Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab.
"Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar."Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang.Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipatnya dan menumpuknya. Baru saja ia ingin membuka seprai kasur, terdengar kembali suara bosnya."Kok tetap di lantai? Lantai, kan, bekas kaki, ada kaki kamu juga. Jorok kamu ya, hiyy!" Rick bergidik jijik.Masih tanpa menyahut, Laura mengangkat seprai-seprai itu dan ingin menaruh di sudut meja. Belum juga seprai-seprai itu menyentuh meja, Rick sudah menghardik lagi."Eh, tunggu! Tunggu! Kamu mau taruh seprai kotor itu di meja?" Pelotot Rick."Ya, Tuan." Angguk Laura santai."Astaga! Benar-benar jorok sekali kamu ya!" Rick mendelik. "Aku heran, mengapa Mami bisa menerima kamu?" Ia melayanhkan tatapan jijik ke Laura."Lalu mau ditaruh di mana, Tuan?" tanya Laura tanpa menggubris ocehan tuannya."Taruh di hidungmu!" Tunjuk Rick ke hidung Laura, tapi tak sampai menyentuh.Entah sudah seberapa dalam luka di hati Laira akibat ucapan pedas pria di depannya itu. Dalam beberapa menit saja, sudah banyak goresan tajam yang mencabik dadanya. Bagaimana kalau sampai satu hari, satu minggu, satu bulan? Ah, Laura bergidik membayangkannya."Baiklah, nanti akan aku taruh di keranjang cucian tentu saja, tapi sekalian seprai kasurnya biar aku tidak bolak balik masuk ke kamar ini." Tanpa menunggu sahutan tuannya, Laura menaruh dua seprai bantal dan guling di sudut tempat tidur.Rick tak melarang Laura melakukan hal itu, hanya matanya hampir tak berkedip mengamati pekerjaan Laura.Sudut seprai yang sisi kanan ternyata menyanhkut di kepala ranjang. Laura refleks menariknya. Apa yang ia lakukan membuat bentakan dari tuannya menggelegar lagi."Heh! Jangan asal tarik aja dong! Nanti bisa robek seprai aku. Memangnya kamu bisa gantiin kalo seprainya robek, hah?"Laura tak menyahut, tapi ia akhirnya menarik seprai tersebut pelan-pelan. Setelah seprai tersebut lepas, ia melipatnya, lalu membawanya ke dapur bersama seprai bantal dan guling.Rick mengekor pembantu barunya khawatir gadis atau janda atau istri orang itu mencuri di rumahnya.Mata Laura berkeliling mencari keranjang cucian. Ia menarik napas lega saat melihat keranjang berisi baju kotor terletak di sudut mesin cuci. Akhirnya tanpa bertanya ia bisa menyelesaikan satu pekerjaannya. Kalau bisa semua pekerjaannya nanti tidak sampai melontarkan tanya karena ia malas sekali bicara dengan pria cerewet itu.Tanpa menoleh apalagi berkata apa pun, Laut kembali ke kamar. Karena ia belum tahu di mana pria itu menyimpan seprai yang bersih, dengan terpaksa Laura memandang tuannya."Aku mau memasang seprai baru, Tuan.""Di dalam lemari barisan ujung, paling atas."Laura segera ke lemari yang dimaksud, tapi ia tercengang setelah membuka pintu lemari kayu jati nan kokoh itu. Tinggi lemari itu melebih tinggi pria cerewet itu. Laura mengedarkan pandangan mencari benda untuk menunjang tingginya. Hanya ada kursi single berbahan besi, satu-satunya benda yang bisa membantunya. Namun, saat ia ingin mengangkat kursi tersebut, Rick sudah berteriak."Heh, mau apa kamu?""Aku harus menggunakan kursi ini untuk mencapai rak seprai.""Jadi kamu mau menginjak kursi ini? Oh no no!""Lah terus bagaimana aku harus mengambilnya, Tuan?" Mata Laura memicing.Rick mendengkus. "Biar aku aja!" katanya sambil berjalan menuju lemari berpintu kaca semua itu membuat kamar yang tidak terlalu luas ini terlihat seolah-olah menjadi lapang."Makanya jadi orang tuh jangan pendek-pendek!" umpat Rick saat mengulurkan satu set seprai ke pembantunya."Kalo aku tinggi, aku gak sudi jadi pembantu. Tentu saja aku akan jadi pramugari atau model yang berjalan di catwalk," sahut Laura dengan wajah datar, kemudian berlalu menuju ranjang king size itu."Kamu pikir jadi model dan pramugari cuma modal tinggi saja? Otak juga penting! Orang bodoh kayak kamu mana masuk!" Rick mencibir.Laura tak menghiraukan hinaan itu. Ia bersikap santai saat memasang sarung bantal dan guling yang mudah ia lakukan. Namun, saat memasang seprai kasur, sulit sekali. Sudah rapi di sudut kanan, malah sudut kiri kisut. Sudah rapi yang atas, yang di bawah keangkat. Begitu tweus membuat emosinya hampir meledak. Namun, segera ia ingat bahwa di sini ia bekerja Seumur-umur ia tak pernah memasang seprai sendiri. Ia pikir itu pekerjaan mudah, ternyata cukup membuat peluhnya keluar juga."Kenapa? Gak bisa masang seprei? Pembantu macam apa kamu?" Rick mengejek lewat tatapannya."Bisa kok, Tuan. Ini pekerjaan sangat mudah bagiku. Cuma aku perlu memastikan benar bahwa sisi kanan kiri dan atas bawah benar-benar pas," elak Laura dengan sikap seperti suriah ahli memasang seprai.Rick hanya mencibir tak percaya, tapi ia tak melontarkan kata lagi, khawatir pembantu itu semakin lama bekerja.Akhirnya selesai juga urusan pemasangan seprai, Laura baru bisa menarik napas lega yang panjang, seakan-akan ia telah berhasil menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat berat."Apa lagi yang harus aku kerjakan, Tuan?" Laura memandang bosnya seraya menyeka peluh.Sebenarnya pemandangan di depannya sungguh menjijikkan, tapi Rick justru terkesima melihat pembantunya menyeka peluh. Cara Laura menyeka tidak membuat geli seperti yang sering ia lihat pada pembantu lain. Pembantu barunya ini tampak elegan, seperti bukan pembantu dari kampung."Tuan?" tegur Laura karena melihat bosnya malah termenung."Eh." Rick menggeragap. "Kok malah tanya-tanya sih? Kamu gak pernah kerja, heh?""Sudah sering, kok. Tapi kan beda-beda tiap rumah." Laura mengalihkan tatapan ke dinding, khawatir ketahuan sedang berdusta. Jika duda cerewet ini tahu bahwa ia tak pernah bekerja, nanti Oma Beth urung menerimanya sebab biasanya para majikan mencari pembantu yang sudah berpengalaman."Beda-beda gimana? Di mana-mana pekerjaan pembantu itu ya sama aja!"Karena tak ingin menghabiskan energi dengan meladeni debat duda cerewet ini terus, Laura mengalah pergi."Aku akan mulai dari dapur," kata Laura sambil berlalu."Mulai? Hei, tadi kamu sudah mengganti seprai, itu bukan mulai?"Laura tak menggubris pertanyaan tidak penting itu. 'Astaga! Makhluk seperti dia berasal dari planet mana sih?' geramnya di dalam hati.Laura mengayunkan langkah ke dapur. Di kitchen sink terdapat piring dan gelas kotor. Ia akan mencuci piring dahulu baru membersihkan meja kitchen dan meja makan. Laura memandang jijik ke piring-piring kotor itu. Ia akan membilas dengan air sisa-sisa makanan di piring-piring tersebut baru ia mencucinya. Laura beruntung karena duda cerewet itu tidak mengamatinya seperti di kakar tadi jadi ia bisa bekerja dengan tenang. Terdengar suara televisi dari ruang tengah menayangkan acara olahraga bola.Setelah dapur dan ruang makan glowing, Laura kini mengeksekusi cucian dengan menggunakan mesin.'Astaga, capek banget. Begini amat demi bisa makan.' Laura ingin menangis di dalam hati."Hei kamu, ikuti aku."Laura menepis matanya yang hampir basah dan gegas mengikuti lelaki yang tiba-tiba sudah nongol di area mencuci itu."Nanti setelah mencuci, kamu sikat kamar mandi. Celah-celah ini disikat yang bersih sampe warnanya bersih kayak keramik yang lainnya." Rick menunjuk ke celah-celah desain lantai kamar mandi.Lauta memperhatikan dengan saksama. "Ya, Tuan." Angguknya paham.'Astaga. Banyak sekali pekerjaan pembantu rupanya. Atau karena duda itu sangat cerewet jadi ada-ada saja pekerjaan yang mesti aku kerjakan, ' geram Laura di dalam hati.Pekerjaan Laura menyikat kamar mandi belum selesai tatkala terdengar suara ramai. Rupanya Oma Beth sudah pulang. Terdengar celotehan Clarissa sedang bercerita dengan papanya."Kok rapi sekali rumah ini!" seru Oma Beth sambil berjalan menuju dapur. "Wah, ruang makan dan dapur juga sudah kinclong. Apakah Laura sudah datang?" Pertanyaan itu dilemparkan ke Rick, tapi Laura yang mendengar, menyahutnya."Ya, Oma."Pupil Oma Beth meninggi melebar mendengar suara Laura dari kamar mandi. Ia melihat gadis itu sedang menyikat kamar mandi."Astaga, rajin sekali kamu, Lau. Sebenarnya jadwal menyikat kamar mandi masih tiga hari lagi karena baru empat hari lalu Oma menyuruh dua monyet itu menyikatnya.Bola mata Lwura berputar kesal mendengarperkataan Oma Beth itu.'Sialan! Jadi aku dikerjai si duda cerewet rupanya. Awas kamu ya, aku bersumpah akan membalasmu suatu saat!' janji Laura yanPma berani diucapkan di dalam hati saja."Oh, gak apa, Oma. Biar kamar mandinya bersih." Laura mengembangkan senyum."Apakah kamu masih lama? Oma tadi membawa pizza, sayap ayam, dan jus buah. Kita bisa menikmati bersama sebelum makan siang." Oma Beth menuju dapur lagi, tapi sebelum tubuhnya berputar, ia mengintip area mencuci dahulu dsn ternyata sudah banyak cucian baju.'Semoga Laura menjadi pembantuku terakhir. Aku capek mencari yang baru terus, mengajari ulang tentang pekerjaannya di sini, dan mengajari adaptasi.' Oma Beth bermonolog.Sementara itu, di dalam kamar mandi, mata Laura membelalak lebar mendengar kata Oma Beth mereka akan makan pizza dan ia diajak serta.'Pizza? Ya ampun, sudah seminggu lidahku puasa makan pizza dan makanan enak lainnya. Ah, jadi tambah semangat bekerja di sini karena bisa makan enak dengan gratis.' Laura mempercepat pekerjaannya agar segera mencicipi pizza bersama keluarga Oma Beth."Lau, kamu belum selesai?" Oma Beth membawa beberapa piring kecil ke depan. Ia tidak memimta tolong kepada pembantunya. Bukan cuma ke Laura saja, tapi semua pembantu yang pernah bekerja di sini. Prinsip Oma Beth, selagi pekerjaan bisa dilakukan sendiri, mengapa harus minta tolong dengan orang lain?'"Sudah, Oma. Lagi cuci tangan," sahut Laura dari kamar mandi."Kutunggu di ruang depan."Setelah mengeringkan tangannya, gegas Laura menuju ruang depan. Ia melangkaj ragu setibanya di sana, khawatir dibentak oleh si duda cerewet."Hai, Cantik. Kenapa masih berdiri di sana? Ayo, duduk di sampingku. Atau mau kupangku?" Jeff mengedipkan sebelah mata, tapi detik kemudian ia menjerut kesakitan. "Adoooooh pahaku!" Jeff mengelus-elus pahanya yang baru dicubit oleh maminya.Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.