Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth.
"Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu terjadi. Melempar wajan panas berisi nasi goreng tentu saja akan dilakukan maminya jika sudah nekat. Oma Beth menarik tangan Laura ke kursi makan setelah mengambil botol alkohol, obat luka berupa cairan, dan perban. Dengan cekatan ia mengobati jari Laura yang masih meneteskan darah. "Apakah Oma mantan dokter?" Laura melayangkan tanya saat melihat wanita dengan rambut model lob cut yang membuat Oma Beth terlihat percaya diri. Oma Beth terkekeh mendengar tebakan Laura. Ia menggeleng. "Menjadi dokter adalah cita-cita papaku, sedangkan aku lebih tertarik di dunia desainer."Pupil Laura melebar takjub. "Jadi bosku adalah seorang desainer terkenal?" Wajahnya jadi bersinar, pasalnya ia senang memakai baju atau gaun yang modelnya unik dan tidak ada yang menyamainya."Tidak terlalu terkenal, tapi sudah cukup banyak langganan. Itu dulu, waktu masih muda. Sekarang cuma seorang nenek yang menikmati hari penuh bahagia bersama seorang cucu dan dua monyet yang tidak akur." Kekeh Oma Beth kencang dengan memelankan lima kata terakhir sebab ia tahu Rick belum keluar dari kamar mandi. Tawa Laura meledak begitu saja mendengar Oma Beth menjuluki monyet untuk kedua anak lelakinya. Rasa nyeri di jarinya sedikit berkurang karena hiburan tak sengaja yang dilontarkan wanita itu. Rick yang baru keluar dari kamar mandi, berdiri di pintu lagi dan menbentak pembantu barunya. "Heh, ngapain kamu masih di sini? Jangan bilang bantuin Mami masak dengan penampilan seperti gembel begini!"Darah Laura mendidih mendengar hinaan itu. Pertama, pria itu telah menyebutnya pengemis dan sekarang mengatakan ia gembel. Oma Beth memelotot lebar ke arah Rick, tapi duda itu acuh tak acuh dan terus menyerocos sambil menelan Laura lewat tatapan sadisnya. "Pulang dulu sana! Mandi dengan air kembang biar harum kalo gak mampu beli parfum! Dandan dulu baru kerja! Jadi orang selera juga mau makan."Mata Laura semakin berembun mendengar hinaan bertubi-tubi itu. Seumur hidupnya, pria ini adalah orang pertama yang telah menghinanya dan kata-katanya sangat pedas. Tak pernah Laura mengalami sebelumnya sehingga mentalnya langsung down. Namun, ia gengsi terlihat tampak rapuh di mata pria itu. Maka ia akan melawannya. Reaksi pertama atas hinaan itu adalah dengan mengepalkan tangan, ingin meninju mulut pria itu. Baru saja mulutnya terbuka ingin memaki balik, ia mendengar suara Oma Beth. "Tunggulah di kamar, telur setengah matang belum Mami masak. Jika kamu masih cerewet, Mami akan melempar wajan panas itu!" ancam Oma Beth tidak main-main. Rick tak menyahut, bahkan mengatupkan mulut rapat-rapat. Setelah memberi tatapan panjang sadis ke Laura, ia menyeret langkah menuju kamarnya. "Kamu duduklah di sini, Oma akan lanjut memasak," kata Oma Beth setelah punggung anaknya menjauh. Ia kembali ke dapur sambil membawa obat-obatan untuk ditaruh di tempatnya kembali. "Aku akan lanjut mengiris bawangnya, Oma." Laura gegas menyusul. Mata Oma Beth menyipit memandang jari Laura. "Jarimu?""Masih nyeri, tapi tidak perih lagi, jadi tidak apa-apa." Laura mengembangkan senyum untuk meyakinkan Oma Beth. Tentu saja ia ingin duduk saja di kursi makan sambil mendengarkan cerita Oma Beth yang ia yakin masih cukup banyak, tapi ia sadar tujuannya ke sini adalah untuk mendapat pekerjaan agar bisa makan dan membeli paket internet. Jika ia memanjakan jarinya, bukan tidak mungkin ia tidak diterima bekerja di sini. Oma Beth memang hangat, tapi siapa yang mau menerima pembantu malas dan manja? "Hmmm, baiklah. Mari kita lanjut lagi. Perut Oma sudah berisik sekali dan Oma yakin perut Cla dan kedua monyet itu juga pasti sudah berdisko." 'Perutku juga, Oma,' sambung Laura di dalam hati. Ia sudah menelan air liur beberapa kali demi menghidu aroma nasi goreng yang sepertinya sangat sedap itu. "Apakah aku perlu berganti pakaian dan berdandan dulu? Jangan sungkan untuk menjawab jujur, Oma." Laura meminta pendapat Oma Beth sekali lagi. Walau kata-kata yang dilontarkan duda cerewet tadi sangat pedas, tapi ada benarnya juga. Mungkin ia juga geli memakan masakan pembantu yang berpenampilan seperti pengemis. 'Tapi gue, kan, gak kayak pengemis!' debat Laura di dalam hati menghibur diri sendiri. "Tidak." Oma Beth menggeleng cepat. "Sama sekali tidak. Seperti yang Oma bilang tadi, jangan diambil hati apa pun yang dikatakan olehnya." Senyum teduh itu menghias di wajah Oma Beth. Laura mengangguk dan balas tersenyum tipis sekadar untuk menghargai Oma Beth. Nyeri di jarinya tak seperih hatinya menerima hinaan dari duda cerewet itu. "Ya, Oma. Oh ya, apakah mereka tahu dijuluki monyet oleh Oma?" Laura menatap penasaran. "Jika mereka tidak bisa dipisahkan dalam baku hantam, Oma selalu memanggil monyet pada keduanya."Gelak Laura menggema. Ia jadi membayangkan bagaimana warna wajah kedua pria yang dipanggil monyet oleh ibu mereka sendiri. "Kamu pun bisa memanggil monyet kepada mereka jika berulah."Mata Laura membeliak lebar. Astaga! Orang tua macam apa yang mengizinkan orang lain untuk memanggil monyet kepada anak-anaknya? Sekalipun anak-anaknya sudah pada dewasa, tapi sungguh tidak elok didengar publik. Ah, sepertinya dunia Oma Beth berbeda dari kebanyakan orang dan Laura jadi tertarik untuk masuk ke dunia wanita itu yang sepertinya mengasyikkan. "Wah, aku tidak berani, Oma. Bisa putus leherku nanti." Laura bergidik membayangkan kedua lelaki itu mengamuk. "Bukan cuma lehermu yang putus, tapi aku akan mutilasi tubuhmu jadi 100 potong."Tiba-tiba terdengar suara dari pintu. Mata Laura terbelalak melihat duda cerewet yang sangat menyebalkan itu sudah berdiri di pintu lagi dengan tatapan seperti serigala yang siap melahap mangsanya. 'Astaga! Mengapa dia muncul terus? Bukankah tadi dia ada di kamar? Apakah duda cerewet itu punya banyak telinga yang menempel di area dapur?' Laura bergidik sendiri membayangkan ada banyak telinga menempel di dinding. "Praaaangg!"Belum hilang rasa terkejut mendengar ucapan duda cerewet itu, Laura sudah dikejutkan lagi oleh suara benda yang mencium lantai. Suaranya nyaring sekali membuat telinga Laira berdenging. Matanya terbeliak lebar melihat cutil yang tadi digunakan Oma Beth untuk mengaduk nasi goreng telah berada di ujung kaki duda cerewet. ***Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Darah Laura benar-benar sudah mendidih. Tinjunya terkepal dan ingin ia layangkan ke mulut cerewet bin pedas itu. Namun, mengingat akan nasibnya yang bakal kelaparan pada beberapa hari ke depan, Laura menahan emosi setengah mati. Hanya dadanya saja yang naik turun menahan muntab. "Baguslah kalo Tuan Rasa ck gak nafsu dengan saya, jadi saya bisa bekerja dengan aman." Setelah mengumpulkan kekuatan dan mengabaikan sakit hati, akhirnya Laura bisa bicara dengan intonasi santai, bahkan bibirnya membirai senyum tipis. Lalu ia menerobos ke dalam kamar, melewati pria itu begitu saja. Tanpa bertanya lagi, Laura segera membuka sarung bantal dan guling dan melempar begitu saja ke lantai membuat mata Rick yang masih berdiri tegak di situ membeliak lebar. "Heh! Kok maen lempar aja kamu! Harga seprai ini mahal tau. Kamu kira macam harga seprai kamu yang dapat beli obralan di pasar, hah?" bentak Rick berkacak pinggang. Tanpa menyahut, Laura memungut kembali seprai-seprai yang ia lempar tadi, melipa
Tak hanya Laura yang terkejut, Rick juga amat terperanjat. Cutil itu hampir mengenai telapak kakinya jika ia tidak refleks mengangkat kakinya di detik-detik cutil itu melayang ke arahnya. Napas Laura dan Rick belum juga normal, ketika terdengar ancaman Oma Beth. "Dalam hitungan kedua kamu tidak pergi, siap-siap kepalamu akan diselimuti nasi goreng panas!" Oma Beth berkata sambil mengangkat kuali panas. Sebenarnya tidak terlalu panas sebab api menyala sangat kecil agar nasi goreng tidak gosong. Walau begitu, tentu saja bisa membuat kulit wajah melepuh jika diselimuti nasi goreng tersebut. Tidak sampai menunggu maminya menghitung, Rick sudah menyeret langkah seribu menuju kamar. "Berani kamu kembali dengan mulutmu yang cerewet, maka sarapan pagi ini dengan air putih saja!" teriak Oma Beth sebelum bayangan Rick hilang dari pandangan. Setelah tak melihat punggung anaknya lagi, Oma Beth menaruh wajannya kembali, lalu menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, baru menaruh nasi goreng
Bola mata Laura hampir mencelot ke luar mendengar ucapan duda cerewet yang masih berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kengerian terlukis di wajahnya. Kristal-kristal bening berkumpul cepat di matanya. Namun, baru saja kristal itu akan pecah, terdengar hardikan Oma Beth. "Jangan mengada-ada kamu, Rick!" Mata tua Oma Beth memelotot lebar ke anak sulungnya, lalu menoleh ke Laura. "Jangan hiraukan omongannya. Lukamu sama sekali tidak mengkhawatirkan. Hanya dibersihkan dengan alkohol lalu diperban. Oma akan mengobati lukamu." Sebelum Oma Beth menuju kotak obat, ia memelotot ke anaknya lagi yang masih berdiri di pintu. "Sarapan belum siap, kembalilah ke kamar."Rick mendengkus kesal. "Perutku sudah berisik, Mami. Mengapa malah mengurus pembantu macam pengemis itu?"Oma Beth melontarkan kata kasar. "Jika masih banyak bicara, wajan panas itu akan memukul mulutmu!"Rick langsung kabur ke kamar mandi. Maminya hampir tak pernah asal bicara, jadi kata-kata yang keluar dari
'Buuug! Buggggh!'Dua tinju melayang dengan cepat ke pipi Jeff tanpa ampun. Saking cepatnya pergerakan itu sampai senua orang tak menyadari, termasuk Jeff yang tubuhnya sampai terhuyung. "Sudah! Cukup! Hentikan!" hardik Oma Beth dengan suara melengking. Telinga Laura berdenging setiap mendengar Oma Beth berkata dengan melengking. Sepertinya sudah menjadi ciri khas wanita itu. Laura menatap kedua lelaki di sisi kanan dan kiri Oma Beth bergantian. Ia mencium aroma tidak harmonis di antara hubungan sedarah kedua lelaki itu. Sejenak Laura menjadi gamang, apakah ingin tetap lanjut atau batal saja. Ia khawatir mentalnya akan down jika melihat kedua lelaki itu sering berkelahi. Namun, si sisi lain ia benar-benar sedang butuh makanan untuk meng isi perutnya setiap hari. Jika harus mencari bos lain, Laura khawatir akan susah mendapatkannya sebab banyak orang tak mudah percaya pada orang asing. Mengambil pembantu dari yayasan saja, kerap banyak kejadian tidak mengenakkan seperti mencuri, atau
Mata Laura terbeliak lebar mendengar ucapan itu. 'Apa katanya barusan? Memangnya tampang gue ini kayak pengemis....'Laura tak melanjutkan pikirannya karena pintu hampir tertutup. Teringat dengan tujuannya ke sini, kakinya bergerak refleks menahan pintu itu yang sedikit lagi hampir tertutup. "Heh, apa lo bilang? Mata lo picek ya sampe gak bisa bedain pengemis dengan gue? Lo buta harga sampe gak tau berapa harga piama yang gue pake ini? Apa mata lo katarak?" sembur Laura berapi-api. Emosinya terpantik karena pria itu telah menghinanya serendah itu. Adakah profesi yang lebih hina dari pengemis? Tidak ada! Karena itu Laura ingin sekali menelan pria di depannya hidup-hidup. Ia tak peduli nata pria itu berkedut kaget. Otot-otot di wajah tampan itu tampak tertarik emosi. Mungkin tak menyangka Laura akan mengaum dengan tatapan menyala-nyala. Kegaduhan itu rupanya mengusik Oma Beth yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu karena penasaran dengan
Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. "Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. "Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur.