18 Langit malam tampak begitu indah. Jutaan bintang berpendar menemani sang bulan menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi menyentuh dedaunan yang bergoyang di dahan pohon. Tanti dan Farzan duduk di kursi balkon lantai dua yang menghadap belakang rumah. Hanya suara gwmericik air mancur di ujung kanan rumah yang terdengar, selebihnya sunyi. Farzan baru selesai menceritakan perdebatannya dengan Ristin tadi siang. Tanti mendengarkan dengan saksama dan tanpa menyela sedikit pun. Usai mengoceh, Farzan menyugar rambutnya dengan tangan kanan. Dia melirik perempuan yang balas menatapnya lekat-lekat, kemudian lelaki berkaus merah mengulaskan senyuman. "Makasih, Ti. Udah mau ngedengerin ceritaku," ucap Farzan. "Kembali kasih, Mas," jawab Tanti. "Itu juga berhubungan denganku. Jadi aku harus mendengarkan," lanjutnya. "Aku bingung sama Ristin. Dia jadi sering marah-marah." "Itu karena dia cinta sama Mas, sekaligus cemburu padaku." "Harusnya nggak gitu, dong. Dia udah setuju tentang ini
19Setibanya di tempat tujuan, Farzan mengajak Tanti untuk menemui rekan-rekannya yang tengah berada di bangunan kantor proyek. Farzan memperkenalkan Tanti pada beberapa pengusaha muda yang baru kali itu bekerjasama dengan perusahaannya. Pembawaan Tanti yang ceria dan ramah, menjadikan dirinya cepat beradaptasi dengan para lelaki. Farzan mengamati cara istrinya bersosialisasi. Meskipun terkesan akrab, tetapi Tanti tetap menjaga sopan santun. "Dipandangin mulu dari tadi. Yakin, kamu sudah jatuh hati sama Tanti," ledek Irwansyah, yang telah datang terlebih dahulu bersama Naila, istrinya yang tengah hamil empat bulan. "Ehm, maybe," sahut Farzan. "Jangan bilang mungkin, jawab aja, iya." Farzan menyugar rambutnya, kemudian mengulum senyuman. "Kamu benar-benar memahamiku." "Sebetulnya dari waktu kita rapat sebelum kalian nikah, aku udah ngerasa kalau kamu suka sama dia." "Kelihatan, ya?" "Hu um. Kamu mandangin dia sambil senyum-senyum gitu." Farzan terkekeh, kemudian cepat-cepat me
20Guncangan di lengan mengejutkan Farzan. Dia membuka mata dan beradu pandang dengan sepasang mata beriris cokelat muda milik Tanti. Perempuan tersebut meringis dan menyebabkan Farzan menyadari bila istrinya tengah berkeringat. "Kenapa?" tanya Farzan. "Perutku sakit," cicit Tanti. "Mules diare?" "Bukan, tapi aku lagi dapat." Farzan mengerjap-ngerjapkan mata. Sekian detik berikutnya barulah dia memahami arti kalimat sang istri. "Minum obat pereda nyeri aja." "Enggak bawa," balas Tanti sembari memijat-mijat perutnya. "Kalau nggak salah, di dashboard mobil ada." Farzan menyibak selimut dan bangkit duduk. "Tunggu, ya, kuambilkan dulu," lanjutnya yang dibalas anggukan Tanti. Setelah Farzan menjauh, Tanti berbaring miring ke kanan di kasur yang baru ditinggalkan suaminya. Dia meringis menahan sakit sambil memijat perut dan pinggang belakang secara bergantian. Kala Farzan kembali, Tanti memaksakan diri untuk duduk. Dia menerima sebutir obat dan segelas air dari pria berkaus hitam,
21Sepanjang perjalanan menuju Kota Bandung, Farzan dan Tanti nyaris tidak mengobrol. Bila sang lelaki berulang kali melirik istrinya seraya mengulum senyuman, yang dilirik justru berusaha untuk tetap tenang sambil memandangi luar mobil. Debaran jantung perempuan bermata cukup besar berkali-kali mengencang, terutama bila Farzan menyentuh tangannya dan menggenggam selama beberapa saat. Sebelum dilepaskan sembari menatap istrinya. Setibanya di kawasan Setiabudi, Farzan menghentikan kendaraan di depan sebuah restoran yang menyajikan menu khas western. Keduanya turun, kemudian jalan bersisian memasuki area yang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan waktu makan siang. Tanti memilih meja di tengah dan paling terdekat dengan meja kasir. Seorang pegawai menghampiri dan mencatat pesanan mereka, kemudian segera menjauh. Tanti memindai sekitar untuk menghindari bertatapan dengan pria yang tengah menatapnya lekat-lekat. Tanti menjengit kala Farzan berpindah duduk di samping kiri, sebelum
22"Mau apa dia datang ke sini?" tanya Farzan, sesaat setelah dia dan sang istri memasuki kamar utama. "Enggak tahu. Katanya kebetulan habis nganter salah satu tetangga kita," sahut Tanti sembari membuka pintu lemari. "Nganter gimana?" "Dia kerja jadi sopir taksi online." Farzan mengerutkan keningnya. "Bukannya kamu bilang dia kerja di Pak Prasetyo Wijaya?" "Hu um, tapi bulan lalu dia resign." "Kenapa?" Tanti menutup pintu lemari sembari menyahut, "Manalah kutahu, Mas. Aku nggak pernah nanya-nanya." Farzan mendengkus kuat. "Aku nggak suka dia datang." Tanti tertegun, kemudian memberikan pakaian ganti buat suaminya. "Dari dia datang, aku sudah bilang kalau Mas pasti nggak suka dia nongol." "Pokoknya kalau nggak ada aku di rumah, jangan terima tamu laki-laki!" Tanti mengangkat alisnya. "Jika yang datang adalah keluargaku, gimana?" "Khusus keluarga kita, boleh." "Teman-temanku?" "Pokoknya selain dia!" "Pak RT?" Farzan hendak menjawab, tetapi kemudian dia menyadari jika Ta
23Semenjak malam itu, Tanti pindah ke kamar bagian belakang yang menghadap balkon. Dia juga menjaga jarak dengan Farzan dan hanya berbincang seperlunya. Bila ada lelaki bermata sendu di rumah, Tanti akan mengurung diri di kamar dan mengunci pintunya. Sedapat mungkin dia menghindari interaksi dengan Farzan. Supaya kondisi hati dan diri Tanti tetap terkendali. Hal itu menyebabkan Farzan gundah. Dia kehilangan sosok Tanti yang akan menyalaminya dengan takzim, bila hendak berangkat kerja ataupun baru tiba di rumah. Selain itu, Farzan juga kesulitan untuk tidur. Hidungnya masih bisa mengendus aroma hand body ataupun sampo sang istri di bantal. Hari berganti menjadi minggu. Tanti sengaja lembur agar akhir pekan esok dia bisa meliburkan diri. Biasanya, tiap Sabtu Tanti akan tetap bekerja karena itulah momen pengunjung membludak. Namun, kali itu berbeda. Dia ingin memanjakan diri di salon. Tanti tiba di rumah menjelang jam delapan. Dia merasa lega karena ternyata mobil Farzan tidak bera
24Tanti terbangun dengan badan nyeri. Demikian pula dengan area sensitifnya yang masih berdenyut. Perempuan bermata cukup besar meringis sembari meraba ke bawah. Dia mengeluh dalam hati karena telah kalah dan terbelenggu hasrat lelaki halalnya. Tanti menoleh ke kanan. Farzan masih tertidur sambil memeluk pinggangnya. Perempuan berbibir tipis mengamati paras manis suaminya, kemudian membatin bila dirinya tidak akan sanggup berbagi tubuh dan cinta Farzan. Terutama karena dia telah menyerahkan kehormatannya. Tanti menggeser tangan Farzan. Dia berusaha bangkit meskipun harus bersusah payah. Tanti menyibakkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka. Dia tertegun menyaksikan noda merah di seprai yang menandakan kesuciannya telah hilang. Perempuan berleher jenjang menghela napas berat, kemudian melepaskannya perlahan. Dia menyadari jika tidak bisa menolak lagi memberikan hak sang suami, terutama karena hatinya telah jatuh sayang pada pria tersebut. Tanti beringsut ke tepi kasur dan men
25Acara resepsi rekan Farzan menjadi ajang reuni pria bersetelan jas abu-abu, dengan orang-orang yang cukup dekat dengannya selama kuliah. Bersama Irwansyah, Farzan dan yang lainnya bergerombol untuk mengobrol tak tentu arah. Naila, istri Irwansyah mengajak Tanti mengelilingi semua stand makanan. Kedua perempuan yang sama-sama senang masak dan makan, berdiskusi tentang berbagai menu yang mereka santap. Kehadiran sekelompok orang dari pintu utama menyebabkan Irwansyah terkejut. Dia merangkul pundak Farzan, lalu membisikkan sesuatu. Sang bos terdiam sesaat, sebelum bergeser ke depan Irwansyah agar tidak terlihat orang-orang tersebut. "Ris, itu kayak Mas Farzan," ucap Dina, rekan Ristin di kantor sambil menunjuk sekelompok pria di sebelah kanan. Ristin mengamati orang yang dimaksud, kemudian menyahut, "Ya, itu memang dia." "Kok, dia bisa ada di sini?" desak Lesti, perempuan bergaun hitam yang juga teman Ristin. "Nggak tahu," sahut Ristin. "Kamu nggak nyamperin?" sela Feli. Risti
48"Aku buatin teh hangat, ya," tutur Farzan. "Hu um," sahut Tanti sambil memegangi lengan suaminya dan mengajak Farzan keluar. "Ada makanan apa, Mas? Perutku harus diisi. Kayaknya masuk angin," ungkapnya. "Macam-macam. Nasi juga ada. Mungkin pihak hotel sengaja menyediakan itu buat kita." "Lagi nggak kepengen nasi. Ada sup?" "Ada. Paling banyak, sih, aneka cake. Kamu pasti tahu jenisnya apa aja. Aku nggak hafal." Keduanya tiba di dekat sofa dan duduk berdampingan. Farzan dengan tangkas membuatkan minuman hangat buat sang istri. Sementara Tanti memerhatikan hidangan, sebelum mengambil mangkuk sup jagung yang ternyata masih hangat, karena dihidangkan dalam tempat pemanas makanan. Farzan meletakkan cangkir berisi teh ke meja. Kemudian dia berpindah ke balkon untuk mengambil makanan dan minumannya, untuk dialihkan ke dalam. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka sibuk menghabiskan berbagai makanan yang ternyata lezat. Kala Tanti bersendawa, keduanya serentak tersenyum sambil
47Terminal F keberangkatan Bandara internasional Soekarno-Hatta, terlihat ramai orang berkemeja ataupun blus putih. Para pengawal yang ikut berangkat menemani bos masing-masing, mengenakan kemeja putih dengan logo PB di saku kiri. Selain mereka, beberapa komandan yang turut serta juga menggunakan pakaian serupa. Farzan dan Ristin saling menatap sesaat, kemudian lelaki bercelana jin biru mendekap mantan kekasihnya yang sebentar lagi juga akan menjadi mantan istrinya. Farzan membiarkan Ristin menangis di dadanya, karena hanya itu yang bisa dilakukannya untuk sang istri kedua. Tidak lama berselang, Ristin mengurai dekapan. Dia mengusap mata dan pipi yang basah dengan tisu. Farzan mengucapkan kata-kata penghiburan yang dibalas Ristin dengan anggukan. Setelah melepaskan perempuan berbaju hijau, Farzan berpindah menyalami Bobby. Dia menitipkan Ristin pada pria yang lebih muda. Sekaligus memastikan Bobby akan membantu usaha baru Ristin yang berkolaborasi dengan BPAGK. Adegan perpisahan
46Deretan mobil beraneka tipe dan warna melintas di jalan bebas hambatan menuju Kota Jakarta. Farzan yang berada di mobil kedua yang dikemudikan Irwansyah, mendengarkan penuturan Linggha Atthaya Pangestu yang berada di kursi tengah bersama Leandru Mahendra dan Giandra Ardianto, sahabat Linggha yang juga merupakan salah satu anggota PG. Sementara Moreno dan Rusdi, ajudan Linggha yang berada di belakang, turut mendengarkan percakapan para bos. Tiba-tiba Rusdi terbahak dan menyebabkan yang lainnya terkejut. Sang pengawal cepat-cepat menghentikan tawanya karena dipandangi Linggha. "Maaf, Pak. Ini aku lagi berbalas pesan dengan teman-teman pengawal di semua mobil," jelas Rusdi. Dia memutuskan menerangkan alasannya tertawa agar tidak diomeli sang bos. "Hmm, ya." Linggha manggut-manggut. "Sepertinya semua pengawal PBK, kalau sudah mengobrol itu akan jadi kocak semua," sambungnya. "Sama aja dengan semua bosnya," tukas Giandra. "Paling kacau memang pasukan Pramudya," sela Leandru. "Di
45Embusan angin sepoi-sepoi menyapa apa pun yang dilewatinya. Dedaunan bergoyang mengikuti arah sang bayu. Sinar mentari yang cukup hangat menjadikan senja itu terasa menyenangkan. Sepasang manusia duduk di bangku panjang taman sebuah rumah sakit. Sementara pendamping mereka memerhatikan keduanya dari kursi-kursi di lorong. Yosrey mengamati paras Tanti yang kian ayu. Dia tahu, sudah tidak akan bisa menggapai hati perempuan pujaan, karena telah dimiliki Farzan. Yosrey pun sadar, tidak ada cara lain baginya kecuali melepaskan serta mengikhlaskan Tanti. Kenangan masa indah mereka tempo hari masih terbayang jelas dalam ingatan Yosrey. Lelaki berkaus putih hanya bisa menyimpan memori itu dalam ruang khusus di sudut hatinya. "Kamu kapan berangkat, Ti?" tanya Yosrey memecahkan keheningan. "Jumat nanti kami ke Jakarta dulu. Ke New Zealand-nya, Sabtu siang," jelas Tanti. "Kenapa harus ke Jakarta? Enggak bisa berangkat dari sini?" "Sebetulnya bisa. Tapi, Jumat siang, Mas Farzan rapat te
44Ruang pertemuan di lantai tiga gedung hotel Bramanty Grup, Jumat malam terlihat ramai orang. Selain karyawan di perusahaan itu, teman-teman semasa kuliah Farzan juga turut hadir. Seusai memberikan kata sambutan, Farzan meminta Tanti untuk maju dan bergabung dengannya di panggung. Pria bersetelan jas abu-abu mengulaskan senyuman, saat menyambut istrinya yang mengenakan gaun panjang berwarna serupa dengannya. Farzan melingkarkan tangan kiri ke pinggang Tanti, kemudian mencuri kecupan di pipi sang istri. Tidak peduli diteriaki hadirin, Farzan justru mengangkat tangan kanan dan melambai seraya tersenyum lebar. Setelahnya, CEO Bramanty Grup tersebut mengambil mikrofon dari tiang di depannya. Farzan mendekatkan benda itu ke depan wajah, lalu memindai sekitar seraya mengulum senyum. "Teman-teman semuanya, sekali lagi, saya dan istri mengucapkan terima kasih atas kehadiran kalian di malam perpisahan kami," tutur Farzan. "Kami sengaja mengumpulkan karyawan perusahaan, teman-teman kuliah
43Seunit mobil MPV hitam berhenti di depan sebuah rumah di kawasan Sriwijays. Pengemudinya turun sambil membawa dua kantung belanja sarat barang. Dia memasuki pekarangan rumah di mana beberapa pria tengah menurunkan perabotan dari mobil bak terbuka. Farzan memasuki ruang tamu sambil mengucapkan salam yang disahut kedua perempuan dari ruangan dalam. Pria berkemeja cokelat muda meneruskan langkah hingga tiba di ruang keluarga, yang lebih rapi daripada di depan. Farzan meletakkan kedua tas ke sofa. Tanti segera membongkar isi tas sambil menyusunnya di meja. Sementara Ristin memasukkan beberapa bungkusan berisi aneka buah ke lemari pendingin. "Ti, masak nggak?" tanya Farzan sambil mendudukkan diri di sofa tunggal. "Enggak, Mas," jawab Tanti. "Mas lapar?" tanyanya. "Hu um. Tadi siang padahal sudah makan. Tapi jam segini sudah qlapar lagi." "Aku bikinin nasi goreng, mau?" "Boleh. Sekalian es teh manis." "Sip." Tanti bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan buat suaminya. Ristin
42Beberapa unit mobil MPV berbagai tipe dan warna, melaju di jalan bebas hambatan menuju luar Kota Jakarta, Sabtu pagi. Setiap lima kilometer, semua sopir yang merupakan pengawal PBK akan berlatih manuver. Hal itu dimaksudkan untuk mempersiapkan semua pengawal bila harus menghindari pihak lawan. Farzan berada di kursi bagian depan mobilnya yang dikemudikan Hisyam, pengawas beberapa unit kerja para pengawal di Bandung. Hisyam juga menjadi manajer operasional BPAGK yang nantinya akan bersinergi dengan Farzan di New Zealand. Pada kursi tengah, Wirya dan Zulfi serta Moreno tengah berdiskusi serius. Dimas dan Valdy turut mendengarkan percakapan itu. Kedua pria di kursi belakang yang masih aktif sebagai pengawal sekaligus asisten bos masing-masing, nantinya akan ikut tinggal di New Zealand. Hansel Arvasathya, anak dari Timothy Arvasathya, telah menyediakan dua rumah bersebelahan yang akan ditempati Farzan, Moreno dan tim pengawal yang menjadi tim pelaksana proyek. Selain rumah, Hansel
41Detik terjalin menjadi menit. Jam terus berputar hingga hari berganti, tanpa bisa dicegah oleh siapa pun. Jumat pagi, Farzan berpamitan pada Tanti. Setelah mendaratkan kecupan di dahi sang istri, pria berkemeja biru muda bergegas memasuki mobilnya yang berada di depan pagar rumah.Moreno yang menjadi sopir, menekan klakson sebagai tanda berpamitan. Lelaki berkulit kuning langsat menekan pedal gas hingga kendaraan melaju melintasi jalan blok tersebut. Tanti mengamati hingga mobil suaminya menghilang dari pandangan. Selanjutnya dia membuka pintu mobil sedannya dan memasuki kendaraan yang tengah dipanaskan mesinnya. Yayat berpindah ke dekat pagar. Dia segera menutup benda besi, sesaat setelah mobil Tanti keluar dari pekarangan rumah. Pria tua memasang gembok, sebelum kembali ke halaman untuk melanjutkan pekerjaan memangkas rumput. Tanti melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Sekali-sekali dia akan berdendang mengikuti irama lagu yang diputar di radio. Jalanan yang padat tidak
40Sengatan sinar matahari di luar, seketika menghilang saat Ristin menginjakkan kaki di ruang tamu rumah milik Haedar. Dia berdiri di tengah-tengah ruangan yang tidak memiliki pembatas dengan ruang keluarga, hingga terkesan luas.Minimnya perabotan menjadikan tempat itu terlihat lega. Tanpa sadar Ristin melengkungkan senyuman, karena ternyata dia menyukai rumah itu. Meskipun bentuk bangunannya tidak semewah rumah utama Haedar, tetapi dinding bernuansa hijau muda dan putih terkesan meneduhkan siapa pun yang melihatnya. Tanti yang ditemani Jihan, mengajak Ristin berkeliling. Sementara Bi Asih berhenti di ruang tengah untuk mengobrol dengan Darmi, yang merupakan Kakak sepupunya. "Ini kamar utamanya. Aku yakin, kamu pasti betah tinggal di sini, karena tempatnya nyaman," tukas Tanti seusai membuka pintu ruangan besar yang berada di ujung kanan halaman. Terpisah tiga meter dengan bangunan utama. Ristin manggut-manggut. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling seraya tersenyum. "Ya, di si