Wanita yang berada di bawah kuasa Ivander hanya bisa mendesah keras ketika tubuh bagian bawahnya dimanjakan dengan habis-habisan oleh pria itu. Ia tampak sangat menikmatinya. Terlihat dari wajahnya yang memerah, dan mulutnya yang tak berhenti merintih kenikmatan. Tidak lama tubuh wanita itu mengejang dan bergetar hebat. Disusul Ivander yang semakin dalam menekan miliknya.
Napas wanita itu masih terengah-engah, dan kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Pelepasan yang dirasakannya terlalu hebat hingga kepalanya terasa pening. Tanpa sadar lengannya melingkar erat di leher Ivander. Ia mengerang ketika sesuatu yang keras di dalam dirinya bergerak keluar untuk terlepas dari miliknya, lalu wanita itu menyadari kalau Ivander belum mendapatkan pelepasannya.
“Kamu belum selesai ya?” tanya wanita itu merasa bersalah pada Ivander.
“Ngga apa-apa.”
Wanita itu menggeleng tidak terima. Ia menarik Ivander yang akan menjauh. “Lanjutkan sampai kamu selesai. Aku tidak keberatan.” Wanita itu sengaja menggerakkan pinggulnya untuk memancing Ivander.
“Ngga adil kalau cuma aku yang orgasme,” lanjutnya.
Ivander tidak mungkin menolak kesempatan menyenangkan untuk menyelesaikan hal yang ia tahan sedari tadi.“Baiklah, sekali lagi ya.” Ivander mengiyakan begitu saja permintaan menggoda wanita itu. Ia lalu melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Pinggulnya menghunjam cepat. Kali ini tidak sedikit pun Ivander berniat menahan dirinya. Ia menekan miliknya semakin dalam tak kala merasakan puncak kenikmatan tinggal sedikit lagi menghampirinya.
“Ah … !” Ivander menggeram tertahan ketika kepuasaan itu akhirnya datang bersamaan dengan pelepasan wanita di bawah kuasanya.
“Terima kasih,” ucap Ivander sembari melepaskan diri dari wanita yang menjadi kliennya malam ini.
“Kamu mau langsung pulang?” Wanita itu menahan Ivander, dan melingkarkan lengannya ke pinggang pria sewaannya itu. Ia merasa tidak rela untuk membiarkan Ivander pergi begitu saja.
“Hmm, kenapa? Tumben sekali kamu bersikap manja seperti ini.”
Ivander membiarkannya. Ia bahkan mengusap puncak kepala wanita itu. Kebiasaan yang susah untuk dihilangkan. Ivander adalah tipe pria penyayang yang gemar memanjakan pasangannya. Jadi tidak aneh para kliennya yang haus akan kasih sayang merasa nyaman dan candu terhadap perhatian yang diberikan Ivander.
“Gimana kalau menginap semalam?”
Senyum tipis terbit di bibir Ivander.
“Aku sebenarnya ngga pernah melanggar peraturan yang kubuat sendiri, tapi untuk kali ini sepertinya ngga apa-apa.”
Dengan sengaja Ivander semakin merapatkan diri pada wanita itu, dan membiarkan tubuh mereka menempel erat.
“Untuk wanita secantik kamu, rasanya kau ngga keberatan sama sekali. Aku bakal temani sampai kamu tidur.”
Ucapan manis Ivander membuat wanita itu terbuai. Ia mengecup mesra Ivander layaknya kekasih hati, dan Ivander tidak ada niatan untuk menolak. Bibirnya dengan senang hati mencumbu kembali bibir wanita itu. Ketika tautan bibir mereka terlepas, hanya napas yang saling berhembus, dan jejak saliva yang saling terhubung.
“Mulutmu ini … ngga cuma bisa buat para wanita menjerit, tapi juga pintar dalam menggoda.”
Ivander terkekeh. “Tapi kalian suka ‘kan?” Kepercayaan diri pria itu menjadi salah satu pesona yang tak terbantahkan.“Kamu benar. Padahal aku cuma berniat menyewamu sekali, tapi ini udah ketiga kalinya kita menghabiskan malam bersama.”
“Dan aku bakal nunggu telepon untuk malam keempat kita.”
Sikap manis yang Ivander tunjukkan hanya sebuah topeng. Kliennya kali ini adalah salah satu teman dekat Areeya. Makanya ia tidak bisa bersikap dingin.
***
Sinar rembulan menyinari jalan yang Ivander lalui. Sesekali ia bersenandung pelan untuk mengisi kekosongan. Tidak banyak pejalan kaki yang berkeliaran seperti biasanya. Mungkin karena kasus orang hilang yang akhir-akhir ini sedang merebak membuat orang-orang enggan untuk keluar malam. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk Ivander.
Beberapa kali Ivander memang merasa dirinya diikuti oleh seseorang, tetapi ia yakin orang tersebut tidak memiliki niatan untuk menculiknya. Hanya mengawasi tindak tanduknya, dan Ivander tahu siapa dalang di balik itu. Sangat mudah untuk menebaknya.
Tidak butuh waktu lama bagi Ivander untuk sampai di apartemen kecilnya. Namun hal tak disangka berada di sana. Adalah kehadiran seorang wanita yang terduduk di depan pintu membuat Ivander sedikit terkejut. Wanita itu menelengkupkan kepala sehingga Ivander tidak dapat melihat wajahnya, tetapi dari warna rambutnya yang sangat mencolok, Ivander langsung tahu identitas wanita itu.
Ivander menyejajarkan tubuhnya, dan memanggil wanita itu dengan suara cukup keras, “Hei, kenapa kamu duduk di sini?” Ia juga mengguncang tubuh wanita itu yang anehnya terasa panas di cuaca sedingin ini.
“Shiori! Hei!” Sekali lagi Ivander memanggil wanita yang merupakan teman dekatnya tersebut. Namun Shiori masih tidak mengindahkan panggilannya. Ivander dengan paksa menengadahkan kepala Shiori yang tertelungkup.
Ketika wajah wanita itu terlihat, Ivander tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Ia terkesiap tidak percaya. Kata kacau dan berantakan bahkan tidak bisa menggambarkan keadaan Shiori yang tampak mengenaskan. Ada lebam di ujung mata dan bibirnya. Pun terlihat darah yang mulai mengering di sela bibirnya yang robek.
Tanpa membuang waktu Ivander menggendong Shiori yang tak sadarkan diri ke apartemenya. Ia merebahkan tubuh lemah wanita itu di kasurnya. Tanpa disadari Ivander seseorang di balik kegelapan pohon besar mengamati, dan melaporkan semua hal yang dilihatnya lewat ponsel dalam genggaman tangan.
“Astaga … “ Ivander ikut meringis ketika Shiori meringis karena ia tidak sengaja menyenggol lebam di wajah wanita itu.
Bingung dengan apa yang harus dilakukan, Ivander terdiam sejenak. Otaknya tengah berpikir keras. Ia akhirnya mengambil alat P3K, mengeluarkan plester pereda demam, dan menempelkannya di kening Shiori. Ia juga mengompres lebam wanita itu, dan mengoleskan salep di lukanya. Untuk sekarang hanya itu yang terpikirkan oleh Ivander. Kalau seandainya demam Shiori tidak turun, ia mungkin harus membawa wanita itu ke rumah sakit terdekat.
Kesabaran Ivander yang menunggui Shiori serta terus mengecek suhu tubuh temannya itu patut diberi penghargaan. Di satu jam pertama, Ivander mendengar Shiori yang mengingau kesakitan membuat ia dengan sedikit memaksa meminumkan pereda sakit. Untungnya setelah itu Shiori bisa tertidur nyenyak sehingga Ivander merasa lebih tenang. Faktor kelelahan tanpa sadar membuat Ivander ikut tertidur di samping ranjang.
Ketika jarum jam menunjuk pada angka empat, kelopak mata Shiori perlahan terbuka. Kesadarannya yang masih belum terkumpul sepenuhnya membuat ia sedikit kebingungan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Melihat Ivander yang tidur dengan posisi duduk, Shiori langsung paham ada di mana dirinya saat ini.
“Ivander …” Shiori mengguncang pelan tubuh Ivander.
“Hmm, apa?” gumam Ivander serak.
“Jangan tidur di lantai.” Shiori merasa tidak enak membiarkan temannya itu tidur di lantai. Ia menggeser tubuhnya, dan memberi ruang untuk Ivander berbaring.
“Disini aja,” ucap Shiori sembari menepuk ranjang.
Ivander tidak serta merta langsung membaringkan tubuhnya. Ia justru mengecek kening Shiori terlebih dahulu untuk memasstikan demam wanita itu sudah turun.“Gimana kondisimu? Udah lebih baik?”
Anggukan mantap dari Shiori membuat Ivander merasa lega. Lalu ia merebahkan diri dengan memunggungi Shiori yang masih menatapnya dengan lekat.
“Bangunkan aku kalau kamu butuh sesuatu.”
Setelah mengatakan itu, tanpa bertanya apa pun lagi, Ivander kali ini tertidur nyenyak sekali. Pria itu bahkan tidak menyadari lengan yang melingkar erat di perutnya. Shiori mengambil kesempatan atas kelengahan Ivander.
“Terima kasih.” Gumam yang bercampur isak tangis tertahan itu memang tidak keras. Namun terdengar pilu bagi yang mendengarnya.
Malam berlalu begitu saja. Shiori berharap pagi sedikit datang lebih lambat agar ia memiliki kesempatan untuk memeluk Ivander lebih lama. Namun hal tersebut tentu hal yang tidak mungkin terjadi karena waktu akan terus berputar meski kita menginginkannya untuk berhenti barang sejenak saja.
Ketika Shiori dan Ivander berniat keluar dari apartemen setelah sama-sama menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan, semilir angin sore menyambut mereka.
“Kamu yakin mau pulang ke rumah? Aku tidak keberatan kamu tinggal untuk beberapa malam lagi.” Ivander bertanya serius.
“Kamu bisa pakai kamarku untuk sementara. Aku bisa nginap di flat teman,” lanjutnya meyakinkan.
“Ngga usah. Aku juga udah sehat, kok.” Shiori menolak tawaran Ivander. Terlihat sekali kalau ia tidak ingin semakin membebani pria itu.
Tangan Ivander terlulur ke puncak kepala Shiori, dan mengacaknya lembut. Baginya Shiori sudah seperti adik. Melihat wanita itu menderita karena kelakuan orangtuanya membuat Ivander merasa simpati. Keadaan Shiori hampir mirip dengannya- bahkan bisa dibilang lebih parah. Selain mentalnya yang perlahan dihancurkan, fisik Shiori juga ikut terkena imbas atas tindakan amoral orang tuanya.
“Hubungi aku kapan aja kalau kamu butuh bantuan.”
“Ehm! Terima kasih,” ucap Shiori sembari mengangguk bersemangat. Ia meninggalkan apartemen Ivander setelah melambaikan tangan dengan penuh keceriaan palsu. Ivander terus memerhatikan Shiori sampai siluet wanita itu tidak terlihat lagi.
Diperjalanan, langkah Shiori terasa ringan meski permasalahan kehidupannya masih saja terngiang dalam pikiran. Ia sampai tidak sadar ketika seseorang dengan pakaian serba hitam mengikutinya, dan diam-diam menunggu waktu yang tepat untuk menculik wanita itu.
Saat masuk ke gang kecil menuju rumahnya, secara tiba-tiba dan tanpa peringatan mulut Shiori dibekap oleh kain putih. Ia menggigit keras pria yang membekap mulut dan menyikut ulu hatinya dengan sekuat tenaga, tetapi usahanya sia-sia. Kedua pria yang menculiknya kembali memerangkap tubuhnya yang lemas.“Lepas! Hei, Om! Aku ini gadis miskin. Kalian ngga bakal dapat apapun kalau menculikku!”
“Diam!”
Salah satu pria tersebut memukul leher belakang Shiori, hingga akhirnya gadis itu tak sadarkan diri. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan bunyi gedebug keras. Sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, satu nama keluar dari mulutnya. Nama dari orang yang berharap bisa menolongnya.
“Ivander …”
***
Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.“Bangunkan wanita i
Ivander menginjakkan kakinya di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sangat terawat. Rumah itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan berarti. Hanya di bagian depannya saja sebuah lampu bersinar temaram. Rumah itu juga tampak kosong seolah tidak ada kehidupan apa pun di sana. Namun semua itu terbantahkan tak kala seorang pria tua berpakaian pelayan menghampiri Ivander yang berdiri kebingungan di depan gerbang tinggi berwarna putih gading.“Tuan Ivander, Nona Irene sudah menunggu kedatangan Anda di dalam,” ucap pelayan tua itu sopan.Meski awalnya merasa ragu, Ivander pada akhirnya mengikuti pelayan tua itu masuk ke dalam. Di depannya terdapat sebuah Golf Cart berwarna putih dengan dua tempat duduk yang tersedia. Ia mengambil tempat di sebelah kiri, dan membiarkan pelayan tua itu yang mengemudikannya.Suasana taman yang temaram dengan lampu gantung sedikit membuat Ivander bergidik dan merinding. Meski terlihat indah dengan beberapa macam tumbuhan
Ivander mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Pandangannya buram dan berkunang-kunang. Ia coba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang menyerbu dari balik gorden, tapi menyerah setelah kepalanya terasa berputar menyakitkan."Tidur aja. Ini masih pagi." Suara itu teedengar serak tapi manis.Barulah Ivander menyadari kalau seseorang berada dalam pelukannya. "Irene?" panggilnya memastikan. Ruangan yang gelap dan pandangannya yang buram membuat Rivander kesulitan melihat siapa orang yang tidur di sebelahnya."Hmm... Ini aku," jawab Irene seolah memahami kebingungan Ivander. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang pria itu.Ivander mendesah pelan, lalu memeluk balik Irene. Tangannya menarik pinggang wanita itu agar lebih mendekat. Dingin, entah kenapa ruangan yang ia tempati terasa dingin."Demammu udah turun?" Jari Ivander bermain-main di rambut halus Irene."Hmm..." Irene bergumam di antara tidurnya. "Udah. Nih, udah engga panas 'kan?" Ia menggesekan k
Bulan sudah lama naik menggantikan matahari. Udara yang dingin tak menyurutkan niat orang-orang untuk keluar. Berlalu lalang menikmati suguhan yang ada. Kota tempat Ivander tinggal tak pernah sepi, selalu ramai dengan berbagai macam manusia. Baik itu warga sekitar atau turis luar. Di sini kehidupan malam bukan hal yang aneh. Malah menjadi bagian yang menjadi daya tarik tersendiri.Berkat itu pula Ivander tidak perlu mendapatkan tatapan menuduh dan mencemooh karena sering pulang malam, dan berjalan-jalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Lagipula, kebanyakan orang yang tinggal di daerah sini enggan untuk mengurusi urusan orang lain. Mungkin hanya beberapa yang sering ikut campur. Sisanya memilih bersikap tak peduli karena permasalahan mereka sendiri sudah merepotkan.“Kamu di mana, Ivander?” Suara wanita dari telepon yang tersambung tersebut menanyakan keberadaan Ivander.“Ayo tebak aku dimana?” Ivander menjawab ringan dengan tawa pelan.
Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar bia
Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah Whatsapp dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan men