Bulan sudah lama naik menggantikan matahari. Udara yang dingin tak menyurutkan niat orang-orang untuk keluar. Berlalu lalang menikmati suguhan yang ada. Kota tempat Ivander tinggal tak pernah sepi, selalu ramai dengan berbagai macam manusia. Baik itu warga sekitar atau turis luar. Di sini kehidupan malam bukan hal yang aneh. Malah menjadi bagian yang menjadi daya tarik tersendiri.
Berkat itu pula Ivander tidak perlu mendapatkan tatapan menuduh dan mencemooh karena sering pulang malam, dan berjalan-jalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Lagipula, kebanyakan orang yang tinggal di daerah sini enggan untuk mengurusi urusan orang lain. Mungkin hanya beberapa yang sering ikut campur. Sisanya memilih bersikap tak peduli karena permasalahan mereka sendiri sudah merepotkan.
“Kamu di mana, Ivander?” Suara wanita dari telepon yang tersambung tersebut menanyakan keberadaan Ivander.
“Ayo tebak aku dimana?” Ivander menjawab ringan dengan tawa pelan.
“Apa sih, ngga usah main-main, Ivander. Kamu tahu aku benci kalau kamu kaya gitu.” Wanita itu sedikit menaikkan nada suaranya.
Ivander menghela napas. Tarikan napasnya berat. Padahal baru beberapa menit ia menikmati angin segar yang berembus, tetapi seseorang sudah mengganggunya.
“Maaf, Areeya,” balas Ivander mengalah, tidak ingin memicu kemarahan Areeya.
“Aku tunggu di penthouse-ku! Jangan lama-lama.”
Setelah memerintah dengan nada arogan, Areeya memutuskan panggilan. Ivander hanya bisa mendengkus atas perlakuan menyebalkan Areeya. Bukan pertama kali wanita itu bersikap seenaknya. Sikap Areeya yang suka memerintah menjadi makanan sehari-hari. Areeya tidak menerima penolakan. Mengontrol Ivander adalah satu dari sekian banyak hal yang disukainya.
“Gara-gara dia aku jadi ngga bisa bebas menggunakan waktu liburku,” gumam Ivander dramatis. Ia mendongkak sejenak untuk memerhatikan langit tanpa bintang. Senyum kecil terbit di bibirnya.
“Cantiknya.” Walaupun ucapan Ivander memuji dan terdengar seperti menganggumi, nyatanya tatapan pria itu kosong. Setelahnya, Ivander melangkahkan kaki ke arah kerumunan orang yang tengah menyeberang, ikut berbaur menyembunyikan dirinya di sana.
***
Penthouse mewah tempat Ivander dan Areeya biasa bertemu berjarak tidak terlalu jauh dari posisi Ivander tadi. Kurang dari lima belas menit ia sudah sampai. Ivander menekan bel satu kali, dan menunggu Areeya membuka pintu. Areeya muncul dengan mengenakan bathrobe putih.
“Kenapa menekan bel segala? Kamu kan bisa langsung masuk aja.” Areeya berdiri dengan tangan menyilang angkuh.
“Ngga sopan kalau aku langsung masuk.” Jawaban diplomatis Ivander membuat Areeya menekuk bibirnya. Ia lalu masuk lebih dulu, disusul Ivander di belakang.
Ruangan itu gelap. Hanya cahaya dari luar yang menjadi penerangan. Areeya sengaja tidak menyalakan lampu. Di atas meja terdapat satu botol wine dan gelas yang berisi cairan merah tersebut.
Areeya duduk di single sofa. Ia mengambil gelas berisi wine miliknya dan menyesapnya perlahan. Sepasang mata berwarna coklat terang menatap lurus ke arah Ivander yang berdiri di hadapannya.“Kamu habis dari mana?”
Belum sempat Ivander melepas mantelnya, Areeya lebih dulu mengintrogasi dengan pandangan memicing curiga.
“Jangan bilang kalau kamu ketemu sama wanita lain sebelum ke sini?” Ada nada tidak suka dari suara Areeya yang sedikit melengking.
Meski jengkel dengan tuduhan tersebut, Ivander justru membalas dengan senyum menawan miliknya. Ia mendekat pada Areeya lalu bersimpuh di depan wanita itu.“Kamu cemburu?”
Areeya berjengit pelan ketika bibir hangat Ivander mengecup lembut lututnya, juga atas pernyataan pria itu yang terdengar sedikit menyebalkan. “Mana mungkin!” Ia membantah keras namun tak urung rona merah menjalar di pipi serta cuping telinga. Setelah dipikirkan kembali, Areeya merasa seperti gadis remaja yang cemburu tatkala kekasih pertamanya telat datang di kencan pertama mereka.
Demi mengembalikan harga diri yang sempat sedikit tercoreng, Areeya segera mengubah ekspresinya kembali normal seolah kejadian tadi tidak pernah ada.
“Ikut aku ke ruang merah.”
Perintah itu mutlak, hingga mau tak mau Ivander mengikuti Areeya dari belakang ke ruang merah. Ruang yang ia hindari dan juga sangat ia benci. Tanpa sadar raut wajah Ivander menggelap.
“Kenapa? Kamu ngga suka kita pindah ke ruang merah?” Areeya tersenyum miring. Jelas sekali wanita itu tengah mengejek Ivander.
“Hmm … aku justru ngga sabar permainan seperti apa yang bakal kamu lakukan, Areeya.”
Suara tawa Areeya mengalun merdu. “Tenang aja. Aku ngga bakal kecewain ekspektasi kamu.” Ia berbalik dan membuka satu-satunya pintu berwarna putih bersih yang berada di ujung koridor.
Berbeda dengan Areeya yang tampak senang dan bersemangat, Ivander justru kembali muram. Bulu kuduk pria itu meremang dengan keringat dingin yang mengalir di pelipis. Jantungnya pun berdetak cepat hingga terdengar berisik di gendang telinga, melumpuhkan suara-suara lain yang seharusnya terdengar.
Ia ketakutan.
“Ayo, kenapa kamu ngga masuk?” Areeya bertanya dengan senyum mengejeknya.
Ivander menarik napas panjang, berusaha meredekan gemuruh di dada. “Ya, Areeya,’’ balasnya sembari melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.
Ruangan itu masih sama sejak Ivander terakhir kali menginjakan kaki di sana dulu. Tata ruangnya tidak berbeda dengan rungan lain. Satu-satunya hal janggal yang berada di ruangan itu adalah benda-bendanya.
Areeya menggiring Ivander ke salah satu sudut, tepat di mana sepasang tiang dengan rantai menjulur berada.“Buka semua bajumu, Ivander.”
Sorot mata Areeya yang dingin dan nada perintah yang sulit untuk ditolak membuat Ivander bergetar oleh berbagai emosi.
“Apa aku harus mengulangi perintahku?” Sebelah alis Areeya terangkat ke atas.
“Ngga perlu.” Ivander melepas satu persatu kancing kemejanya dengan gerakan lambat. Disusul dengan celana jeans-nya yang terlepas tanpa kesulitan berarti.
Seulas senyum tipis terbentuk di wajah saat melihat bahwa Areeya tengah menahan napas, menunggu ia melepas bokser hitam yang masih menempel. Ia dengan sengaja hanya memainkan ujung kain tipis tersebut.
“Kenapa ngga dilepas?” Dahi Areeya mengkerut tidak suka.
“Kamu ngga mau melepasnya untukku?”
“ … Kamu mulai berani merintah aku?”
Nada rendah penuh peringatan itu sedikit menciutkan keberanian Ivander. Apalagi ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi kalau Areeya benar-benar kesal.
“Maaf, sekilas aku lupa posisiku.”
Ivander melepas bokser hitamnya. Seketika suhu dingin AC memeluk tubuh Ivander, membelai kulitnya dengan mesra.
“Berlutut dan angkat kedua tangan kamu ke atas.”
Dengan patuh Ivander melakukan perintah Areeya. Ujung rantai yang dilapisi borgol, Areeya pasangkan di kedua pergelangan tangan Ivander, membatasi gerakan pria itu dan membuatnya hanya bisa pasrah dengan semua hal yang akan ia lakukan.
Areeya mencampakkan bathrobe-nya, lalu mengambil salah satu cambuk dari kulit kuda yang terpajang di dinding.
“Pertama-tama aku harus hukum kamu dulu.” Ia mengeluskan ujung cambuk tersebut ke pipi Ivander seraya memutar dengan langkah pelan ke belakang Ivander. Kali ini ujung cambuk tersebut menyentuh punggung kokoh pria itu.
“Mungkin bakal sedikit sakit karena udah lama kita ngga main, hm?”
Tanpa peringatan Areeya melepaskan cambukan pertama pada Ivander.
“Fuck … !” Sumpah serapah keluar dari bibir Ivander. Bukan karena sakit, tetapi karena kaget.
Areeya sendiri malah tertawa pelan melihat Ivander yang nampak kesakitan. Ia kembali menggerakan mainannya dengan gerakan pelan.
“Nikmati, Ivander. Aku yakin kamu bakal suka.”
Ucapan Areeya bagai mantra, di cambukan berikutnya entah bagaimana Ivander justru merasakan bagian bawah tubuhnya terasa menggelitik.
Ivander berusaha untuk menikmati dan memanfaatkan keadaannya saat ini. Ia mengikuti insting binatangnya untuk kenikmatan.
Namun Areeya selalu punya cara untuk menyiksa Ivander.
Kedua telapak tangan Areeya yang tiba-tiba melingkupi leher Ivander, berusaha mencekiknya dengan sekuat tenaga hingga Ivander kesulitan untuk bernapas.
“Areeya … ?” Tepat sebelum pandangan Ivander menggelap, kebencian melintas di pupil mata Areeya yang bergetar.
***
Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar bia
Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah Whatsapp dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan men
Wanita yang berada di bawah kuasa Ivander hanya bisa mendesah keras ketika tubuh bagian bawahnya dimanjakan dengan habis-habisan oleh pria itu. Ia tampak sangat menikmatinya. Terlihat dari wajahnya yang memerah, dan mulutnya yang tak berhenti merintih kenikmatan. Tidak lama tubuh wanita itu mengejang dan bergetar hebat. Disusul Ivander yang semakin dalam menekan miliknya.Napas wanita itu masih terengah-engah, dan kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Pelepasan yang dirasakannya terlalu hebat hingga kepalanya terasa pening. Tanpa sadar lengannya melingkar erat di leher Ivander. Ia mengerang ketika sesuatu yang keras di dalam dirinya bergerak keluar untuk terlepas dari miliknya, lalu wanita itu menyadari kalau Ivander belum mendapatkan pelepasannya.“Kamu belum selesai ya?” tanya wanita itu merasa bersalah pada Ivander.“Ngga apa-apa.”Wanita itu menggeleng tidak terima. Ia menarik Ivander yang akan menjauh. “Lanjutkan sampai
Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.“Bangunkan wanita i
Ivander menginjakkan kakinya di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sangat terawat. Rumah itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan berarti. Hanya di bagian depannya saja sebuah lampu bersinar temaram. Rumah itu juga tampak kosong seolah tidak ada kehidupan apa pun di sana. Namun semua itu terbantahkan tak kala seorang pria tua berpakaian pelayan menghampiri Ivander yang berdiri kebingungan di depan gerbang tinggi berwarna putih gading.“Tuan Ivander, Nona Irene sudah menunggu kedatangan Anda di dalam,” ucap pelayan tua itu sopan.Meski awalnya merasa ragu, Ivander pada akhirnya mengikuti pelayan tua itu masuk ke dalam. Di depannya terdapat sebuah Golf Cart berwarna putih dengan dua tempat duduk yang tersedia. Ia mengambil tempat di sebelah kiri, dan membiarkan pelayan tua itu yang mengemudikannya.Suasana taman yang temaram dengan lampu gantung sedikit membuat Ivander bergidik dan merinding. Meski terlihat indah dengan beberapa macam tumbuhan
Ivander mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Pandangannya buram dan berkunang-kunang. Ia coba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang menyerbu dari balik gorden, tapi menyerah setelah kepalanya terasa berputar menyakitkan."Tidur aja. Ini masih pagi." Suara itu teedengar serak tapi manis.Barulah Ivander menyadari kalau seseorang berada dalam pelukannya. "Irene?" panggilnya memastikan. Ruangan yang gelap dan pandangannya yang buram membuat Rivander kesulitan melihat siapa orang yang tidur di sebelahnya."Hmm... Ini aku," jawab Irene seolah memahami kebingungan Ivander. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang pria itu.Ivander mendesah pelan, lalu memeluk balik Irene. Tangannya menarik pinggang wanita itu agar lebih mendekat. Dingin, entah kenapa ruangan yang ia tempati terasa dingin."Demammu udah turun?" Jari Ivander bermain-main di rambut halus Irene."Hmm..." Irene bergumam di antara tidurnya. "Udah. Nih, udah engga panas 'kan?" Ia menggesekan k