Zayden melangkahkan kakinya dengan lebar keluar dari mansion Tan. Tatapannya yang tajam itu membuat siapa pun yang melihatnya akan ketakutan. Namun, di balik tatapan itu ada genangan bening yang masih menyelimuti matanya dan juga rasa sakit yang dalam yang tidak bisa dia tahan.Zayden membuka pintu mobilnya, dia masuk dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tidak biasa. Entah ke mana dia akan pergi, yang jelas saat ini dia tidak dalam keadaan baik-baik saja.Dadanya berdebar dengan begitu keras, hingga terasa sangat sakit.Zayden terus melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga 30 menit kemudian, dia menghentikan mobilnya itu di sebuah danau yang sepi, yang hanya terlihat rerumputan dan pohon hijau di sana dengan danau yang cukup luas.Zayden membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Dia berjalan dengan langkah lunglai mendekati danau tersebut. Kepalanya dipenuhi dengan bayang-bayang Aara yang terus menari-nari tanpa henti. Bagaimana saat itu dia men
Ceklek! Zayden membuka pintu kamarnya. Dia masuk ke dalam, dan berdiri di depan pintu kamarnya yang tertutup. Matanya menelusuri seluruh isi di dalam kamarnya. Dia melihat ke arah tempat tidurnya, di mana dia sering menyiksa Aara dengan melampiaskan nafsunya secara kasar padanya. Mata Zayden kembali digenangi air mata saat dirinya mengingat hal menyakitkan itu. Dia lalu beralih melihat pada lantai di bawah tempat tidurnya, di mana di sana tempat tidur Aara setiap hari dengan hanya menggunakan alas tipis, dia tidur di sana tanpa mengeluhkan apa pun. Kembali, matanya terus digenangi banyak air mata. Namun, air mata itu tak kunjung turun membasahi pipinya. Zayden kembali mengalihkan pandangannya pada sofa, yang biasanya Aara tempati saat menunggu dirinya masuk ke dalam kamar. Bagaimana waktu itu dia terkantuk-kantuk karena menunggu kedatangannya. Clakkk! Akhirnya buliran bening itu pun turun ketika Zayden sudah tidak bisa menahan emosinya, kepalanya terus dipenuhi oleh bayang-bayan
Aara tengah menyirami tanaman sayur yang ada di kebun Bu Darmi, namun sepertinya dia tidak fokus dalam pekerjaannya. Dari tadi, dia terus melamun. Walaupun tangannya terus bekerja, tapi tatapannya selalu melihat kosong ke arah depannya.“Neng, neng Aara,” panggil bu Darmi. Namun, Aara tidak menyahutinya. Dia hanya terus menyiram tanaman sayur sambil menatap kosong ke depan. Bu Darmi mengernyit, merasa bingung dengan tingkah aneh Aara yang dari tadi memang dia perhatikan terus melamun.Bu Darmi pun kembali memanggil Aara dan berusaha untuk menyadarkannya. “Neng Aara,” panggilnya lagi sambil tangannya itu menepuk pelan bahu Aara.Aara terlonjak seketika, saat merasakan sebuah tangan yang menyentuh bahunya. “Ahh ma-maaf Bu, Aara kurang fokus. Mungkin ini efek kehamilan,” alasannya.Bu Darmi menggeleng. “Ini bukan efek hamil. Tapi, efek karena neng Aara banyak pikiran. Apa neng Aara baik-baik saja? Apa Neng kembali teringat dengan suami Eneng?” tanya Bu Darmi.Aara terdiam, benar
“Apa ini kau, Nak?” tanya bu Darmi. Aara melihat bu Darmi dengan tatapan gugupnya, dia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. “I-itu ....”“Tadi kamu sudah janji sama ibu kalau kamu akan jawab jujur. Sekarang, jujur sama ibu. Ini kamu kan, Nak?”tanya bu Darmi lagi.“Iya,” jawab Aara sambil menundukkan wajahnya.Bu Darmi melihat Aara dengan kecewa, karena Aara sudah berbohong padanya. Walaupun sepertinya dia punya alasan untuk berbohong. Tapi tidak baik berbohong dengan membawa-bawa kematian, jika sanak keluarga masih hidup. “Kamu bilang orang tuamu sudah meninggal. Lalu ini, siapa yang mencarimu?”Kedua tangan Aara sudah saling meremas satu sama lain, dia merasa bersalah karena sudah berani berbohong pada bu Darmi yang sudah baik padanya. Haruskah memang dia jujur?“Itu ... kedua orang tua saya memang sudah meninggal Bu. Ya-yang mencari saya itu, suami saya,” jawabnya jujur.Bu Darmi tersentak, bagaimana tidak. Aara bilang yang mencarinya adalah suaminya. Tapi, waktu itu dia bi
Hari-hari terus berlalu, dan kini telah berganti menjadi bulan. Sudah enam bulan berlalu, namun Zayden tak kunjung menemukan keberadaan Aara. Segala cara sudah dia lakukan, namun semua itu tak kunjung membuahkan hasil. Hal itu tentu saja membuat Zayden semakin frustrasi.Setiap hari yang dia lakukan hanyalah duduk di bar pribadinya dan meminum minumannya sampai dia mabuk tak sadarkan diri. Dia berharap dengan mabuk setiap hari, dia bisa menghilangkan pikirannya tentang Aara, rasa bersalahnya yang semakin hari semakin besar, kata maafnya yang masih belum bisa dia sampaikan. Membuat beban itu terus menggunung di hatinya.Dia mencoba untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Namun ternyata hal itu hanya sia-sia saja. Semua beban itu masih tetap terasa dan mengganggu pikirannya.Seperti saat ini, Zayden tengah menidurkan kepalanya di meja panjang barnya karena rasa mabuknya. Dia menempelkan pipi kanannya dengan air matanya yang kembali mengalir membasahi hidung dan juga pipinya. “
Setelah merasa lebih baik, dia pun keluar dari dalam toilet dan berjalan kembali menuju tempat antrean pemeriksaan kandungan. Aara berjalan sambil terus mengusap perutnya, bibirnya sudah bisa menyunggingkan senyum kembali, dia berharap dengan begitu anaknya juga tersenyum di dalam perutnya. Hingga ketika dia akan berbelok melewati dinding, tiba-tiba langkahnya itu terhenti. Senyum yang tadi tersungging pun kini menghilang, setelah dia melihat seseorang yang selama ini dia hindari tertangkap oleh pandangan matanya. Aara melihat Zayden yang tengah berdiri dekat dengan ruang pemeriksaan kandungan. Dia lalu mengarahkan pandangannya pada sosok wanita yang ada di depan Zayden dan tengah mengobrol dengannya. Alisnya mengerut, wanita itu memang asing. Tapi, entah kenapa dia sepertinya pernah melihatnya. Hingga akhirnya, dia pun mengingat sesuatu. “Wanita itu, bukankah dia wanita yang ada di koran bersama Zayden, Serira Evans.” Aara menurunkan pandangannya pada perut Serira yang juga membunci
117.“Aara,” panggil Zayden dengan lirih, di wajahnya kini terlihat jelas keputus asaan. Dia mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya mulai lunglai, karena dia merasa hancur. Mengetahui Aara yang langsung lari ketika melihatnya, itu artinya dia benar-benar tidak mau bertemu dengannya.“Tuan.” Dari kejauhan tampak Sam yang berjalan dengan sedikit berlari menghampiri Zayden.Aara yang masih mengintip dari balik kaca kecil yang terdapat di pintu ruangan itu terkejut, saat melihat Sam yang sedang berlari menghampiri Zayden. “Sam, gawat. Jika dia sudah ada di sini. Kemungkinan besar, aku akan tertangkap,” gumamnya.“Tuan, nyonya bilang nyonya Aara ada di sini dan Anda tengah mencarinya. Apakah itu benar, Tuan?” tanyanya.“Iya, Aara ada di sini. Segera tutup semua jalan keluar dari rumah sakit ini, aku yakin Aara masih ada di dalam sini. Dan kali ini, aku tidak akan melepaskannya!” titahnya.Aara tersentak, matanya melebar. Dia terkejut karena perintah yang Zayden beri
Dan di saat bersamaan, Zayden sudah menyelesaikan teleponnya dan kembali berbalik. Keningnya berkerut saat dia melihat sesuatu di depannya. Zayden berjalan mendekati hal yang sudah mencuri perhatiannya. “Pintu ini, apakah dari tadi pintu ini terbuka?” gumamnya.Zayden merasa aneh dan juga bingung. Tadi dia merasa pintu ini tertutup dengan rapat. Lalu, kenapa tiba-tiba pintu ini terbuka. Deg! Tiba-tiba detak jantung Zayden berdetak dengan cepatnya. Dia teringat dengan Aara. “Apa tadi dia bersembunyi di sini?”Zayden kembali mengedarkan pandangannya, dia mencari keberadaan Aara yang kemungkinan baru saja pergi ketika dirinya sedang menelepon tadi. Tidak mendapatkan tanda-tanda, dia pun langsung berlari dan kembali mencari Aara.“Aaraaa!” panggilnya dengan suara keras. Dia kembali melihat sekelilingnya, dia sungguh berharap bahwa matanya ini benar-benar akan menangkap sosok mungil itu. Mata Zayden sudah memerah, bukan karena amarah tapi karena air mata yang kembali turun dan membuat p