Share

Bab 2

Wajah Bagaskara perlahan mulai memudar dan berganti dengan wajah lain. “Kamu siapa?!” Maharatu mendorong tubuh Danendra sekuat mungkin, hingga Danendra jatuh dari atas ranjang.

“Aw!” Danendra mengusap bokongnya. “Kuat sekali tenaganya,” imbuh Danendra.

Sementara, Maharatu berdiri di atas ranjang dengan tubuh sempoyongan. “Kamu mau memperkosaku, ya!” Jari Maharatu menunjuk ke arah Danendra.

“Enak saja. Kamu sendiri yang mengajakku ke sini, Nona,” sahut Danendra.

“Bohong!” Maharatu memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri, perutnya juga mulai bergejolak.

Wanita berkulit putih itu berlari ke kamar mandi dengan tangan yang membekap mulutnya sendiri lalu mengunci kamar mandi dari dalam.

Maharatu mengeluarkan semua isi perutnya. “Pusing sekali.” Maharatu sesekali memukul kepalanya sendiri. Dia berjalan gontai ke arah bathtub. Membaringkan tubuhnya di sana lalu memejamkan mata.

Suara Maharatu yang muntah-muntah sudah tidak terdengar lagi dari luar. Namun, Danendra heran. Kenapa wanita itu tidak kunjung keluar dari kamar mandi?

Danendra memutar pegangan pintu. “Dikunci,” rutuk Pria gondrong itu.

Sudah hampir satu jam Maharatu di dalam sana. “Nona buka pintunya!” Danendra terus berteriak dan mengetuk pintu kamar mandi, tapi tetap tidak ada jawaban.

“Jangan-jangan wanita itu pingsan!” Danendra mondar-mandir di depan kamar mandi. “Bagaimana ini.” Danendra segera mengenakan kembali pakaiannya.

Tidak ada pilihan lain. Dengan alasan istrinya ngambek lalu mengunci diri di kamar mandi, Danendra berhasil mendapatkan kunci cadangan dari resepsionis.

“Bisa-bisanya dia tidur.” Danendra berkacak pinggang di depan bathtub.

Ingin marah, tapi wajah ayu yang terlihat damai di depannya mampu meredam amarahnya. Secara perlahan, Danendra mengangkat tubuh Maharatu, memindahkannya ke ranjang.

Hasrat yang semula menggebu perlahan luntur. Anak rambut yang menutupi wajah Maharatu disingkirkan perlahan oleh Danendra. Dia menyelimuti tubuh wanita di sampingnya lalu ikut masuk kedalam selimut.

Danendra memiringkan tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada tangan. “Disaat banyak wanita ingin tidur di ranjangku. Kamu malah memilih tidur di kamar mandi.”

Satu kecupan yang mendarat di kening membuat Maharatu menggeliat.

“Kamu unik dan aku suka.” Danendra membawa tubuh Maharatu kedalam dekapannya.

Suara alarm ponsel yang terus berdering membuat mata Maharatu mengerjap. Dia memijat pelipisnya, kepalanya masih terasa sedikit pusing.

Pandangan Maharatu menyapu seluruh ruangan yang nampak asing. Ini bukan kamarnya. Ratu merentangkan kedua tangan, alisnya menyatu saat merasakan sesuatu yang berat di perut.

Maharatu menoleh ke samping lalu membekap mulutnya. Siapa pria asing yang tidur di sampingnya.

“Ah, sial! Bisa-bisanya kamu tidur dengan pria asing Ratu. Apa kamu cari mati?” maki Ratu pada dirinya sendiri. Ratu beringsut, meraba tubuhnya sendiri. Memastikan semalam tidak terjadi apapun antara mereka.

“Huh… sepertinya tidak terjadi apapun. Buktinya pakaianku masih lengkap,” ucap Ratu lega.

Dengan gerakan perlahan Ratu menyingkap selimut yang menutupi tubuh. Jantung Maharatu seakan ingin lepas saat pria di sampingnya bergerak.

“Huh… aman.” Ratu bernapas lega. Ternyata pria di sampingnya hanya merubah posisi tidur menjadi tengkurap.

Cepat-cepat Maharatu memakai masker dan kacamatanya lalu pergi dari kamar hotel. Beruntung keadaan hotel masih sepi.

Kebiasaan Maharatu menyetel alarm di jam empat pagi rupanya ada bagusnya juga.

Maharatu naik taksi menuju klub X untuk mengambil mobilnya.

Sampai di apartemennya Maharatu segera membersihkan diri. Menggosok gigi berkali-kali guna menghilangkan bau alkohol yang mungkin saja masih tertinggal.

Maharatu memilih celana cutbray yang dipadukan dengan crop top putih untuk pergi syuting.

Sebelum berangkat Maharatu menyempatkan sarapan dengan sepotong roti dan segelas jus jeruk. Mendengar suara bel, Maharatu setengah berlari ke pintu depan.

“Pagi,” sapa Sasa, asistennya.

“Pagi juga. Sarapan yuk!” Ratu menarik tangan Sasa masuk ke dalam.

Mata Sasa sedikit menyipit, dia menyibak rambut Maharatu yang tergerai. Lalu tertawa kecil. “Om Bagas memang ganas,” kelakar Sasa.

“Hah?” Maharatu menaikan alisnya. Tidak mengerti maksud perkataan Sasa.

“Ini!” Sasa menyentuh bekas keunguan di leher Ratu.

Wajah Ratu berubah panik. Dia membuka kamera ponselnya, mengarahkan kamera ke lehernya. “Brengsek!” umpat Maharatu dalam hati. Sasa tidak boleh tahu kejadian semalam. Bagaimana pun juga Sasa orang kepercayaan Bagaskara.

“Ya, kamu tau sendiri, ‘kan. Bagaimana Mas Bagas.” Maharatu pura-pura tersenyum agar Sasa tidak curiga.

Ratu menutupi bekas keunguan di lehernya dengan makeup, pasalnya pernikahannya dengan Bagaskara adalah pernikahan rahasia. Hanya orang terdekat saja yang tahu tentang pernikahan keduanya.

***

“Ra, ini … anu….” Sasa berbicara terbata.

Maharatu sedang istirahat di sela syuting. Wanita itu sibuk membaca skrip untuk adegan berikutnya. “Apaan, sih, Sa,” geram Maharatu. Perkataan Sasa yang berbelit-belit mengganggu konsentrasinya.

Sasa menyodorkan ponsel miliknya. Sebuah notifikasi membuat Maharatu memijat pangkal hidungnya. “Setelah ini ada jadwal apa lagi?”

“Pemotretan untuk produk kecantikan tapi agak sorean, sih,” Sasa memandangi iPad di tangannya.

“Jadi kita masih punya sedikit waktu?”

“Iya,” jawab Sasa.

“Kita ke rumah sebentar. Kebetulan hari ini Ayah dan Pangeran masih di luar kota untuk terapi Ayah,” ujar Maharatu.

Proses syuting akhirnya berakhir.

“Cut! Kerja bagus semuanya. Kita lanjutkan lagi besok.” Sutradara menghampiri Maharatu. “Seperti biasa aktingmu sangat bagus, Ra,” puji sang sutradara.

“Terima kasih, Om.”

“Jangan lupa! Besok kita akan syuting seharian penuh.” Sang Sutradara mengingatkan Maharatu.

“Siap.” Ratu mengacungkan kedua jempolnya.

***

Dengan langkah lebar Maharatu memasuki rumah bergaya Eropa berlantai tiga.

“No… Nona.” Salah satu pelayan berbicara tergagap.

“Dimana, Mama?”

“I… itu. Nyonya di….” Melihat raut wajah pelayan yang pucat, Maharatu segera naik ke lantai atas. Kamar mamanya.

Dengan gerakan kasar, Maharatu membuka pintu kamar. “Menjijikkan!” Wajah Maharatu merah padam, tangannya mengepal, giginya bergemeretak.

Sandra terkejut dengan kedatangan putrinya. Wanita yang hampir berusia setengah abad itu tengah berkuasa atas tubuh seorang lelaki yang seumuran dengan Maharatu.

“Ratu….” Sandra menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Dasar pria murahan. Pergi kamu dari sini!” hardik Ratu pada lelaki yang bersama Sandra.

Maharatu memalingkan wajah saat lelaki yang bersama mamanya bangkit dan memakai celananya asal.

“Mama bisa jelaskan, Sayang.” Sandra menghampiri putrinya dengan berbalut selimut.

“Jadi, uang ratusan juta itu Mama gunakan untuk membiayai pria brengsek itu!” Teriak Maharatu, dadanya naik turun. “Gila… benar-benar gila. Saat suami Mama sedang berjuang untuk sembuh Mama justru…. Argh!” teriak Ratu frustasi.

“Mama juga butuh kepuasan batin, Ratu. Sementara, ayahmu tidak bisa memberikannya selama bertahun-tahun,” kilah Sandra. “Lagi pula uang itu tidak seberapa bagimu, bukan,” imbuh Sandra dengan entengnya.

“Hah!” Maharatu tertawa kecil, lalu memutar bola matanya. “Tidak ada apa-apanya, Mama bilang. Sembilan ratus juta. Mama bilang tidak ada apa-apanya?” Air mata Maharatu berjatuhan.

“Ya, tidak apa-apanya. Bayaranmu untuk sebuah series jauh lebih besar dari itu. Belum lagi jatah dari Bagaskara. Jangan perhitungan sama Mama sendiri, Ra.” Sandra mencebik lalu duduk di tepi ranjang.

“Perhitungan Mama bilang. Dari umur sepuluh tahun Ratu bekerja dari pagi bertemu pagi lagi. Ratu tidak pernah meminta sepeserpun gaji Ratu dari Mama. Demi keluarga ini dan Mama, Ratu korbankan pendidikan dan masa remaja Ratu. Bahkan… Ratu rela, Mama jual ke Om Bagaskara, pria yang hampir seumuran dengan Ayah. Untuk dijadikan istri.

Ah… tidak. Lebih tepatnya istri simpanan.” Ratu mengusap air matanya dengan kedua tangan. Menelan salivanya yang terasa berat. “Atau bisa disebut jalang. Aku bahkan tidak tau harus menyebut diriku ini apa, Ma?!”

“Kamu masih saja mengungkit hal itu.” Sudut bibir Sandra terangkat. “Seharusnya kamu itu bersyukur karena tiga tahun lalu dinikahi Bagaskara. Karena setelah itu karirmu melejit. Wajahmu setiap hari muncul di televisi. Poster di bioskop juga dipenuhi dengan semua filmmu.

Kamu menjadi artis yang dipandang oleh semua orang, Ra. Dan semua itu juga karena kerja keras Mama yang menemanimu dari nol. Jadi, aku juga berhak atas hasil yang kamu dapatkan.”

Perkataan Sandra semakin memantik amarah Maharatu. Tidak ingin semakin tersulut emosi, Maharatu memilih untuk pergi. Tapi, sebelum pergi, Maharatu berucap, “Memang percuma berbicara dengan batu. Mulai hari ini semua kartu kredit Mama akan Ratu bekukan!”

“Apa? Tidak bisa begitu, Ra.” Selimut tebal yang membalut tubuh Sandra membuatnya kesulitan mengejar Maharatu yang berlalu.

“Sial!” umpat Sandra karena Maharatu sudah keluar dari rumah. “Apa yang kalian lihat! Kalian mau saya pecat.” Sandra melampiaskan kekesalannya pada para pelayan yang menatap aneh kearahnya karena keluar kamar hanya berbalut selimut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status