Di sebuah gedung tinggi perkantoran yang sangat megah dan modern di Tokyo, Jepang. Setumpuk dokumen dilempar begitu saja di atas sebuah meja. Suara debamnya memekakkan telinga.
Dokumen paling atas memperlihatkan profil seorang wanita lengkap dengan foto yang terlihat sangat formal. Rambut perempuan itu hitam panjang dan diikat satu dengan poni indah menghiasi wajahnya. Tertulis jelas di sana nama sang wanita dalam bahasa Indonesia: Risa Abdullah
“Apa berita itu benar? Kamu sudah memastikan kebenarannya?” tanya sebuah suara berat, rendah dan dalam. Sangat magnetis dan merdu bagi wanita mana pun yang bisa mendengarnya.
Percakapan ini dilakukan dalam bahasa Jepang. Meski ada nada marah dalam suaranya, pemilik suara berusaha tetap menjaga ketenangan dirinya.
“Iya. Itu benar, Tuan muda. Risa Abdullah akan segera menikah minggu depan.”
Pria berkacamata tipis yang menyampaikan berita tersebut berwajah datar dan terkesan dingin dengan rambut disisir sangat rapi. Jas biru tua yang dikenakannya berhias sebuah sapu tangan putih yang mencuat dari sakunya. Sikap sekretaris pria itu seperti seorang prajurit yang sangat patuh dengan semua perintah komandannya.
“Begitu?” Sosok yang dipanggil tuan muda tampak bertopang dagu, menyangga salah satu siku di lengan kursi. Bersandar dengan sikap tenang dan arogan. Sorot mata gelapnya sangat dalam dan dingin, dan terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Tuan muda kemudian memutar kursinya hingga menghadap dinding kaca tinggi di belakang. Kali ini bersandar dengan satu tangan berada di pelipis. Tatapan dinginnya agak sedikit menerawang jauh, misterius dan dalam.
Secara keseluruhan, dia terlihat sangat tampan: tubuh tinggi, proporsional, cerdas, memesona, dan berkelas. Belum lagi wajah dinginnya yang sebeku es abadi itu! Semua wanita pasti akan menjerit histeris memohon cinta darinya!
Siapa pun yang melihatnya meski hanya sepintas akan segera tahu bahwa sosoknya bukanlah pria biasa. Sosok yang sebaiknya jangan mencari gara-gara dengannya jika masih ingin hidup tenang dan damai.
Kemeja putih yang dikenakan olehnya begitu rapi dan mewah dengan dasi hitam bergaris putih. Kaki jenjang indahnya berbalut celana panjang hitam disilangkan angkuh. Kesan tinggi dan berbahaya, tapi dingin memantul kuat pada permukaan dinding kaca.
Wanita mana yang tidak mau berada dalam pelukan pria hebat seperti itu?
“Apa Anda punya perintah lain, Tuan muda?”
Tatapan tajam dan berbahaya sang tuan muda mengamati lekat-lekat suasana ibukota di luar sana. Dari pantulan kaca di depannya, terlihat jelas pikirannya semakin dalam dan berbahaya.
Cuaca pagi ini sangatlah cerah tanpa awan, sinar matahari pun begitu hangat menyinari gedung-gedung tinggi perkantoran lainnya. Namun, pria tampan yang tengah berpikir di kursi berkuasanya terlihat sangat berhati-hati dan penuh perhitungan, membuat atmosfer di ruangan itu sedikit tegang dan dingin.
“Cari tahu siapa calon suaminya dalam waktu 2 jam.”
“Baik.”
Pria berjas biru tua membungkuk dengan satu tangan di dadanya.
“Risa Abdullah adalah milikku. Pernikahan itu tidak boleh sampai terjadi. Terus awasi perkembangannya,” peringat tuan muda dengan gerakan tangan kiri yang anggun di udara, masih dalam pose memunggungi sang sekretaris.
“Tentu saja, Tuan muda.”
Usai berkata demikian, sekretaris pria berjalan keluar dari ruangan dengan kaca dinding memenuhi hampir 360 derajat di sekitarnya.
Interior ruangan dihiasi dengan benda-benda berkilau dan mewah pada beberapa titik. Salah satu benda berkilau yang terbuat dari kaca adalah sebuah papan nama di atas meja kerja utama, berbunyi dalam tata nama orang Jepang: Shiraishi Shouhei.
Shiraishi adalah marganya, dan merupakan salah satu Grup bisnis terkuat di negeri Sakura saat ini. Sementara Shouhei adalah nama dari lelaki tampan yang tengah tenggelam dalam pikirannya tersebut.
Ketika dia memejamkan mata, kenangan masa lalu sewaktu SMA berputar di dalam benaknya.
“Karena kamu selalu sial dalam percintaan, bagaimana kalau kita menikah saja? Bukankah kita akan saling menguntungkan?” tanya Shouhei kepada seorang wanita di sebelahnya. Terdengar datar dan dingin. Sangat acuh tak acuh.
“Menikah denganmu? Atas dasar apa? Kamu tidak menyukaiku, kan? Berhenti menjahiliku, Shouhei! Apa kamu tidak bosan? Ada banyak wanita yang mengejarmu, kenapa harus aku yang kamu pilih? Sedang menghinaku, ya?” omel Risa dengan wajah super marah, terlihat tidak terima dengan ucapannya barusan.
“Risa, kamu tahu sendiri kalau tidak ada pria yang serius denganmu, kan? Aku juga tidak tertarik dengan wanita mana pun. Aku butuh pasangan yang tidak banyak protes, dan tidak perlu terikat dengan cinta, atau pun secara emosional dalam pernikahan. Itu artinya, setelah menjadi suami istri, kita bisa menjalani hidup masing-masing tanpa perlu saling mengganggu. Aku tampan, cerdas, dan populer. Kamu tidak akan rugi menikah denganku,” balas Shouhei cepat, masih datar dan tanpa emosi. Seolah-olah tidak peduli dengan perasaan lawan bicaranya.
Wanita yang berdiri di dekatnya tampak tertegun kaget. Detik berikutnya, segera memasang wajah cemberut kesal, mendengus geli seraya membalasnya dengan amarah tertahan. “Memangnya kamu sanggup menafkahiku? Walaupun kamu sangat populer, kamu hanya pria biasa, kan? Aku adalah tipe wanita yang sangat gila uang dan harta! Tidak bisa hidup miskin dan menderita hanya dengan modal cinta! Kamu bisa memenuhi semua keinginanku itu, Shouhei Shiraishi?”
Shouhei tersenyum tipis misterius.
“Tenang saja. Aku akan bekerja sangat keras. Selama kamu mau menjadi istriku, semua keinginanmu akan aku kabulkan. Bagaimana?”
“Tidak! Aku tidak mau! Leluconmu sangat buruk! Dasar pria berhati dingin! Seenaknya saja mempermainkan orang dengan kalimat sakral seperti itu! Lagi pula, kamu bukanlah tipeku! Aku tidak mau menikah hanya karena pria itu tampan dan populer! Aku juga punya selera dan pernikahan impianku sendiri! Bukan seperti pernikahan bodoh yang kamu sebutkan barusan! Itu pernikahan, atau rumah sakit jiwa, hah?! Untuk apa kamu mengajakku menikah seperti itu jika kamu bisa menikah dengan wanita lain yang bisa kamu pilih sesuka hati? Apa ucapanmu barusan masuk akal? Berhenti bermain-main! Aku bukan bonekamu!”
“Kenapa? Kamu takut? Tidak percaya diri? Atau... tidak bisa menahan pesonaku hingga merasa gugup dan pura-pura susah didapat? Aku pikir kamu sangat frustrasi ingin mendapatkan pasangan hidup? Ataukah kamu hanya senang mempermainkan banyak pria? Ingin menjadi playgirl yang polos dan lugu?” sindirnya dengan wajah tersenyum jahat dan dingin.
“Sialan! Siapa yang mempermainkan siapa, hah?!”
Kilas balik di benak Shouhei akhirnya berhenti dengan sebuah adegan tamparan dari sang wanita. Kedua bola matanya yang dingin dan gelap terbuka secara perlahan.
Pria itu bergumam pelan seiring bulu matanya merendah dingin dan anggun. “Aku tidak pernah mempermainkanmu, Risa Abdullah.... Tidak pernah....”
***
Keesokan harinya, Jakarta, Indonesia, di sebuah mansion mewah dengan banyak bunga-bunga indah di taman, pembicaraan suami istri memenuhi sebuah kamar megah di salah satu kamar mansion tersebut.
“Suamiku, apa kamu yakin dengan pernikahan ini? Kenapa begitu tiba-tiba?” protes seorang wanita kepada seorang pria yang sibuk memperbaiki dasi merahnya di depan cermin besar.
Sang suami memejamkan mata lelah, kening ditautkan kencang.
“Kita tidak punya pilihan, istriku. Satu-satunya cara agar perusahaan selamat adalah menikahkan Risa dengan putra mereka.”
“Tapi, apa kamu tahu seperti apa putra mereka? Kenapa begitu mudah menerima tawaran perjodohan itu?”
Sang istri yang memakai gaun merah muda berdiri dari tepi tempat tidur. Wajahnya cantik untuk usianya yang sudah mencapai umur 40 tahunan. Dia berjalan menuju sang suami dan meraih dasinya, membantunya membuat simpul karena sejak tadi selalu gagal di tangan pria itu.
“Aku sudah memberitahu Risa agar menghadiri pertemuan yang sudah diatur siang ini. Mereka bisa saling mengenal dan berbincang-bincang satu sama lain. Tidak ada salahnya, kan? Lagi pula, selama ini, dia selalu saja gagal dalam percintaan. Ini seperti keberuntungan untuknya. Umurnya juga sudah sangat pantas untuk menikah.”
“Kamu benar, suamiku. Tapi, Risa sama sekali tidak menyukainya!”
“Dengar. Risa harus belajar menyukai pria itu. Kalau dia hanya ingin mengejar pria-pria yang disukainya, dan selalu berakhir dengan kegagalan, apa kamu mau putri kita menjadi perawan tua?”
“Apaan, sih! Tidak boleh bicara begitu, dong!”
Sang istri memukul dadanya yang bidang, wajah cemberut.
“Sudah. Sudah. Aku berangkat dulu.” Usai dasinya terpasang dengan baik, pria tua meraih tas kerja yang ada di atas meja rias sang istri.
“Kamu tidak sarapan dulu?”
“Di kantor saja, Sayangku. Hari ini ada rapat penting. Calon besan kita ingin melakukan inspeksi kinerja perusahaan. Semua dokumen harus disiapkan dengan baik.”
“Suamiku, apa kamu tidak merasa aneh?”
“Aneh? Aneh bagaimana?” Langkahnya berhenti menuju pintu, sebelah keningnya terangkat penasaran.
“Itu, loh. Selama ini, kan, perusahaan kita baik-baik saja. Kenapa setelah kita mengenal perusahaan dari Grup Budiraharja, tiba-tiba saja perusahaan kita tertekan di mana-mana?”
Sang suami memucat, berdeham kaku. “Tidak usah memikirkan soal perusahaan. Ini terlalu berat untukmu. Lebih baik bantu saja Risa menyiapkan penampilan terbaiknya untuk bertemu dengan putra Grup Budiraharja. Kesan pertama itu sangat penting.”
Sang istri menghela napas berat, bertopang dagu dengan bertumpu pada satu telapak tangan, menatap sendu punggung sang suami yang berjalan cepat keluar ruangan.
Di lantai bawah, seorang perempuan berambut hitam sebatas punggung duduk menikmati roti bakar. Dia memakai kaos rajut merah burgundy dengan leher turtle neck dan rok plisket cokelat tua, memberikan kesan dewasa dan profesional.
"Aku pergi dulu! Jangan lupa untuk datang ke kafe itu, ya!" teriak sang ayah dari arah tangga.
Risa yang mendengar perintah tanpa bisa diprotes, hanya bisa menekuk wajahnya muram.
Selera makannya tiba-tiba lenyap. Dia melempar begitu saja roti bakar yang ada di tangan dengan perasaan malas ke atas piring porselen, dan segera meneguk air minum sampai habis.
"Putriku, kenapa kamu tidak protes? Ini mengenai masa depanmu, bukan? Apa kamu rela menikah dengan orang yang tidak kamu kenal sama sekali?"
Ibu Risa, Sarah Sabran menuruni tangga dengan anggun.
"Sudahlah, Bu. Aku juga sudah capek. Mungkin memang takdirku untuk dijodohkan,” jawabnya dengan ekspresi malas dan masa bodoh.
Sang ibu sedikit terkejut mendapati putrinya yang selalu ceria menjadi lesu tak bertenaga.
"Memang kamu mau kalau dia itu botak, gendut, dan jelek?"
Seketika wajah Risa memucat seperti bubur busuk.
"Ibu... kenapa ibu meracuni pikiran polos penuh harapku ini? Bisa saja dia tidak seburuk yang ibu katakan, bukan?"
Sarah Sabran melipat tangan di dadanya, membuang muka dengan wajah kusut, mulut dimajukan dengan mata menyipit kesal. "Ibu ini mau menantu yang tampan dan cerdas, Risa!"
"Hish! Ibu! Permintaannya aneh-aneh! Sudah tahu putri satu-satunya ini selalu gagal menjalin kasih, masih saja dituntut ini itu!"
Risa berdiri dari duduknya, menggigit gigi marah. Nadi di pelipisnya seolah akan meledak detik itu juga. Sudah syukur dia menerima perjodohan yang tak ada jalan keluarnya, sekarang ibunya bicara yang tidak masuk akal. Benar-benar bikin hati panas naik turun!
"Kamu lembur saja hari ini, ya! Biar punya alasan tidak datang ke pertemuan itu!" saran ibunya dengan penuh semangat, berteriak dengan satu tangan berada di sisi mulutnya.
"Ya, ampun! Pagi-pagi sudah berisik sekali!" gumam Risa kesal, menarik tas selempang lebih erat ke tubuhnya. Rambut ikalnya melambai indah ketika berjalan cepat menuju pintu utama. "Aku pergi dulu, Bu! Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam... haduh... anak itu... bikin cemas saja..." bisik sang ibu kepada diri sendiri.
"Dia kenapa lagi, Bu?"
"Oh! Raza! Nasihati adikmu itu! Masa karena terus gagal dalam percintaan, dia mau menerima begitu saja perjodohan yang telah diatur oleh ayahmu? Kamu adalah seorang dokter, ceramahi dia sedikit soal gen turun-temurun! Ibu mau punya cucu-cucu yang tampan dan cantik! Juga pintar dan cerdas! Apa ibu tidak boleh meminta hal seperti itu kepadanya? Dia itu cantik. Masa tidak ada satu pria pun yang serius dengannya?" jelasnya dengan kedua tangan berada di pinggang, ekspresi dibuat mengkerut sebal dan manja.
Raza menghela napas berat. “Ibu.... Itu adalah keputusan Risa. Biarkan saja. Mungkin itu jodohnya, kan? Risa juga tak mempermasalahkannya. Mau dia itu cantik atau tidak, kalau bukan jodohnya? Kita bisa apa?”
Dia meletakkan jubah putihnya pada sandaran kursi, dan duduk meraih beberapa lembar roti di atas meja.
“Tapi, kita tidak tahu seperti apa calon suaminya, kan?”
“Ya, sudah. Kita tinggal lihat saja, kan? Lagi pula, jika pernikahan ini menguntungkan kedua belah pihak, kenapa tidak?”
"Haduh! Raza! Kalian ini kembar, tapi kenapa sikapnya juga sama-sama keras kepalanya menentang ibu!"
“Jangan marah-marah terus, Bu! Nanti keriputnya bertambah. Mau?”
“Raza!”
Dokter muda berwajah tampan ini tersenyum jahil menanggapi gerutuan ibunya.
“Selamat pagi!” sapa seorang wanita berambut pendek kepada Risa yang baru saja duduk di kursi kerja. “Pagi!” balas Risa dengan senyum cerah. Tapi, begitu wanita tadi berlalu, wajahnya seketika ditekuk suram. Suasana kantor masih terbilang sepi, perempuan ini memang terbilang paling rajin jika terkait mengejar masa depannya. Sejak kecil, Risa selalu berusaha yang terbaik, termasuk juga masalah percintaan. Namun, Tuhan sepertinya berkehendak lain. Mau sekeras apa pun dia berusaha sama seperti dia belajar mati-matian dan mengejar karir, tetap saja kisah cintanya selalu gagal. Sekarang, ayahnya datang dengan proposal perjodohan demi menolong perusahaan mereka yang hampir bangkrut. Sebenarnya, Risa enggan melakukan perjodohan. Tapi, jika dia tidak melakukannya, maka seluruh karyawan perusahaan pasti akan terancam diberhentikan tanpa pesangon. Jika itu sampai terjadi, kemungkinan kerusuhan hebat akan menghantui perusahaan, sudah pasti rumah dan anggota keluarga mereka akan menjadi sasar
Malam hari, di sebuah kafe, Risa duduk di dekat jendela menunggu pria yang katanya akan datang bertemu dengannya. Tentu saja sekedar untuk melihat rupa satu sama lain dan saling mengenal singkat. Tapi, ini sudah lewat 15 menit, pria itu belum juga muncul. Padahal, Risa sudah berdandan cetar membahana agar membuat pria itu terpikat, memberikan kesan baik dan sopan—atasan pakaiannya berupa lengan panjang putih dengan bordiran indah dan rok biru plisket sebatas betis. Rasanya, semua usahanya akan meleleh seperti es krim yang tidak enak dimakan. Malam ini, dia juga berdandan tidak biasa. Wanita itu menghela napas berat. Sangat kecewa dan sedih. “Harusnya dia yang menunggu di sini, bukan aku,” gumam Risa, mengeluh dengan wajah cemberut. Seorang pelayan yang berjalan di dekatnya memberikan senyum sopan sambil membawa pesanan meja lain, Risa hanya membalasnya dengan senyum canggung. “Ya, ampun. Dia beneran mau menikah tidak, sih?” Risa menatap layar ponsel, memeriksa pesan singkat pria
Hari berikutnya, Risa menjalani kegiatan kantornya dengan hati berbunga-bunga. Wanita ini bagaikan terbang ke sana ke mari seperti manusia bersayap, sangat penuh tenaga dengan wajah terus tersenyum lebar. Ini membuat para rekan kerjanya kembali terheran-heran. “Dia kenapa lagi, sih? Bukankah kemarin dia terlihat seperti mau mati saja?” celutuk seorang wanita di depan meja Vera. Vera, teman Risa hanya memiringkan kepalanya bingung, menatap Risa yang sibuk menggandakan setumpuk dokumen sambil bersenandung riang di ruang fotokopi. Dari sejak datang ke kantor pagi ini, temannya itu sudah diberi banyak tugas, dan sama sekali tidak menolak atau mengeluh sedikit pun. Malahan, dia bertanya kepada yang lain apakah ada yang bisa dibantu olehnya? Sambil bersandar, sambil melipat tangan di kursi melihat kelakuan ajaib Risa. “Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan yang disebutkannya itu?” Vera membayangkan kembali kejadian kemarin. Dia memang setuju jika Risa menikah cepat. Tapi, kalau m
Didesak dengan pesona pria berkacamata tipis itu, keduanya akhirnya membeli gelang tersebut dan kembali makan malam bersama. Pria berkemeja biru gelap tersebut menatap Risa yang makan dengan perlahan di depannya. “Kamu tidak suka?” Sang wanita menegakkan kepala. “Suka, kok. Sangat enak. Dagingnya benar-benar lembut.” Pria di depannya memiliki sikap yang sangat romantis, selain pintar dan begitu tampan. Bagaimana bisa dia makan seperti orang kesurupan? Malulah! Padahal dagingnya benar-benar bikin saliva Risa nyaris menetes-netes. Tapi, dia malah harus menjaga sikap di saat seperti ini. Bikin sakit hati saja! Dalam hati, Risa menangis kesal dan frustrasi! “Lantas, kenapa makannya hanya sedikit?” “Eng... itu... sayang sekali kalau kita harus berpisah dengan cepat,” cicitnya malu-malu, mata menghindari tatapan sang pria. Yah, sejujurnya bukan itu alasan utamanya. Selain menjaga image, dia kepikiran dengan perkataan Vera tadi siang. Adnan Budiraharja memang pria yang benar-benar se
“Loh, ada apa ini? Kenapa semuanya sangat sibuk?” Risa yang baru saja masuk ke kantor terheran-heran dengan para karyawan yang tampak sibuk mondar-mandir dalam keadaan panik dan gelisah. Apakah ada inspeksi mendadak? “Heh! Kamu ini! Kenapa suka sekali ketinggalan berita?” Vera tiba-tiba muncul dari belakang membawa setumpuk dokumen hingga setinggi dagunya. Risa masih kebingungan, kepala dimiringkan. “Memang ada apa, sih? Apa kita dapat klien menyebalkan lagi?” Dokumen bertumpuk tadi dihempaskan ke atas meja hingga terdengar suara debam keras di udara, Vera berkacak pinggang pada rok pensil hijau selututnya, satu tangan menyangga di atas meja lawan bicaranya. “Kita ada pergantian bos Senin lalu. Kamu tidak tahu berita besar semacam ini? Tidak membaca pesan grup lagi?” Risa memucat pelan, tersenyum kaku. Dia bukannya malas membaca pesan grup mereka. Tapi, semalam usai diajak oleh Adnan sibuk mengobrol online sejenak, Risa cepat-cepat tidur saking lelahnya setelah acara jalan-ja
“Kamu serius? Tidak ada yang membahasku satu pun?” Risa mengangguk cepat. “Kebanyakan nonton drama Korea, tuh, pastinya!” ledek Vera kesal, nadi di pelipisnya berdenyut nyaris meledak. Harga dirinya seolah diremehkan. Padahal, tadi sudah sangat heboh sampai bikin beberapa orang jadi iri, ternyata semua hanya menjilat kepadanya! Mentang-mentang dirinya ini adalah bagian keuangan! Wanita berambut sebahu ini terlihat kecewa mendengar pengakuan Risa, dia juga sudah membuat dirinya jadi sangat malu, tapi usahanya sia-sia. “Bos baru itu seperti apa, sih? Sial! Aku sibuk mengurus laporan, jadinya belum bisa ikut gosip di grup mana pun! Awas saja kalau dia tidak seheboh yang mereka bicarakan!” “Hahaha. Sepertinya harapan mereka terlalu tinggi gara-gara bos-bos di sini sudah tua-tua. Kalau pun masih muda, tapi sudah ada pasangan. Daging segar memang selalu menarik, kan? Jangan salahkan mereka. Kamu juga, sih, pake heboh pamer kado begitu di saat semua orang sibuk dengan hal lain. Mana sem
Sesampainya di depan rumah Risa, Adnan meminta maaf atas insiden hari ini. “Tidak apa-apa! Sungguh! Itu, kan, bukan salah siapa pun? Kecelakaan semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, kok! Jangan terlalu dipikirkan.” Risa menggerak-gerakkan tangannya di udara, menolak permintaan maaf Adnan yang tampak memasang wajah murung dan gelap. “Aku minta maaf. Kamu mendapat hari yang tidak menyenangkan. Harusnya, ini menjadi kencan yang menakjubkan,” jelasnya dengan nada sedih. Tanpa disangka-sangka oleh Risa, pria yang kini hanya memakai kemeja putih tanpa jas mewah itu mulai memeluknya kuat-kuat. Risa gelagapan, salah tingkah. “A-Adnan... nanti ada yang lihat...” keluhnya sembari mencoba lepas dari pelukan sang pria. “Oh, maaf,” balasnya dengan wajah malu-malu. Risa tertegun kaget melihat ekspresi wajahnya, sangat tampan dan menggemaskan. Seketika saja sosok marah-marah menakutkannya tadi hilang dalam sekejap. “Ternyata Adnan punya karakter yang unik, ya?” puji Risa yang diiringi
Risa terdengar tertawa kaku tidak enak hati di seberang sana, makanya hanya bisa bergumam pelan ‘um’. Merasa Risa mulai menjaga jarak dengannya, Adnan segera mengambil alih. “Ada apa meneleponku pagi-pagi begini?” Risa mulai panik mendengarnya, menatap hadiah di tangan, merasa ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan itu. “Kenapa diam saja?” ledek sang pria dengan tawa rendahnya yang renyah. “I-itu Adnan... um... apa kamu yang memberiku hadiah akhir-akhir ini?” Dengan mata terpejam kuat, Risa akhirnya memberanikan diri menanyakan hal memalukan tersebut. Kalau bukan dari Adnan, bagaimana dia akan menjelaskannya? Kalau bukan dari Adnan, pria itu pasti berpikir dirinya sangat berharap dalam hubungan ini sampai merasa kegeeran, kan? Tidakkah itu agak memalukan meski mereka sudah mau menikah? “Hadiah?” “I-iya. Hadiah. Kemarin ada hadiah buku dan polpen, serta bunga tulip hias. Um... hari ini ada hadiah lagi. Lebih mahal daripada sebelumnya, kalung berlian dan cokelat. Juga masih ad
Pada Kamis esok paginya, Risa berangkat ke kantor dengan perasaan lesu. Sepertinya, berita mengenai kepala keluarga dari calon mertuanya menyebar dengan sangat cepat dan menghebohkan semua kalangan. Vera yang seketika melihatnya langsung mendekat buru-buru. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya dengan bisik-bisik. Risa hanya bisa menghela napas dan bergegas menuju lift, tidak ingin mendapat tatapan menarik dari banyak orang. Entah apa yang sudah beredar di internet, tetapi sepertinya itu juga terkait dengan dirinya. Vera yang sudah masuk bersama dengan Risa ke dalam lift, segera bersandar dan bertanya sembari memberi tatapan penasaran. "Katanya, rem mobil itu disabotase. Apakah benar?" Risa hanya bisa menggeleng pelan. Wajahnya semakin murung. "Aku tidak tahu. Adnan bilang, ayahnya hanya mengalami kecelakaan. Bahkan, gara-gara itu pernikahan kami harus ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan." Vera tersentak kaget mendengar ucapannya. "Jadi, pernikahan kalian ditu
Rencana lanjutan Shouhei tidak berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja, ada berita mengejutkan dari Ibu Kota."Risa, bangunlah! Kita sudah tiba," ucap Shouhei lembut sambil mengguncang pelan bahunya.Risa membuka mata dengan perasaan lemah. Sepertinya, dia belum sepenuhnya tersadar dari rasa kantuknya."Ada apa? Bolehkah aku tidur sebentar lagi?" ucapnya dengan nada serak.Shouhei langsung mendekatkan wajahnya ke depan wajah Risa. "Bangun. Kita sudah sampai di Ibu Kota."Risa membuka matanya lebar-lebar, terkejut luar biasa. Dia langsung mendorong pria di depannya."Kenapa begitu, sih? Bikin orang kaget saja!" protesnya marah.Shouhei hanya berdiri dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Nona cantik, bukankah kamu yang memaksa kita kembali ke Ibu Kota? Karena tidak sengaja mendengar kabar mengenai kecelakaan yang menimpa calon mertuamu."Risa seperti baru saja dipukul di belakang kepalanya. Seketika dia teringat dengan kejadian beberapa jam lalu."Oh, ya, ampun! Benar juga! Astaga, a
Karena tidak tahan dengan rasa lapar yang datang tiba-tiba kepadanya, Risa akhirnya terpaksa menuruti paksaan Shouhei yang terlalu tirani. Setelah makan beberapa suap, Risa baru menyadari sesuatu.Tunggu sebentar!Bukankah di yacht ini tidak ada orang lain selain mereka berdua?Itu artinya yang menyiapkan sarapan ini semua adalah dia, ataukah sudah disiapkan terlebih dahulu? Namun, saat Risa melihat hidangan rumit di depannya, keningnya segera berkerut.Shouhei, yang menyadari raut wajahnya yang berubah, segera menegurnyam, "Ada apa? Kamu tidak suka dengan sarapan yang kubuat?"Alis Risa naik dengan cepat, disertai rasa keterkejutan."Jadi benar, sarapan ini kamu yang membuatnya?"Senyum Shouhei terlihat sangat manis dan tampan. "Tentu saja. Menurutmu siapa lagi? Aku tidak akan sembarangan membiarkan orang lain memasak untukmu."Wajah Risa memerah dengan cepat. Perkataannya terkesan sangat romantis dan manis. Walaupun dia tersipu malu, tapi entah kenapa ada hal aneh yang tersembunyi
Matahari bersinar sangat lembut ketika Risa Abdullah terbangun keesokan harinya. Dia menatap linglung langit-langit yang asing baginya.Tunggu! Dia tidur di mana sekarang? Kenapa dia tidak ingat apa pun?Selama beberapa detik, dia mencoba memproses semuanya dengan pikiran kacau balau. Lalu setelah memejamkan mata sebentar, dia langsung panik mengingat kejadian semalam!Tidak!Risa tidak ingat tentang mimpi es krim rasa pandannya, tapi teringat kalau dia sedang berduaan hanya dengan Shouhei entah di mana di tengah laut saat ini.Takut terjadi hal yang tidak diinginkan sebelum hari pernikahannya, dia segera memeriksa tubuhnya dan lega mendapati pakaiannya masih utuh.“Ke mana dia? Kenapa tidak ada di mana pun?” tanyanya kepada diri sendiri begitu keluar kamar sambil mengenakan sandal tidur yang lucu.Risa mencari-cari keberadaan bos galaknya di semua lantai yacht mewah tersebut, tapi tidak menemukan siapa pun.“Kenapa rasanya sangat menakutkan begini?” gumamnya kepada diri sendiri, mengu
Meskipun Risa tidak begitu senang dengan apa yang telah disiapkan oleh Shouhei, tapi dia akhirnya bisa menikmatinya juga di bawah taburan bintang-bintang yang sangat banyak.Kembang api dinyalakan dalam berbagai macam jenis, membuat suasana di tepi pantai itu terlihat sangat meriah meski hanya ada mereka berdua.Tidak jauh dari sana, tempat untuk mengadakan makan malam dengan lilin romantis telah dipersiapkan sedemikian rupa.Pantai yang mereka datangi adalah salah satu pulai kecil yang berada tidak jauh dari pulau utama. Itu juga termasuk dari pulau yang telah dibeli oleh Shouhei.Tawa Risa sangat keras dan lepas. Dia menari dengan kedua tangan memegang kembang api yang memancarkan bunga api yang sangat indah. Keringatnya bahkan sampai menghiasi wajahnya.Walaupun dia terlihat senang, sebenarnya dia sangat merasa bersalah kepada Adnan. Tentu saja karena pernikahannya dengan pria itu hanya tinggal menghitung hari. Namun, karena dia berpikir mustahil bisa bersama cintanya yang sangat an
Keesokan paginya, di tempat lain, Adnan Budiraharja menatap kesal layar ponselnya dengan perasaan kacau.Dia telah mencoba mencari tahu keberadaan Risa sejak pesan aneh datang kepadanya. Sebenarnya, dia tahu siapa yang membalasnya, tapi dia masih mencoba memikirkannya.“Kamu yakin?” tanya Adnan kepada sekretaris pribadinya.Pria muda yang berdiri menghadapnya dengan gugup tampak tersenyum canggung. “Maaf, Pak. Tapi, sejauh yang bisa saya cari tahu kalau mereka katanya sedang dalam perjalanan bisnis.” Adnan mengerutkan kening dalam. “Perjalanan bisnis apa yang memakan waktu sangat lama dan tidak ada kabar terbaru sama sekali?”Sebentar lagi pernikahannya dengan Risa akan diadakan, tapi tiba-tiba saja dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Kedua orang tua wanita itu telah menenangkannya kalau tidak ada masalah sama sekali. Tapi, kenapa dia merasa tidak nyaman.Seburuk apapun seorang pria, Adnan tahu dengan jelas.“Selidik lebih jauh pergerakan Shouhei Shiraishi dua minggu ini, aku yakin
Seperti biasa, Shouhei tidak memikirkan pendapat Risa sama sekali. Dia langsung menggerakkan tangan ke arah seorang pelayan pria tua, lalu berkata kepada para tim desainer, “Silakan mengukur pakaian yang sedikit longgar untuknya. Aku tidak mau dia memakai pakaian yang ketat dan menonjol. Untuk masalah desainnya, berikan saja setelah kalian mengukur tubuhnya dan pastikan berikan yang terbaik.”Risa melotot hebat mendengar perintahnya yang sangat tirani.“Shouhei! Apa kamu mendengarku?! Aku bilang aku tidak akan melakukannya! Aku tidak akan menerima apa pun yang kamu berikan kepadaku lagi. Apa otakmu ada masalah?”Shouhei diam melihatnya, menatapnya berlama-lama. Dia lalu tersenyum paling lembut hingga membuat sang wanita merasa salah tingkah dan canggung.Kenapa dia malah tersenyum seperti itu?Apakah dia tidak marah?“Kamu mengerti, kan? Aku tidak mau diberikan pakaian mewah! Aku bisa membelinya sendiri! Lagi pula, untuk apa memiliki banyak pakaian yang tidak bisa dipakai setiap hari?
Perjalanan menggunakan helikopter itu sangat menyenangkan di luar dugaaan Risa. Walaupun pada mulanya dia sangat marah kepada pilot dadakan yang ada di dekatnya, ternyata pemandangan di sekitar pulau pribadi begitu menakjubkan!Sudut bibir Shouhei tertarik melirik Risa yang terkesima melihat hamparan pemandangan indah di bawah mereka. Pasir putih yang menakjubkan dan masih alami, lautan jernih yang seperti kristal biru, dan juga luas pulau pribadi yang cukup memukau dengan daratan yang memiliki banyak variasi daratan, membuat Risa tidak sadar terlalu menikmatinya.Sebagai putri dari keluarga kaya yang sudah lama menjadi rakyat biasa, berlibur adalah hal yang jarang dilakukan olehnya. Jadi, ketika dihadapkan dengan situasi seperti sekarang, dia menjadi lebih antusias.Siapa bilang kalau menjadi kaya raya itu suka berlibur ke tempat-tempat indah? Risa tidak punya waktu sama sekali gara-gara kesibukan kerjaan yang selalu menghampirinya. Kalaupun libur, dia pasti hanya akan mengikuti libu
“Bisakah kamu memberi ponselku sekarang?” kata Risa tidak sabaran saat mereka berdua sedang berjalan ke sebuah helipad yang ada di sekitar mansion super besar itu. Tatapan Risa tampak sangat kesal ke arah punggung pria dingin di depannya. Shouhei tidak menanggapinya serius. “Jangan khawatir. Aku sudah bilang kepada keluargamu kalau kamu sedang melakukan tugas yang sangat penting denganku. Sejak tadi kamu melihat ponselmu setelah aku begitu sabar melihatmu tersenyum sendirian. Tidak baik seperti itu, Sayang. Nanti orang-orang mengira ada yang tidak beres dengan dirimu.” Risa menghentakkan kakinya kesal! Kedua tangan mengepal erat, wajahnya tampak cemberut penuh protes. “Kamu tidak berhak menahan ponselku, Shouhei Shiraishi! Cepat kembalikan kepadaku! Kamu tidak bisa bersikap begini! Kamu hanya tidak mau aku berhubungan dengan Adnan, kan?” Shouhei masih mengabaikan protesnya. Dia sudah berbicara dengan dua pria berseragam ala petugas bandara, lalu melirik sekilas ke arah wanita yang