Wajah Bagaskara perlahan mulai memudar dan berganti dengan wajah lain. “Kamu siapa?!” Maharatu mendorong tubuh Danendra sekuat mungkin, hingga Danendra jatuh dari atas ranjang.
“Aw!” Danendra mengusap bokongnya. “Kuat sekali tenaganya,” imbuh Danendra.Sementara, Maharatu berdiri di atas ranjang dengan tubuh sempoyongan. “Kamu mau memperkosaku, ya!” Jari Maharatu menunjuk ke arah Danendra.“Enak saja. Kamu sendiri yang mengajakku ke sini, Nona,” sahut Danendra.“Bohong!” Maharatu memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri, perutnya juga mulai bergejolak.Wanita berkulit putih itu berlari ke kamar mandi dengan tangan yang membekap mulutnya sendiri lalu mengunci kamar mandi dari dalam.Maharatu mengeluarkan semua isi perutnya. “Pusing sekali.” Maharatu sesekali memukul kepalanya sendiri. Dia berjalan gontai ke arah bathtub. Membaringkan tubuhnya di sana lalu memejamkan mata.Suara Maharatu yang muntah-muntah sudah tidak terdengar lagi dari luar. Namun, Danendra heran. Kenapa wanita itu tidak kunjung keluar dari kamar mandi?Danendra memutar pegangan pintu. “Dikunci,” rutuk Pria gondrong itu.Sudah hampir satu jam Maharatu di dalam sana. “Nona buka pintunya!” Danendra terus berteriak dan mengetuk pintu kamar mandi, tapi tetap tidak ada jawaban.“Jangan-jangan wanita itu pingsan!” Danendra mondar-mandir di depan kamar mandi. “Bagaimana ini.” Danendra segera mengenakan kembali pakaiannya.Tidak ada pilihan lain. Dengan alasan istrinya ngambek lalu mengunci diri di kamar mandi, Danendra berhasil mendapatkan kunci cadangan dari resepsionis.“Bisa-bisanya dia tidur.” Danendra berkacak pinggang di depan bathtub.Ingin marah, tapi wajah ayu yang terlihat damai di depannya mampu meredam amarahnya. Secara perlahan, Danendra mengangkat tubuh Maharatu, memindahkannya ke ranjang.Hasrat yang semula menggebu perlahan luntur. Anak rambut yang menutupi wajah Maharatu disingkirkan perlahan oleh Danendra. Dia menyelimuti tubuh wanita di sampingnya lalu ikut masuk kedalam selimut.Danendra memiringkan tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada tangan. “Disaat banyak wanita ingin tidur di ranjangku. Kamu malah memilih tidur di kamar mandi.”Satu kecupan yang mendarat di kening membuat Maharatu menggeliat.“Kamu unik dan aku suka.” Danendra membawa tubuh Maharatu kedalam dekapannya.Suara alarm ponsel yang terus berdering membuat mata Maharatu mengerjap. Dia memijat pelipisnya, kepalanya masih terasa sedikit pusing.Pandangan Maharatu menyapu seluruh ruangan yang nampak asing. Ini bukan kamarnya. Ratu merentangkan kedua tangan, alisnya menyatu saat merasakan sesuatu yang berat di perut.Maharatu menoleh ke samping lalu membekap mulutnya. Siapa pria asing yang tidur di sampingnya.“Ah, sial! Bisa-bisanya kamu tidur dengan pria asing Ratu. Apa kamu cari mati?” maki Ratu pada dirinya sendiri. Ratu beringsut, meraba tubuhnya sendiri. Memastikan semalam tidak terjadi apapun antara mereka.“Huh… sepertinya tidak terjadi apapun. Buktinya pakaianku masih lengkap,” ucap Ratu lega.Dengan gerakan perlahan Ratu menyingkap selimut yang menutupi tubuh. Jantung Maharatu seakan ingin lepas saat pria di sampingnya bergerak.“Huh… aman.” Ratu bernapas lega. Ternyata pria di sampingnya hanya merubah posisi tidur menjadi tengkurap.Cepat-cepat Maharatu memakai masker dan kacamatanya lalu pergi dari kamar hotel. Beruntung keadaan hotel masih sepi.Kebiasaan Maharatu menyetel alarm di jam empat pagi rupanya ada bagusnya juga.Maharatu naik taksi menuju klub X untuk mengambil mobilnya.Sampai di apartemennya Maharatu segera membersihkan diri. Menggosok gigi berkali-kali guna menghilangkan bau alkohol yang mungkin saja masih tertinggal.Maharatu memilih celana cutbray yang dipadukan dengan crop top putih untuk pergi syuting.Sebelum berangkat Maharatu menyempatkan sarapan dengan sepotong roti dan segelas jus jeruk. Mendengar suara bel, Maharatu setengah berlari ke pintu depan.“Pagi,” sapa Sasa, asistennya.“Pagi juga. Sarapan yuk!” Ratu menarik tangan Sasa masuk ke dalam.Mata Sasa sedikit menyipit, dia menyibak rambut Maharatu yang tergerai. Lalu tertawa kecil. “Om Bagas memang ganas,” kelakar Sasa.“Hah?” Maharatu menaikan alisnya. Tidak mengerti maksud perkataan Sasa.“Ini!” Sasa menyentuh bekas keunguan di leher Ratu.Wajah Ratu berubah panik. Dia membuka kamera ponselnya, mengarahkan kamera ke lehernya. “Brengsek!” umpat Maharatu dalam hati. Sasa tidak boleh tahu kejadian semalam. Bagaimana pun juga Sasa orang kepercayaan Bagaskara.“Ya, kamu tau sendiri, ‘kan. Bagaimana Mas Bagas.” Maharatu pura-pura tersenyum agar Sasa tidak curiga.Ratu menutupi bekas keunguan di lehernya dengan makeup, pasalnya pernikahannya dengan Bagaskara adalah pernikahan rahasia. Hanya orang terdekat saja yang tahu tentang pernikahan keduanya.***“Ra, ini … anu….” Sasa berbicara terbata.Maharatu sedang istirahat di sela syuting. Wanita itu sibuk membaca skrip untuk adegan berikutnya. “Apaan, sih, Sa,” geram Maharatu. Perkataan Sasa yang berbelit-belit mengganggu konsentrasinya.Sasa menyodorkan ponsel miliknya. Sebuah notifikasi membuat Maharatu memijat pangkal hidungnya. “Setelah ini ada jadwal apa lagi?”“Pemotretan untuk produk kecantikan tapi agak sorean, sih,” Sasa memandangi iPad di tangannya.“Jadi kita masih punya sedikit waktu?”“Iya,” jawab Sasa.“Kita ke rumah sebentar. Kebetulan hari ini Ayah dan Pangeran masih di luar kota untuk terapi Ayah,” ujar Maharatu.Proses syuting akhirnya berakhir.“Cut! Kerja bagus semuanya. Kita lanjutkan lagi besok.” Sutradara menghampiri Maharatu. “Seperti biasa aktingmu sangat bagus, Ra,” puji sang sutradara.“Terima kasih, Om.”“Jangan lupa! Besok kita akan syuting seharian penuh.” Sang Sutradara mengingatkan Maharatu.“Siap.” Ratu mengacungkan kedua jempolnya.***Dengan langkah lebar Maharatu memasuki rumah bergaya Eropa berlantai tiga.“No… Nona.” Salah satu pelayan berbicara tergagap.“Dimana, Mama?”“I… itu. Nyonya di….” Melihat raut wajah pelayan yang pucat, Maharatu segera naik ke lantai atas. Kamar mamanya.Dengan gerakan kasar, Maharatu membuka pintu kamar. “Menjijikkan!” Wajah Maharatu merah padam, tangannya mengepal, giginya bergemeretak.Sandra terkejut dengan kedatangan putrinya. Wanita yang hampir berusia setengah abad itu tengah berkuasa atas tubuh seorang lelaki yang seumuran dengan Maharatu.“Ratu….” Sandra menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.“Dasar pria murahan. Pergi kamu dari sini!” hardik Ratu pada lelaki yang bersama Sandra. Maharatu memalingkan wajah saat lelaki yang bersama mamanya bangkit dan memakai celananya asal.“Mama bisa jelaskan, Sayang.” Sandra menghampiri putrinya dengan berbalut selimut.“Jadi, uang ratusan juta itu Mama gunakan untuk membiayai pria brengsek itu!” Teriak Maharatu, dadanya naik turun. “Gila… benar-benar gila. Saat suami Mama sedang berjuang untuk sembuh Mama justru…. Argh!” teriak Ratu frustasi.“Mama juga butuh kepuasan batin, Ratu. Sementara, ayahmu tidak bisa memberikannya selama bertahun-tahun,” kilah Sandra. “Lagi pula uang itu tidak seberapa bagimu, bukan,” imbuh Sandra dengan entengnya.“Hah!” Maharatu tertawa kecil, lalu memutar bola matanya. “Tidak ada apa-apanya, Mama bilang. Sembilan ratus juta. Mama bilang tidak ada apa-apanya?” Air mata Maharatu berjatuhan.“Ya, tidak apa-apanya. Bayaranmu untuk sebuah series jauh lebih besar dari itu. Belum lagi jatah dari Bagaskara. Jangan perhitungan sama Mama sendiri, Ra.” Sandra mencebik lalu duduk di tepi ranjang.“Perhitungan Mama bilang. Dari umur sepuluh tahun Ratu bekerja dari pagi bertemu pagi lagi. Ratu tidak pernah meminta sepeserpun gaji Ratu dari Mama. Demi keluarga ini dan Mama, Ratu korbankan pendidikan dan masa remaja Ratu. Bahkan… Ratu rela, Mama jual ke Om Bagaskara, pria yang hampir seumuran dengan Ayah. Untuk dijadikan istri.Ah… tidak. Lebih tepatnya istri simpanan.” Ratu mengusap air matanya dengan kedua tangan. Menelan salivanya yang terasa berat. “Atau bisa disebut jalang. Aku bahkan tidak tau harus menyebut diriku ini apa, Ma?!”“Kamu masih saja mengungkit hal itu.” Sudut bibir Sandra terangkat. “Seharusnya kamu itu bersyukur karena tiga tahun lalu dinikahi Bagaskara. Karena setelah itu karirmu melejit. Wajahmu setiap hari muncul di televisi. Poster di bioskop juga dipenuhi dengan semua filmmu.Kamu menjadi artis yang dipandang oleh semua orang, Ra. Dan semua itu juga karena kerja keras Mama yang menemanimu dari nol. Jadi, aku juga berhak atas hasil yang kamu dapatkan.”Perkataan Sandra semakin memantik amarah Maharatu. Tidak ingin semakin tersulut emosi, Maharatu memilih untuk pergi. Tapi, sebelum pergi, Maharatu berucap, “Memang percuma berbicara dengan batu. Mulai hari ini semua kartu kredit Mama akan Ratu bekukan!”“Apa? Tidak bisa begitu, Ra.” Selimut tebal yang membalut tubuh Sandra membuatnya kesulitan mengejar Maharatu yang berlalu.“Sial!” umpat Sandra karena Maharatu sudah keluar dari rumah. “Apa yang kalian lihat! Kalian mau saya pecat.” Sandra melampiaskan kekesalannya pada para pelayan yang menatap aneh kearahnya karena keluar kamar hanya berbalut selimut.Ratu masuk ke dalam mobil dengan pipi yang basah dan mata merah. “Kita pergi sekarang, Sa!”“Kamu tidak apa-apa, ‘kan, Ra?” Sasa menatap sendu ke arah artisnya.Maharatu menatap Sasa yang duduk di kursi kemudi. Dia menghapus jejak air matanya, lalu mengulas senyum. “Aku baik. Bukankah ini sudah sering terjadi, Sa.”Dulu Sasa sempat tidak percaya saat mendengar ada artis yang bertahun-tahun bekerja di dunia entertain, tapi miskin tidak punya apa-apa. Bukan karena sang Artis berfoya-foya melainkan karena uang sang Artis habis ditangan keluarganya sendiri. Akan tetapi, setelah bertemu Ratu tiga tahun lalu, Sasa baru percaya bahwa memang ada keluarga toxic seperti itu. Bahkan, bagi Sasa nasib Maharatu lebih tragis. Mama artis berambut panjang itu bukan hanya menguasai dan menghabiskan hasil keringat Maharatu. Dia juga tega menjadikan putrinya, istri kedua Bagaskara agar bisa hidup enak.“Miris sekali hidupmu, Ra. Punya Mama yang selalu bikin naik darah, jadi istri kedua pula.” Sasa berde
Jantung Ratu seakan berhenti berdetak, sebuah tangan kekar melingkar posesif di perutnya yang rata. Dari suara, dan aroma parfumnya, Ratu mengenali pemiliknya.Kenapa Bagas kembali secepat ini. Biasanya pria itu akan menghabiskan waktu berhari-hari bila menyangkut kesenangan Hanum –putri kesayangannya. Pikiran Ratu terus berkelindan.Susah payah Ratu menelan salivanya. “Sangat. Pagi harus syuting, sore pemotretan, dan malammya ada talkshow di SME TV.” Sebisa mungkin Ratu menyembunyikan rasa takutnya. Dia mengusap perlahan lengan Bagas.“Aku merindukanmu, Ra.” Pria berjambang tipis itu mulai menyusuri leher jenjang Ratu.Ratu segera mematikan kompornya. Dia berbalik arah, mengalungkan tangannya di leher Bagas. Maharatu terus menunduk, berharap Bagas tidak melihat tanda di lehernya. Bagas memegang dagu Ratu agar istrinya mendongak. Bagaskara menyentuh bibir Ratu, memberi kecupan perlahan yang lama-kelamaan semakin menuntut. Dia terus mencumbu istrinya, leher Ratu menjadi sasaran berik
Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu. “Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.” Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan g
Keesokan paginya, Danendra benar-benar menuruti permintaan papanya untuk ikut rapat tertutup pemegang saham. Kedatangan Danendra ke perusahaan tentu menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.Jas berwarna navi senada dengan celana slim fit yang dia kenakan membuatnya terlihat berbeda juga sepatu pantofel hitam yang semakin membuat langkahnya terlihat gagah. Danendra mengikat rambutnya ke belakang dengan rapi, brewok yang pagi ini ditata rapi semakin membuat aura maskulinnya keluar.Berjalan beriringan dengan Sanjaya otomatis membuat setiap pasang mata menunduk hormat pada Danendra. “Perkenalkan, dia putra saya, Danendra Sanjaya.” Sanjaya memperkenalkan Danendra di depan semua pemegang saham.“Selamat pagi semuanya.” Danendra membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada semua pemegang saham. “Perkenalkan nama saya Danendra. Suatu kehormatan bagi saya karena diberi kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang hebat seperti Anda semua," imbuh Danendra dibarengi dengan se
Danendra berkacak pinggang di dalam apartemen tipe studio yang baru dibelinya. “Pindah lagi … pindah lagi,” gerutunya. Terpaksa pria itu pindah apartemen karena kedua orang tuanya sudah tahu letak bahkan kode apartemen lamanya.Dia ingin hidup bebas tanpa kekangan seperti saat berada di luar negeri.Danendra mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kalung berliontin merpati. “Kenapa harus merpati.” Kalung itu berkilau di antara jari telunjuk dan tengah. Danendra memasukkan kalung itu pada kotak beludru kecil yang sengaja dia beli siang tadi. Lalu, menyimpannya di ruang wardrop.***Menghisap sebatang rokok dengan tangan kanan, sementara buku gambar dan pensil di tangan kiri, Danendra menapaki satu per satu anak tangga darurat menuju rooftop. Bagi Danendra di tempat tertinggi itu, inspirasi untuk melukis mudah muncul. Meski, sejujurnya beberapa hari ini inspirasinya adalah Maharatu. Wajah ayu Maharatu bahkan memenuhi semua kanvas miliknya.Sampai di rooftop, mata Danendra membo
Marisa menatap sinis pria yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun itu. “Aku penasaran. Seperti apa wanita simpananmu itu? Apa dia sangat cantik? Atau sangat hebat di ranjang. Hingga seorang Bagaskara si penjelajah wanita ini,” Marisa memainkan jarinya di dada Bagaskara, “mampu bertahan sangat lama dengannya.”Gerakan jari Marisa terhenti karena Bagaskara mencengkramnya erat lalu mengibaskannya kasar. Kini giliran Bagaskara yang mencengkram dagu Marisa, lalu mendorong tubuh Marisa hingga menyentuh dinding kaca. Bagaskara menyeringai. “Lebih baik kamu tidak tau dan tidak mencari tau, Marisa!” Manik coklat Bagaskara begitu mengintimidasi. “Atau… kubuat bocah ingusan yang kamu pelihara itu lenyap seketika dari dunia entertain. Kudengar dia sedang merangkak di industri yang kukuasai ini.” Bagaskara melepas cengkramannya dengan kasar. Marisa memegangi rahangnya yang terasa sakit. “Sial! Dari mana dia tau tentang Julian,” geram Marisa.Pernikahan Bagaskara dan Marisa memang sudah
Pertanyaan Maharatu membuat Bagaskara menoleh ke belakang. “Oh, dia. Kemarilah, Ndra!” Pria asing itu mendekat ke arah Bagaskara. “Kenalkan namanya Endra. Dia sopir baru sekaligus pengawal pribadi untukmu,” jelas Bagaskara pada Ratu.Hati Ratu mencelos seketika, tidak menyangka Bagaskara akan bertindak sejauh ini. Menempatkan pengawal khusus untuknya. Tanpa pengawal saja dia sudah merasa sesak. Apalagi dengan pengawal. Seandainya bisa, Ratu ingin berteriak sekencang kencangnya.“Ratu nggak butuh pengawal Mas,” rengek Ratu.“Jangan membantah, Ra!” Bagaskara menatap Ratu tajam. “Sa,” panggil Bagas pada Sasa yang masih mematung di tempatnya.“Iya… Om.” Sasa mendekat. “Kamu masih ingat kode unit sebelah, ‘kan?”“Masih, Om.” “Ajak Endra kesana! Mulai sekarang, Endra akan menempati unit itu!” “Siap Om!”Bagaskara menatap ke arah Endra. “Ndra, kamu ikuti, Sasa!”“Baik, Tuan.” Endra mengangguk patuh, tapi tangannya mengepal erat.“Mas ngantuk. Tadi dari bandara, Mas langsung kemari. Kamu
Hanum berteriak histeris melihat kedatangan Maharatu. “Kak Maharatu!” Hanum menutup mulutnya sesekali memandang ke arah Papanya, seolah tidak percaya idolanya ada di sini. Dia bahkan berlonjak kegirangan seperti anak kecil. Sementara, Maharatu bingung dengan situasi di ruangan itu. Dia menatap Bagaskara, minta penjelasan. Ekor mata Bagaskara melirik ke arah Hanum, memberi kode pada Maharatu agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi.“Hai, Hanum. Happy birthday.” Ratu memeluk Hanum erat.“Aku masih tidak percaya Kak Ratu ada di sini.” Terlihat jelas binar bahagia di mata remaja itu. “Papa benar-benar mengabulkan permintaanku,” sorak Hanum.Jadi ini tujuan Bagaskara mengajaknya makan malam di luar. Menyenangkan putri semata wayangnya. Maharatu tersenyum miris.Akan tetapi, dengan cepat bibir Ratu tersenyum selebar mungkin lalu memegang bahu Hanum lembut. “Om Bagas yang memintaku datang. Katanya putri cantiknya sedang berulang tahun.”“Terima kasih sudah datang Kak Ratu. Ayo duduk d
Danendra dan Maharatu sedang menikmati kebersamaan di ruang tamu. Keduanya menonton film bersama dengan kepala Maharatu yang berada di pangkuan Danendra. “Suamimu akhir-akhir ini sering sekali berkunjung, Ra?” tanya Danendra yang mengusap-usap rambut Maharatu. “Ndra….” Maharatu mengelus rahang Danendra. Menatap manik kekasihnya dalam-dalam. Seolah berkata kalau saat ini dia tidak ingin membahas tentang Bagaskara. Danendra membuang napas kasar. “Aku cemburu, Ra!” kata Danendra membuang muka.Maharatu bangkit dari posisinya. Ditangkupnya wajah Danendra, agar mata keduanya saling bertemu.“Aku tau kamu cemburu, tapi untuk saat ini aku belum bisa lepas dari Mas Bagas, beri waktu aku sedikit lagi.”Danendra melepaskan tangan Maharatu dari rahangnya dengan kasar. “Sedikit lagi … sedikit lagi … itu terus Ra yang kamu katakan sejak enam bulan lalu. Aku ini lelaki biasa yang juga punya rasa cemburu. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dijamah oleh Bagaskara!” Suara Danendra yang bia
“Kamu mau kemana, Sandra?” Rahman yang baru keluar dari kamarnya tertatih-tatih menghampiri sang istri yang membawa dua koper besar.“Mau pergi dari sini,” sarkas Sandra yang terus melangkah tanpa menghiraukan suaminya.Rahman mempercepat langkahnya, meski masih terpincang-pincang karena memang kondisinya yang belum sembuh sempurna. “Pergi kemana?” Tangan Sandra dicekal oleh Rahman. “Lepasin!” Dengan kasar Sandra mengibaskan tangan suaminya. “Yang jelas sejauh mungkin. Karena aku tidak mau kembali hidup kere sama kalian seperti dulu.”Dahi Rahman berkerut. Hidup kere bagaimana? Saat ini hidup mereka bahkan bisa dibilang bergelimang harta. “Lihatlah semua ini Sandra. Kita bergelimang harta sekarang?”“Ya, sekarang, tapi sebentar lagi kita akan jadi kere seperti dulu. Karena anak perempuanmu itu main-main dengan Bagaskara,” ujar Sandra dengan bersungut-sungut. “Bicaramu semakin tidak jelas.”“Kalau ingin lebih jelas, nanti tanya pada putrimu itu.” Sandra memegang kedua kopernya hen
“Maaf.” Maharatu memeluk tubuh Danendra dari belakang. Pria itu sedang berada di balkon, melukis sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang mencerminkan perasaannya saat ini.Danendra memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mencabik-cabik di hati. Karena pelukan kekasihnya. Pelukan yang Danendra tahu pasti sebabnya.Danendra meletakkan kuasnya. Tangannya menyentuh tangan Maharatu dengan lembut, berniat melepaskan pelukan Maharatu sejenak sebelum berbalik badan. Namun, Maharatu justru semakin mengeratkan pelukannya.“Jangan berbalik, kumohon,” lirih Maharatu dengan suara parau, “biarkan seperti ini. Aku masih ingin memelukmu, Ndra.”Hening, tidak ada suara. Hingga setelah beberapa saat, terdengar isakan kecil dari Maharatu. Danendra dapat merasakan kaos yang dipakainya basah di bagian belakang. Wanitanya sedang menangis. Tak tahan mendengar isakan Maharatu yang semakin menyayat hati. Danendra melepas pelukan Maharatu, berbalik badan lalu membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. “T
Maharatu mengembuskan napas panjang. Dari pantulan cermin dapat dia lihat, Sandra sudah berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Maharatu lalu berbalik badan. “Kenapa pagi-pagi sekali Mama sudah berdiri di situ. Jatah bulanan yang kukasih, kurang? Tapi, maaf Ma. Ratu nggak bisa kasih Mama credit card lagi,” ujar Maharatu. “Ck!” Sandra berdecak membuang muka ke samping sejenak lalu menatap wajah putrinya dengan amarah yang berkobar. “Apa kamu pikir setiap Mama datang padamu selalu karena uang?” bibir Sandra mencebik, tak terima dengan praduga Maharatu. “Tentu saja, karena sejak dulu Mama memang begitu. Selalu uang … uang … dan uang,” ketus Maharatu dengan senyum mengejek. “Terserah kamu, Ra, mau berpikir bagaimana. Mama hanya ingin memperingatkanmu?” Dahi Maharatu berkerut. “Untuk?!” Kini giliran Sandra yang tersenyum mengejek. “Jangan main-main dengan Bagaskara. Semalam Mama lihat kamu keluar dari kamar Endra!” Deg! Maharatu kaget dengan perkataan mamanya. Sial sekali bagin
“Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang
Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan
Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa