Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu.
“Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.”Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan gerakannya.“Mau kemana?” tanya Bagaskara yang sudah terlihat rapi dengan kemeja putih yang digulung sebatas lengan, menunjukkan lengan berototnya, bawahan berbahan denim membuat pria itu terlihat awet muda.Ya, harus diakui memang. Meski sudah berkepala empat, artis senior itu masih terlihat tampan dan gagah. Jadi, tidak heran banyak wanita yang masih mendambakannya.Suara Bagaskara membuat Maharatu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bagaskara membawa nampan di tangannya. “Syu–syuting.” Ratu mencengkram erat selimutnya.Bagaskara mendekat ke arah istri simpanannya, lalu duduk di tepi ranjang. Segelas air putih dan roti bakar dia letakkan di atas meja rias. Helaan napas berat keluar dari hidung mancungnya.“Hari ini tidak usah kerja dulu. Istirahatlah di rumah. Kamu demam!” titah Bagaskara.Ratu menempelkan tangannya di dahi. Panas. “Tapi… kata Om Bondan hari ini kami—”“Aku sudah menyuruhnya untuk memundurkan jadwal syuting,” potong Bagaskara yang menyodorkan roti pada Ratu.Memang seberkuasa itu Bagaskara. Hingga sutradara sekelas Bondan saja patuh pada perintahnya.“Setelah makan, minum obatmu. Sebentar lagi Sasa akan datang ke sini untuk merawatmu, karena aku harus kembali ke Singapura. Hanum akan curiga bila aku terlalu lama meninggalkannya,” lanjut Bagas yang berdiri di depan cermin sembari memakai jam tangan.Ratu mengangguk patuh, roti bakar berlapis selai coklat pemberian Bagaskara terasa sangat sulit untuk dia telan.Melihat Maharatu memakan roti buatannya, Bagaskara mengulas senyum tipis. “Bagus, aku suka gadis penurut sepertimu.” Bagas mengacak rambut Ratu pelan. Jari Bagas menyentuh sudut bibir Ratu yang membiru. “Kamu tau… bibir ini membuatku candu. Tapi, kamu malah membuatku melukainya,” lanjut pria itu.“Maaf!” Terdengar isakan kecil dari bibir Maharatu.“Kali ini aku memaafkanmu. Tapi tidak di lain hari. Ingat itu!” Setiap kata yang keluar dari mulut Bagas penuh penekanan dan peringatan.“Ratu janji tidak akan membuat kesalahan lagi.” Ratu mengangguk dan menunduk sangat dalam, tangannya meremas kuat-kuat roti yang dia pegang.“Pintar. Jadilah perempuan penurut maka semua yang ada di hidupmu akan baik-baik saja. Baik itu kariermu, uangmu, ataupun keluargamu.Aku harus pergi sekarang. Penerbanganku satu jam lagi. Jaga dirimu baik-baik!” Bagaskara melumat bibir Maharatu sebelum pergi.“Hati-hati!” lirih Maharatu yang terus menunduk, tidak berani menatap wajah suaminya. Rasa perih menjalari bibir tipisnya karena luka semalam ditambah lumatan kasar dari Bagaskara.Saat akan pergi Bagaskara berpapasan dengan Sasa di luar apartemen.“Selamat pagi, Om,” sapa Sasa.“Pagi! Baguslah kamu sudah datang, Sa. Pastikan, Ratu meminum obatnya dan tolong jaga dia selama aku pergi!” Bagas menginterupsi Sasa.“Baik, Om.” Sasa mengangguk. Di telepon Bagaskara memang bilang pada Sasa kalau Ratu demam.“Dari dulu, kamu memang selalu bisa diandalkan,” puji Bagaskara yang menepuk pundak Sasa.***Sasa masuk ke kamar Maharatu. “Astaga, Ra!” Sasa panik saat mendapati Ratu menggigil kedinginan di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dan hanya menampakkan mata bulatnya saja.Sasa menyentuh kening Ratu. “Badanmu panas sekali, Ra. Kita ke rumah sakit, ya.”“Tidak usah,” tolak Ratu dengan suara yang lirih.“Jangan keras kepala, Ra. Aku takut kamu kenapa-napa.”“Kamu mau, mereka melihat ini.” Ratu menyibak selimutnya, memperlihatkan bekas cekikan di leher dan pipinya yang membiru.“Astaga, Ratu!” Mata Sasa membola, wanita berambut pirang itu membekap mulutnya karena melihat bekas telapak tangan di leher Ratu. Sudut bibir artisnya itu juga terlihat membiru.“Panggil Dokter Frans saja!” pinta Ratu. Dokter Frans, dokter pribadi Bagaskara, yang biasa merawat bekas luka kdrt yang dialami Ratu.Langsung Sasa menghubungi Dokter Frans.“Bagas benar-benar keterlaluan,” geram Dokter Frans saat melihat kondisi Ratu yang memprihatinkan.“Kenapa kamu diam saja saat dijadikan samsak hidup, Ra…!” imbuh Dokter Frans yang memeriksa Maharatu.“Lalu saya harus bagaimana, Dok?” Ratu memaksakan diri untuk tersenyum. “Dokter tau sendiri bukan. Melawan Mas Bagas sama saja dengan bunuh diri,” imbuh Ratu.Dokter Frans membuang napas. “Aku sudah meresepkan beberapa obat dan vitamin. Untuk luka-lukamu aku juga sudah meresepkan salep khusus, oleskan secara teratur. Selang dua atau tiga hari, lebamnya akan berangsur hilang.”“Siap, Dok!”Dokter Frans geleng-geleng kepala. Dalam kondisi yang seperti ini pun, wanita muda di depannya masih bisa tersenyum.“Bagaimana keadaan Ratu, Dok?” cecar Sasa ketika Dokter Frans keluar dari kamar.“Tebus resep ini ke apotek terdekat. Pastikan dia meminum obatnya secara teratur. Sepertinya bukan hanya fisiknya saja yang lelah. Mentalnya juga.” Panjang lebar Dokter menjelaskan pada Sasa.“Entah kesalahan apa yang Ratu perbuat sampai Om Bagaskara semurka itu.” Sasa menatap pintu kamar Ratu.Dokter Frans duduk di sofa ruang tamu diikuti Sasa. “Kita berdua sama-sama mengenal Bagaskara cukup lama, Sa. Dari dulu dia memang suka bermain wanita. Tapi, ya itu… tidak pernah bertahan lama karena pria itu gampang bosan.Kukira tiga tahun lalu, saat dia menginginkan Ratu, nasib wanita muda itu akan sama seperti wanita-wanita lain. Dibuang setelah beberapa bulan. Aku benar-benar tidak menyangka, Bagaskara akan mengikat Ratu sangat lama. Bahkan bertahun-tahun.”“Kalau menurutku ini masalah ego, Dok. Seorang Bagaskara yang memiliki pengaruh besar di dunia entertain dan selalu berhasil mendapatkan wanita yang dia inginkan. Ditolak oleh seorang artis pendatang baru.”“Ditolak?!” Dokter Frans mengernyit.“Ya… awalnya Maharatu menolak Om Bagas, dia tidak mau jadi simpanan. Tapi karena Om Bagas mengancam akan menghancurkan kariernya ditambah dengan Sandra si wanita tua yang mata duitan itu. Si gadis malang itu, tidak punya pilihan lain… selain menerima Bagaskara,” jelas Sasa.“Dan satu lagi, Dok.” Sasa berbicara berbisik. “Om Bagas yang pertama membuka segel, Ratu.”“Ha…!” Dokter Frans terkejut. Di zaman sekarang masih ada perawan, pikirnya.***Ratu beringsut, tangannya terulur membuka laci meja rias. Jarinya menekan kode pada sebuah brangkas kecil. Mengeluarkan foto berwarna hitam putih. Mengusap foto itu lembut, membersihkan tetesan air mata yang jatuh diatasnya.Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah. Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra. “Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham. “Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan se
Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya. “Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya. Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah. Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.***Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop. Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.Sampai di rooftop, mata Danendra membo
Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu? Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.”Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa.Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah
Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Ratu masih menangis sesenggukan di lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di ranjang. “Mama rindu kamu, Sayang. Seandainya kamu masih ada.” Artis cantik itu hanya bisa mendekap foto USG hitam putih di dadanya. Dia meraih tas kecil di atas nakas karena suara ponsel yang terus berdering. “Pangeran,” gumam Ratu. Dia mengusap pipinya, menghentikan tangisnya, lalu menggeser ikon hijau di layar ponsel.“Hallo, Pangeran.” Kemampuan aktingnya kadang memang berguna di kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti saat ini. Suara Ratu terdengar ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, sedetik sebelumnya dia menangis histeris.“Hallo, Kak … Kak besok aku dan Ayah pulang,” tutur Pangeran yang terdengar bersemangat.“Benarkah! Bagaimana dengan terapi Ayah?” “Terapi Ayah berjalan dengan baik, Kak.”“Syukurlah,” ucap Maharatu lega.“Kami merindukan, Kakak.”“Kakak juga merindukan kalian.” “Kakak ingin berbicara dengan Ayah?” tanya Pangeran dari seberang sana.“Boleh,” ucap Maharatu.“Hallo, putri aya
“Ayah!” Ratu berhambur kepelukan Rahman. Bahkan karena bahagia Ratu tak kuasa menahan air matanya. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rahman yang sudah bisa berdiri dengan tongkat membuat Ratu sangat bahagia. Bagaimana tidak, selama empat belas tahun ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi kini, pria itu sudah bisa berdiri dan berjalan.Rahman mengurai pelukan putrinya, membelai lembut rambut Maharatu. “Kenapa menangis? Kamu tidak suka Ayah sembuh?” canda Rahman.“Justru Ratu menangis karena bahagia.” Ratu kembali memeluk ayahnya.“Terima kasih, ya, Sayang. Karena kamu Ayah bisa berdiri lagi,” ucap Rahman mengusap punggung Ratu.“Kenapa bilang seperti itu. Seharusnya Ratu yang berterima kasih karena Ayah sudah berusaha untuk sembuh.” Ratu masih terus terisak.“Kok, cuma pelukan berdua. Aku nggak diajak,” protes Pangeran.“Sini!” Ratu melambaikan tangannya.Mereka bertiga berpelukan. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sana ikut meneteskan air mata. Karena dia tahu bagaimana perjuang
"Cincin ini juga asli, Ra." Sasa mengamati cincin pemberian dari fans Ratu."Udah! Nggak usah dibahas lagi, Sa. Pokoknya selama ni orang nggak aneh-aneh, nggak usah diambil pusing." Ratu mengambil cincin bermata putih itu dari tangan Sasa lalu memasukkannya kembali ke dalam kotak. Entah mengapa perasaan Sasa tidak enak tentang orang yang menyebut dirinya 'pengagummu' ini.“Malam ini kita pulang ke apartemen, Ndra,” kata Ratu pada Endra setelah mengantarkan Sasa pulang.“Baik, Non.”Ratu mengangkat ponselnya yang berdering. “Hallo, Mas.” Ratu menerima telpon dari Bagas, tapi menurut Endra ada yang aneh dengan ekspresi nonanya. Karena, nonanya hanya menatap kosong ke luar mobil. Dan menyahut setiap perkataan suaminya tanpa ekspresi.“Sebentar lagi, Ratu sampai.” Endra diam-diam terus memperhatikan gerak-gerik Ratu dari rear-vision mirror. Nonanya terlihat seperti menahan sesuatu yang berat. Terbukti setelah menutup panggilan dari Bagaskara, nonanya beberapa kali menghembuskan napas d