Aara tengah menyirami tanaman sayur yang ada di kebun Bu Darmi, namun sepertinya dia tidak fokus dalam pekerjaannya. Dari tadi, dia terus melamun. Walaupun tangannya terus bekerja, tapi tatapannya selalu melihat kosong ke arah depannya.“Neng, neng Aara,” panggil bu Darmi. Namun, Aara tidak menyahutinya. Dia hanya terus menyiram tanaman sayur sambil menatap kosong ke depan. Bu Darmi mengernyit, merasa bingung dengan tingkah aneh Aara yang dari tadi memang dia perhatikan terus melamun.Bu Darmi pun kembali memanggil Aara dan berusaha untuk menyadarkannya. “Neng Aara,” panggilnya lagi sambil tangannya itu menepuk pelan bahu Aara.Aara terlonjak seketika, saat merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahunya. “Ahh ma-maaf Bu, Aara kurang fokus. Mungkin ini efek kehamilan,” alasannya.Bu Darmi menggeleng. “Ini bukan efek hamil. Tapi, efek karena neng Aara banyak pikiran. Apa neng Aara baik-baik saja? Apa Neng kembali teringat dengan suami Eneng?” tanya Bu Darmi.Aara terdiam, benar
“Apa ini kau, Nak?” tanya bu Darmi. Aara melihat bu Darmi dengan tatapan gugupnya, dia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. “I-itu ....”“Tadi kamu sudah janji sama ibu kalau kamu akan jawab jujur. Sekarang, jujur sama ibu. Ini kamu kan, Nak?”tanya bu Darmi lagi.“Iya,” jawab Aara sambil menundukkan wajahnya.Bu Darmi melihat Aara dengan kecewa, karena Aara sudah berbohong padanya. Walaupun sepertinya dia punya alasan untuk berbohong. Tapi tidak baik berbohong dengan membawa-bawa kematian, jika sanak keluarga masih hidup. “Kamu bilang orang tuamu sudah meninggal. Lalu ini, siapa yang mencarimu?”Kedua tangan Aara sudah saling meremas satu sama lain, dia merasa bersalah karena sudah berani berbohong pada bu Darmi yang sudah baik padanya. Haruskah memang dia jujur?“Itu ... kedua orang tua saya memang sudah meninggal Bu. Ya-yang mencari saya itu, suami saya,” jawabnya jujur.Bu Darmi tersentak, bagaimana tidak. Aara bilang yang mencarinya adalah suaminya. Tapi, waktu itu dia bi
Hari-hari terus berlalu, dan kini telah berganti menjadi bulan. Sudah enam bulan berlalu, namun Zayden tak kunjung menemukan keberadaan Aara. Segala cara sudah dia lakukan, namun semua itu tak kunjung membuahkan hasil. Hal itu tentu saja membuat Zayden semakin frustrasi.Setiap hari yang dia lakukan hanyalah duduk di bar pribadinya dan meminum minumannya sampai dia mabuk tak sadarkan diri. Dia berharap dengan mabuk setiap hari, dia bisa menghilangkan pikirannya tentang Aara, rasa bersalahnya yang semakin hari semakin besar, kata maafnya yang masih belum bisa dia sampaikan. Membuat beban itu terus menggunung di hatinya.Dia mencoba untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Namun ternyata hal itu hanya sia-sia saja. Semua beban itu masih tetap terasa dan mengganggu pikirannya.Seperti saat ini, Zayden tengah menidurkan kepalanya di meja panjang barnya karena rasa mabuknya. Dia menempelkan pipi kanannya dengan air matanya yang kembali mengalir membasahi hidung dan juga pipinya. “
Setelah merasa lebih baik, dia pun keluar dari dalam toilet dan berjalan kembali menuju tempat antrean pemeriksaan kandungan. Aara berjalan sambil terus mengusap perutnya, bibirnya sudah bisa menyunggingkan senyum kembali, dia berharap dengan begitu anaknya juga tersenyum di dalam perutnya. Hingga ketika dia akan berbelok melewati dinding, tiba-tiba langkahnya itu terhenti. Senyum yang tadi tersungging pun kini menghilang, setelah dia melihat seseorang yang selama ini dia hindari tertangkap oleh pandangan matanya. Aara melihat Zayden yang tengah berdiri dekat dengan ruang pemeriksaan kandungan. Dia lalu mengarahkan pandangannya pada sosok wanita yang ada di depan Zayden dan tengah mengobrol dengannya. Alisnya mengerut, wanita itu memang asing. Tapi, entah kenapa dia sepertinya pernah melihatnya. Hingga akhirnya, dia pun mengingat sesuatu. “Wanita itu, bukankah dia wanita yang ada di koran bersama Zayden, Serira Evans.” Aara menurunkan pandangannya pada perut Serira yang juga membunci
117.“Aara,” panggil Zayden dengan lirih, di wajahnya kini terlihat jelas keputus asaan. Dia mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya mulai lunglai, karena dia merasa hancur. Mengetahui Aara yang langsung lari ketika melihatnya, itu artinya dia benar-benar tidak mau bertemu dengannya.“Tuan.” Dari kejauhan tampak Sam yang berjalan dengan sedikit berlari menghampiri Zayden.Aara yang masih mengintip dari balik kaca kecil yang terdapat di pintu ruangan itu terkejut, saat melihat Sam yang sedang berlari menghampiri Zayden. “Sam, gawat. Jika dia sudah ada di sini. Kemungkinan besar, aku akan tertangkap,” gumamnya.“Tuan, nyonya bilang nyonya Aara ada di sini dan Anda tengah mencarinya. Apakah itu benar, Tuan?” tanyanya.“Iya, Aara ada di sini. Segera tutup semua jalan keluar dari rumah sakit ini, aku yakin Aara masih ada di dalam sini. Dan kali ini, aku tidak akan melepaskannya!” titahnya.Aara tersentak, matanya melebar. Dia terkejut karena perintah yang Zayden beri
Dan di saat bersamaan, Zayden sudah menyelesaikan teleponnya dan kembali berbalik. Keningnya berkerut saat dia melihat sesuatu di depannya. Zayden berjalan mendekati hal yang sudah mencuri perhatiannya. “Pintu ini, apakah dari tadi pintu ini terbuka?” gumamnya.Zayden merasa aneh dan juga bingung. Tadi dia merasa pintu ini tertutup dengan rapat. Lalu, kenapa tiba-tiba pintu ini terbuka. Deg! Tiba-tiba detak jantung Zayden berdetak dengan cepatnya. Dia teringat dengan Aara. “Apa tadi dia bersembunyi di sini?”Zayden kembali mengedarkan pandangannya, dia mencari keberadaan Aara yang kemungkinan baru saja pergi ketika dirinya sedang menelepon tadi. Tidak mendapatkan tanda-tanda, dia pun langsung berlari dan kembali mencari Aara.“Aaraaa!” panggilnya dengan suara keras. Dia kembali melihat sekelilingnya, dia sungguh berharap bahwa matanya ini benar-benar akan menangkap sosok mungil itu. Mata Zayden sudah memerah, bukan karena amarah tapi karena air mata yang kembali turun dan membuat p
Waktu menunjukkan pukul 11.03 siang, saat ini Zayden berada di dalam mobilnya sendiri. Dia tengah dalam perjalanan entah kemana, tidak ada ekspresi apa pun yang dia tunjukkan saat ini, hanya tatapan lurus melihat jalanan yang saat ini tengah dilewatinya.Tampak, laju mobilnya yang mulai memelan dan memasuki sebuah pintu gerbang bertuliskan pemakaman umum di atasnya.Zayden lalu memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang memang tersedia di sana.Dia lalu turun dari dalam mobilnya dan menatap dengan manik mata coklatnya hamparan makam di depannya itu.Kakinya itu dia langkahkan melewati satu persatu makam di sana, hingga akhirnya langkahnya itu pun terhenti kala dia melihat nama yang memang tengah dicarinya itu tertulis di batu nisan pada salah satu makam di sana.Bruk!Zayden berlutut di depan makam itu, air matanya mulai menetes. Ekspresi wajahnya juga langsung berubah, menunjukkan sebuah rasa bersalah yang begitu besar.Dia mengangkat wajahnya, menatap pada batu nisan bertulis
Hari sudah gelap, waktu pun sudah menunjukkan pukul 19.21. malam. Aara sedang mengaduk susunya di dapur rumah kontrakannya. Setelah selesai, dia lalu membawa susunya ke ruang tamu kontrakannya. Dia duduk dan meminum susu hamilnya itu.Aara meminumnya seteguk, lalu menghentikannya. Dia menunduk dan mengusap perutnya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya masih memegangi gelas susunya. Dia tersenyum lalu meminum lagi susunya dan menghabiskannya. “Hah, mama sudah menghabiskan susunya. Semoga kalian berkembang dengan baik ya Nak,” ucapnya sambil terus mengelus-elus perutnya dengan penuh kasih sayang.Aara lalu mengambil sebuah buku yang terletak di meja yang ada di depannya. Dia membuka buku itu lantas membacanya. Buku itu adalah buku yang berisi tentang panduan cara mengurus bayi dengan benar dari mulai dalam kandungan hingga lahir ke dunia. Tapi sekarang, dia lebih fokus membaca mengenai cara mengurus bayi kembar. Di sana terdapat juga bagaimana cara menggendong yang baik aga
Aara sudah berada di ruang perawatan VVIP sekarang. Di sana juga sudah ada Zayden, Alya dan Zion yang menemaninya. Setelah 3 jam tertidur, akhirnya Aara membuka matanya. Dan sekarang dia tengah memakan makanan yang disiapkan rumah sakit untuknya.Tampak Zayden dengan telatennya menyuapi makanan itu pada Aara. Walaupun Aara terus menolaknya, namun Zayden tetap memaksanya untuk memakan makanan itu.Aara terus menolak karena makanan rumah sakit itu tidak enak menurutnya. Rasanya hambar dan membuatnya mual.“Sayang sudah cukup, aku tidak mau makan lagi,” ucap Aara.“Sedikit lagi, lihat. Sebentar lagi makanannya habis. Ayo paksakan sedikit lagi ya,” jawab Zayden.Dengan bibir cemberutnya, Aara pun membuka mulutnya dan memakan yang terus Zayden sodorkan ke bibirnya itu.“Kamu memang anak yang baik,” puji Zayden.“Besok kita sudah bisa pulang, kan?“ tanya Aara.“Iya sayang, sekarang kau perlu dirawat dulu karena kelelahan.”“Apa putra dan putri kita baik-baik saja? Aku belum melihat
Ketika sampai di rumah sakit, Zayden langsung bergegas keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Dia berlari dengan tergesa-gesa menuju ruang persalinan. Hingga sampai di ruang persalinan itu, mereka melihat Alya dan juga Zion yang sudah berada di sana dengan raut gelisah yang terlihat jelas di wajah mereka. “Mama, Papa,” panggilnya.Sontak, Alya dan juga Zion langsung melihat ke asal suara. “Zay,” jawab Alya.Tampak Zayden terus berlari menghampiri Alya dengan keringat yang sudah bercucuran di keningnya. “Bagaimana hah hah keadaannya, Ma? Apa hah bayinya sudah lahir?” tanyanya dengan nafasnya yang terengah-engah.“Belum sayang, dari tadi Aara terus memanggil-manggil kamu. Tapi kamu masih belum datang. Masuklah, dia membutuhkanmu,” ujar Alya.Zayden pun mengangguk, dia berjalan ke arah pintu ruang persalinan. Glek! Zayden menelan salivanya, tidak bisa dia ungkiri saat ini dia merasa gugup dan juga takut. Menemani istrinya melahirkan adalah suatu impiannya. Tapi, saat hari
Sejak Aara memaafkan Zayden dan melupakan semua perbuatan yang telah Zayden lakukan padanya, kehidupan mereka berubah. Tidak ada lagi kesedihan, tidak ada lagi perasaan tertekan. Mereka seperti mendapatkan kehidupan baru dan memulai semuanya dari awal.Zayden semakin memperhatikan Aara, begitu pun dengan Alya dan Zion. Mereka juga sangat menyayangi Aara layaknya putri mereka sendiri, saat ini mereka semua sangat menantikan lahirnya penerus keluarga Tan yang tak lain adalah Zevan Rionard Tan dan Zayna Audrey Tan, yang tak lama lagi akan segera hadir ke dunia ini.Waktu terus berjalan, kebahagiaan demi kebahagiaan terus Aara dan keluarga Tan rasakan. Seperti semuanya berjalan dengan lancarnya tanpa hambatan apa pun. Sepertinya saat ini Tuhan sedang berbaik hati kepada mereka, setelah banyak cobaan dan ujian yang diberikannya, akhirnya semua itu bisa mereka lewati dan mereka bisa menikmati yang namanya kebahagiaan. Hingga 1 bulan pun berlalu, kandungan Aara sudah menginjak 9 bulan se
Zayden saat ini telah dipindahkan ke atas ranjangnya, tampak di sana sudah ada Alya, Zion, Aara dan juga dokter David.Ekspresi wajah Alya dan Zion tampak begitu tegang, karena sudah 2 jam berlalu tapi Zayden tak kunjung sadar.“David sebenarnya apa yang terjadi, kenapa Zayden bisa tiba-tiba pingsan seperti ini. Katamu kondisinya sudah semakin membaik, tapi apa ini?” tanya Zion.“Sepertinya ini memang disebabkan oleh luka di kepalanya, mungkin ada sesuatu yang membuat luka itu kembali terasa sakit,” jawabnya.“Apa itu berbahaya, apa Zayden akan baik-baik saja?” kali ini giliran Alya yang bertanya. Suaranya begitu bergetar, karena rasa kekhawatiran yang begitu besar pada putranya itu.“Saya rasa ini tidak akan berdampak buruk, wajar bagi pasien yang memiliki luka cukup parah di kepala untuk sesekali merasakan sakit kepala. Tapi, jika hal ini terus berlanjut di kemudian hari. Tentu saja harus ada penanganan,” jawab David.Mendengar semua penjelasan David, Aara semakin merasa bersa
Zayden kembali melepaskan paksa pelukan yang Naura lakukan padanya. Dia lalu memegang kedua bahu Naura, dan menatapnya dengan begitu dingin.“Tidak ada, aku tidak merasakan apa pun lagi. Karena seperti yang kubilang, itu hanyalah masa lalu. Jadi tolong pergilah!”Air mata Naura turun semakin deras, dia sungguh tidak menyangka jika Zayden akan melupakan seperti ini.Dia menunduk. “Baiklah, maafkan aku Zay. Karena aku telah menggangguku, dan membuatmu tidak nyaman. Tapi, aku merasa senang karena kita bisa bertemu lagi. Karena dengan begitu, aku bisa meminta maaf padamu.” Naura tersenyum, dan senyum itu tampak tulus.“Aku akan pergi, semoga kau selalu bahagia,” lanjutnya. Seraya menyeka air matanya, Naura pun melangkah keluar.Tampak Zayden yang langsung menarik nafasnya, dia lalu memegangi keningnya. Tapi syukurlah, masalah ini sudah selesai. Dan Naura tidak akan menemuinya lagi.Ya, ini semua sudah selesai. ‘Sekarang fokusku hanya kepada Aara dan calon anak kami. Aku akan berusah
“Zay,” ucap Naura yang baru saja dipersilakan masuk ke ruangan Zayden setelah mendapat izin darinya.Zayden pun mengangkat wajahnya, dia melihat Naura yang berdiri di depan pintu ruangannya.Entah kenapa, penampilan Naura saat ini mengingatkannya pada 10 tahun lalu. Dia tidak menyangka setelah selama itu, mereka akan bertemu lagi.Zayden lalu berdiri, keluar dari meja kerjanya menuju sofa. “Masuk dan duduklah,” ucapnya.“Silakan Nona,” ucap Sam yang kemudian memandu Naura untuk masuk dan duduk di sana.Sam kemudian membungkuk, dia keluar dari sana, memberi ruang untuk tuannya berbicara dengan tamunya ini.Tampak Zayden kemudian duduk, dia menatap Naura sebentar sebelum akhirnya dia pun membuka mulutnya.“Apa yang ingin kau sampaikan?” tanyanya.Naura yang tadi hanya menunduk, akhirnya mengangkat wajahnya itu. Kedua tangannya tampak saling meremas satu sama lain. Dia menelan salivanya, dengan air matanya yang tampak menetes.“Aku ingin meminta maaf atas kejadian kemarin, tidak
Zayden baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Tampak dia yang hanya memakai jubah mandinya, dengan handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah.Zayden melirik Aara yang saat ini kembali duduk di sofa, dia menatapnya kesal. Karena merasa jika Aara sama sekali tidak peduli padanya.Hal itu semakin membuatnya ragu, jika mereka memang benar-benar suami istri.‘Aku tahu hubungan kami mungkin buruk, tapi sebagai suami istri. Harusnya dia kan punya rasa penasaran. Tapi, dia justru hanya diam saja seakan tidak peduli. Apa dia benar-benar tidak marah?’ batinnya.“Hei!” panggilnya yang sontak membuat Aara menoleh.“I-iya Tuan?” jawab Aara.Zayden lalu melempar handuk kecil itu pada Aara, sedangkan dia duduk di samping Aara.“Keringkan rambutku!” serunya.Aara yang memang sudah mengerti pun lantas berdiri dan berjalan ke belakang Zayden.Dengan telatennya, dia lalu mengeringkan rambut basah Zayden. Dia melakukannya selembut mungkin, agar Zayden merasa nyaman.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 19.15. malam. Zayden yang awalnya hendak pulang itu akhirnya ter-urung kala dia melihat papanya yang datang ke ruangannya.“Zay,” ucapnya.Zayden pun keluar dari meja kerjanya dan berjalan ke arah sofa. “Duduklah Pa,” ujarnya.Dengan senang hati, Zion pun menghampiri dan duduk di sana. Begitu pun dengan Zayden, kini posisi mereka saling berhadapan satu sama lain dan hanya terhalang oleh meja yang ada di depan mereka.“Apa yang mau Papa bicarakan?” tanyanya to the point.“Kau ingat, Aland yang sudah menyerangmu saat di rumah sakit?” tanya balik Zion.Mendengar itu, Zayden pun mengangguk. “Kenapa? Bukankah sekarang dia sudah di penjara?”Kali ini, giliran Zion yang mengangguk. Namun, ekspresi wajahnya itu masih terlihat janggal. Tampak jelas, sesuatu yang saat ini sangat ingin dia katakan.“Benar, Aland sudah mendapatkan hukumannya sekarang. Tapi meskipun begitu, perasaan papa masih tetap tidak merasa tenang.”Alis Zayden mengerut, dia mas
Zayden yang awalnya marah pun ikut terdiam saat melihat siapa pelayan itu.“Kau ....” pekiknya.Dia seketika berdiri, lalu menatap lekat pelayan wanita di depannya itu yang kini juga terus menatapnya.Di sana, Aara yang sebenarnya juga terkejut juga ikut berdiri. Dia memandang dengan bingung Zayden juga pelayan itu yang saling menatap satu sama lain.Seketika, Aara pun terdiam. Kini, tatapannya itu hanya fokus pada Zayden. Ekspresi wajahnya berubah, dan kenapa tiba-tiba bertanya ini memanas.Kenapa hatinya berdebar keras, hingga terasa begitu sakit. Perasaan khawatir apa ini.“Naura,” ujar Zayden.“Ternyata benar, itu kau Zay.” Bruk! Tiba-tiba Naura memeluk Zayden, dan berhasil membuat Aara terkejut begitu pun dengan Zayden.Dia mematung, tanpa membalas pelukan Naura padanya.“Hiks, aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi.” Naura semakin mengeratkan pelukannya, dia bahkan seperti tidak peduli bahwa ada banyak orang yang saat ini melihatnya.Clakkk! Di sisi lain, air