Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.
Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.
‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’
Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.
“Bangunkan wanita itu!” perintah Irene pada pria berbaju hitam yang berdiri di samping Shiori.
Pria itu mengangguk patuh, lalu mengambil wadah berisi air es dan mengguyurkannya ke seluruh tubuh Shiori. Seketika saja Shiori terkesiap dan terbangun dengan wajah linglung. Napasnya memburu dan tubuhnya bergetar kedinginan. Wanita itu melihat keadaan sekitarnya yang gelap gulita.
“Hah… Hmhhh- hmhhhh … ” Kepanikan melanda Shiori ketika merasakan kedua tangan dan kakinya terikat ke kursi. Ia bergerak gelisah -berusaha melepaskan tali yang mengikatnya meski mustahil. Mulutnya yang ditutup lakban semakin menambah kengerian yang dirasakannya. Pikiran bahwa ia tidak bisa mencari bantuan dengan keadaannya saat ini sangat mengerikan bagi Shiori.
“Jangan berisik.” Irene mendengus. Teriakan tertahan Shiori memang tidak keras, tetapi tetap saja menyakiti telinganya. Kondisi Irene yang tengah demam menjadi alasan utama. Kepalanya yang sejak tadi pusing pun semakin pening.
Shiori yang masih belum menyadari kehadiran Irene meski wanita itu sudah berbicara padanya, kembali mengedarkan mata ke sekitar ruangan yang tampak gelap gulita dalam pandangannya. Matanya belum bisa menyesuaikan untuk melihat dalam kegelapan karena terlalu panik dan ketakutan dengan kondisinya yang sangat tidak menguntungkan.
Ingatan terakhir Shiori sebelum kehilangan kesadaran kembali terputar di dalam otaknya. Ketidakberdayaannya melawan pria yang menculiknya, dan bagaimana kasar penculik tersebut ketika memasukkannya ke dalam mobil hitam semakin membuat wanita itu terlihat mengenaskan.
Ketakutan dan kengerian yang menggerayangi fisik dan psikisnya terlalu besar. Namun, Irene yang tidak peduli dan justru merasa kesal dengan sikap menyebalkan Shiori, menampar keras pipi wanita itu sampai telapak tangannya terasa panas dan perih. Ia tidak menyukai fakta kalau Shiori- wanita yang dalam segala aspek berada di bawahnya, mengabaikan dirinya. Irene merasa direndahkan.
“Aku udah bilang jangan berisik ‘kan?! Selain bodoh, apa kamu juga tuli?!”
Teriakan dan bentakan keras Irene yang menggema di dalam ruang gelap tersebut berhasil membuat Shiori berjengit kaget. Wajah dingin Irene yang tertimpa cahaya bulan, perlahan mulai membuka kesadaran akan keadaan sekitarnya. Ia memaksakan dirinya untuk tenang, dan tidak lagi berusaha melepaskan tali yang mengikatnya meski jantungnya berdegup kencang. Kekalutan belum sepenuhnya menghilang dalam diri Shiori, tetapi ia tidak ingin semakin membuat Irene- sang pelaku penculikan, bertambah marah terhadapnya.
“Nah, kaya gini lebih baik. Aku ngga suka kamu buat keributan kaya tadi.”
Irene mengusap lembut sebelah pipi pucat Shiori dengan punggung tangannya yang panas. Tatapannya yang dingin dan menusuk di arahkan pada wanita itu.
“Kamu tahu, aku sangat benci padamu.”
Jantung Shiori berdentam kuat sampai terasa sesak dan menyakitkan ketika kuku tajam Irene bermain-main di kulitnya. Kekejaman wanita itu yang terlihat dari matanya terasa terlalu nyata untuk disebut sebagai akting biasa. Shiori menyadari kalau Irene tidak berbohong akan kata-katanya. Namun ia masih tidak mengerti kenapa dirinya dibenci sedalam itu sampai diculik dan disekap seperti ini.
“Mmmhh- hmhh … ” Shiori berusaha berbicara- atau setidaknya memberikan tanda pada Irene untuk membiarkannya berbicara dan menanyakan kebingungannya.
“Kamu mau tahu apa kesalahanmu?”
Irene kembali bertanya, dan Shiori menggeleng tegas. Kali ini seulas senyum terbit di bibir Irene. Senyuman yang justru malah membuat Shiori merinding ketakutan- seolah instingnya mengatakan kalau teror yang sebenarnya baru saja dimulai.
Gelengan kuat Shiori tidak digubris Irene sama sekali. Wanita itu masih fokus dengan hal yang ingin dilakukannya. Ia mulai menancapkan kuku-kuku tajamnya yang diberi kutek berwarna ungu tua ke bawah mata Shiori, lalu tarikan kasar ke sebelah kiri dilakukannya.
“Hnmhhh-”
Ringis tertahan Shiori membuat Irene terkekeh senang. Luka yang berusaha dibuatnya di wajah mulus wanita itu hanya berhasil menciptakan goresan merah seperti cakaran kucing. Ia sedikit kecewa luka tersebut tidak mengeluarkan darah sama sekali. Meski begitu Irene yakin Shiori pasti merasakan perih karena aksinya, terlihat dari cairan bening yang mengalir dari mata wanita itu.
“Kesalahan kamu cuma satu, yaitu mengganggu pria yang menjadi milikku,” lanjutnya sembari menjilat sensual jari telunjuknya.
Saat Irene akan kembali menggoreskan kukunya di kulit Shiori, suara dering ponsel menghentikannya. Atensi wanita itu berpindah pada benda pipih yang tergeletak di lantai- itu merupakan ponsel milik Shiori. Ia mengambilnya dengan bibir menekuk kesal. Ekspresi Irene semakin gelap tak kala ia melihat layar ponsel tersebut menampilkan panggilan telepon dari pria yang dicintainya.
“Tuh lihat! Apaan-apaan ini. Aku masih ngga ngerti kenapa Ivander nunjukin rasa peduli pada gadis miskin sepertimu.”
Irene menecengkeram keras rahang Shiori agar menghadap pada layar ponsel yang diperlihatkannya. Kuatnya tenaga wanita itu membuat Shiori merasakan sakit yang tak tertahankan di dagunya- apalagi Irene melakukannya dengan tiba-tiba. Bisa dipastikan terjadi kesalahan pada otot lehernya.
“Berani banget kamu ngambil perhatian Ivander dariku!”
Teriakan putus asa Irene dan kalimat-kalimat yang diucapkannya sejak tadi membuat Shiori mulai menghubungkan semua informasi tersebut. Termasuk nama Ivander yang menjadi kunci dan permasalahan utama. Kesimpulan yang ia perkirakan adalah Irene salah paham akan hubungannya dengan Ivander. Wanita itu mengira dirinya menjalin hubungan spesial dengan pria jangkung itu.
‘Wanita ini- sebenarnya, siapa wanita ini? Apa mungkin kekasih Ivander?’ Pikiran itu terlintas dalam benak Shiori, dan membangkitkan kecemburuan dalam hati wanita manis itu.
Srekkk.
Lakban hitam yang sejak tadi menutup mulut Shiori agar tidak berbicara dibuka paksa oleh Irene. Tanda kemerahan muncul di sekitar pipi wanita tampak menambah daftar hal yang membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Namun bekas kemerahan tersebut justru terlihat lucu bagi Irene. Ia senang karena dengan begitu kecantikan Shiori berkurang.
Lalu, tiba-tiba saja sebuah ide menyenangkan muncul di otak licik Irene. Wanita itu menyeringai lebar, dan mulai terkekeh dengan pikiran gilanya sendiri. Ketika pupil matanya yang tidak fokus bersitatap dengan Shiori, senyum di wajah Irene seketika hilang digantikan wajah datar.
“Shiori, gimana kalau kita coba bertaruh?” ucap Irene memberikan sebuah tawaran. Tangannya mencekik kuat leher Shiori agar wanita itu memberikan seluruh atensinya pada Irene.
Shiori menelan salivanya dengan susah payah, lalu bertanya dengan suara sedikit gemetar.
“Bertaruh?”
Ujung bibir Irene sedikit tertarik ke atas, menampakkan seringai tipis yang membuat bulu roma Shiori merinding.
“Menurutmu, Ivander bakal datang ke sini buat nyelamatin kamu? Dan kira-kira dia bakal lebih percaya siapa ya … aku atau kamu?”
Suara Irene ketika mengatakan kalimat itu terdengar seperti akan memainkan sebuah permainan menyenangkan Truth or Dare. Namun dari sikap wanita itu yang melangkah ringan ke sebuah meja panjang, lalu mengambil sebilah belati tajam, semakin meyakinkan insting Shiori bahwa permainan yang akan mereka lakukan jauh dari kata aman.
“Nah, gimana kalau kita buka tali kamu dulu sebelum kita mainkan taruhannya?”
Kali ini Irene menampilkan seringai misteriusnya sembari memberi perintah kepada pria berbaju hitam yang sejak tadi hanya berperan sebagai penonton itu untuk melepaskan Shiori. Setelah ikatan di kedua tangan dan kaki Shiori terlepas, pria berbaju hitam itu memaksa Shiori untuk berdiri meski pada akhirnya Shiori malah berkali-kali jatuh karena kedua kakinya terlalu lemas.
Irene berdecak kesal ketika Shiori tidak juga berdiri dengan tegak. “Kamu itu ternyata lemah ya. Apa sih kelebihan kamu sampai Ivander mau repor-repot rawat kamu?”
“Kenapa ngga jawab? Apa aku harus pasang benang atau tali buat ngontrol kamu supaya gerak sesuai yang aku mau, layaknya boneka Marionette?” lanjutnya dengan suara malas.
Ancaman tersirat yang dilakukan Irene membuat Shiori bergidik. Ia semakin memaksakan kedua kakinya agar bisa berdiri tegak sesuai keinginan Irene. Usaha yang dilakukannya tersebut bukan hal yang mudah bagi Shiori. Pada akhirnya ia berhasil. Lalu, saat akhirnya Shiori bisa berdiri saling berhadapan dengan Irene, wanita itu melemparkan belati yang sama dengan miliknya ke kaki Shiori.
“Ayo mulai permainannya.”
Permainan itu dimulai tanpa aba-aba dari Irene, hingga Shiori yang berada dalam keadaan tidak siap, telat menyadari sebuah belati yang melayang tepat ke arah matanya.
***
Ivander menginjakkan kakinya di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sangat terawat. Rumah itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan berarti. Hanya di bagian depannya saja sebuah lampu bersinar temaram. Rumah itu juga tampak kosong seolah tidak ada kehidupan apa pun di sana. Namun semua itu terbantahkan tak kala seorang pria tua berpakaian pelayan menghampiri Ivander yang berdiri kebingungan di depan gerbang tinggi berwarna putih gading.“Tuan Ivander, Nona Irene sudah menunggu kedatangan Anda di dalam,” ucap pelayan tua itu sopan.Meski awalnya merasa ragu, Ivander pada akhirnya mengikuti pelayan tua itu masuk ke dalam. Di depannya terdapat sebuah Golf Cart berwarna putih dengan dua tempat duduk yang tersedia. Ia mengambil tempat di sebelah kiri, dan membiarkan pelayan tua itu yang mengemudikannya.Suasana taman yang temaram dengan lampu gantung sedikit membuat Ivander bergidik dan merinding. Meski terlihat indah dengan beberapa macam tumbuhan
Ivander mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Pandangannya buram dan berkunang-kunang. Ia coba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang menyerbu dari balik gorden, tapi menyerah setelah kepalanya terasa berputar menyakitkan."Tidur aja. Ini masih pagi." Suara itu teedengar serak tapi manis.Barulah Ivander menyadari kalau seseorang berada dalam pelukannya. "Irene?" panggilnya memastikan. Ruangan yang gelap dan pandangannya yang buram membuat Rivander kesulitan melihat siapa orang yang tidur di sebelahnya."Hmm... Ini aku," jawab Irene seolah memahami kebingungan Ivander. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang pria itu.Ivander mendesah pelan, lalu memeluk balik Irene. Tangannya menarik pinggang wanita itu agar lebih mendekat. Dingin, entah kenapa ruangan yang ia tempati terasa dingin."Demammu udah turun?" Jari Ivander bermain-main di rambut halus Irene."Hmm..." Irene bergumam di antara tidurnya. "Udah. Nih, udah engga panas 'kan?" Ia menggesekan k
Bulan sudah lama naik menggantikan matahari. Udara yang dingin tak menyurutkan niat orang-orang untuk keluar. Berlalu lalang menikmati suguhan yang ada. Kota tempat Ivander tinggal tak pernah sepi, selalu ramai dengan berbagai macam manusia. Baik itu warga sekitar atau turis luar. Di sini kehidupan malam bukan hal yang aneh. Malah menjadi bagian yang menjadi daya tarik tersendiri.Berkat itu pula Ivander tidak perlu mendapatkan tatapan menuduh dan mencemooh karena sering pulang malam, dan berjalan-jalan tak tentu arah di pinggir trotoar. Lagipula, kebanyakan orang yang tinggal di daerah sini enggan untuk mengurusi urusan orang lain. Mungkin hanya beberapa yang sering ikut campur. Sisanya memilih bersikap tak peduli karena permasalahan mereka sendiri sudah merepotkan.“Kamu di mana, Ivander?” Suara wanita dari telepon yang tersambung tersebut menanyakan keberadaan Ivander.“Ayo tebak aku dimana?” Ivander menjawab ringan dengan tawa pelan.
Sinar matahari yang terang menyambut pagi Ivander. Tubuhnya luar biasa lelah. Ada beberapa tanda biru keunguan di sekitar bahu dan punggungnya akibat permainan yang dilakukan Areeya semalam. Tanda yang paling terlihat adalah garis keunguan samar yang melingkari leher.Ivander hanya bisa mendesah berat melihat bercak-bercak itu.Ruangan tersebut tampak lenggang. Tidak terlihat Areeya di sana. Wanita itu pulang lebih dulu. Bukan pertama kali Ivander ditinggalkan sendiri. Sudah berkali-kali malah, dan setiap kali itu pula selalu ada perasaan kosong dan terhina. Meski begitu, Ivander mencoba untuk tidak terlalu peduli karena perasaan seperti itu hanya akan menghambatnya.Ivander membiarkan air shower membasahi tubuh kekarnya. Cukup lama ia hanya berdiam dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Termasuk ingatan tentang kejadian semalam. Bulu kuduk Ivander seketika mencuat keluar. Hanya dengan mengingatnya saja ia merinding, dan perutnya luar bia
Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah Whatsapp dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan men
Wanita yang berada di bawah kuasa Ivander hanya bisa mendesah keras ketika tubuh bagian bawahnya dimanjakan dengan habis-habisan oleh pria itu. Ia tampak sangat menikmatinya. Terlihat dari wajahnya yang memerah, dan mulutnya yang tak berhenti merintih kenikmatan. Tidak lama tubuh wanita itu mengejang dan bergetar hebat. Disusul Ivander yang semakin dalam menekan miliknya.Napas wanita itu masih terengah-engah, dan kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Pelepasan yang dirasakannya terlalu hebat hingga kepalanya terasa pening. Tanpa sadar lengannya melingkar erat di leher Ivander. Ia mengerang ketika sesuatu yang keras di dalam dirinya bergerak keluar untuk terlepas dari miliknya, lalu wanita itu menyadari kalau Ivander belum mendapatkan pelepasannya.“Kamu belum selesai ya?” tanya wanita itu merasa bersalah pada Ivander.“Ngga apa-apa.”Wanita itu menggeleng tidak terima. Ia menarik Ivander yang akan menjauh. “Lanjutkan sampai