Kafe itu lengang sore itu. Hanya denting sendok dan suara kain lap yang bergesekan dengan permukaan meja. Seren membungkuk, mengelap meja dengan gerakan cepat dan kasar. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara tak panas.
Di sudut matanya, sekilas ia menangkap bayangan seseorang bertubuh tinggi dan besar sedang berdiri di ambang pintu. Theron. Namun, Seren malah pura-pura tidak melihat. Ia mengencangkan ikatan celemeknya, lalu beralih ke meja berikutnya. Gerakannya menjadi lebih keras, hampir seperti ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat di atas permukaan kayu itu. Theron melangkah masuk dengan senyum kecil menggantung canggung di bibirnya. Di tangannya, ia membawa tas berisi kotak-kotak kecil bahan segar yang dia beli setelah menyelesaikan urusan di luar. Tapi langkahnya perlahan melambat. Ada sesuatu yang salah. Wajah Seren yang biasa menyambutnya dengan ketenangan dan lembut itu kini tampak tegang dan rapuh. Ada retakan tipis di mata Seren, seolah ada badai besar yang hampir meledak di balik diamnya. Theron berdiri kikuk di dekat meja kasir, memandang Seren penuh kebingungan. Ia tidak tahu harus bicara apa. Sementara itu, di dalam dada Seren, badai mengamuk. "Aku harus kuat. Aku harus berdiri sendiri. Aku harus menunjukkan pada mereka. Pada Lira, pada Melissa, bahwa aku bukan lagi boneka mereka." Setiap gerakan Seren seolah menyeret luka lamanya keluar dari tempat persembunyian. 'Aku tidak boleh lagi melampiaskan semua kemarahan dan keputusasaanku pada Theron. Tidak seperti waktu itu. Saat aku memperlakukan tubuh polosnya hanya sebagai tempatku membuang racun yang sudah membusuk.' Ada rasa bersalah yang pekat menggumpal di dadanya, setiap kali ia mengingat betapa kejamnya dirinya saat memanfaatkan kepolosan Theron hanya untuk melampiaskan luka yang diwariskan masa lalunya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Itu tidak akan pernah terjadi lagi. Theron terlalu murni, terlalu bersih, untuk dipakai Seren membalas dendam terhadap trauma masa lalunya. Tanpa menoleh, Seren berkata lirih, "Aku ke atas dulu." Theron hanya bisa memandang punggung Seren yang menjauh. Meski dia 'bodoh', dia tetap bisa merasakan kalau ada sesuatu yang salah. "Ivy," gumam Theron sambil mendekat ke meja bar, tempat pelayan baru mereka, Ivy, sedang mengatur cangkir. "Seren kenapa?" "Barusan ...," bisik Ivy hati-hati, "Kak Seren ketemu kakak tirinya. Yang dari keluarganya itu." Ivy sendiri mendengar percakapan Melissa tadi, jadi dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Theron mengedipkan mata, seolah berusaha memahami sambil menggenggam kotak belanja di pelukannya. "Kakak tiri?" gumamnya polos. Ivy mengangguk, "Keluarga Kak Seren itu kaya," lanjut Ivy lirih, "tapi mereka ngeremehin dia. Dan barusan, kakaknya datang buat nginjek harga dirinya. Mereka mau buktiin kalau Kak Seren nggak akan pernah lepas dari bayang-bayang mereka." Theron sedikit berkaca-kaca, seolah tak sanggup membayangkan rasa sakit itu. "Bahkan, tunangan yang dulu dijodohin buat Kak Seren, sekarang malah diambil kakaknya," lanjut Ivy makin pelan. "Terus dia datang ke sini, buat ngatain Kak Seren kayak sampah." Wajah Theron masih polos, tapi di balik sorot matanya yang redup, sesuatu yang Ivy tidak tahu karena terlalu sibuk merasa iba untuk menyadarinya. "Aku ... aku mau bantu," bisik Theron. "Aku harus ada buat Seren." Saat Theron hendak melangkah, suara lain memotong langkahnya. "Aku tidak yakin itu ide bagus." Emma. Gadis berambut hitam pendek itu menatap Theron dengan tatapan dingin dari balik rak kue. Sejak awal, Emma memang tidak terlalu ramah pada Theron, dan sekarang tatapannya seperti penuh curiga. "Aku tahu kamu kelihatan polos," kata Emma dengan suara rendah. "Tapi aku nggak akan biarin orang lain manfaatin Seren. Jadi jangan pikir kamu bisa ikut campur seenaknya." Theron tampak kebingungan. Dia memandang Emma, lalu Ivy, lalu kembali ke arah tangga. "Aku cuma ... mau pastikan Seren baik-baik saja," jawabnya tulus. Begitu sederhana, begitu jujur, sampai Ivy pun melunak lagi. Emma masih memasang wajah waspada, tapi dia akhirnya menghela napas keras. "Kalau kamu bikin dia tambah sedih, aku yang turun tangan," ancamnya. Theron mengangguk cepat. Kemudian, dia setengah berlari menaiki tangga dengan kotak belanjaan yang masih dipegangnya erat-erat, seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu yang berharga. Di lantai dua, Seren duduk di tepi ranjang sambil memeluk lutut. Giginya menekan bibir bawah, mencoba menahan rasa sesak yang menggerogoti dadanya. 'Aku tidak boleh bergantung pada siapa pun. Aku tidak boleh lemah.' Ketukan ringan terdengar di pintu. "Seren ... boleh aku masuk?" suara Theron terdengar lembut. Seren menutup mata. Dia membenamkan wajah di antara lututnya sambil berusaha mengusir rasa bersalah yang terus membengkak. 'Tidak. Kenapa dia masih saja mengikutiku? Apa dia tidak tahu betapa kejamnya aku?' Ketukan kedua menyusul, bahkan lebih pelan. "Aku hanya ingin menemani Seren agar tidak sedih," lanjut Theron, suara gugupnya membuat kata-kata terdengar terputus-putus. "Aku membawa bahan makanan. Aku juga bawa kue kesukaan Seren." Seren menggigit bibirnya keras-keras. Tekanan di dadanya semakin besar, dan akhirnya, tanpa sadar, amarah yang dia tekan selama ini akhirnya pecah. Dengan kasar, dia membuka pintu. "THERON!" bentaknya. Theron, yang berdiri dengan kotak besar di pelukannya, tersentak. Matanya membelalak, ekspresi syok terpampang jelas. Kotaknya hampir terjatuh, dan dia buru-buru meraihnya, seolah takut akan kehilangan barang itu. Seren menatapnya dengan mata merah berair, "Apakah kamu tidak mengerti?! Aku tidak membutuhkanmu! Aku tidak ingin kamu terus ada di sini, seolah-olah aku tidak bisa hidup tanpa bantuanmu!" Theron membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tetapi Seren tidak memberinya kesempatan. "Setiap kali kamu ada di sekitarku ... aku merasa tergoda untuk bergantung padamu dan memanfaatkanmu! Aku tidak mau seperti saat itu lagi!" Air mata mulai menggenang di mata Seren, tapi dia cepat menghapusnya dengan kasar. "Jadi tolong ... tolong pergi," bisiknya. Kali ini lebih lirih dan penuh keputusasaan. Lorong itu sunyi beberapa detik. Theron hanya berdiri di sana, menatap Seren dengan wajah kosong. Tidak marah. Tidak tersinggung. Hanya ... sedih. Theron menundukkan kepalanya. Kemudian, dengan tangan gemetar, dia meletakkan kotak bahan makanan di lantai. "A-aku mengerti," katanya pelan, "ini kue kesukaan Seren. Saat kita makan bersama saat itu, Seren bilang rasanya lezat." Seren tertegun. Dadanya terasa semakin sesak. Kenapa dia harus mengingat hal-hal kecil seperti itu? Theron mundur satu langkah, bibirnya tersenyum, tapi senyum itu terasa sangat menyedihkan, seperti senyum seseorang yang sudah hampir menyerah. "Aku tidak akan mengganggu Seren lagi. Aku tidak mau bikin Seren kesal." Theron berbalik perlahan, hendak turun kembali ke bawah. Tapi sebelum benar-benar menghilang di tangga, dia menoleh sekali lagi. "Seren," kata Theron dengan suara lembut. "Kalau Seren tidak marah lagi, aku tetap di sini. Aku tidak keberatan dimanfaatkan oleh Seren." Tanpa menunggu jawaban, Theron berbalik dan melangkah pergi. Seren terpaku di ambang pintu, tubuhnya kaku seolah dihantam sesuatu yang berat. Matanya terasa panas, tangannya gemetar tak terkendali. Ia berusaha menahan tangis dan berjuang agar tidak terjatuh. Ketika Theron hampir mencapai ujung tangga, langkahnya terhenti tiba-tiba. Senyum samar itu masih ada di bibirnya, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang tersembunyi dalam sikapnya yang kini tak lagi sekadar "polos." 'Tidak ada yang bisa menyentuhnya dan lolos begitu saja.' ***Seren membenamkan diri di kursi santai sambil menelan ludah. Pipinya memerah dan tenggorokannya kering. Udara musim dingin masih menggigit, tapi kulitnya justru terasa terbakar. Buku majalah di genggamannya hanyalah kedok, karena dari balik halaman bergambar, matanya malah menyelinap ke sosok pria raksasa yang tergeletak di atas karpet tebal di dalam kamarnya. “Kendalikan dirimu, Seren,” desisnya nyaris tak terdengar. Seren bukan tipikal wanita yang mudah sekali terpengaruh, tapi hasratnya tiba-tiba menjalar liar. Dan kini, keinginan cabulnya menggerogoti logikanya bak tikus kelaparan. Helaan napas dalam-dalam pun tak mampu meredakan panas yang seolah membakar kulitnya. Terkejut dengan suara napas Seren, Theron mengangkat kepala. Rambut hitam pria itu berantakan, matanya jernih dan menatap polos, kontras dengan tubuh berototnya bagai gladiator. Tatapannya begitu lugu, seperti anak anjing yang tersesat, membuat Seren merasa dirinya seperti sampah terburuk di dunia. “Tidurlah lagi,
Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu. Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya de
Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Melissa, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh
"Aku merasa lebih baik setelah berendam." Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab dari Emma. Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak. Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang: Emma: “Besok tolong datang pagi, Seren.” “Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.” “Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.” Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi. Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon. Seren menjawab, "Halo?" "Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa. "Iya. Aku baru selesai mandi." "Hm. Pokoknya, beso
Ivy terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, “Hah, kok jadi gemas, sih.” Seren menyadari bahwa tatapan Ivy tak pernah benar-benar lepas dari sosok Theron. Bahkan Ivy, yang baru masuk, tampaknya sudah terkena efek dari pesona pria lugu itu. “Baiklah, Ivy. Tugas pertamamu adalah bantu aku di dapur menyiapkan bahan untuk makan siang." Ivy mengangguk penuh semangat, "Siap, Kak Seren!" Namun, sebelum pintu dapur sempat menutup, suara langkah pelan menghentikan Seren. Theron mendekat dengan gugup dan ragu-ragu. “Seren ... aku ... mau keluar sebentar,” katanya seperti sedang berbisik. Seren mengangkat alis, “Keluar? Mau ke mana?” Theron menunduk, tangannya menggenggam ujung celemek, “Ada yang harus kulakukan. Tapi ... aku balik nanti.” Seren memandangnya sebentar. Wajah pria itu terlalu bersih dari niat bohong. Dia tidak mencurigainya. Rumah lama Theron—warisan dari pamannya yang baru meninggal beberapa bulan lalu—hanya berjarak dua blok dari sini. Sejak kehilangan satu-satunya keluarga
Kafe itu lengang sore itu. Hanya denting sendok dan suara kain lap yang bergesekan dengan permukaan meja. Seren membungkuk, mengelap meja dengan gerakan cepat dan kasar. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara tak panas.Di sudut matanya, sekilas ia menangkap bayangan seseorang bertubuh tinggi dan besar sedang berdiri di ambang pintu.Theron.Namun, Seren malah pura-pura tidak melihat. Ia mengencangkan ikatan celemeknya, lalu beralih ke meja berikutnya. Gerakannya menjadi lebih keras, hampir seperti ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat di atas permukaan kayu itu.Theron melangkah masuk dengan senyum kecil menggantung canggung di bibirnya. Di tangannya, ia membawa tas berisi kotak-kotak kecil bahan segar yang dia beli setelah menyelesaikan urusan di luar.Tapi langkahnya perlahan melambat. Ada sesuatu yang salah. Wajah Seren yang biasa menyambutnya dengan ketenangan dan lembut itu kini tampak tegang dan rapuh. Ada retakan tipis di mata Seren, seolah ada badai besar yang
Ivy terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, “Hah, kok jadi gemas, sih.” Seren menyadari bahwa tatapan Ivy tak pernah benar-benar lepas dari sosok Theron. Bahkan Ivy, yang baru masuk, tampaknya sudah terkena efek dari pesona pria lugu itu. “Baiklah, Ivy. Tugas pertamamu adalah bantu aku di dapur menyiapkan bahan untuk makan siang." Ivy mengangguk penuh semangat, "Siap, Kak Seren!" Namun, sebelum pintu dapur sempat menutup, suara langkah pelan menghentikan Seren. Theron mendekat dengan gugup dan ragu-ragu. “Seren ... aku ... mau keluar sebentar,” katanya seperti sedang berbisik. Seren mengangkat alis, “Keluar? Mau ke mana?” Theron menunduk, tangannya menggenggam ujung celemek, “Ada yang harus kulakukan. Tapi ... aku balik nanti.” Seren memandangnya sebentar. Wajah pria itu terlalu bersih dari niat bohong. Dia tidak mencurigainya. Rumah lama Theron—warisan dari pamannya yang baru meninggal beberapa bulan lalu—hanya berjarak dua blok dari sini. Sejak kehilangan satu-satunya keluarga
"Aku merasa lebih baik setelah berendam." Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab dari Emma. Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak. Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang: Emma: “Besok tolong datang pagi, Seren.” “Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.” “Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.” Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi. Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon. Seren menjawab, "Halo?" "Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa. "Iya. Aku baru selesai mandi." "Hm. Pokoknya, beso
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Melissa, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh
Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu. Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya de
Seren membenamkan diri di kursi santai sambil menelan ludah. Pipinya memerah dan tenggorokannya kering. Udara musim dingin masih menggigit, tapi kulitnya justru terasa terbakar. Buku majalah di genggamannya hanyalah kedok, karena dari balik halaman bergambar, matanya malah menyelinap ke sosok pria raksasa yang tergeletak di atas karpet tebal di dalam kamarnya. “Kendalikan dirimu, Seren,” desisnya nyaris tak terdengar. Seren bukan tipikal wanita yang mudah sekali terpengaruh, tapi hasratnya tiba-tiba menjalar liar. Dan kini, keinginan cabulnya menggerogoti logikanya bak tikus kelaparan. Helaan napas dalam-dalam pun tak mampu meredakan panas yang seolah membakar kulitnya. Terkejut dengan suara napas Seren, Theron mengangkat kepala. Rambut hitam pria itu berantakan, matanya jernih dan menatap polos, kontras dengan tubuh berototnya bagai gladiator. Tatapannya begitu lugu, seperti anak anjing yang tersesat, membuat Seren merasa dirinya seperti sampah terburuk di dunia. “Tidurlah lagi,