos lagi. "Yang harus kamu ingat adalah, pertama aku tidak bernafsu pada pembantu, karena pembantu itu keringatnya bau bawang basi, sungguh menjijikkan. Secantik apa pun orangnya, apalagi gembel kayak kamu."***Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.