Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.
Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.
Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.
Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar biasa mual.
Seketika Ivander memuntahkan isi perutnya yang hanya air.
Sebenci itu lah Ivander dengan yang dilakukan Areeya semalam. Mungkin akan beda cerita kalau ia seorang masokis.
Setelahnya Ivander menggosok seluruh tubuhnya berkali-kali sampai memerah, seolah terdapat beribu kuman yang menempel. Hal ini menjadi kebiasaan Ivander setelah melayani ‘kliennya’. Ia merasa mandi satu kali saja tidak cukup. Minimal Ivander akan membasuh tubuhnya sebanyak lima kali. Entah itu kebiasaan baik atau buruk.
Setelah mandi dan bersiap, Ivander memilih naik ke lantai atas -ke area kolam renang dan gym. Dua kegiatan yang menjadi rutinitasnya sejak dulu. Selain untuk mempertahankan bentuk tubuh, gym dan renang mampu menjernihkan pikirannya.
“Ivander?”
Ivander tengah merenggangkan otot-ototnya ketika seorang wanita menghampirinya.
“Hai!”
“Ah, hallo.” Ivander membalas sopan sapaan Irene -salah satu wanita yang pernah menggunakan jasanya.
“Aku ngga nyangka bisa ketemu sama kamu di sini, Ivander.” Irene terlihat sangat senang. Matanya bahkan berbinar ketika tatapannya jatuh pada Ivander.
Ivander mengenal Irene dari Areeya. Bisa dibilang Areeya memang sengaja mengenalkan Irene padanya. Bukan hanya Irene saja. Ada beberapa wanita yang dikenalkan Areeya, dan akhirnya menjadi ‘klien’ tetapnya.
“Ya, aku juga ngga menyangka.” Ivander menampilkan senyum bisnisnya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Irene antusias.
Tangan wanita itu mendarat di lengan atas Ivander. Sentuhan ringan penuh makna. Ivander tentu paham maksud dari sentuhan tersebut. Namun ia mengabaikannya.
“Hanya sesekali aja.” Ivander berbohong. Ia sebenarnya sering datang ke tempat itu. Terutama setelah menghabiskan malam dengan Areeya.
Ivander menepis lembut tangan Irene yang masih saja bergelayut manja. Senyum bisnis masih belum hilang dari wajahnya. Ia sebenarnya mulai kesal karena Irene menggaggu waktu me time-nya, tetapi menolak secara terang-terangan bukan pilihan yang bijak. Bagaimana pun, Irene adalah kliennya. Bagi Ivander satu klien saja sangat berharga karena mereka merupakan ladang uang baginya.
“Aku mau berenang.”
Tanpa menunggu jawaban Irene, Ivander masuk ke dalam kolam. Dinginnya air kolam langsung menyegarkan tubuh dan pikirannya yang penat. Ia berenang beberapa putaran lalu beristirahat sejenak di pinggir kolam.
“Ah, segarnya.” Ivander menyugar rambut di area keningnya ke belakang.
“Lebih segar dan menyenangkan kalau kita berenang bersama.”
Irene yang muncul tiba-tiba di sisinya mengagetkan Ivander. Wanita itu muncul seperti hantu. Ivander bahkan tidak sadar sama sekali. Ia pikir Irene tidak akan mengikutinya lagi setelah tadi ditolak secara halus. Sepertinya Irene tipe wanita yang pantang menyerah. Tipe yang sangat Ivander hindari, tetapi selalu saja dirinya bertemu dengan wanita seperti itu.
“Kamu mengagetkanku, Irene.”
“Benarkah? Tapi kamu ngga terlihat kaget sama sekali tuh.”
Ketika Irene sedikit menundukkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kolam, kelembutannya yang padat dan besar terpampang di depan Ivander. Pikiran Ivander memerintahkan untuk segera mengalihkan pandangannya, tetapi tubuhnya tidak kuasa menolak. Ia malah memerhatikan pemandangan indah tersebut sampai akhirnya tertutup oleh air kolam.
“Kamu lihat apa?” Irene bertanya dengan nada menuduh. Namun matanya mengerling nakal.
Ivander yang ketahuan melihat hal yang tidak seharusnya berdehem canggung. “Maaf, aku ngga bermaksud … “ Ucapannya terhenti. Ivander bingung harus menjawab apa. Ia mengusap tengkuknya untuk mengurangi perasaan grogi.
“Ngga apa-apa. Aku ngga keberatan kalau kamu yang lihat. Kamu juga udah lihat aku pas telanjang bulat ‘kan?”
Bukannya marah, Irene justru semakin membusungkan dada ke arah Ivander. “Suka? Pria suka dengan yang besar dan padat ‘kan?” Dengan berani ia sedikit mengesampingkan atasan bikininya. Irene membiarkan Ivander melihat lebih jelas asetnya yang seperti akan tumpah.
Bagaimana pun Ivander seorang pria normal. Apalagi Irene sengaja meremas asetnya dibarengi desahan pelan yang mengundang. Pertahanan Ivander hampir saja runtuh. Namun ia berhasil menahan diri untuk tidak mengikuti insting liarnya. Ivander keluar dari kolam dengan sedikit terburu-buru. Ia segera mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam ruang ganti.
“Sialan!” Umpatan Ivander lebih ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Ia kesal dengan tubuhnya yang tidak bisa diajak bekerjasama. Mudah terpancing hanya karena rangsangan kecil.
Ivander meringis. Celana renangnya yang ketat semakin terasa sesak. Di bawah guyuran shower Ivander membiarkan tubuh panasnya agar lebih mendingin. Namun setelah sekitar 20 menit berlalu, ia masih saja merasakan panas yang tak tertahankan.
“Shit! Bagaimana bisa?” Ivander mengerang frustasi. Akhirnya ia memilih untuk menuntaskannya.
Kepala Ivander menengadah dan matanya tertutup rapat untuk meresapi yang ia lakukan. Ia bahkan lupa kalau saat ini tengah berada di tempat umum karena terlalu larut akan kenikmatan dunia. Tanpa sadar Ivander bahkan mengerang lumayan keras.
“Ivander?”
Suara lembut Irene menyentak Ivander. Sebelum menjawab panggilan Irene, ia mengatur napasnya yang memburu. Ivander sebenarnya cukup kesal karena kesenangannya diganggu, tetapi di satu sisi ia juga bersyukur Irene menghentikkan kegiatan gilanya.
Ivander berdehem pelan untuk menormalkan suaranya yang serak. “Ada apa, Irene? Kamu butuh sesuatu?”
“Tidak, tapi aku dengar kamu kaya kesakitan. Aku pikir mungkin terjadi sesuatu sama kamu. Makanya aku datangi karena khawatir.”
“Aku ngga apa-apa. Kamu ngga usah khawatir.”
“Buka dulu pintunya. Aku mau mastiin kamu baik-baik aja.”
Ivander bisa saja membuka pintunya, tetapi penampilannya saat ini sangat kacau dan kentara sekali kalau ia dalam keadaan sangat bergairah. Akhirnya Ivander memilih untuk mengabaikan Irene, dan kembali membiarkan tubuhnya diguyur shower.
Namun yang tidak disangka Ivander adalah Irene bisa membuka pintu ruang gantinya. Wajah cantik wanita itu tersenyum senang seolah berhasil mendapatkan jackpot. Sedangkan Ivander hanya bisa terbengong dengan wajah yang kentara sekali sedang kebingungan.
“Bagaimana kamu …. bisa buka pintunya?”
“Pakai ini.” Irene memperlihatkan hairpin di tangan kanannya pada Ivander. Wajah wanita itu tidak terlihat bersalah sama sekali padahal yang dilakukannya termasuk tindakan kriminal, meski tindakan Ivander juga termasuk pelanggaran moral.
Alarm peringatan di kepala Ivander entah kenapa berbunyi keras. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan yang pernah disampaikan Areeya saat mengenalkan Irene padanya dulu.
‘Irene punya sifat obsesif dan posesif yang berlebihan -terutama pada sesuatu yang sangat disukainya. Sebaiknya kamu sedikit berhati-hati dengannya. Dia pernah terkena kasus yang bisa membuat bulu romamu merinding, Ivander … ’
Ivander pikir ucapan Areeya itu hanya candaan untuk menakutinya saja karena wanita itu mengatakannya dengan wajah santai. Namun siapa sangka ternyata ucapan tersebut adalah nasihat baik untuknya. Ivander menyesal menganggapnya hanya sebagai angin lalu.
“Tapi itu ngga penting, yang di bawah sini lebih penting kan?” Remasan lembut di pangkal pahanya membuat Ivander tersentak lalu mendesis pelan.
Ivander mendorong bahu Irene dengan cukup kuat agar keluar dari ruang ganti. Namun baru satu langkah wanita itu terdorong, Ivander malah didorong balik dengan tenaga yang lebih besar. Reaksi motoriknya yang lambat membuat Ivander berakhir menubruk dinding.
Irene terkekeh lembut di telinga Ivander. Ia lalu berbisik dengan penuh percaya diri, “tertangkap! Asal kamu tahu, aku ini dulu atlet Taekwondo.” Kedua lengan Irene mengalung mesra di leher Ivander. Bibirnya mencium lembut bibir pria idamanannya tersebut.
Meski diserang dengan ganas, Ivander tidak membalas ciuman Irene. Ia memilih menunggu Irene lengah dan terbuai lalu berniat melepaskan diri saat ada kesempatan. Namun hal tersebut terpaksa ia urungkan ketika di balik pintu, pengawal Irene muncul, dan memberikan gestur seakan mengancamnya.
“Daripada melawan bukannya lebih mudah buat kamu nikmati ini?” Irene berbisik lembut di telinga Ivander.
Ivander tertawa kosong. “Kamu benar. Lebih mudah buat nikmati saat ini, tapi … apa kamu masih bisa bilang seperti itu kalau aku lakukan ini?” Tanpa peringatan Ivander menarik lepas bagian bawah bikini Irene.
Irene yang terlalu kaget hanya bisa terperangah sembari melingkarkan lengan ke leher Ivander ketika tubuhnya diangkat oleh pria itu. Ia pun memekik tertahan merasakan dirinya terisi sangat penuh.
Kekagetan Irene tidak berhenti sampai di situ.
Pintu bilik kamar mandi terbuka lebar dan Ivander membawa Irene keluar dari sana sembari menggaulinya dengan posisi koala.
“Kamu ngga penasaran? Kira-kira pengawalmu akan bereaksi seperti apa melihat majikan mereka dalam keadaan seperti ini?” Ivander dengan sengaja menekan pinggulnya agar semakin dalam menyentuh Irene.
***
Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah Whatsapp dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan men
Wanita yang berada di bawah kuasa Ivander hanya bisa mendesah keras ketika tubuh bagian bawahnya dimanjakan dengan habis-habisan oleh pria itu. Ia tampak sangat menikmatinya. Terlihat dari wajahnya yang memerah, dan mulutnya yang tak berhenti merintih kenikmatan. Tidak lama tubuh wanita itu mengejang dan bergetar hebat. Disusul Ivander yang semakin dalam menekan miliknya.Napas wanita itu masih terengah-engah, dan kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Pelepasan yang dirasakannya terlalu hebat hingga kepalanya terasa pening. Tanpa sadar lengannya melingkar erat di leher Ivander. Ia mengerang ketika sesuatu yang keras di dalam dirinya bergerak keluar untuk terlepas dari miliknya, lalu wanita itu menyadari kalau Ivander belum mendapatkan pelepasannya.“Kamu belum selesai ya?” tanya wanita itu merasa bersalah pada Ivander.“Ngga apa-apa.”Wanita itu menggeleng tidak terima. Ia menarik Ivander yang akan menjauh. “Lanjutkan sampai
Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.“Bangunkan wanita i
Ivander menginjakkan kakinya di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sangat terawat. Rumah itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan berarti. Hanya di bagian depannya saja sebuah lampu bersinar temaram. Rumah itu juga tampak kosong seolah tidak ada kehidupan apa pun di sana. Namun semua itu terbantahkan tak kala seorang pria tua berpakaian pelayan menghampiri Ivander yang berdiri kebingungan di depan gerbang tinggi berwarna putih gading.“Tuan Ivander, Nona Irene sudah menunggu kedatangan Anda di dalam,” ucap pelayan tua itu sopan.Meski awalnya merasa ragu, Ivander pada akhirnya mengikuti pelayan tua itu masuk ke dalam. Di depannya terdapat sebuah Golf Cart berwarna putih dengan dua tempat duduk yang tersedia. Ia mengambil tempat di sebelah kiri, dan membiarkan pelayan tua itu yang mengemudikannya.Suasana taman yang temaram dengan lampu gantung sedikit membuat Ivander bergidik dan merinding. Meski terlihat indah dengan beberapa macam tumbuhan
Ivander mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Pandangannya buram dan berkunang-kunang. Ia coba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang menyerbu dari balik gorden, tapi menyerah setelah kepalanya terasa berputar menyakitkan."Tidur aja. Ini masih pagi." Suara itu teedengar serak tapi manis.Barulah Ivander menyadari kalau seseorang berada dalam pelukannya. "Irene?" panggilnya memastikan. Ruangan yang gelap dan pandangannya yang buram membuat Rivander kesulitan melihat siapa orang yang tidur di sebelahnya."Hmm... Ini aku," jawab Irene seolah memahami kebingungan Ivander. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang pria itu.Ivander mendesah pelan, lalu memeluk balik Irene. Tangannya menarik pinggang wanita itu agar lebih mendekat. Dingin, entah kenapa ruangan yang ia tempati terasa dingin."Demammu udah turun?" Jari Ivander bermain-main di rambut halus Irene."Hmm..." Irene bergumam di antara tidurnya. "Udah. Nih, udah engga panas 'kan?" Ia menggesekan k
Bulan sudah lama naik menggantikan matahari. Udara yang dingin tak menyurutkan niat orang-orang untuk keluar. Berlalu lalang menikmati suguhan yang ada. Kota tempat Ivander tinggal tak pernah sepi, selalu ramai dengan berbagai macam manusia. Baik itu warga sekitar atau turis luar. Di sini kehidupan malam bukan hal yang aneh. Malah menjadi bagian yang menjadi daya tarik tersendiri.Berkat itu pula Ivander tidak perlu mendapatkan tatapan menuduh dan mencemooh karena sering pulang malam, dan berjalan-jalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Lagipula, kebanyakan orang yang tinggal di daerah sini enggan untuk mengurusi urusan orang lain. Mungkin hanya beberapa yang sering ikut campur. Sisanya memilih bersikap tak peduli karena permasalahan mereka sendiri sudah merepotkan.“Kamu di mana, Ivander?” Suara wanita dari telepon yang tersambung tersebut menanyakan keberadaan Ivander.“Ayo tebak aku dimana?” Ivander menjawab ringan dengan tawa pelan.