Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu.
Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya dengan panik. Seren terdiam saat merasakan tangan dan kakinya gemetar. Padahal dia baik-baik saja beberapa saat yang lalu, tetapi dia tiba-tiba berpura-pura sakit. Rasanya konyol dan malu setengah mati. Namun, Theron yang terlihat tak berdaya dan tertipu oleh tindakan canggungnya, membuatnya mendapatkan keberanian. Seren melanjutkan pertunjukannya yang tidak tahu malu dan berlebihan. "Racun! Ada racun di dalam perutku, Theron. Ugh! Tolong aku.” "Racun? Seren, apakah kamu akan mati?” Meski dengan alasan yang tidak masuk akal, Theron sama sekali tidak meragukannya. Dia percaya-percaya saja. Sandiwara Seren yang buruk tampaknya berhasil bahkan saat suaranya yang terdengar senang bergetar dan ekspresinya yang kikuk terlihat jelas. "Benar! Aduh, sakit sekali. Sepertinya aku akan mati.” Jujur saja, Seren merasa malu, tapi sudah terlambat untuk kembali. Seren semakin membungkukkan tubuhnya. "Aduh! Sakit!" "Apa yang harus kulakukan untukmu, Seren? Tolong jangan mati." Mata biru Theron yang bening mulai berkaca-kaca. 'Bagus! Ini dia!' batin Seren bersemangat. “Jika ada racun, kamu harus menyedotnya, Theron. Jika tidak, aku akan mati." "Aku ... aku akan menyedotnya. Kamu tidak boleh mati, Seren." Ketika melihat Theron yang kini memohon sambil berlinang air mata, Seren merasakan perasaan senang dan bersalah di saat yang sama. Sialnya, kenikmatannya menjadi sedikit lebih besar. Seren yang menunduk sambil memegangi perutnya, tiba-tiba mengintip ke arah Theron dan bertanya, “Benarkah? Bisakah kamu melakukannya?” Kali ini, Seren bersikap lebih tenang dan serius, mungkin karena ucapannya kali ini benar-benar tulus. Dia tidak ingin terlalu memaksanya. "Ya, aku bisa melakukannya untukmu, Seren," jawab Theron dengan penuh keyakinan. Seren menelan ludah sekali lagi mendengar jawaban Theron yang terlihat sungguh-sungguh ingin menyelamatkan nyawanya. Dia merasa seperti menyeberangi sungai yang tidak akan pernah bisa diseberangi lagi. 'Aku memang sudah gila! Haruskah aku bilang itu hanya lelucon sekarang? Tidak! Sudah terlambat untuk itu.' Setelah perdebatan singkat dengan batinnya sendiri, Seren menjadi kurang ajar dan tidak tahu malu. “Ada racun di bawah sini!” Mata zamrud Seren bergetar ketika menatap ke arah Theron. Tangannya yang memegang perutnya tergelincir ke selangkangannya. Seren tidak tahu di mana dia harus mengatakan letaknya. Banyak kata yang terlintas di benaknya, tetapi tak satupun dari kata-kata itu yang menurutnya bisa dimengerti oleh Theron yang agak 'bodoh'. Mata Theron tertuju kepada jemari Seren yang berhenti di celah kedua pahanya, organ yang katanya membuatnya kesakitan. Setelah terjadi keheningan beberapa detik, bibir merah Theron kembali terbuka, “Seren, apakah itu vaginamu?” Seren membeliak. 'Apa? Darimana dia tahu kata itu? Siapa yang mengajarinya?' Dia terkejut dengan kata yang tidak bisa diucapkan, tetapi malah keluar dari mulut Theron. Dengan alis berkerut, dia berjanji akan bertanya nanti dari mana pria itu mempelajarinya. Saat ini, wajah Theron terlalu murni. Pria itu hanya mengedipkan matanya yang jernih, dan Seren tidak dapat menemukan nafsu atau apa pun di dalamnya. "Benar! Ugh, ada racunnya!” Seren membasahi bibirnya yang kering, sambil memperhatikan reaksi Theron. Dalam waktu yang belum genap beberapa detik, terasa sangat lama baginya. Jantungnya berdetak sangat kencang hingga rasanya seperti akan meledak. Meskipun Seren sangat yakin pria bodoh itu akan memercayai ucapannya, dia tetap merasa gugup. Dia hanya memiliki senjata di akhir dengan mengatakan, 'Aku hanya sedang bercanda, haha.' Seren bertanya-tanya apakah dia harus menemukan lubang tikus untuk dimasuki sambil tersenyum dan bersembunyi. Jadi, tanpa sadar kepalanya menunduk, mencari ke sudut. “Seren, aku akan menyedotnya.” Bertentangan dengan kekhawatirannya, Theron menunjukkan itikad baik. Tak ada rasa curiga di wajah polosnya ketika mendengar ucapannya. Pria itu tidak tahu apa-apa, jadi tidak masalah apakah racun itu ada di lengannya atau di tempat rahasia. Seren mengangguk sambil menatap Theron yang terlihat sangat polos hari ini, "Ya. Jilat saja.” Ternyata, keinginannya lebih besar daripada rasa bersalahnya. Hati nuraninya yang kecil menghilang bagai fatamorgana. Dia menyerah pada iblis yang ada dalam dirinya. Seren menggulung roknya sendiri dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Dia dengan cepat melepas celana dalamnya dan perlahan mengangkat lututnya. “Theron, isap sekarang.” Theron mendekatkan kepalanya dan mulai melakukan perintahnya. “Haaa ....” Seren terisak. Bahkan saat dia terengah-engah, sensasi pusing muncul di ujung kepalanya saat punggungnya meringkuk. Jemari lentiknya menahan rambut hitam pria itu dengan kuat di antara pahanya. “Theron .... Eungh!” Desahan erotis tersebar ke udara. Saat ini, Seren merasa pahanya gemetar karena Theron menjilat dan menghisapnya dengan keras. Theron hanya mengeluarkan suara isapan seolah dia sedang menggodanya dengan lidahnya yang lebih kasar. Mengajari Theron langkah demi langkah cara menyenangkannya ternyata lebih sulit dari yang dibayangkan. Namun, pada saat seperti ini, semua usahanya membuahkan hasil. “Basah sekali. Apakah ini racun yang keluar?” Seren tersentak saat menatap Theron merentangkan jari panjangnya yang sudah basah kuyup oleh cairannya. Ketika dia masih berbaring dengan kedua lutut terangkat, udara sejuk yang membelai kulit telanjangnya terasa kembali menstimulasi. "Benar. Itu racun. Ayo, jilat lagi.” Seren bahkan terkejut dengan keberaniannya sendiri. Kini sudah tidak ada sedikit pun getaran dalam kebohongan yang diucapkan dengan tenang. Sebaliknya, yang ada adalah rasa senang dan kegembiraan. Seren mengangkat pantatnya seolah mendesak Theron, memperlihatkan vaginanya untuk dijilat lagi. "Cepatlah " "Baik, Seren." Theron memasukkan lidahnya dalam-dalam atas perintahnya. Dia menyedotnya lebih lama, lebih dalam, dan lebih keras hingga kepala Seren terasa berputar. Tubuhnya secara alami bergoyang dan erangan tipis keluar. Rasanya sangat menyenangkan dan sangat menggembirakan. "Ahh ...." Seperti yang diduga, bibir Theron yang lembut, kenyal, dan hangat membuat pinggangnya melambung begitu lidahnya yang basah menyentuh bagian bawahnya. Sekeras apa pun dia berusaha menahannya, suara rintihannya tetap terdengar. “Seren, apakah itu menyakitkan?” "Tidak. Aku suka. Ah, maksudnya, itu karena racunnya keluar. Bukan apa-apa." "Benarkah, Seren? Itu bagus karena racunnya terus keluar.” Suara Theron mencerminkan kepuasan saat celah di antara kedua kaki Seren semakin basah. “Theron, kamu melakukannya dengan baik. Semua racun di dalamnya harus dikeluarkan. Jadi, tolong lanjutkan." "Baik, Seren." Theron dengan penuh semangat menggali sela-sela kaki Seren. Ciumannya seolah menyedot semua yang ada di dalamnya. Saat lidahnya menyentuh labia, Seren mencicit, suaranya sekali lagi menyelinap keluar dan vaginanya mengeluarkan air karena kenikmatan luar biasa. Hingga akhirnya gelombang itu datang. Sensasi yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan kecil sebelumnya, menyebar ke seluruh tubuh Seren. Punggungnya membungkuk seperti busur dan gemetar karena kejang. “Ahhh .…” Theron bergeming dengan tatapan bingung, memperhatikan wajah Seren hingga wanita itu tersadar. “Seren, apakah kamu baik-baik saja?” Mata Theron yang polos dipenuhi kekhawatiran. Mulutnya terlihat kaya akan cairan tubuh bening dan rambut hitamnya lebih berantakan dari biasanya setelah ditarik dan dicabut secara acak oleh Seren. ***Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Mara, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh lu
"Aku merasa lebih baik setelah berendam."Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya.Dua panggilan tak terjawab dari Emma.Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak.Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang:Emma:“Besok tolong datang pagi, Seren.”“Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.”“Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.”Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi.Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon.Seren menjawab, "Halo?""Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa."Iya. Aku baru selesai mandi.""Hm. Pokoknya, besok datanglah lebih pagi. Aku
Seren membenamkan diri di kursi santai sambil menelan ludah. Pipinya memerah dan tenggorokannya kering. Udara musim dingin masih menggigit, tapi kulitnya justru terasa terbakar. Buku majalah di genggamannya hanyalah kedok, karena dari balik halaman bergambar, matanya malah menyelinap ke sosok pria raksasa yang tergeletak di atas karpet tebal di dalam kamarnya. “Kendalikan dirimu, Seren,” desisnya nyaris tak terdengar. Seren bukan tipikal wanita yang mudah sekali terpengaruh, tapi hasratnya tiba-tiba menjalar liar. Dan kini, keinginan cabulnya menggerogoti logikanya bak tikus kelaparan. Helaan napas dalam-dalam pun tak mampu meredakan panas yang seolah membakar kulitnya. Terkejut dengan suara napas Seren, Theron mengangkat kepala. Rambut hitam pria itu berantakan, matanya jernih dan menatap polos, kontras dengan tubuh berototnya bagai gladiator. Tatapannya begitu lugu, seperti anak anjing yang tersesat, membuat Seren merasa dirinya seperti sampah terburuk di dunia. “Tidurlah lagi,
"Aku merasa lebih baik setelah berendam."Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya.Dua panggilan tak terjawab dari Emma.Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak.Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang:Emma:“Besok tolong datang pagi, Seren.”“Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.”“Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.”Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi.Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon.Seren menjawab, "Halo?""Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa."Iya. Aku baru selesai mandi.""Hm. Pokoknya, besok datanglah lebih pagi. Aku
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Mara, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh lu
Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu. Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya d
Seren membenamkan diri di kursi santai sambil menelan ludah. Pipinya memerah dan tenggorokannya kering. Udara musim dingin masih menggigit, tapi kulitnya justru terasa terbakar. Buku majalah di genggamannya hanyalah kedok, karena dari balik halaman bergambar, matanya malah menyelinap ke sosok pria raksasa yang tergeletak di atas karpet tebal di dalam kamarnya. “Kendalikan dirimu, Seren,” desisnya nyaris tak terdengar. Seren bukan tipikal wanita yang mudah sekali terpengaruh, tapi hasratnya tiba-tiba menjalar liar. Dan kini, keinginan cabulnya menggerogoti logikanya bak tikus kelaparan. Helaan napas dalam-dalam pun tak mampu meredakan panas yang seolah membakar kulitnya. Terkejut dengan suara napas Seren, Theron mengangkat kepala. Rambut hitam pria itu berantakan, matanya jernih dan menatap polos, kontras dengan tubuh berototnya bagai gladiator. Tatapannya begitu lugu, seperti anak anjing yang tersesat, membuat Seren merasa dirinya seperti sampah terburuk di dunia. “Tidurlah lagi,