Ivander menginjakkan kakinya di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sangat terawat. Rumah itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan berarti. Hanya di bagian depannya saja sebuah lampu bersinar temaram. Rumah itu juga tampak kosong seolah tidak ada kehidupan apa pun di sana. Namun semua itu terbantahkan tak kala seorang pria tua berpakaian pelayan menghampiri Ivander yang berdiri kebingungan di depan gerbang tinggi berwarna putih gading.
“Tuan Ivander, Nona Irene sudah menunggu kedatangan Anda di dalam,” ucap pelayan tua itu sopan.
Meski awalnya merasa ragu, Ivander pada akhirnya mengikuti pelayan tua itu masuk ke dalam. Di depannya terdapat sebuah Golf Cart berwarna putih dengan dua tempat duduk yang tersedia. Ia mengambil tempat di sebelah kiri, dan membiarkan pelayan tua itu yang mengemudikannya.
Suasana taman yang temaram dengan lampu gantung sedikit membuat Ivander bergidik dan merinding. Meski terlihat indah dengan beberapa macam tumbuhan dan bunga yang ditanam, taman itu tetap memberikan aura dingin yang membangkitkan rasa tidak nyaman. Ia sebenarnya lebih memilih diam di apartemen kecilnya saja daripada harus pergi ke tempat ini, tetapi pesan yang diterima Ivander dari Irene melalui ponsel Shiori membuatnya curiga dan merasa ada sesuatu yang ganjil terjadi di antara kedua perempuan itu.
“Kita sampai, Tuan. Anda hanya perlu memasuki pintu ganda itu saja, dan pelayan di dalam akan mengarahkan Anda ke ruangan Nona Irene.”
Setelah sekitar 10 menit mengendarai Golf Cart, pelayan tua itu menurunkan Ivander di depan pintu utama rumah tersebut. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Ivander ditinggalkan begitu saja. Perilaku aneh pelayan tua itu membuat keningnya mengernyit dalam. Namun untuk saat ini ia mengesampingkan hal tersebut, dan mulai melangkah ke arah pintu ganda tinggi di depannya. Sesaat Ivander ragu apakah dirinya perlu membunyikan bel atau tidak. Namun belum sempat kebingungannya terjawab, pintu tersebut sudah lebih dahulu terbuka, dan menampilkan pria dengan wajah rupawan yang mengenakan kemeja hitam legam tanpa dasi. Sekilas Ivander melihat terdapat noda merah yang mengotori kemeja pria itu.
“Tuan Ivander, saya akan mengantarkan Anda ke kamar Nona Irene.”
Ivander merasa pria di hadapannya terlalu tampan. Lebih cocok sebagai model profesional dengan proporsi tubuh sempurna yang mampu membuat wanita berteriak histeris. Hal itu menstimulasi otaknya untuk memikirkan hal yang tidak seharusnya- melihat dari kebiasaan Irene yang menyewanya untuk menghangatkan ranjang, bukan tidak mungkin pelayan itu menjadi salah satu peliharaan setia Irene. Pria itu juga sedikit memiliki aura berbeda dari para pengawal yang biasa berada di sekitar wanita itu. Ivander menghempaskan pikiran tersebut, dan fokus pada tujuan awalnya datang ke sini.
“Apa di sini ngga ada siapa pun selain Irene? Kenapa lampunya nyaris dimatikan semua??” tanya Ivander mencoba mengorek informasi yang mungkin bisa membantunya menyimpulkan sesuatu. Saat memasuki rumah besar itu, hanya di beberapa tempat saja lampu dinyalakan. Sisanya dibiarkan gelap. Hal itu semakin membuat kecurigaan Ivander bertambah besar.
“Ini adalah kediaman pribadi milik Nona Irene. Jadi, hanya orang-orang yang memiliki izin dari Nona Irene saja yang bisa masuk ke dalam sini.” Balasan bernada datar dan kaku itu menjadi awal dan akhir pembicaraan keduanya. Pelayan itu enggan untuk memberikan informasi terkait Irene, terlihat dari gerak-geriknya yang sejak tadi Ivander perhatikan.
Mereka sampai di sebuah pintu berwarna putih gading setelah menaiki tangga menuju lantai dua. Saat pelayan itu membuka pintu tersebut, pemandangan di dalam ruangan yang merupakan kamar tersebut membuat Ivander terkesiap. Ia bergerak cepat mengampiri kedua wanita itu. Shiori yang duduk di atas tubuh Irene mengacungkan sebuah belati tajam ke arah wanita itu. Belati itu tepat berada di leher putih Irene yang penuh dengan peluh. Semakin Ivander mendekat ke arah kedua wanita yang tampak kacau itu, ia menyadari kalau belati tersebut telah berhasil melukai Irene, dan merobek kulitnya sehingga mengeluarkan darah segar.
“Apa-apaan ini?!” Suara geraman Ivander menggelegar keras di dalam ruangan tersebut.
Shiori adalah yang pertama kali berbalik, dan melihat ke Ivander. Wajahnya tampak kaget dan tidak mempercayai dengan sosok yang dilihatnya. Bibir wanita itu berubah pucat ketika Ivander memandangnya dengan tatapan menusuk dan menuduh. Ia segera bangkit dari tubuh Irene, dan berjalan gontai menghampiri Ivander yang berdiri di tengah ruangan.
“Ini- ngga seperti yang kamu lihat, Ivander. Aku dijebak oleh wanita itu.” Suara Shiori sedikit tersendat ketika ia membela diri dan mencoba menjelaskan kepada Ivander. Wanita itu lalu menunjuk ke arah Irene dengan tatapan penuh permusuhan.
Sedangkan Irene tengah dibantu berdiri oleh pelayan yang tadi bersama Ivander. Wanita itu belum mengeluarkan suara sama sekali, bahkan ketika Ivander menatap tajam ke arahnya- Irene tampak tidak terganggu. Posisinya yang cukup dekat untuk melihat keadaan Irene membuat Ivander menyadari kalau keadaan wanita itu tidak baik, bisa dikatakan cukup buruk. Bibirnya pucat pasi, napasnya terengah-engah, dan terdapat banyak luka terbuka yang mengeluarkan darah segar hampir di sekujur tubuhnya. Walau sebenarnya keadaan Shiori juga hampir sama saja dengan Irene, tetapi temannya itu masih bisa berdiri tegak tanpa bantuan siapa pun. Hal tersebut membuat pikiran Ivander selintas menyalahkan dan menuduh Shiori sebagai penyebab kekecauan di tempat ini. Namun ia segera menepisnya, dan mulai memerhatikan secara diam-diam kondisi Shiori secara detail dan seksama.
“Tolong jelaskan pelan-pelan apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Ivander mencoba berpikir dengan kepala dingin, dan tidak menyudutkan pihak mana pun. Saat ini ia berusaha keras untuk menjernihkan isi pikirannya agar tidak menuduh sembarangan.
“Wanita itu mencu-”
“Shiori marah dan cemburu padaku karena dapat perhatian dari kamu. Makanya dia nyerang dan lukain aku.” Seruan keras Irene memotong ucapan Shiori. Wanita itu berjalan tertatih ke arah Ivander. Tubuhnya yang lemas seketika terhuyung jatuh ke arah pria itu.
Secara refleks Ivander langsung menangkap dan menahan tubuh lunglai Irene agar tidak terjatuh ke lantai yang dingin. Ia sedikit berjengit ketika merasakan rasa panas dari kulit Irene yang mengenainya. Sejenaka Ivander merasakan sebuah déjà vu. Kejadian seperti ini pernah dialaminya dahulu saat wanita itu pingsan di tempat kerjanya karena demam tinggi, dan kali ini pun Ivander merasa demam ini sama tingginya dengan waktu itu.
“Jangan percaya ucapan wanita itu, Ivander. Dia bohong!” Shiori mencengkeram kuat lengan atas Ivander yang berotot. Matanya berkaca-kaca ketika pria itu menunjukkan ekspresi kasihan dan empati kepada Irene- pelaku penculikkan dan penyekapannya. Ia merasa terkhianati karena Ivander terlihat lebih memedulikan keadaan Irene daripada dirinya yang merupakan korban.
“Untuk apa aku bohong?!” Shiori berteriak lemah dengan suara serak. Wanita itu tampak akan pingsan kapan saja dengan kondisinya saat ini sehingga Ivander memilih menghentikkan perdebatan itu.
“Aku rasa lebih baik kita obati dulu lukamu, Irene. Demi Tuhan, kamu butuh dokter! Kamu-” tunjuk Ivander pada pelayan yang berada di belakang Irene. “ … bisakah kamu memanggilkan dokter atau siapa saja yang bisa mengobati luka dan demam Tuanmu?” Ivander memerintah secara halus pelayan itu. Ia beruntung karena pelayan itu mengangguk patuh tanpa bertanya hal yang tidak penting. Pria itu pergi keluar kamar Irene dengan setengah berlari.
Shiori yang melihat bagaimana Ivander menggendong, dan memindahkan Irene ke ranjang dengan hati-hati hanya bisa mematung. Lidahnya kelu sehingga semua kalimat yang ingin dikatakannya hanya bisa tertahan di tenggorokan. Shiori merasakan sesak dan nyeri di dadanya melihat kepedulian yang ditunjukkan Ivander- padahal ia juga terluka oleh belati yang dipegang Irene. Tatapan Shiori turun ke arah perut sebelah kirinya yang masih mengeluarkan darah. Hanya saja merahnya darah tersebut tidak terlihat karena hoodie hitam yang dipakainya, pun dengan penerangan minim yang menyulitkan pengelihatan. Tanpa sadar air mata yang mengenang di pelupuk matanya perlahan mulai mengalir turun ke pipi.
Tidak lama pelayan yang tadi diperintah Ivander kembali bersama seorang pelayan wanita. Pelayan wanita itu membawa tas putih berukuran cukup besar di tangan kanannya. Shiori yang berada di tengah ruangan di lewati begitu saja oleh mereka- seolah kehadiran wanita itu di sana tidak terlihat oleh mata. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu memusatkan atensinya pada Irene, terkecuali Ivander yang masih memerhatikan Shiori dengan mata elangnya. Ia tengah menunggu waktu yang tepat untuk menghampiri teman wanitanya itu.
Ketika pelayan wanita yang juga merupakan seorang dokter itu mulai memerikasa keadaan Irene, Ivander memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekat ke arah Shiori. Namun baru satu langkah ia bergerak, lengannya ditahan oleh Irene. Tenaga wanita itu yang lumayan kuat berhasil menghentikannya. Ivander sedikit terkejut dengan tindakan tiba-tiba tersebut.
“Kamu mau ke mana, Ivander?”
“Aku antar Shiori pulang dulu.”
“Ngga boleh!” Irene berteriak tidak terima. Sesaat ekspresi wanita itu berubah marah namun kembali seperti semula dalam hitungan detik. “Kumohon, kamu di sini aja. Biar pelayan yang ngantar wanita itu pulang,” ucap Irene dengan suara memohon.
“Cuma bentar, Irene. Aku bakal balik lagi ke sini kalau udah ngantar dia.” Ivander sama keras kepalanya dengan Irene.
Tatapan mata pria itu yang tampak serius membuat Irene terdiam sejenak. Wanita itu memejamkan matanya, lalu membuang wajah ke samping kiri. Irene tidak ingin rencananya gagal begitu saja kalau saat ini ia memaksa menahan Ivander untuk berada di sisinya. Pria itu pasti sudah mencurigai perilaku anehnya.
“Kalau gitu cuma sampai gerbang. Kamu antar sampai gerbang aja, atau kalian berdua ngga boleh pergi dari rumah ini. Kumohon Ivander, aku lebih butuh kamu daripada wanita itu. Aku ngga sendirian.” Irene merengek dengan air mata yang mengalir deras. Ancaman yang tadi dikatakannya seolah seperti ancaman kosong. Namun Ivander menyadari kalau Irene serius dengan perkatannya. Kondisi wanita itu yang tampak menyedihkan pun membuat Ivander akhirnya terpaksa mengangguk.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Irene, dan memesan taksi online, tanpa membuang waktu lagi Ivander menggiring Shiori keluar dari rumah besar dengan aura dingin tersebut. Meski awalnya ia sedikit kesulitan karena wanita itu seolah enggan beranjak dari posisinya, Ivander berhasil membawa Shiori sampai ke depan gerbang. Taksi yang dipesannya sudah terparkir rapi di sana, menunggu Shiori menaikinya. Ivander sedikit memaksa wanita itu untuk masuk ke bangku penumpang.
“Ivander!” Shiori memprotes tindakan Ivander.
Telapak tangan Ivander yang besar dan hangat melingkupi kedua pipi Shiori. “Kali ini tolong dengarkan aku tanpa bertanya macam-macam,” bisiknya tepat di cuping telinga Shiori.
“Aku tahu kamu diculik Irene. Pergi ke rumah sakit, dan obati luka di perutmu. Kamu bisa tinggal di apartemenku untuk sementara waktu. Tenang aja, Irene ngga akan ngincar kamulagi.” Ivander memberikan kunci apartemen, kartu debit, dan ponselnya pada Shiori. Perkataan dan tindakan pria itu membuat Shiori kebingungan namun Ivander mengabaikannya.
“Hati-hati,” ucap Ivander sembari mengacak lembut rambut Shiori yang sudah berantakan. Ia lalu menutup pintu taksi, dan meminta pengemudi untuk segera pergi dari tempat itu. Setelahnya Ivander memasuki kembali gerbang tinggi rumah Irene. Pria itu tidak berbalik meski Shiori memanggil namanya berkali-kali dengan keras.
“Ivander!”
Suara teriakkan itu perlahan mengecil seiring menjauhnya taksi yang dinaiki Shiori.
Ivander yang tengah fokus pada mobil taksi yang dinaiki Shiori tidak menyadari sebuah pemukul bisbol yang mengarah ke kepalanya.
***
Ivander mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Pandangannya buram dan berkunang-kunang. Ia coba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang menyerbu dari balik gorden, tapi menyerah setelah kepalanya terasa berputar menyakitkan."Tidur aja. Ini masih pagi." Suara itu teedengar serak tapi manis.Barulah Ivander menyadari kalau seseorang berada dalam pelukannya. "Irene?" panggilnya memastikan. Ruangan yang gelap dan pandangannya yang buram membuat Rivander kesulitan melihat siapa orang yang tidur di sebelahnya."Hmm... Ini aku," jawab Irene seolah memahami kebingungan Ivander. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang pria itu.Ivander mendesah pelan, lalu memeluk balik Irene. Tangannya menarik pinggang wanita itu agar lebih mendekat. Dingin, entah kenapa ruangan yang ia tempati terasa dingin."Demammu udah turun?" Jari Ivander bermain-main di rambut halus Irene."Hmm..." Irene bergumam di antara tidurnya. "Udah. Nih, udah engga panas 'kan?" Ia menggesekan k
Bulan sudah lama naik menggantikan matahari. Udara yang dingin tak menyurutkan niat orang-orang untuk keluar. Berlalu lalang menikmati suguhan yang ada. Kota tempat Ivander tinggal tak pernah sepi, selalu ramai dengan berbagai macam manusia. Baik itu warga sekitar atau turis luar. Di sini kehidupan malam bukan hal yang aneh. Malah menjadi bagian yang menjadi daya tarik tersendiri.Berkat itu pula Ivander tidak perlu mendapatkan tatapan menuduh dan mencemooh karena sering pulang malam, dan berjalan-jalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Lagipula, kebanyakan orang yang tinggal di daerah sini enggan untuk mengurusi urusan orang lain. Mungkin hanya beberapa yang sering ikut campur. Sisanya memilih bersikap tak peduli karena permasalahan mereka sendiri sudah merepotkan.“Kamu di mana, Ivander?” Suara wanita dari telepon yang tersambung tersebut menanyakan keberadaan Ivander.“Ayo tebak aku dimana?” Ivander menjawab ringan dengan tawa pelan.
Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar bia
Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah Whatsapp dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan men
Wanita yang berada di bawah kuasa Ivander hanya bisa mendesah keras ketika tubuh bagian bawahnya dimanjakan dengan habis-habisan oleh pria itu. Ia tampak sangat menikmatinya. Terlihat dari wajahnya yang memerah, dan mulutnya yang tak berhenti merintih kenikmatan. Tidak lama tubuh wanita itu mengejang dan bergetar hebat. Disusul Ivander yang semakin dalam menekan miliknya.Napas wanita itu masih terengah-engah, dan kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Pelepasan yang dirasakannya terlalu hebat hingga kepalanya terasa pening. Tanpa sadar lengannya melingkar erat di leher Ivander. Ia mengerang ketika sesuatu yang keras di dalam dirinya bergerak keluar untuk terlepas dari miliknya, lalu wanita itu menyadari kalau Ivander belum mendapatkan pelepasannya.“Kamu belum selesai ya?” tanya wanita itu merasa bersalah pada Ivander.“Ngga apa-apa.”Wanita itu menggeleng tidak terima. Ia menarik Ivander yang akan menjauh. “Lanjutkan sampai
Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.“Bangunkan wanita i