2 hari berlalu, namun Zayden maupun Aland masih tidak bisa menemukan keberadaan Aara. Aara seperti hilang bak ditelan bumi, karena walaupun mereka sudah mencari hingga ke pelosok kota Jakarta, dia tetap tidak ditemukan. Dan tidak ada satu pun orang yang melihat keberadaannya. Karena hal itu, suasana hati Zayden terus memburuk. Dia terus melampiaskan amarahnya pada seluruh pegawainya. Entah itu di rumah mau pun di kantor, yang dia lakukan hanyalah marah-marah tidak jelas. Seperti saat ini, di hadapannya sudah ada seorang pegawai perempuan yang sedang bergetar ketakutan setelah menyerahkan laporan hasil rapatnya. “Apa kau pikir ini di sebut dengan laporan! Lihat ini, bahkan anak kecil pun bisa menyusun lebih baik dari ini! Pergi dari perusahaanku, karena aku tidak membutuhkan pegawai bodoh sepertimu!” bentaknya. “To-tolong jangan pecat saya, pak Zayden,” pintanya dengan tubuhnya yang sudah bergetar hebat. “Kau sedang meminta belas kasihanku? Tapi sayangnya, aku tidak memberikan belas
110.Aland duduk di ruang kerja rumahnya, matanya itu tampak lurus melihat ke arah laptopnya dengan satu tangannya yang dia taruh di atas hidung dan bibirnya dalam posisi jari-jarinya yang renggang. Di layar laptopnya itu terpampang foto Zayden bersama dengan wanita lain lengkap dengan beritanya yang bertuliskan jika calon pewaris dari Tan Group, Zayden Crisiant Tan akan melangsungkan pernikahannya tidak lama lagi. Dan calon istrinya adalah putri kedua dari Evans Corp Company, Serira Adaya Evans yang sudah menjalin kerja sama cukup lama dengan Tan Group.Aland tampak menunjukkan senyum nanarnya, dia merasa tidak percaya dengan berita yang tengah dilihatnya saat ini.“Apa-apaan sebenarnya ini, apa aku tidak salah melihat. Zayden ... tidak mungkin, mustahil penglihatanku salah. Jelas-jelas aku melihat dia mencintai Aara, bukankah seharusnya dia mencarinya dengan gila. Tapi berita apa ini! Benar-benar menjengkelkan!”Aland memukul meja di depannya, amarah terlukis jelas di wajahnya
Zayden melangkahkan kakinya dengan lebar keluar dari mansion Tan. Tatapannya yang tajam itu membuat siapa pun yang melihatnya akan ketakutan. Namun, di balik tatapan itu ada genangan bening yang masih menyelimuti matanya dan juga rasa sakit yang dalam yang tidak bisa dia tahan.Zayden membuka pintu mobilnya, dia masuk dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tidak biasa. Entah ke mana dia akan pergi, yang jelas saat ini dia tidak dalam keadaan baik-baik saja.Dadanya berdebar dengan begitu keras, hingga terasa sangat sakit.Zayden terus melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga 30 menit kemudian, dia menghentikan mobilnya itu di sebuah danau yang sepi, yang hanya terlihat rerumputan dan pohon hijau di sana dengan danau yang cukup luas.Zayden membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Dia berjalan dengan langkah lunglai mendekati danau tersebut. Kepalanya dipenuhi dengan bayang-bayang Aara yang terus menari-nari tanpa henti. Bagaimana saat itu dia men
Ceklek! Zayden membuka pintu kamarnya. Dia masuk ke dalam, dan berdiri di depan pintu kamarnya yang tertutup. Matanya menelusuri seluruh isi di dalam kamarnya. Dia melihat ke arah tempat tidurnya, di mana dia sering menyiksa Aara dengan melampiaskan nafsunya secara kasar padanya. Mata Zayden kembali digenangi air mata saat dirinya mengingat hal menyakitkan itu. Dia lalu beralih melihat pada lantai di bawah tempat tidurnya, di mana di sana tempat tidur Aara setiap hari dengan hanya menggunakan alas tipis, dia tidur di sana tanpa mengeluhkan apa pun. Kembali, matanya terus digenangi banyak air mata. Namun, air mata itu tak kunjung turun membasahi pipinya. Zayden kembali mengalihkan pandangannya pada sofa, yang biasanya Aara tempati saat menunggu dirinya masuk ke dalam kamar. Bagaimana waktu itu dia terkantuk-kantuk karena menunggu kedatangannya. Clakkk! Akhirnya buliran bening itu pun turun ketika Zayden sudah tidak bisa menahan emosinya, kepalanya terus dipenuhi oleh bayang-bayan
Aara tengah menyirami tanaman sayur yang ada di kebun Bu Darmi, namun sepertinya dia tidak fokus dalam pekerjaannya. Dari tadi, dia terus melamun. Walaupun tangannya terus bekerja, tapi tatapannya selalu melihat kosong ke arah depannya.“Neng, neng Aara,” panggil bu Darmi. Namun, Aara tidak menyahutinya. Dia hanya terus menyiram tanaman sayur sambil menatap kosong ke depan. Bu Darmi mengernyit, merasa bingung dengan tingkah aneh Aara yang dari tadi memang dia perhatikan terus melamun.Bu Darmi pun kembali memanggil Aara dan berusaha untuk menyadarkannya. “Neng Aara,” panggilnya lagi sambil tangannya itu menepuk pelan bahu Aara.Aara terlonjak seketika, saat merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahunya. “Ahh ma-maaf Bu, Aara kurang fokus. Mungkin ini efek kehamilan,” alasannya.Bu Darmi menggeleng. “Ini bukan efek hamil. Tapi, efek karena neng Aara banyak pikiran. Apa neng Aara baik-baik saja? Apa Neng kembali teringat dengan suami Eneng?” tanya Bu Darmi.Aara terdiam, benar
“Apa ini kau, Nak?” tanya bu Darmi. Aara melihat bu Darmi dengan tatapan gugupnya, dia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. “I-itu ....”“Tadi kamu sudah janji sama ibu kalau kamu akan jawab jujur. Sekarang, jujur sama ibu. Ini kamu kan, Nak?”tanya bu Darmi lagi.“Iya,” jawab Aara sambil menundukkan wajahnya.Bu Darmi melihat Aara dengan kecewa, karena Aara sudah berbohong padanya. Walaupun sepertinya dia punya alasan untuk berbohong. Tapi tidak baik berbohong dengan membawa-bawa kematian, jika sanak keluarga masih hidup. “Kamu bilang orang tuamu sudah meninggal. Lalu ini, siapa yang mencarimu?”Kedua tangan Aara sudah saling meremas satu sama lain, dia merasa bersalah karena sudah berani berbohong pada bu Darmi yang sudah baik padanya. Haruskah memang dia jujur?“Itu ... kedua orang tua saya memang sudah meninggal Bu. Ya-yang mencari saya itu, suami saya,” jawabnya jujur.Bu Darmi tersentak, bagaimana tidak. Aara bilang yang mencarinya adalah suaminya. Tapi, waktu itu dia bi
Hari-hari terus berlalu, dan kini telah berganti menjadi bulan. Sudah enam bulan berlalu, namun Zayden tak kunjung menemukan keberadaan Aara. Segala cara sudah dia lakukan, namun semua itu tak kunjung membuahkan hasil. Hal itu tentu saja membuat Zayden semakin frustrasi.Setiap hari yang dia lakukan hanyalah duduk di bar pribadinya dan meminum minumannya sampai dia mabuk tak sadarkan diri. Dia berharap dengan mabuk setiap hari, dia bisa menghilangkan pikirannya tentang Aara, rasa bersalahnya yang semakin hari semakin besar, kata maafnya yang masih belum bisa dia sampaikan. Membuat beban itu terus menggunung di hatinya.Dia mencoba untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Namun ternyata hal itu hanya sia-sia saja. Semua beban itu masih tetap terasa dan mengganggu pikirannya.Seperti saat ini, Zayden tengah menidurkan kepalanya di meja panjang barnya karena rasa mabuknya. Dia menempelkan pipi kanannya dengan air matanya yang kembali mengalir membasahi hidung dan juga pipinya. “
Setelah merasa lebih baik, dia pun keluar dari dalam toilet dan berjalan kembali menuju tempat antrean pemeriksaan kandungan. Aara berjalan sambil terus mengusap perutnya, bibirnya sudah bisa menyunggingkan senyum kembali, dia berharap dengan begitu anaknya juga tersenyum di dalam perutnya. Hingga ketika dia akan berbelok melewati dinding, tiba-tiba langkahnya itu terhenti. Senyum yang tadi tersungging pun kini menghilang, setelah dia melihat seseorang yang selama ini dia hindari tertangkap oleh pandangan matanya. Aara melihat Zayden yang tengah berdiri dekat dengan ruang pemeriksaan kandungan. Dia lalu mengarahkan pandangannya pada sosok wanita yang ada di depan Zayden dan tengah mengobrol dengannya. Alisnya mengerut, wanita itu memang asing. Tapi, entah kenapa dia sepertinya pernah melihatnya. Hingga akhirnya, dia pun mengingat sesuatu. “Wanita itu, bukankah dia wanita yang ada di koran bersama Zayden, Serira Evans.” Aara menurunkan pandangannya pada perut Serira yang juga membunci