Sejak pertama kali tiba di lokasi promosi sampai siang hari, Kezia terus bersemangat. Siapa pun yang mengira dia hanya seorang istri yang selalu dimanja oleh Arnold, pasti akan langsung menganga takjub oleh bakat komunikasinya yang begitu luas. Dalam acara pesta peringatan hari lahir kota itu, Kezia menghampiri langsung para calon konsumen untuk menjelaskan segala macam hal tentang produk baru dari perusahaan Arnold.
"Lebih baik Bu Kezia istirahat dulu. Saya khawatir Pak Arnold akan sangat marah ketika mengetahui saya membiarkan Ibu bergerak sejak pagi," tutur Sherin dengan cemas. Sesekali ia melirik jam tangan. Masih sisa beberapa jam lagi untuk tinggal di tempat ini, sementara ia sudah sangat mencemaskan kondisi Kezia.
"Kau tak perlu cemas, Sherin. Kalau Arnold marah, saya yang akan berbicara padanya," jawab Kezia dengan muka santai. Ia merasa masih punya banyak tenaga untuk melanjutkan aksinya. Hanya duduk diam sambil memandang akan jadi sesuatu yang sangat tidaUntuk berteriak pun mulutnya sudah disumpal. Kezia hanya bisa memperpanjang air matanya sambil merapal semua doa yang ia bisa untuk memohon pada Tuhan. Ia sungguh tak ingin kehilangan anak pertama yang sejak masih dalam kandungan sudah diberinya cinta begitu banyak."Hentikan tingkah gilamu ini, Patmi!"Tiba-tiba saja Arnold masuk ke kamar itu dan mendorong tubuh Patmi sampai tersungkur di atas lantai. Perempuan tua itu menatap tak percaya dengan mulut menganga. Dia sungguh berharap apa yang dilihatnya detik ini salah.Namun, pada kenyataannya Arnold memang benar-benar sudah ada di depannya. Pria itu dengan sangat hati-hati menarik lakban yang menutupi mulut istrinya, kemudian membuka ikatan tangan dan kakinya."Arnold, aku sungguh takut." Kezia langsung berlindung dalam pelukan suaminya. Air matanya tetap bocor di sepanjang ruas pipi. Tubuhnya masih merinding dan bergetar. Ia sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah begitu baik memp
Pagi-pagi ketika Arnold hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba Patmi menghadang di tengah pagar rumahnya hingga mobil pria itu tidak bisa keluar. Dengan sangat marah, Arnold turun dari mobil untuk mengusir paksa Patmi yang telah membuat sesak pemandangan.Saat tiba di depan Patmi, Arnold sangat kaget karena ternyata perempuan tua itu mengeluarkan pisau dari saku jubahnya. Arnold langsung memasang posisi siap siaga sebagai antisipasi kalau mantan mertuanya itu akan menyakitinya."Apa yang kau lakukan di depan pagar rumahku sambil membawa pisau, Patmi?"Bukannya menjawab, Patmi malah meraih tangan Arnold, kemudian memindahkan pisau tersebut ke tangan pria itu. Di sini Arnold sudah siap menyelamatkan diri jika perempuan tua itu nekat menusuk telapak tangannya sewaktu-waktu.Ketika pisau telah berpindah ke tangan Arnold, Patmi mengukir senyum lebar, kemudian berkata, "Daripada kau memasukkan aku ke penjara, lebih baik kau bunuh aku saja." Suaranya
Kezia sangat syok ketika mendapat kabar tentang penangkapan Arnold. Dia yang sudah mematuhi ucapan suaminya sepanjang tiga hari untuk tidak keluar rumah sama sekali, akhirnya siang ini tak mampu mempertahankan kepatuhan itu. Dengan diantar sopir rumah, dia bergegas menuju kantor polisi untuk menengok kondisi suaminya."Apa yang terjadi, Arnold?" tanya Kezia dengan wajah cemas. Satu tangannya menggenggam erat tangan Arnold di atas meja, sementara tangan yang lain mengelus permukaan perut yang semakin hari makin membuncit saja."Aku juga tidak tahu, Kezia." Arnold menggeleng lemah dengan wajah tertunduk. "Patmi benar-benar perempuan licik. Sampai beberapa menit sebelum kematiannya pun, dia masih sempat menjebakku untuk masuk penjara.""Tolong ceritakan padaku secara rinci. Aku sulit percaya bagaimana kau bisa terjerumus pada permainan Patmi."Di meja kantor polisi itu, Arnold bercerita dengan terang tentang kejadian pagi itu. Di mana Patmi tiba-tiba d
Kezia duduk bersama Eva di ruang jenguk. Mereka sedang menunggu polisi memanggilkan Arnold untuk dibawa ke hadapan mereka."Mengapa wajahmu sangat tidak bersemangat, Sayang?" Eva berbisik pelan sembari menyenggol lengan putrinya.Dengan sangat lemah, Kezia menggeleng. Dia mengelus perutnya berulang-ulang. Hamil besar semakin payah, apalagi ketika suaminya tak bisa lagi menemaninya setiap saat sekarang."Kau tidak melupakan apa saja yang harus kau katakan pada Arnold nanti, kan?" Eva bertanya memastikan. Matanya menatap penuh selidik. Suaranya masih berbisik sambil sesekali memeriksa pintu untuk memastikan kalau Arnold belum datang.Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pria itu muncul diiringi oleh polisi bertubuh tambun di belakangnya. Yang pertama Arnold lihat hanya Kezia. Ia sama sekali tak melirik ke arah Eva seolah mertuanya itu tidak ada.Kezia langsung mengangkat tubuh dari kursinya. Dia maju beberapa saat untuk men
"Tentu aku bahagia, Ma." Kezia membenarkan posisi duduknya. Ia menolehkan muka ke arah sang mama yang detik ini sedang duduk di belakang kemudi, bersiap menyalakan mesin mobil. "Tadi aku hanya terlalu terbawa suasana," tambahnya seraya mengukir senyum untuk meyakinkan.Eva manggut-manggut. Dia percaya saja karena yakin kalau anaknya tidak mungkin mengkhianati rencana mereka.Setibanya di rumah, Kezia langsung lari ke kamar Narendra. Dia memakai alasan sangat rindu pada putranya itu hingga tak sabar ingin memeluk. Eva tak menaruh curiga berlebih. Ia langsung pergi ke kamar barunya di rumah ini untuk istirahat.Di kamar bayi bernuansa biru itu, Kezia meminta agar Pilar keluar. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada pembantu yang sudah menolongnya menjaga Narendra selama ditinggal menjenguk Arnold ke penjara tadi."Sayang...." Kezia berucap lirih sembari mengelus-elus rambut Narendra. Bayi itu sedang bermain bongkar pasang sambil tertawa-tawa
Kezia diam beberapa saat ketika mendengar ide yang usai dicetuskan Eva. Kepalanya berkedut-kedut karena berpikir."Bagaimana? Kamu setuju, kan, sama rencana Mama?" tanya Eva dengan suara gemas karena tak kunjung mendapat jawaban dari anaknya."Tunggu, Ma." Kini Kezia menegakkan punggungnya. Posisi duduknya terlihat serba tak nyaman sebab perut yang membesar. "Apa ide Mama nanti bukannya malah akan membuat nama baikku rusak? Bisa saja Arnold beranggapan aku yang tak becus mengurus perusahaannya.""Bukan begitu, Sayang." Di seberang, Eva bersuara dengan semakin gemas. "Mama tidak mungkin membuat ide yang malah akan menjatuhkanmu. Maka dari itu, sejak awal sudah Mama katakan kalau kamu harus mencari korban. Korban itulah nanti yang akan terkena tuduhan sebagai perusak keuangan perusahaan, kemudian kau ada untuk mempertahankan perusahaan tersebut agar jangan sampai bangkrut. Di sinilah Arnold akan meyakini kalau kau adalah pahlawan yang sesungguhnya."Kezia t
Siang yang terik berjalan tak beriringan dengan wajah dua manusia dalam mobil itu. Kilau matahari merekah ganas, mengepakkan seluruh sinar untuk memanggang bumi. Namun, Kezia dan Andrew tinggal dalam air muka yang sama-sama mendung seolah hujan berpetir akan segera meretakkan langit mereka."Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Arnold nanti ketika mendengar kabar ini," gumam Kezia yang duduk di jok depan sebelah kiri. Rongga matanya menguarkan kecemasan yang sangat banyak. Dia tak melirik sedikit pun ke arah Andrew yang detik ini tengah berada di sampingnya, memegang kemudi pada mobil Arnold yang mereka tumpangi.Setelah memanggil Gabriel dan kawan-kawan ke ruangannya tadi pagi, Kezia kembali memanggil Andrew. Mereka melewati diskusi panjang mengenai kandidat-kandidat yang mereka pandang untuk menyelesaikan masalah ini. Andrew menyebut beberapa nama yang ia kenal sangat ahli dalam bidang komputer dan kemungkinan bisa mengorek data tentang peretas i
Tanpa sepengetahuan Kezia, keesokan harinya Andrew datang lagi ke kantor polisi untuk berbicara empat mata saja dengan Arnold. Ada banyak hal yang tersangkut di tenggorokannya dan terus memberontak untuk diluncurkan dalam pertemuan mereka kemarin. Namun, tentu saja Andrew tak kuasa berbicara banyak hal sebab sadar keadaan."Apa menurutmu istriku ada sangkut pautnya dengan masalah ini?" Arnold langsung meluncurkan pertanyaan tanpa memberi basa-basi sedikit pun. Lembap dan bau lantai penjara sudah cukup sulit membuatnya tidur dalam beberapa hari. Dan tadi malam, ia sama sekali tak bisa tidur sebab memikirkan kabar yang masuk ke telinganya kemarin siang. Harapannya dikabulkan Tuhan karena akhinya hari ini Andrew datang lagi seorang diri. Ia sudah tak tahan ingin bertanya banyak hal pada pria itu terkait perusahaannya selama ia tidak ada.Andrew diam sejenak. Ia menyorot lurus pada wajah Arnold, berusaha menyelam dalam redup matanya. "Kalau menurut saya, Bu Kezia
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik