18
Langit malam tampak begitu indah. Jutaan bintang berpendar menemani sang bulan menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi menyentuh dedaunan yang bergoyang di dahan pohon.Tanti dan Farzan duduk di kursi balkon lantai dua yang menghadap belakang rumah. Hanya suara gwmericik air mancur di ujung kanan rumah yang terdengar, selebihnya sunyi.
Farzan baru selesai menceritakan perdebatannya dengan Ristin tadi siang. Tanti mendengarkan dengan saksama dan tanpa menyela sedikit pun.
Usai mengoceh, Farzan menyugar rambutnya dengan tangan kanan. Dia melirik perempuan yang balas menatapnya lekat-lekat, kemudian lelaki berkaus merah mengulaskan senyuman.
"Makasih, Ti. Udah mau ngedengerin ceritaku," ucap Farzan.
"Kembali kasih, Mas," jawab Tanti. "Itu juga berhubungan denganku. Jadi aku harus mendengarkan," lanjutnya.
"Aku bingung sama Ristin. Dia jadi sering marah-marah."
"Itu karena dia cinta sama Mas, sekaligus cemburu padaku."
"Harusnya nggak gitu, dong. Dia udah setuju tentang ini, jadi dia harus terima konsekuensinya."
"Mungkin waktu menyetujui itu, dia belum paham bakal sakit hati melihat kita menikah. Apalagi Mas memang senyum-senyum terus."
"Mana bisa aku pasang muka kecut? Apalagi yang datang kebanyakan teman-teman orang tua kita."
Tanti mengangguk paham. "Ya, aku ngerti. Aku juga sedapat mungkin menciptakan senyuman saat menyalami tamu. Itu sebagai tanda menghormati mereka yang jauh-jauh datang demi menghadiri acara kita."
"Dia mikirnya aku cengengesan karena senang," keluh Farzan. "Mana pake bilang aku terpesona ke kamu lagi," imbuhnya.
"Aku nggak mikirin itu, karena lagi deg-degan waktu mau akad."
"Deg-degan kenapa?"
"Bisa aja Mas salah sebut namaku jadi Ristin. Bakal gempar."
"Enggaklah. Aku udah ngafalin ucapan kabul dari jauh-jauh hari."
Tanti menyunggingkan senyuman. "Dan aku bisa menangkap kelegaan di wajah orang tua kita, setelah akad nikah tuntas."
Farzan manggut-manggut. "Ya, dan saat itu aku benar-benar senang, karena akhirnya bisa menunaikan janji pada Ayah dan Bapak."
Selama beberapa saat suasana hening, sebelum Tanti bangkit berdiri. "Aku ngantuk. Mau tidur duluan. Apalagi besok sudah masuk kantor."
Farzan ikut berdiri. "Kupikir kamu masih mau cuti."
"Mas aja sudah ngantor."
"Cuma tadi doang. Besok aku tadinya mau ngajak kamu ngecek lokasi proyek di Lembang."
"Ehh, mau!" seru Tanti. "Enggak jadi kerja, deh," lanjutnya yang menyebabkan Farzan terkekeh.
"Bawa baju ganti," ungkap Farzan setelah tawanya menghilang.
"Mau nginap?"
"Hu um. Udah lama juga aku nggak liburan. Enggak ada waktu buat wisata jauh-jauh."
"Nanti Ristin ngambek lagi."
"Biar aja, aku capek harus ngeladenin dia merajuk." Farzan menarik lengan Tanti hingga memasuki lorong.
Pria bermata sendu berbalik untuk menutup dan mengunci pintu. Tidak lupa untuk merapikan gorden hingga menutupi seluruh kaca tembus pandang. Farzan memutar badannya untuk jalan memasuki kamar utama. Dia tertegun sesaat, kemudian menutup dan mengunci pintu.
Tanti telah membuka sofa bed dan tengah merapikan dua selimut tebal. Dia mengambil bantal dan gulingnya, kemudian duduk di tepi kasur darurat sembari menyisir rambutnya dengan pelan.
Farzan mengayunkan tungkai ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Saat dia keluar, suasana kamar telah remang-remang karena lampu utama sudah dimatikan.
Pria berambut tebal sempat mengamati Tanti yang telah berbaring telentang. Cahaya dari ponselnya menandakan bila gadis itu belum tidur. Farzan berpindah ke tempat tidur. Dia membetulkan letak bantal sebelum merebahkan tubuh dengan posisi miring ke kanan.
Selama beberapa saat berikutnya Farzan terus memandangi perempuan yang sedang cekikikan. Pria berhidung bangir menggeleng pelan kala sekelumit hasratnya muncul. Farzan berbalik sembari mengomeli dirinya yang tiba-tiba menginginkan Tanti.
Farzan memejamkan mata sembari mengatur napas. Dia berusaha untuk tidur, tetapi ternyata sulit. Bunyi sesuatu di belakang membuatnya berbalik. Ternyata Tanti tengah duduk sambil memasang kabel pengisi daya ke stop kontak di dekat meja rias.
Farzan hendak menyapa, tetapi dibatalkannya ketika Tanti kembali berbaring. Lelaki berkulit kuning langsat mendengkus, kemudian menutup mata dan memaksakan dirinya untuk segera tidur.
*** Perjalanan menuju Lembang ditempuh dengan santai oleh Farzan. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan sedang agar bisa menikmati keindahan alam, dan kesejukan udara khas pegunungan.Tanti juga terlihat sangat menikmati acara pelesiran tersebut. Dia mengoceh tentang berbagai hal pada Farzan yang menanggapinya dengan antusias.
Sekali-sekali mereka akan tergelak karena percakapan absurd. Keduanya merasa senang dengan kedekatan mereka yang ternyata cocok menjadi sahabat.
Farzan menghentikan mobilnya di area parkir sebuah restoran besar di Kota Lembang. Dia turun dan bergegas memutari kendaraan untuk membukakan pintu buat Tanti.
Farzan mengulurkan tangan kanan yang disambut perempuan berbaju abu-abu dengan sedikit malu-malu. Setelah menutup dan mengunci pintu, Farzan mengarahkan istrinya ke bagian dalam restoran.
Sebab saat itu bukan hari libur ataupun penghujung minggu, suasana sekitar sangat lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang tengah bersantap, selebihnya kosong.
Setelah duduk dan memesan makanan serta minuman, Farzan memindai sekitar sembari mengomentari tempat itu. Dia tertegun saat Tanti mengeluarkan ponselnya, kemudian pria berkumis tipis segera mengambil dan menyita ponsel pendampingnya.
"Untuk sehari ini, no handphone," pinta Farzan.
"Kenapa?" tanya Tanti.
"Kita sedang berlibur. Jadi usahakan hanya fokus padaku."
Tanti menaikkan alis, kemudian mengulum senyuman. "Kalau aku fokus ke Mas, bahaya."
"Maksudnya?"
"Bisa-bisa aku terpesona dan jatuh hati."
"Enggak masalah. Justru bagus."
"Bagus apanya? Ujung-ujungnya aku ditinggalkan. Apalagi kalau Mas sudah nikah sama Ristin. Aku bakal patah hati tanpa bisa disembuhkan lagi."
Raut wajah Farzan berubah serius. "Aku nggak bakal ninggalin kamu, Ti. Kita bisa tetap sama-sama."
Tanti menggeleng. "Aku nggak mau jadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Jadi aku memutuskan hanya jadi orang luar. Kayak begini aja, Mas. Kita tetap bisa temenan."
"Kalau suatu saat, hatiku berubah. Maksudnya, aku menyayangimu dan dia dengan sama besarnya, gimana?"
Tanti kembali menggeleng. "Tahan rasa itu agar jangan sampai muncul, Mas. Kita hanya teman di rumah sekaligus rekan kerja. Enggak ada kesempatan untuk lebih dari itu."
Farzan mengangguk paham. "Ya, kamu benar. Tapi mungkin aku akan sulit untuk tidak menyayangimu. Terutama karena ternyata aku merasa nyaman dengan kedekatan kita selama sebulan lebih ini."
Tanti terperangah. Dia tidak menduga jika Farzan berani mengungkapkan isi hatinya. Perempuan bermata cukup besar menunduk sembari menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Sentuhan di jemarinya mengejutkan Tanti. Dia menengadah dan beradu pandang dengan sepasang mata bermanik hitam milik lelaki, yang telah sah menikahinya beberapa hari silam.
"Ti, aku benar-benar serius untuk mengajakmu membina rumah tangga," bisik Farzan sambil mengusap tangan perempuannya.
"Selama Mas masih berniat poligami, aku nggak akan mau menjadi istri Mas yang sesungguhnya!" tegas Tanti sembari menarik tangannya. "Kecuali Mas tidak jadi menikahinya, maka aku mau mengubah keputusan," lanjutnya yang menyebabkan Farzan terkesiap.
19Setibanya di tempat tujuan, Farzan mengajak Tanti untuk menemui rekan-rekannya yang tengah berada di bangunan kantor proyek. Farzan memperkenalkan Tanti pada beberapa pengusaha muda yang baru kali itu bekerjasama dengan perusahaannya. Pembawaan Tanti yang ceria dan ramah, menjadikan dirinya cepat beradaptasi dengan para lelaki. Farzan mengamati cara istrinya bersosialisasi. Meskipun terkesan akrab, tetapi Tanti tetap menjaga sopan santun. "Dipandangin mulu dari tadi. Yakin, kamu sudah jatuh hati sama Tanti," ledek Irwansyah, yang telah datang terlebih dahulu bersama Naila, istrinya yang tengah hamil empat bulan. "Ehm, maybe," sahut Farzan. "Jangan bilang mungkin, jawab aja, iya." Farzan menyugar rambutnya, kemudian mengulum senyuman. "Kamu benar-benar memahamiku." "Sebetulnya dari waktu kita rapat sebelum kalian nikah, aku udah ngerasa kalau kamu suka sama dia." "Kelihatan, ya?" "Hu um. Kamu mandangin dia sambil senyum-senyum gitu." Farzan terkekeh, kemudian cepat-cepat me
20Guncangan di lengan mengejutkan Farzan. Dia membuka mata dan beradu pandang dengan sepasang mata beriris cokelat muda milik Tanti. Perempuan tersebut meringis dan menyebabkan Farzan menyadari bila istrinya tengah berkeringat. "Kenapa?" tanya Farzan. "Perutku sakit," cicit Tanti. "Mules diare?" "Bukan, tapi aku lagi dapat." Farzan mengerjap-ngerjapkan mata. Sekian detik berikutnya barulah dia memahami arti kalimat sang istri. "Minum obat pereda nyeri aja." "Enggak bawa," balas Tanti sembari memijat-mijat perutnya. "Kalau nggak salah, di dashboard mobil ada." Farzan menyibak selimut dan bangkit duduk. "Tunggu, ya, kuambilkan dulu," lanjutnya yang dibalas anggukan Tanti. Setelah Farzan menjauh, Tanti berbaring miring ke kanan di kasur yang baru ditinggalkan suaminya. Dia meringis menahan sakit sambil memijat perut dan pinggang belakang secara bergantian. Kala Farzan kembali, Tanti memaksakan diri untuk duduk. Dia menerima sebutir obat dan segelas air dari pria berkaus hitam,
21Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Farzan dan Tanti nyaris tidak mengobrol. Bila sang lelaki berulang kali melirik istrinya seraya mengulum senyuman, yang dilirik justru berusaha untuk tetap tenang sambil memandangi luar mobil. Debaran jantung perempuan bermata cukup besar berkali-kali mengencang, terutama bila Farzan menyentuh tangannya dan menggenggam selama beberapa saat. Sebelum dilepaskan sembari menatap istrinya. Setibanya di kawasan Setiabudi, Farzan menghentikan kendaraan di depan sebuah restoran yang menyajikan menu khas western. Keduanya turun, kemudian jalan bersisian memasuki area yang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan waktu makan siang. Tanti memilih meja di tengah dan paling terdekat dengan meja kasir. Seorang pegawai menghampiri dan mencatat pesanan mereka, kemudian segera menjauh. Tanti memindai sekitar untuk menghindari bertatapan dengan pria yang tengah menatapnya lekat-lekat. Tanti menjengit kala Farzan berpindah duduk di samping kiri, sebelum
22"Mau apa dia datang ke sini?" tanya Farzan, sesaat setelah dia dan sang istri memasuki kamar utama. "Enggak tahu. Katanya kebetulan habis nganter salah satu tetangga kita," sahut Tanti sembari membuka pintu lemari. "Nganter gimana?" "Dia kerja jadi sopir taksi online." Farzan mengerutkan keningnya. "Bukannya kamu bilang dia kerja di Pak Prasetyo Wijaya?" "Hu um, tapi bulan lalu dia resign." "Kenapa?" Tanti menutup pintu lemari sembari menyahut, "Manalah kutahu, Mas. Aku nggak pernah nanya-nanya." Farzan mendengkus kuat. "Aku nggak suka dia datang." Tanti tertegun, kemudian memberikan pakaian ganti buat suaminya. "Dari dia datang, aku sudah bilang kalau Mas pasti nggak suka dia nongol." "Pokoknya kalau nggak ada aku di rumah, jangan terima tamu laki-laki!" Tanti mengangkat alisnya. "Jika yang datang adalah keluargaku, gimana?" "Khusus keluarga kita, boleh." "Teman-temanku?" "Pokoknya selain dia!" "Pak RT?" Farzan hendak menjawab, tetapi kemudian dia menyadari jika Ta
23Semenjak malam itu, Tanti pindah ke kamar bagian belakang yang menghadap balkon. Dia juga menjaga jarak dengan Farzan dan hanya berbincang seperlunya. Bila ada lelaki bermata sendu di rumah, Tanti akan mengurung diri di kamar dan mengunci pintunya. Sedapat mungkin dia menghindari interaksi dengan Farzan. Supaya kondisi hati dan diri Tanti tetap terkendali. Hal itu menyebabkan Farzan gundah. Dia kehilangan sosok Tanti yang akan menyalaminya dengan takzim, bila hendak berangkat kerja ataupun baru tiba di rumah. Selain itu, Farzan juga kesulitan untuk tidur. Hidungnya masih bisa mengendus aroma hand body ataupun sampo sang istri di bantal. Hari berganti menjadi minggu. Tanti sengaja lembur agar akhir pekan esok dia bisa meliburkan diri. Biasanya, tiap Sabtu Tanti akan tetap bekerja karena itulah momen pengunjung membludak. Namun, kali itu berbeda. Dia ingin memanjakan diri di salon. Tanti tiba di rumah menjelang jam delapan. Dia merasa lega karena ternyata mobil Farzan tidak bera
24Tanti terbangun dengan badan nyeri. Demikian pula dengan area sensitifnya yang masih berdenyut. Perempuan bermata cukup besar meringis sembari meraba ke bawah. Dia mengeluh dalam hati karena telah kalah dan terbelenggu hasrat lelaki halalnya. Tanti menoleh ke kanan. Farzan masih tertidur sambil memeluk pinggangnya. Perempuan berbibir tipis mengamati paras manis suaminya, kemudian membatin bila dirinya tidak akan sanggup berbagi tubuh dan cinta Farzan. Terutama karena dia telah menyerahkan kehormatannya. Tanti menggeser tangan Farzan. Dia berusaha bangkit meskipun harus bersusah payah. Tanti menyibakkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka. Dia tertegun menyaksikan noda merah di seprai yang menandakan kesuciannya telah hilang. Perempuan berleher jenjang menghela napas berat, kemudian melepaskannya perlahan. Dia menyadari jika tidak bisa menolak lagi memberikan hak sang suami, terutama karena hatinya telah jatuh sayang pada pria tersebut. Tanti beringsut ke tepi kasur dan men
25Acara resepsi rekan Farzan menjadi ajang reuni pria bersetelan jas abu-abu, dengan orang-orang yang cukup dekat dengannya selama kuliah. Bersama Irwansyah, Farzan dan yang lainnya bergerombol untuk mengobrol tak tentu arah. Naila, istri Irwansyah mengajak Tanti mengelilingi semua stand makanan. Kedua perempuan yang sama-sama senang masak dan makan, berdiskusi tentang berbagai menu yang mereka santap. Kehadiran sekelompok orang dari pintu utama menyebabkan Irwansyah terkejut. Dia merangkul pundak Farzan, lalu membisikkan sesuatu. Sang bos terdiam sesaat, sebelum bergeser ke depan Irwansyah agar tidak terlihat orang-orang tersebut. "Ris, itu kayak Mas Farzan," ucap Dina, rekan Ristin di kantor sambil menunjuk sekelompok pria di sebelah kanan. Ristin mengamati orang yang dimaksud, kemudian menyahut, "Ya, itu memang dia." "Kok, dia bisa ada di sini?" desak Lesti, perempuan bergaun hitam yang juga teman Ristin. "Nggak tahu," sahut Ristin. "Kamu nggak nyamperin?" sela Feli. Risti
26Seorang perempuan keluar dari salon seraya mengulum senyum. Dia merasa puas dengan hasil perawatan di tempat tersebut. Wajah dan tubuhnya terasa segar seusai melakukan serangkaian perawatan. Tanti berbelok ke kiri untuk menyusuri jalan yang cukup padat. Dia hendak mampir ke kafe untuk menikmati kudapan. Setelahnya baru dia akan pulang. Tanti mempercepat ayunan tungkai karena matahari menjelang sore terasa menyorot. Dia menutupi area kepala dengan baguette bag hitamnya, sembari meneruskan langkah dan fokus menghadap depan. Seseorang tiba-tiba menggamit lengan kiri Tanti yang spontan menjengit. Dia menoleh ke kiri, lalu membeliak saat memastikan orangnya. Sementara lelaki berkemeja putih pas badan menarik Tanti agar mengikuti langkahnya ke tempat parkir sebuah toko."Mas, lepasin!" desis Tanti sambil mencoba menarik tangannya, tetapi usahanya gagal."Aku cuma pengen ngobrol sebentar, Ti," balas Yosrey. "Enggak mau!" "Sebentar aja. Setelah itu kamu kuantarkan ke rumahmu." Tanti
55Jalinan waktu terus bergulir. Hampir sepekan berada di kota kelahiran, Tanti dan Farzan sangat bahagia. Mereka mengunjungi tempat berbeda setiap hari, untuk memenuhi undangan para kerabat. Sabtu pagi menjelang siang, kediaman keluarga Bramanty dipenuhi banyak orang. Acara syukuran empat bulanan dilaksanakan dengan khidmat dan tertib. Selepas tausiah dan pembacaan doa oleh Ustaz sahabatnya Saad, para tamu mendatangi pemilik hajat untuk mengucapkan selamat, atas kehamilan Tanti. Satu per satu bingkisan diberikan pada semua tamu, sebelum mereka meninggalkan tempat acara. Selanjutnya, Saad dan istrinya mengajak seluruh tamu penting untuk bersantap. Puluhan orang memenuhi garasi yang menjadi tempat empat stand makanan dan minuman. Seusai mengambil ransum, mereka berpencar untuk kembali berkumpul dengan kelompok masing-masing. Tanti memutuskan untuk bergabung dengan kelompok para istri bos PG dan PC, yang telah datang dari Jakarta dan sekitar Kota Bandung. "Ti, roti cane dan kariny
54Selama seminggu berikutnya, Tanti ditinggalkan Farzan untuk berangkat ke tempat proyek bersama Hisyam, Nanang dan Zacky. Tanti menyibukkan diri dengan membantu Evangeline di kebun, sekaligus menyiapkan berbagai bawaan untuk orang-orang terkasih di kampung halaman. Dua hari sebelum bertolak ke Indonesia, Farzan dan yang lainnya pulang. Semua orang di dua rumah dinas, begitu antusias untuk mudik. Meskipun hanya libur dua minggu, tetapi itu sudah cukup untuk mencurahkan kerinduan pada orang-orang terdekat. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Sabtu sore, kelompok pimpinan Nanang telah berada di bandara Auckland. Mereka tidak memasuki tempat check in umum. Melainkan mengarahkan langkah ke tempat khusus pesawat carteran ataupun pribadi. Tanti yang baru kali itu menumpang di pesawat pribadi, sangat antusias mengamati seluruh bagian pesawat itu. Seperti anggota kelompok lainnya, Tanti dan Farzan turut melakukan swa foto di depan pesawat, sebelum menaiki burung besi tersebut. Tanti dimin
53Minggu berganti. Kedatangan Hisyam dan Nanang ke Auckland, disambut gembira para perantau di dua rumah. Berbagai oleh-oleh yang dibawakan keduanya, dibuka untuk dinikmati bersama-sama oleh seluruh penghuni. Setelahnya, para ajudan dan Moreno berpindah ke mess untuk beristirahat sekaligus salat Magrib berjemaah.Sementara di rumahnya, Tanti dan kedua asisten berjibaku untuk menyiapkan hidangan di meja makan. Tanti tiba-tiba berhenti bergerak dan mengaduh. Dia memegangi perut sambil meringis, yang mengejutkan Darmi dan Carla. "Duduk dulu, Non," ujar Darmi sembari menuntun Tanti ke sofa. "Kunaon?" tanyanya sambil mengamati sang nyonya yang tengah mengusap perutnya. "Mendadak keram, Bi," cicit Tanti sembari duduk menyandar ke tumpukan bantal sofa. "Oh, memang gitu, Non. Sudah masuk empat bulan, janinnya makin besar. Bentar lagi akan ditiupkan roh-nya." Darmi turut mengusap perut Tanti. "Sing sehat, Anak bageur," ucapnya dengan lembut. "Ehm, ternyata begitu. Pantas Ibu bilang, mau
52Detik terjalin menjadi menit dan mengubah jam dengan kecepatan tinggi. Minggu berganti menjadi bulan, hingga tibalah waktu musim semi berganti menjadi musim panas.Berbeda dengan benua Eropa dan Amerika, di New Zealand dan Australia, waktu musimnya berbeda. Meskipun sama-sama memiliki empat musim seperti kawasan Eropa dan lainnya.Udara hangat tetapi tetap sejuk, menjadikan Desember hingga Februari sebagai waktu yang tepat untuk mengunjungj New Zealand.Hal itu mengakibatkan banyaknya turis dan rammainya tempat-tempat wisata terkenal di New Zealand. Begitu pula dengan meningkatnya kehidupan di berbagai kota.Proyek yang tengah dikebut pengerjaannya, menjadikan Farzan lebih sering berada di Queenstown. Akhirnya dia memboyong Tanti, karena khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang berbadan dua. *Grup Proyek New Zealand* Hansel : @Farzan. Mama ngomel-ngomel asistennya diculik lagi.Keven : Tanti diangkut ke Queenstown?Hansel : Ya, @Mas Keven. Padahal Mama sudah bikin jadwal sa
51Jalinan waktu terus bergulir. Sebab Farzan harus sering ke tempat proyek, akhirnya Tanti mengikuti saran Evangeline untuk menyibukkan diri dengan berbagai hal positif.Tanti mengikuti kursus memasak makanan western dan aneka kue. Dia juga membantu Evangeline di kebun bunga milik perempuan tua tersebut. Tanti tidak menduga jika bunga memiliki banyak variasi. Dia giat mempelajari ilmu bercocok tanam, sembari mengaplikasikannya bersama Evangeline. Jumat sore itu, Tanti dan yang lainnya telah berada di kediaman Timothy. Mereka menyambut kedatangan keluarga Bryan dan Keven beserta Ibu masing-masing. Tanti turut bergabung dengan Aruna dan ketiga perempuan tua, yang berkumpul di teras belakang. Sekali-sekali Tanti ikut memangku Kaylee, anak Aruna dan Keven yang berusia setahun lebih. Tanti mengamati interaksi antara Aruna, Karin dan Lucky. Tanti bisa melihat ketulusan kasih Aruna pada kedua keponakannya, yang diperlakukan sama dengan Kaylee. Karin dan Lucky tidak sungkan untuk berman
50Hari berganti menjadi minggu. Bulan terlewati dengan kecepatan maksimal. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang musim seminya berlangsung di Maret sampai Mei, bulan September hingga November di New Zealand merupakan musim semi di negara kepulauan tersebut. Pagi itu Tanti terbangun dengan tubuh linu. Dia meringis ketika kesulitan menggerakkan badan, terutama area pinggang. Tanti menggapai ponselnya di meja samping kanan kasur, lalu menghubungi Darmi. Perempuan tua segera mendatangi Nyonya mudanya di kamar utama. Darmi terkejut kala menyadari bila tubuh Tanti sangat panas dan wajahnya pun pucat. Darmi segera memanggil suaminya yang berada di halaman. "Non, kita ke dokter, ya," usul Yayat seusai menempelkan telapak tangan ke dahi dan leher Tanti. "Aku nggak bisa bangun," bisik Tanti. Mulutnya terasa kering dan leher sedikit sakit. "Paman panggilkan Dimas. Dia lagi libur hari ini. Sekalian minta dia yang nyetir, karena Paman belum berani mengemudi di sini," ungkap Yayat. Kala
49*Grup Proyek New Zealand*Axelle Dante Adhitama : Kami sudah sampai di bandara Cengkareng.Baskara Gardapati Ganendra : Alhamdulillah.Artio Laksamana Pramudya : Lusa kita meeting, @Dante.Dante : Mas @Tio, bisa nggak jangan rapat dulu? Aku mau cuti dan istirahat di rumah.Tio : Cutinya, kan, dari kantor Adhitama. Dari PG, cuti sudah diambil bulan lalu.Dante : Astagfirullah! Dasar, Komisaris pelit!Tio : Aku harus tegas, karena gajimu besar, @Dante.Dante : Aku mau resign aja dari PG!Tio : Enggak bisa. Kontrakmu masih berlaku sampai 47 tahun, 111 hari lagi.Dante : Gelo!Yanuar Kaisar Ming Sipitih : Aku terkenyout!Austin David Wirapranata : Apa itu, @Yanuar?Yanuar : Terkejut, @Mas David. Bahasa gaul itu.Alvaro Gustav Baltissen : Bukan bahasa gaul, tapi alay.Heru Pranadipa Dewawarman : Yanuar memang masih remaja.Samudra Adhitama : ABG.Arrivan Qaiz Latief : Ababil.Fairel Attalariz Calief : Gen Z.Harry Adhitama : Yanuar bukan lagi gen Z, tapi, gen ZZZ.Wirya Arudji Kartawina
48"Aku buatin teh hangat, ya," tutur Farzan. "Hu um," sahut Tanti sambil memegangi lengan suaminya dan mengajak Farzan keluar. "Ada makanan apa, Mas? Perutku harus diisi. Kayaknya masuk angin," ungkapnya. "Macam-macam. Nasi juga ada. Mungkin pihak hotel sengaja menyediakan itu buat kita." "Lagi nggak kepengen nasi. Ada sup?" "Ada. Paling banyak, sih, aneka cake. Kamu pasti tahu jenisnya apa aja. Aku nggak hafal." Keduanya tiba di dekat sofa dan duduk berdampingan. Farzan dengan tangkas membuatkan minuman hangat buat sang istri. Sementara Tanti memerhatikan hidangan, sebelum mengambil mangkuk sup jagung yang ternyata masih hangat, karena dihidangkan dalam tempat pemanas makanan. Farzan meletakkan cangkir berisi teh ke meja. Kemudian dia berpindah ke balkon untuk mengambil makanan dan minumannya, untuk dialihkan ke dalam. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka sibuk menghabiskan berbagai makanan yang ternyata lezat. Kala Tanti bersendawa, keduanya serentak tersenyum sambil
47Terminal F keberangkatan Bandara internasional Soekarno-Hatta, terlihat ramai orang berkemeja ataupun blus putih. Para pengawal yang ikut berangkat menemani bos masing-masing, mengenakan kemeja putih dengan logo PB di saku kiri. Selain mereka, beberapa komandan yang turut serta juga menggunakan pakaian serupa. Farzan dan Ristin saling menatap sesaat, kemudian lelaki bercelana jin biru mendekap mantan kekasihnya yang sebentar lagi juga akan menjadi mantan istrinya. Farzan membiarkan Ristin menangis di dadanya, karena hanya itu yang bisa dilakukannya untuk sang istri kedua. Tidak lama berselang, Ristin mengurai dekapan. Dia mengusap mata dan pipi yang basah dengan tisu. Farzan mengucapkan kata-kata penghiburan yang dibalas Ristin dengan anggukan. Setelah melepaskan perempuan berbaju hijau, Farzan berpindah menyalami Bobby. Dia menitipkan Ristin pada pria yang lebih muda. Sekaligus memastikan Bobby akan membantu usaha baru Ristin yang berkolaborasi dengan BPAGK. Adegan perpisahan