Jantung Ratu seakan berhenti berdetak, sebuah tangan kekar melingkar posesif di perutnya yang rata. Dari suara, dan aroma parfumnya, Ratu mengenali pemiliknya.
Kenapa Bagas kembali secepat ini. Biasanya pria itu akan menghabiskan waktu berhari-hari bila menyangkut kesenangan Hanum –putri kesayangannya. Pikiran Ratu terus berkelindan.Susah payah Ratu menelan salivanya. “Sangat. Pagi harus syuting, sore pemotretan, dan malammya ada talkshow di SME TV.”Sebisa mungkin Ratu menyembunyikan rasa takutnya. Dia mengusap perlahan lengan Bagas.“Aku merindukanmu, Ra.” Pria berjambang tipis itu mulai menyusuri leher jenjang Ratu.Ratu segera mematikan kompornya. Dia berbalik arah, mengalungkan tangannya di leher Bagas. Maharatu terus menunduk, berharap Bagas tidak melihat tanda di lehernya.Bagas memegang dagu Ratu agar istrinya mendongak. Bagaskara menyentuh bibir Ratu, memberi kecupan perlahan yang lama-kelamaan semakin menuntut. Dia terus mencumbu istrinya, leher Ratu menjadi sasaran berikutnya.“Ini apa?” Cumbuan Bagas seketika berhenti.Tatapan Bagas berubah nyalang, ada pria lain yang berani menandai wanitanya. Tangan yang semula memberikan sentuhan lembut, berubah kasar. Bagas mencekik leher Ratu.Napas Ratu tercekat, wanita itu berusaha melepaskan cengkraman tangan suaminya. Namun, tentu tenaganya tidak sebanding.“A … ampun … M … Mas!”Suara Ratu terbata dan sangat lirih. Pasokan udara yang mengalir semakin berkurang. Wajahnya yang putih terlihat semakin putih. Bibirnya memucat.Air matanya sudah membasahi pipi. “Kumohon Tuhan jangan ambil nyawaku sekarang. Ayah dan Pangeran masih membutuhkanku.” Lantunan doa terus Ratu ucap di dalam hati.Melihat Ratu yang sudah mulai lemas, Bagas melepaskan cekikannya disertai dorongan kasar.Tubuh Ratu terjerembab ke lantai.“Uhuk … uhuk ….” Ratu memegangi lehernya yang terasa sakit.Bagas berjongkok dengan salah satu tangan bertumpu di paha. Sementara satu tangan lagi mencengkram rahang Ratu. “Kamu berniat mengkhianatiku, perempuan murahan?”“Sumpah Mas, tidak. Sedikit pun aku tidak punya niatan itu.” Air mata Ratu mengucur deras.“Lalu ini apa. Hah!” bentak Bagas sembari menekan tanda di leher istri sirinya.“Semalam saat Mas bilang tidak jadi bertemu di klub. A–aku masuk kedalam klub. Lalu saat aku tidak sadarkan diri, seorang pria asing membawaku ke hotel. Tapi Ratu bersumpah, tidak terjadi apa–.”Ratu memegangi pipinya yang terasa panas. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.“Kamu kira aku bodoh!” Tangan Bagas beralih menjambak rambut Ratu hingga perempuan itu mendongak.“Ampun … Mas … ampun.” Tangan Ratu menangkup, wanita itu terus memohon pada suaminya. “Kalau Mas masih meragukan Ratu. Ayo kita ke rumah sakit. Kita lakukan visum.”Bagas memutar bola matanya, lalu tersenyum sinis. “Tidak perlu. Biar aku sendiri yang membuktikannya.”Pria yang memiliki tinggi 170 centi meter itu menarik kuat-kuat rambut Maharatu hingga wanita itu berdiri.Ratu memegangi tangan sang suami, berharap tarikan di rambutnya akan sedikit mengendur dan mengurangi rasa sakitnya.Dengan kasar Bagas menyeret Ratu ke kamar mereka lalu melempar tubuh Maharatu ke atas ranjang. "Layani, aku!"Bagaskara melampiaskan amarah dan hasrat secara bersamaan pada tubuh ringkih istrinya.Sudut mata Ratu terus merembeskan air. Fisik yang sakit dan jiwa yang terkoyak melebur jadi satu.***Napas Danendra terengah-engah karena mengitari area luar SME TV untuk mencari wanita yang semalam menemaninya tidur. Seratus persen dia yakin aroma mawar yang tertinggal di dalam lift adalah aroma wanita yang semalam. Tapi, sayang wanita itu tidak ada dimanapun.Danendra meraup kasar wajah tampannya. Sadar usahanya sia-sia, Danendra berjalan gontai memasuki gedung SME TV.Ruangan yang Danendra tuju ada di lantai lima, ruangan CEO SME TV, Sanjaya– papanya.“Papa harus jaga kesehatan. Jangan kebanyakan lembur," kata Danendra saat memasuki ruangan papanya. Pria berhidung mancung itu duduk di depan meja kerja Sanjaya.“Kalau mau Papa nggak lembur. Seharusnya kamu bantu Papa urus perusahaan.” Sanjaya melepas kacamatanya, memijat pelipisnya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi.“Pasti Danen bantu, tapi nanti,” ucap Danendra sembari memainkan bolpoin di sela jari.“Nanti… nanti… kapan? Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi sampai keluar negeri bukan untuk jadi pengangguran.”“Sebentar lagi… mungkin.” Alis Danendra terlihat naik.“Kalau belum mau membantu Papa di sini, setidaknya benahi penampilanmu, Danen. Rambut gondrong, brewokan, bikin mata Papa sakit. Belum lagi pakaianmu ini.” Sanjaya menunjuk Danendra dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Uh… Kaos oblong, jaket denim yang entah berapa lama tidak kamu cuci. Dan apa kamu kekurangan uang sampai beli celana saja tidak sanggup,” imbuh Sanjaya yang merasa risih putranya memakai celana bolong-bolong.“Ini fashion, Pa. Justru pria yang berpenampilan seperti Danen ini lah yang digandrungi para wanita jaman sekarang. Dan satu lagi… Danen bukan pengangguran. Danen ini seorang pelukis,” kilah Danendra.“Berhentilah bermain-main Danendra! Papa tidak melarangmu melukis atau menikmati masa mudamu. Papa hanya minta satu. Mulailah berpikir tentang SME TV. Banyak orang menggantungkan hidupnya pada perusahaan kita.” Sanjaya mencoba memberikan pengertian pada putranya.“Danen tau. Tapi, untuk saat ini Danendra benar-benar belum siap, Pa.” Lagi-lagi Danendra menolak permintaan sang Papa.“Setidaknya belajar dulu. Kalau menunggu kamu siap sampai lebaran monyet juga tidak siap,” cerocos Sanjaya.“Em… Pa. Di dalam lift ada CCTV-nya tidak?”Dahi Sanjaya mengernyit. “Kenapa tanya seperti itu?”“Danen ingin melihat rekaman CCTV-nya.” Danendra nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“Ada. Kenapa tanya-tanya?!” Ada-ada saja kelakuan Danendra yang menurut Sanjaya tidak masuk akal.“Penting!”"Seberapa penting?" tanya Sanjaya."Sangat penting," jawab Danendra.“Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini, Danendra.” Alis Sanjaya naik turun.Danendra berdecak kesal, matanya memicing. “Ck… sama anak sendiri perhitungan.”“Kalau anaknya seperti kamu yang selalu membuat naik darah, ya, semuanya harus diperhitungkan,” pungkas Sanjaya.“Baiklah. Dengan cara apa Danen harus membayar rekaman itu.” Demi meyakinkan diri bahwa wanita yang berada di dalam lift adalah wanita yang dia cari, Danendra terpaksa menyerah pada papanya.“Besok pagi, datang kemari dengan pakaian yang rapi. Ikut Papa rapat tertutup dengan para pemegang saham.”“Sip.” Danendra semringah, dua jempolnya melayang ke udara. “Sekarang ayo kita ke ruangan CCTV!” Satu-satunya pewaris utama SME TV itu bangkit dari duduknya.“Eh… tidak semudah itu anak muda,” sergah Sanjaya.“Maksud Papa.” Perasaan Danendra tidak enak.“Rekaman itu akan kamu dapatkan setelah selesai rapat.” Senyuman di bibir Sanjaya nampak menyebalkan di mata Danendra.“Tapi, Pa… Danen kan sudah setuju ikut rapat,” rajuk pria brewokan itu.“Papa tidak mau ambil resiko. Bisa saja besok kamu ingkar janji setelah mendapat rekaman itu.""Tidak, Pa. Danen tidak akan ingkar janji." Wajah Danendra memelas."Sudahlah, sekarang ayo kita pulang ke rumah Mama pasti sudah menunggu Papa.” Sanjaya bangkit dari kursi kebesarannya, merangkul pundak sang putra.“Aku mau pulang ke apartemenku saja,” tolak Danendra.“Kalau begitu perjanjian kita batal.” Sanjaya berlalu meninggalkan Danendra yang masih mematung.“Papa. Tunggu!” Danendra berlari mengejar langkah Papanya.Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu. “Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.” Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan g
Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah. Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra. “Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham. “Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan se
Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya. “Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya. Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah. Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.***Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop. Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.Sampai di rooftop, mata Danendra membo
Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu? Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.”Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa.Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah
Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Ratu masih menangis sesenggukan di lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di ranjang. “Mama rindu kamu, Sayang. Seandainya kamu masih ada.” Artis cantik itu hanya bisa mendekap foto USG hitam putih di dadanya. Dia meraih tas kecil di atas nakas karena suara ponsel yang terus berdering. “Pangeran,” gumam Ratu. Dia mengusap pipinya, menghentikan tangisnya, lalu menggeser ikon hijau di layar ponsel.“Hallo, Pangeran.” Kemampuan aktingnya kadang memang berguna di kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti saat ini. Suara Ratu terdengar ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, sedetik sebelumnya dia menangis histeris.“Hallo, Kak … Kak besok aku dan Ayah pulang,” tutur Pangeran yang terdengar bersemangat.“Benarkah! Bagaimana dengan terapi Ayah?” “Terapi Ayah berjalan dengan baik, Kak.”“Syukurlah,” ucap Maharatu lega.“Kami merindukan, Kakak.”“Kakak juga merindukan kalian.” “Kakak ingin berbicara dengan Ayah?” tanya Pangeran dari seberang sana.“Boleh,” ucap Maharatu.“Hallo, putri aya
“Ayah!” Ratu berhambur kepelukan Rahman. Bahkan karena bahagia Ratu tak kuasa menahan air matanya. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rahman yang sudah bisa berdiri dengan tongkat membuat Ratu sangat bahagia. Bagaimana tidak, selama empat belas tahun ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi kini, pria itu sudah bisa berdiri dan berjalan.Rahman mengurai pelukan putrinya, membelai lembut rambut Maharatu. “Kenapa menangis? Kamu tidak suka Ayah sembuh?” canda Rahman.“Justru Ratu menangis karena bahagia.” Ratu kembali memeluk ayahnya.“Terima kasih, ya, Sayang. Karena kamu Ayah bisa berdiri lagi,” ucap Rahman mengusap punggung Ratu.“Kenapa bilang seperti itu. Seharusnya Ratu yang berterima kasih karena Ayah sudah berusaha untuk sembuh.” Ratu masih terus terisak.“Kok, cuma pelukan berdua. Aku nggak diajak,” protes Pangeran.“Sini!” Ratu melambaikan tangannya.Mereka bertiga berpelukan. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sana ikut meneteskan air mata. Karena dia tahu bagaimana perjuang
Danendra dan Maharatu sedang menikmati kebersamaan di ruang tamu. Keduanya menonton film bersama dengan kepala Maharatu yang berada di pangkuan Danendra. “Suamimu akhir-akhir ini sering sekali berkunjung, Ra?” tanya Danendra yang mengusap-usap rambut Maharatu. “Ndra….” Maharatu mengelus rahang Danendra. Menatap manik kekasihnya dalam-dalam. Seolah berkata kalau saat ini dia tidak ingin membahas tentang Bagaskara. Danendra membuang napas kasar. “Aku cemburu, Ra!” kata Danendra membuang muka.Maharatu bangkit dari posisinya. Ditangkupnya wajah Danendra, agar mata keduanya saling bertemu.“Aku tau kamu cemburu, tapi untuk saat ini aku belum bisa lepas dari Mas Bagas, beri waktu aku sedikit lagi.”Danendra melepaskan tangan Maharatu dari rahangnya dengan kasar. “Sedikit lagi … sedikit lagi … itu terus Ra yang kamu katakan sejak enam bulan lalu. Aku ini lelaki biasa yang juga punya rasa cemburu. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dijamah oleh Bagaskara!” Suara Danendra yang bia
“Kamu mau kemana, Sandra?” Rahman yang baru keluar dari kamarnya tertatih-tatih menghampiri sang istri yang membawa dua koper besar.“Mau pergi dari sini,” sarkas Sandra yang terus melangkah tanpa menghiraukan suaminya.Rahman mempercepat langkahnya, meski masih terpincang-pincang karena memang kondisinya yang belum sembuh sempurna. “Pergi kemana?” Tangan Sandra dicekal oleh Rahman. “Lepasin!” Dengan kasar Sandra mengibaskan tangan suaminya. “Yang jelas sejauh mungkin. Karena aku tidak mau kembali hidup kere sama kalian seperti dulu.”Dahi Rahman berkerut. Hidup kere bagaimana? Saat ini hidup mereka bahkan bisa dibilang bergelimang harta. “Lihatlah semua ini Sandra. Kita bergelimang harta sekarang?”“Ya, sekarang, tapi sebentar lagi kita akan jadi kere seperti dulu. Karena anak perempuanmu itu main-main dengan Bagaskara,” ujar Sandra dengan bersungut-sungut. “Bicaramu semakin tidak jelas.”“Kalau ingin lebih jelas, nanti tanya pada putrimu itu.” Sandra memegang kedua kopernya hen
“Maaf.” Maharatu memeluk tubuh Danendra dari belakang. Pria itu sedang berada di balkon, melukis sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang mencerminkan perasaannya saat ini.Danendra memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mencabik-cabik di hati. Karena pelukan kekasihnya. Pelukan yang Danendra tahu pasti sebabnya.Danendra meletakkan kuasnya. Tangannya menyentuh tangan Maharatu dengan lembut, berniat melepaskan pelukan Maharatu sejenak sebelum berbalik badan. Namun, Maharatu justru semakin mengeratkan pelukannya.“Jangan berbalik, kumohon,” lirih Maharatu dengan suara parau, “biarkan seperti ini. Aku masih ingin memelukmu, Ndra.”Hening, tidak ada suara. Hingga setelah beberapa saat, terdengar isakan kecil dari Maharatu. Danendra dapat merasakan kaos yang dipakainya basah di bagian belakang. Wanitanya sedang menangis. Tak tahan mendengar isakan Maharatu yang semakin menyayat hati. Danendra melepas pelukan Maharatu, berbalik badan lalu membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. “T
Maharatu mengembuskan napas panjang. Dari pantulan cermin dapat dia lihat, Sandra sudah berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Maharatu lalu berbalik badan. “Kenapa pagi-pagi sekali Mama sudah berdiri di situ. Jatah bulanan yang kukasih, kurang? Tapi, maaf Ma. Ratu nggak bisa kasih Mama credit card lagi,” ujar Maharatu. “Ck!” Sandra berdecak membuang muka ke samping sejenak lalu menatap wajah putrinya dengan amarah yang berkobar. “Apa kamu pikir setiap Mama datang padamu selalu karena uang?” bibir Sandra mencebik, tak terima dengan praduga Maharatu. “Tentu saja, karena sejak dulu Mama memang begitu. Selalu uang … uang … dan uang,” ketus Maharatu dengan senyum mengejek. “Terserah kamu, Ra, mau berpikir bagaimana. Mama hanya ingin memperingatkanmu?” Dahi Maharatu berkerut. “Untuk?!” Kini giliran Sandra yang tersenyum mengejek. “Jangan main-main dengan Bagaskara. Semalam Mama lihat kamu keluar dari kamar Endra!” Deg! Maharatu kaget dengan perkataan mamanya. Sial sekali bagin
“Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang
Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan
Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa