Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.
Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah.Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra.“Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham.“Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan senyum yang menawan.Bangga, itu yang Sanjaya rasakan. Dia tidak menyangka dibalik penampilannya yang urakan. Ternyata putranya masih mengedepankan sopan santun.***“Sekarang waktunya Papa menepati janji.” Danendra duduk di sofa ruangan papanya.“Janji apa?” Sanjaya pura-pura lupa.“Ck… Papa jangan sok pikun. Nanti pikun beneran, lho.”“Iya… iya… Papa ingat,” ucap Sanjaya kesal lalu pria itu menghubungi seseorang. Mulut putranya itu kadang sulit dikondisikan.Tidak beberapa lama terdengar pintu diketuk.“Masuk!” titah Sanjaya.“Bos memanggil saya.” Seorang pria berjas rapi masuk ke dalam ruangan.“Ajak pria muda ini ke ruangan CCTV!”“Pria muda. Putra… Pa… putra,” gerutu Danendra yang bangkit dari sofa.“Kalau kamu sudah duduk di kursi ini baru Papa anggap putra,” kelakar pria setengah baya itu.“Terserah Papa.” Danendra memasukkan tangannya ke kantong celana.“Mari ikuti saya, Tuan Muda!”Danendra mengekor di belakang pria yang bekerja sebagai asisten pribadi papanya itu. Keduanya pun sampai di ruangan CCTV.“Tunjukkan rekaman CCTV yang Tuan Muda minta,” titah Anto–asisten pribadi Sanjaya– pada petugas CCTV.“Baik, Pak Anto. Tuan Muda ingin melihat rekaman CCTV yang mana?” Petugas itu menatap kearah Danendra.Danendra menatap tajam pada Anto. “Paman kenapa masih di sini?!”“Maaf. Kalau begitu saya undur diri, Tuan Muda.”Setelah Anto keluar dari ruangan itu. Pria berambut gondrong itu mendekat ke arah layar komputer. Tangannya bertumpu pada meja. “Tunjukkan padaku rekaman di lift lantai satu! Rekaman semalam. Kira-kira jam sepuluhan,” perintah Danendra.Si petugas mengetikkan sesuatu di keyboard lalu menggeser cursor. Satu per satu rekaman diputar.“Stop.” Bibir Danendra melengkung. “Kamu kenal siapa wanita ini?” tanya Danendra penasaran.“Semua orang mengenalnya, Tuan Muda.” Si petugas tersenyum melihat wajah ayu yang ada di rekaman CCTV.“Siapa memangnya dia?” Alis Danendra saling bertaut.“Maharatu, artis cantik yang karirnya selalu bersinar.”Saat menatap wajah si petugas, kepala Danendra bersungut-sungut karena melihat mata si petugas yang berbinar saat melihat wajah Maharatu.“Ya, sudah! Sekarang kembali bekerja!” bentak putra Sanjaya pada si petugas.“Ah… iya, Bos… eh Tuan Muda.”Danendra mengetuk-ngetuk setir mobilnya. “Jadi dia artis.” Pria berusia 27 tahun itu memang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia, wajar bila dia tidak mengenal Maharatu meskipun, wanita itu seorang artis.Rasa penasaran semakin mengusik hati Danendra, dia mencari nomor di ponselnya lalu menghubungi seseorang.“Hallo. Aku ingin informasi tentang Maharatu. Se…mu…a…nya! selengkap mungkin!” titah Danendra penuh penekan.Setelah panggilan terputus, Danendra mencari di laman pencarian tentang Maharatu. Semua potret Maharatu dengan berbagai pose tersaji lengkap.“Lebih cantik aslinya.” Danendra senyum-senyum sendiri sambil mengusap-usap dagunya.***Setelah minum obat yang diresepkan Dokter Frans, Ratu merasa lebih baik. Ratu memandang Sasa yang terlelap di sampingnya.Ratu beringsut perlahan, dia butuh udara segar. Dan di sinilah Ratu berada, di rooftop apartemen. Udara dingin yang menusuk kulit membuat Ratu berjalan sembari menggosok-gosok lengannya. Mata bulatnya mencari-cari sesuatu.“Ketemu.” Ratu mengambil tangga kecil di belakang penampungan air, menggunakannya untuk naik ke pembatas gedung.Ratu duduk dengan kaki berayun-ayun. Keindahan lampu kota terlihat jelas dari atas sini. Sang artis menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk sebuah lingkaran lalu menempelkannya di mata kanan. Seolah dia sedang melihat menggunakan teropong.Dia berfokus pada sebuah mall yang cukup besar. Di sana, empat belas tahun lalu. Sebelum mall itu dibangun ada banyak bedeng-bedeng persegi, berdinding papan dengan tambalan koran dimana-mana, berjajar rapi membentuk pemukiman kumuh.“Bu, Ratu lapar.” Ratu kecil mengelus perutnya yang melilit.Kadang Ratu tertawa geli saat Sandra minta dipanggil Mama hanya karena Ratu terjun di dunia entertain.“Ibu nggak masak. Ayahmu nggak kasih uang!” sarkas Sandra.“Tapi… Ratu sama Adek lapar, Bu.” Ratu memeluk Pangeran yang terus menangis kelaparan.“Makanya bilang sama Ayahmu, cari kerja yang bener. Biar bisa ngasih kalian makan,” ujar Sandra yang sibuk dengan kuku-kukunya.Namun, hari itu ayah Ratu pulang tanpa membawa apapun. Cinta pertamanya justru pulang dengan keadaan takberdaya. Rahman pulang dibopong teman-temannya sesama kuli. Dia mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya harus duduk di kursi roda hingga saat ini.Sandra memutar otak agar bisa makan. Bukannya mencari pekerjaan, dia justru menyuruh Ratu dan Pangeran mengamen di lampu merah. Seorang fotografer tanpa sengaja menangkap kecantikan Maharatu.Bagai ketiban durian runtuh, Sandra begitu bahagia saat fotografer itu menawari Maharatu untuk menjadi model cilik.Mulai hari itu Ratu hanya tahu bekerja dan bekerja. Semua hasil keringatnya dikuasai Sandra.Ketamakan Sandra semakin menjadi tiga tahun lalu. Saat Maharatu mendapat peran pertamanya di sebuah film.Saat itu Ratu menjadi salah satu pemain pendukung yang beradu akting langsung dengan Bagaskara. Berperan sebagai sepasang kekasih, mengharuskan Ratu beradegan mesra dengan Bagaskara.“Aku suka ciumanmu,” bisik Bagaskara di sela-sela syuting yang membuat Ratu berkeringat dingin.Ratu yang sebelumnya mendengar desas-desus bahwa Bagaskara senang bermain wanita mulai menjaga jarak.Sadar, Ratu sengaja menjaga jarak dengannya membuat Bagaskara murka. “Jangan panggil aku Bagaskara bila mendapatkanmu saja tidak bisa, Ratu,” ancam Bagaskara dengan mata yang terus tertuju pada Ratu.Seminggu setelah pembuatan film selesai, Sandra membawa kabar yang meruntuhkan dunia Maharatu.“Bagaskara menginginkanmu, Ra.”“Maksud Mama, apa?” Ratu tidak paham maksud perkataan mamanya.“Bagaskara ingin kamu jadi simpanannya,” ujar Sandra to the point.“Ratu nggak mau! Om Bagas itu sudah beristri, Ma!” tolak Ratu mentah-mentah.“Dengar dan pikirkan baik-baik. Bagaskara bukan orang sembarangan di dunia entertain. Dia punya kuasa yang bisa melejitkan nama seseorang, tetapi juga bisa menenggelamkan nama seseorang dalam sekali kedip.Jadi, bisa dipastikan karirmu akan tamat bila menolaknya,” tukas Sandra.“Tidak apa-apa karirku tamat, Ma. Yang penting harga diriku tidak,” kata Ratu tegas.“Ya … memang tidak masalah bila karirmu tamat. Tidak masalah sama sekali, Ratu! Tapi ingat satu hal. Bila karirmu benar-benar tamat.Bersiaplah kembali ke tempat kumuh dan kelaparan. Dan lupakan semua pengobatan Ayahmu yang tidak berguna itu. Satu lagi, biarkan Pangeran sepertimu … tidak berpendidikan,” tukas Sandra yang geram dengan sikap sok idealis putrinya.Pada akhirnya, Ratu menyerahkan dirinya pada Bagaskara. Menjadi istri simpanan. Bagi Ratu tidak masalah bila hidupnya hancur yang terpenting ayahnya bisa melanjutkan pengobatan dan adiknya –Pangeran– bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin.Tiga tahun lalu selain Maharatu yang hancur, Rahman juga hancur. Pria itu harus menjabat tangan pria yang hanya terpaut usia enam tahun dengannya untuk menjadi suami siri putrinya.“Maafkan, Ayahmu yang tidak berguna ini, Ra.” Rahman terisak di pelukkan putrinya.Sementara, Pangeran menatap nanar pemandangan di depan matanya. Remaja itu mengepalkan tinju. “Pangeran berjanji suatu saat nanti akan membebaskan Kakak dari Bagaskara.”***Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Ratu berdiri di pembatas gedung. Dia merentangkan tangan, menikmati dinginnya angin malam yang bertiup membelai tubuhnya dan menerbangkan rambut panjangnya. Tapi, tiba-tiba seseorang menarik tangannya hingga dia terjatuh.Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya. “Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya. Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah. Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.***Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop. Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.Sampai di rooftop, mata Danendra membo
Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu? Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.”Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa.Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah
Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Ratu masih menangis sesenggukan di lantai. Dia menyandarkan tubuhnya di ranjang. “Mama rindu kamu, Sayang. Seandainya kamu masih ada.” Artis cantik itu hanya bisa mendekap foto USG hitam putih di dadanya. Dia meraih tas kecil di atas nakas karena suara ponsel yang terus berdering. “Pangeran,” gumam Ratu. Dia mengusap pipinya, menghentikan tangisnya, lalu menggeser ikon hijau di layar ponsel.“Hallo, Pangeran.” Kemampuan aktingnya kadang memang berguna di kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti saat ini. Suara Ratu terdengar ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, sedetik sebelumnya dia menangis histeris.“Hallo, Kak … Kak besok aku dan Ayah pulang,” tutur Pangeran yang terdengar bersemangat.“Benarkah! Bagaimana dengan terapi Ayah?” “Terapi Ayah berjalan dengan baik, Kak.”“Syukurlah,” ucap Maharatu lega.“Kami merindukan, Kakak.”“Kakak juga merindukan kalian.” “Kakak ingin berbicara dengan Ayah?” tanya Pangeran dari seberang sana.“Boleh,” ucap Maharatu.“Hallo, putri aya
“Ayah!” Ratu berhambur kepelukan Rahman. Bahkan karena bahagia Ratu tak kuasa menahan air matanya. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rahman yang sudah bisa berdiri dengan tongkat membuat Ratu sangat bahagia. Bagaimana tidak, selama empat belas tahun ayahnya hanya bisa duduk di kursi roda. Tapi kini, pria itu sudah bisa berdiri dan berjalan.Rahman mengurai pelukan putrinya, membelai lembut rambut Maharatu. “Kenapa menangis? Kamu tidak suka Ayah sembuh?” canda Rahman.“Justru Ratu menangis karena bahagia.” Ratu kembali memeluk ayahnya.“Terima kasih, ya, Sayang. Karena kamu Ayah bisa berdiri lagi,” ucap Rahman mengusap punggung Ratu.“Kenapa bilang seperti itu. Seharusnya Ratu yang berterima kasih karena Ayah sudah berusaha untuk sembuh.” Ratu masih terus terisak.“Kok, cuma pelukan berdua. Aku nggak diajak,” protes Pangeran.“Sini!” Ratu melambaikan tangannya.Mereka bertiga berpelukan. Pelayan yang sedari tadi berdiri di sana ikut meneteskan air mata. Karena dia tahu bagaimana perjuang
"Cincin ini juga asli, Ra." Sasa mengamati cincin pemberian dari fans Ratu."Udah! Nggak usah dibahas lagi, Sa. Pokoknya selama ni orang nggak aneh-aneh, nggak usah diambil pusing." Ratu mengambil cincin bermata putih itu dari tangan Sasa lalu memasukkannya kembali ke dalam kotak. Entah mengapa perasaan Sasa tidak enak tentang orang yang menyebut dirinya 'pengagummu' ini.“Malam ini kita pulang ke apartemen, Ndra,” kata Ratu pada Endra setelah mengantarkan Sasa pulang.“Baik, Non.”Ratu mengangkat ponselnya yang berdering. “Hallo, Mas.” Ratu menerima telpon dari Bagas, tapi menurut Endra ada yang aneh dengan ekspresi nonanya. Karena, nonanya hanya menatap kosong ke luar mobil. Dan menyahut setiap perkataan suaminya tanpa ekspresi.“Sebentar lagi, Ratu sampai.” Endra diam-diam terus memperhatikan gerak-gerik Ratu dari rear-vision mirror. Nonanya terlihat seperti menahan sesuatu yang berat. Terbukti setelah menutup panggilan dari Bagaskara, nonanya beberapa kali menghembuskan napas d
“Wah, gila. Bagus juga apartemen yang kamu tempati, Danen,” puji Nick setelah masuk ke dalam unit Endra. Endra alias Danendra geram bukan main pada Nick, bisa-bisanya sahabatnya itu datang kemari. Saking geramnya Danendra memukul kepala Nick. “Ngapain kamu ke sini, Dodol!” “Aduh, sakit, anjing!” umpat Nick memegangi kepala bagian belakang. “Salah sendiri cari gara-gara.” “Cari gara-gara?!” Nick tersenyum kecut lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa ruang tamu. “Apa mengunjungi sahabat itu cari gara-gara?” “Kalau kamu mengunjungiku di rumah atau di apartemenku sendiri jelas tidak. Tapi, kamu … mengunjungiku di sini, Nick.” “Apa bedanya?” “Jelas beda, ini tempat Bagaskara. Bisa gawat kalau dia melihatmu di sini.” “Dia nggak akan ke sini karena dia sedang mengarungi indahnya surga dunia di unit sebelah.” Nick menaik-turunkan alisnya. “Sok tau,” dengkus Danendra. Membayangkan Bagaskara mencumbu Maharatu, darah Danendra mendidih. Mungkinkah dia cemburu. Danendra i