Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'
Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Saat melihat siapa yang berdiri di luar pintu, Oma Beth menerbitkan senyum lebar. "Hai, Lau. Senang sekali kamu mau berkunjung ke rumah Oma." Wanita itu menoleh ke pria yang masih menatap tajam ke manik abu-abu Laura. "Mengapa tidak kamu suruh masuk tamu kita, Rick?" Lantas ia menarik tangan Laura ke dalam. "Ayo, masuklah, Sayang."Laura tak menolak. Ia melewati pria itu dengan memasang wajah permusuhan. Bahkan penuh berani ia menentang mata yang tak berkedip itu. Laura menduga pria itu papanya Cla yang cerewet itu. Menurutnya, pria itu tak cuma cerewet, tapi bermulut pedas. Oma Beth membawa tamunya ke sofa beludru yang bisa diduduki dua orang sehingga mereka duduk bersisian. "Kamu ingin minum teh atau kopi, Nak?" tawar Oma Beth dengan senyum ramahnya yang selalu menghias wajahnya. Laura menggeleng. "Tidak usah, Oma. Aku ke sini cuma sebentar karena ada perlu, tapi...." Laura menatap pria yang masih berdiri di pintu yang sudah tertutup itu. "Aku cuma mau bicara empat mata saja, Oma," sambungnya. Oma Beth menoleh ke pria yang masih memandang tajam ke Laura. "Sebentar lagi nasi goreng sudah matang. Bisakah kamu bangunkan Cla?"Pria di pintu tak menyahut permintaan Oma Beth, tapi kakinya yang panjang segera melangkah menuju ke salah satu kanar yang berada di sisi kanan tempat Laura duduk. "Apakah ada yang bisa Oma bantu, Lau?" Oma Beth menatap Laura kembali. Laura mengangguk. "Aku butuh pekerjaan sementara, Oma. Aku mesti mengumpulkan duit untuk biaya hidup sehari-hari karena uangku sudah habis. Jadi aku berniat mau bekerja jadi pembantumu, Oma. Aku sangat berharap sekali Oma mau menerimaku. Sungguh, aku benar-benar butuh duit." Laura melayangkan tatapan memohon. "Oma bisa menahan kartu Identitasku jika tak percaya denganku," sambungnya dengan ekspresi sungguh-sungguh. Oma Beth tak lekas menyahut. Mata setengah tuanya memindai Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki dan Laura membiarkannya. "Kamu minta gaji berapa, Nak?" Setelah cukup lama Oma Beth berpikir, ia melemparkan tanya. Gaji? Ah! Mata Laura jadi berbinar senang. Segepok uang terbayang di palpebra. Ia akan kaya dalam waktu dekat. Jadi, berapa gaji yang harus ia minta? 'Sialan! Gue tidak pernah bertanya berapa gaji Bik Marni dan Bik Bedah. Berapa ya kira-kira? Tiga juta? Lima juta? Aduh, gue benar-benar buta gaji pembantu!' Laura menggaruk-garuk kepalanya yang memang gatal. Sudah seminggu ini ia memakai sampo murahan yang sasetan karena tak bisa membeli sampo mahal seperti biasanya. Perubahan sampo yang ia pakai membuat kepalanya seperti ada koreng, gatal bukan main. Oma Beth menyunggingkan senyum tipis melihat ekspresi bingung di wajah cantik Laura. Ia yakin sekali, gadis berkulit halus itu tak pernah bekerja menjadi pembantu. Dari cara bercakap dan pakaian yang dikenakan setiap mereka bertemu, Laura tampak anak orang kaya. Gadis itu tadi berkata sangat membutuhkan uang. Jika sampai gadis itu ingin melamar jadi pembantunya, berarti telah terjadi masalah besar dalam kehidupannya. Sebagai orang yang baru kenal, Oma Beth sungkan mengorek kehidupan gadis itu lebih dalam. Satu hal yang coba ia yakini, Laura orang yang jujur."Oma biasa menggaji asisten sebesar dua juta, tapi khusus memegang pekerjaan rumah saja, sedangkan urusan Cla, dipegang Oma. Kalau kamu setuju gaji dua juta, kamu bisa bekerja di sini mulai Senin besok."'Dua juta? Terlalu kecil. Jauh dari ekspektasi, tapi cukup lumayan sampai gue dapat pekerjaan yang lebih layak dan bergaji puluhan juta. Untuk saat ini, gue cuma perlu memikirkan perut, kebutuhan mandi, paket internet, dan bayar kos karena Papi cuma membayar tiga bulan saja.'"Aku mau, Oma. Tapi, apakah aku dapat makan dan wifi gratis?"Senyum di bibir Oma Beth melebar. Gadis di depannya ini tampak kelaparan. "Tentu saja. Kamu bisa memakai internet sepuas hatimu.""Oke, Oma. Aku siap bekerja besok." Angguk Laura mantap. Walau ia buta sekali pekerjaan rumah, tapi ia nekat akan melakukannya. Pikirnya, sekadar menyapu dan mengepel, mencuci pakaian dan piring, tidaklah terlalu sulit. Bahkan Bik Marni dan Bik Bedah bisa melakukannya sambil menelepon. "Kalau begitu, Oma akan mengenalkan penghuni rumah ini agar kamu tahu kebiasaan dan makanan favorit mereka." Oma Beth segera menuju kamar yang tadi dimasuki pria yang telah menghina Laura. Tak sampai tiga menit, Oma Beth keluar dan berjalan ke kamar sebelahnya. Lantas Oma Beth muncul bersama dua lelaki dengan postur jauh berbeda. Yang satu sedikit lebih gemuk dan wajah klimis, tanpa bulu sedikit pun. Tingginya juga standar sekitar 170cm. Kedua lelaki yang berdiri di sisi kanan dan kiri Oma Beth menatap Laura hampir tak berkedip. "Lau, sebelah kanan Oma bisa kamu panggil Rick. Dia papanya Clarissa. Sudah tiga tahun menduda. Sedangkan yang sebelah kiri Oma, kamu bisa memanggilnya Jeff. Oma cuma memiliki dua anak lelaki dengan usia terpaut lima tahun. Rick berumur 33 tahun, jadi Jeff masih 28 tahun. Jeff sangat cerewet untuk banyak hal. Oma berharap mentalmu kuat...."Kalimat Oma Beth belum selesai, Rick sudah memotongnya. "Dia siapa sehingga Mami menjelaskan kami sampai detail?" Sebelah alis Rick meninggi. "Dia Laura, berniat bekerja di sini...."Lagi-lagi kalimat Oma Beth diinterupsi oleh Rick. "Oh, mau jadi pembantu?" Bibir tipis kehitaman itu mencebik. Kakinya terayun melangkah ke arah Laura. "Coba kamu berdiri!" perintahnya tajam. Sebenarnya Laura alergi dengan pria di depannya, jadi tak sudi sekali menuruti perintahnya. Sialnya, pria cerewet itu adalah anaknya Oma Beth, calon bosnya. Dengan berat hati, Laura akhirnya berdiri dan menentang tatapan pria yang memindai tubuhnya sambil berjalan berputar. "Kamu tampak seperti pengemis ....""Cukup, Rick!" potong Oma Beth dengan suara lantang. Wajah putih pucatnya tampak memerah samar. Ia cukup kesal dengan penghinaan Rick kepada Laura. "Mundur, Rick! Mami belum selesai bicara dengan Laura!" perintah Oma Beth. Rick bergeming. Tatapannya yang semakin tajam menembus ke kedalaman mata Laura yang juga menentangnya tanpa gentar. Lantas, Rick berjalan mundur sebelum suara maminya melengking lagi. "Banyak makanan yang tidak disukai Rick. Di dapur, ada catatan lengkap makanan sangat dihindari Rick. Untuk sarapan, ia lebih suka telur ayam kampung setengah matang yang sudah dicampur merica halus dan madu. Sedangkan minumannya ia cuma menyukai teh dan susu....""Kecuali susu wanita muda." Celetukan yang ditutup dengan tawa bernada cemooh itu keluar dari mulut pria yang berdiri di sisi kiri Oma Beth. Mata Laura terbelalak mendengar gurauan mesum itu. Ia menoleh ke Rick. Wajah putih itu memerah. Cuping hidungnya kembang kempis dengan mulut terkunci rapat. Mungkin pria itu sedang menggeletukkan gigi. "Tutup mulutmu, Jeff!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. ***'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.