Malam hari, di sebuah kafe, Risa duduk di dekat jendela menunggu pria yang katanya akan datang bertemu dengannya. Tentu saja sekedar untuk melihat rupa satu sama lain dan saling mengenal singkat. Tapi, ini sudah lewat 15 menit, pria itu belum juga muncul.
Padahal, Risa sudah berdandan cetar membahana agar membuat pria itu terpikat, memberikan kesan baik dan sopan—atasan pakaiannya berupa lengan panjang putih dengan bordiran indah dan rok biru plisket sebatas betis. Rasanya, semua usahanya akan meleleh seperti es krim yang tidak enak dimakan. Malam ini, dia juga berdandan tidak biasa.
Wanita itu menghela napas berat. Sangat kecewa dan sedih.
“Harusnya dia yang menunggu di sini, bukan aku,” gumam Risa, mengeluh dengan wajah cemberut.
Seorang pelayan yang berjalan di dekatnya memberikan senyum sopan sambil membawa pesanan meja lain, Risa hanya membalasnya dengan senyum canggung.
“Ya, ampun. Dia beneran mau menikah tidak, sih?”
Risa menatap layar ponsel, memeriksa pesan singkat pria itu. Foto profilnya hanya menampilkan sebuah gambar pemandangan laut dengan gedung pencakar langit di luar negeri—sepertinya tempat itu di Australia, seolah dengan begitu dia ingin pamer kalau dia adalah orang yang berada dan elit.
Biasanya kalau tampan, pasti akan pamer dengan wajahnya, tapi ini malah foto pemandangan saja?
Dalam hati, Risa merasa sangat dongkol mengingat perkataan ibunya: botak, gendut, dan jelek?
Wajah Risa menggelap cepat, roh seperti sudah mau keluar dari tubuhnya.
Selama dia menunggu, beberapa pengunjung kafe sudah hilir-mudik keluar masuk tempat itu, sementara Risa masih menunggu dengan segelas air yang sudah dituang beberapa kali oleh pelayan kafe.
“Apa dia membatalkan perjodohan kami? Tidak suka menikah atas dasar kerja sama bisnis yang dipaksakan itu?”
Risa yang sudah hampir menunggu selama 1 jam, akhirnya mulai menggerundel sendirian di mejanya, ditatap aneh dan penuh rasa penasaran oleh para pengunjung lainnya, sama seperti ketika berada di kantornya tadi pagi.
Para pelayan kafe pun mulai bisik-bisik kasihan di sudut ruangan.
“Maaf, menunggu lama,” ujar sebuah suara merdu dan sangat sopan beberapa menit kemudian.
Risa yang sudah duduk bersandar di kaca, nyaris tertidur, akhirnya tertegun kaget, spontan berdiri dan berteriak kencang, “MAAF, PAK! MINGGU DEPAN, SAYA AKAN SEGERA AJUKAN LAPORANNYA!”
Suara gelak tawa indah terdengar di telinga Risa, membuat wanita ini tertegun kaget dengan sosok pria di depannya.
Sebagian orang di sana juga tertawa dengan tingkah konyolnya, tapi Risa malah terhipnotis oleh suara tawa pendatang baru itu.
“Tadi ada rapat mendadak, dan ponsel saya kehabisan baterai. Maaf sudah menunggu lama. Saya pikir, Anda tidak akan pergi tanpa penjelasan. Untunglah tebakan saya benar.”
Risa membeku di kedua kakinya, mata tak berkedip. Tidak tahu harus berkata apa.
Di depan Risa, sudah berdiri seorang pria tinggi berjas abu-abu metalik, berambut hitam medium dan berkacamata tipis. Pembawaannya sangat intelek dan dewasa.
Oh! Sangat tampan, ya, Tuhan!
“Halo, salam kenal. Anda pasti Risa Abdullah. Nama saya adalah Adnan Budiraharja,” sapanya dengan mata melengkung indah bak bulan sabit, tangan kanan terjulur untuk menyalami Risa.
‘Ta-tampaaan...! Kyaaa...! Apakah seperti ini rasanya menang lotere?’ batin Risa dengan hati girang. Tapi, di luar, raut wajahnya sedikit kaku dan canggung.
“Se-senang bertemu dengan Anda, Pak Adnan,” balas Risa, menyambut tangan pria itu.
“Panggil saja Adnan. Sebentar lagi, kita bukan orang asing, bukan...?” tegurnya pelan, tersenyum ramah, lalu melanjutkan dengan nada mesra dan akrab, “... Risa.”
Hati Risa melambung tinggi!
Jantung berdegup kencang! Kedua pipinya merona indah! Matanya membesar oleh rasa bahagia yang meledak-meledak!
Dia terlihat salah tingkah dengan menyisipkan anak-anak rambut di balik daun telinganya. Bahkan, senyumnya tampak malu-malu bagaikan anak perempuan yang baru kali pertama jatuh cinta.
Apakah kisah cintanya akan berubah drastis kali ini? Risa sangat bersemangat!
“Be-begitu, ya?” balasnya sembari tertawa canggung.
Adnan tersenyum lembut, lalu memberikan gesture untuk duduk, “mari, pasti sudah lapar, bukan? Mau pesan apa? Biar saya yang membayar semuanya. Jangan sungkan-sungkan.”
Risa menelan ludah gugup.
Calon suaminya ini terlalu sempurna!
Bagaimana mungkin nasib begitu baik padanya kali ini?
Apakah ini namanya setelah semua hal buruk berlalu, hal baik akhirnya muncul?
Kedua mata Risa berbinar indah berkaca-kaca melihat sosok calon suami berkacamatanya itu. Sangat sopan, tampan, dan senyumnya begitu manis!
Astaga! Hatinya meleleh bukan main!
“Apakah ada yang aneh di wajah saya?” tanya Adnan dengan pembawaan tenang dan dewasa, punggung tangan kanannya dengan canggung menyeka sebelah pipinya. Tampak lebih anggun dan tampan hanya dengan gerakan kecil seperti itu.
Risa dengan cepat menggelengkan kepala!
“Anda sungguh ingin menikah dengan saya? Kalau tidak suka, dan merasa terbebani, saya tidak keberatan membatalkan perjodohan ini!”
Entah kenapa Risa malah mengatakan hal konyol. Mungkin karena rasa bersalah di hati nuraninya kalau pria itu akan mendapatkan wanita di bawah standar. Jika dibandingkan di antara mereka berdua, Risa merasa seperti wanita yang terlalu sangat beruntung untuk bisa bersanding dengan pria luar biasa itu.
Adnan terkekeh kecil, sangat sopan dan indah, membuat jantung Risa berdebar bagaikan bom yang siap meledak. Kedua tangan di pangkuannya saling jalin menjalin, sangat gugup dan gelisah.
Dia bukannya tidak setuju dengan Adnan sebagai calon suaminya. Pria itu bahkan adalah tipe pria idaman semua wanita. Risa yakin itu. Tapi, bersamanya? Kalau setelah menikah nanti, lalu ternyata pria itu memiliki wanita idaman lain? Bukankah pasti akan sangat menyakitkan?!
“Risa... Risa... kamu ini bicara apa? Tentu saja aku ingin menikah denganmu.”
Wanita berwajah manis tertegun mendengar gaya bahasa informal tersebut, mata sedikit membesar oleh rasa antusias.
“Apa... tidak boleh bercakap biasa? Terlalu cepat, ya?” lanjutnya dengan sedikit ragu-ragu, kening bertaut kecil.
Risa yang sudah terpesona dengan calon suami luar biasanya, lagi-lagi menggelengkan kepala cepat.
“Silakan jika Adnan tidak keberatan,” jawab Risa gugup, lalu melanjutkan, “apa sungguh... Anda ingin menikah dengan saya?”
“Tentu saja.”
Mata indah di balik kacamata itu tersenyum memikat.
Risa terpana sekali lagi!
“Ta-tapi ini adalah perjodohan karena masalah bisnis. Apakah tidak apa-apa? Seandainya Anda punya wanita yang disukai, saya tidak masalah jika ini batal. Sungguh!”
Suara Risa memekik sedikit, terlihat sangat salah tingkah dan bersalah.
Pria berkacamata tertawa pelan, tenang dan bijaksana.
“Tidak. Saya tidak punya wanita sama sekali. Yang disukai pun juga tidak ada. High quality jomblo sama seperti Risa. Pak Abdullah telah menceritakan kepada saya soal kisah cinta Risa selama ini. Kedengarannya sangat menarik.”
‘Aduh... ayah itu... bisa-bisanya menceritakan hal memalukan begitu kepada calon suami yang tidak aku kenal sama sekali!’ batin Risa dengan perasaan tidak nyaman, mata menghindari pandangan memikat pria di depannya. Malu-malu, tapi senang Adnan tahu kekurangannya.
“Kalau begitu, kita pesan makanan dulu. Nanti bicaranya kita lanjutkan saja. Bagaimana?” saran Adnan ramah.
Risa hanya bisa mengangguk patuh, karena visual calon suaminya benar-benar di atas standarnya!
Selama makan malam yang diselipi dengan sesi bincang dan berkenalan satu sama lain, hati Risa sungguh berbunga-bunga sampai lupa semuanya.
Akhirnya!
Setelah selama ini kesialan cintanya hampir 12 tahun melekat dalam hidupnya, sepertinya Tuhan sudah berbelas kasih dengan mendatangkan Jackpot setinggi langit untuknya!
“Jika tidak keberatan, aku ingin mengantarmu pulang. Bagaimana?” tawar Adnan ketika mereka akhirnya selesai makan. Itu artinya juga pembicaraan penuh tawa dan canda keduanya harus berhenti begitu saja.
Perkenalan hari ini untuk kali pertama tidak begitu buruk!
Risa sangat bahagia!
Setidaknya, dia tahu kalau pria di depannya ternyata memang luar biasa sama seperti apa yang ayahnya katakan, bukan hanya sekedar umpan untuknya semata. Tapi, kenapa tidak bilang sejak awal kalau dia setampan itu? Apakah ini kejutan untuknya? Pulang nanti dia harus berbaik-baik kepada ayahnya! Hehehe!
Dengan kedua pipi merona malu-malu, Risa menjawab, “jika Adnan tidak repot, boleh saja. Terima kasih sebelumnya.”
“Senang mendengarnya,” ucap Adnan sembari berdiri dari kursinya, berjalan ke arah Risa dan mengecup punggung tangannya dengan gaya yang begitu gentleman, mata terpejam anggun.
Jantung Risa meledak oleh perlakuan romantis sang pria, kedua bola mata berputar dengan perasaan malu-malu menyerangnya.
‘Kyaaa...! Tuhan...! Terima kasih banyak atas anugerah ini...!’ teriak Risa dalam hati, guling-guling dalam khayalannya dengan kebahagian hebat yang telah menghampiri hidupnya.
Ketika mereka berdua telah berjalan menuju pintu keluar, di sudut kafe, sejak tadi, seorang pria dengan mantel cokelat mengawasi pasangan tersebut secara diam-diam.
“Benar. Pria itu memang yang ditemui olehnya, Tuan muda. Adnan Budiraharja. Baik. Akan saya selidiki lebih lanjut seperti apa dia selama ini,” ucap pria bermantel melalui headsfree, menurunkan sebuah map cokelat di depan wajahnya yang ternyata hanyalah sebuah kamuflase agar terlihat sok sibuk di mata orang lain.
***
Di seberang telepon, di ruang kerja pribadinya, Shouhei yang mendengar semua laporan kegiatan pertemuan singkat Risa dengan calon suaminya dari awal sampai akhir, tampak tidak baik-baik saja. Rahang indahnya mengeras sempurna, mata dingin gelapnya melintas cahaya tipis menakutkan seolah-olah akan menelan seseorang hidup-hidup.
Aura kegelapan dari pria berwajah dingin itu menguar hebat dari seluruh sisi tubuhnya. Suhu udara di ruangan tiba-tiba menurun drastis. Bahkan, sekretaris pria berkacamata di depannya seolah tercekik merasakan perubahan suasana hatinya yang sangat ekstrem.
“Tuan muda?” tegur sang sekretaris takut-takut.
Dia sedang menunggu laporan untuk selesai ditandatangani, tapi begitu bosnya mendapat telepon, sepertinya dia langsung kehilangan fokus dan tampak ingin membalik meja dengan wajah menakutkan.
“Ada apa?!” bentaknya menggeram rendah dengan suara berbahaya. Mata berkilat penuh ancaman.
“Maaf, Tuan muda. Tapi, laporannya harus ditandatangani malam ini juga,” balasnya cepat, berusaha bersikap profesional. Mau tidak mau, dia harus mulai terbiasa dengan sikap baru bosnya sekarang.
Shouhei yang sadar hampir kehilangan kendali, menghela napas berat sambil memejamkan mata kuat-kuat Bersandar lelah memijat sebelah keningnya frustrasi, dan berkata setengah bergumam, “maaf membentakmu. Biarkan aku istirahat setengah jam dulu. Aku ingin menenangkan pikiranku.”
“Tidak apa-apa, Tuan muda. Kalau begitu, selamat beristirahat!”
Sepeninggal sang sekretaris, Shouhei yang suasana hatinya memburuk penuh kecemburuan dan amarah, segera membuka laci dan meraih sebuah foto lama. Itu adalah foto Risa Abdullah semasa SMA. Dari sudut pengambilannya, jelas diambil secara diam-diam di saat jam makan siang di sebuah kantin sekolah.
Begitu melihatnya baik-baik, seulas senyum lembut terbit di bibir tipis pria yang tengah duduk bersandar elegan ini. Dia memejamkan mata erat sambil memeluk foto Risa di dadanya, penuh cinta dan kerinduan.
Wajah dingin menakutkan Shouhei perlahan meluruh, sangat tampan dan memikat. Tidak seperti sebelumnya yang sudah mirip badai salju hadir di ruangan tersebut.
“Risa Abdullah... kamu adalah milikku. Selain aku, tidak ada pria yang boleh memilikimu di dunia ini. Semua pria yang berani merebutmu dariku, pasti akan aku hancurkan satu per satu....” gumamnya posesif ekstrem, setengah menggeram lembut dengan mata masih terpejam erat.
Dalam hati, Shouhei tidak akan gegabah seperti dulu lagi. Sebuah rencana licik dan jahat telah dipikirkannya sedemikian rupa agar bisa mengurung Risa di sisinya untuk selamanya.
Kali ini, tidak akan ada yang bisa menghalanginya untuk mendapatkan wanita yang sangat dicintainya itu. Tidak seorang pun! Termasuk keluarganya sendiri!
“Aku bisa membuatmu jatuh cinta tergila-gila kepadaku hanya dalam waktu 3 hari. Mau bertaruh?”
“Apa?! Dasar gila! Aku tidak akan pernah mencintaimu! Kamu dengar?! Tidak akan pernah, Shouhei Shiraishi! Teruslah bermimpi!”
Suara bentakan marah Risa bergaung kuat dalam ingatan Shouhei.
Memotong kenangan tidak menyenangkan itu, sudut bibir Shouhei tertarik dingin dan licik menatap foto Risa di tangannya.
“Benarkah kamu tidak akan pernah mencintaiku, Risa Abdullah? Sayang sekali, kamu tidak ada pilihan lain,” gumamnya arogan dan percaya diri, nada ancamannya terdengar sangat posesif, sangat berbahaya.
Mata dingin gelapnya tiba-tiba memancarkan kilatan obsesi mengerikan.
Obsesi yang diam-diam telah dipendam olehnya selama bertahun-tahun terhadap Risa Abdullah.
Hari berikutnya, Risa menjalani kegiatan kantornya dengan hati berbunga-bunga. Wanita ini bagaikan terbang ke sana ke mari seperti manusia bersayap, sangat penuh tenaga dengan wajah terus tersenyum lebar. Ini membuat para rekan kerjanya kembali terheran-heran. “Dia kenapa lagi, sih? Bukankah kemarin dia terlihat seperti mau mati saja?” celutuk seorang wanita di depan meja Vera. Vera, teman Risa hanya memiringkan kepalanya bingung, menatap Risa yang sibuk menggandakan setumpuk dokumen sambil bersenandung riang di ruang fotokopi. Dari sejak datang ke kantor pagi ini, temannya itu sudah diberi banyak tugas, dan sama sekali tidak menolak atau mengeluh sedikit pun. Malahan, dia bertanya kepada yang lain apakah ada yang bisa dibantu olehnya? Sambil bersandar, sambil melipat tangan di kursi melihat kelakuan ajaib Risa. “Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan yang disebutkannya itu?” Vera membayangkan kembali kejadian kemarin. Dia memang setuju jika Risa menikah cepat. Tapi, kalau m
Didesak dengan pesona pria berkacamata tipis itu, keduanya akhirnya membeli gelang tersebut dan kembali makan malam bersama. Pria berkemeja biru gelap tersebut menatap Risa yang makan dengan perlahan di depannya. “Kamu tidak suka?” Sang wanita menegakkan kepala. “Suka, kok. Sangat enak. Dagingnya benar-benar lembut.” Pria di depannya memiliki sikap yang sangat romantis, selain pintar dan begitu tampan. Bagaimana bisa dia makan seperti orang kesurupan? Malulah! Padahal dagingnya benar-benar bikin saliva Risa nyaris menetes-netes. Tapi, dia malah harus menjaga sikap di saat seperti ini. Bikin sakit hati saja! Dalam hati, Risa menangis kesal dan frustrasi! “Lantas, kenapa makannya hanya sedikit?” “Eng... itu... sayang sekali kalau kita harus berpisah dengan cepat,” cicitnya malu-malu, mata menghindari tatapan sang pria. Yah, sejujurnya bukan itu alasan utamanya. Selain menjaga image, dia kepikiran dengan perkataan Vera tadi siang. Adnan Budiraharja memang pria yang benar-benar se
“Loh, ada apa ini? Kenapa semuanya sangat sibuk?” Risa yang baru saja masuk ke kantor terheran-heran dengan para karyawan yang tampak sibuk mondar-mandir dalam keadaan panik dan gelisah. Apakah ada inspeksi mendadak? “Heh! Kamu ini! Kenapa suka sekali ketinggalan berita?” Vera tiba-tiba muncul dari belakang membawa setumpuk dokumen hingga setinggi dagunya. Risa masih kebingungan, kepala dimiringkan. “Memang ada apa, sih? Apa kita dapat klien menyebalkan lagi?” Dokumen bertumpuk tadi dihempaskan ke atas meja hingga terdengar suara debam keras di udara, Vera berkacak pinggang pada rok pensil hijau selututnya, satu tangan menyangga di atas meja lawan bicaranya. “Kita ada pergantian bos Senin lalu. Kamu tidak tahu berita besar semacam ini? Tidak membaca pesan grup lagi?” Risa memucat pelan, tersenyum kaku. Dia bukannya malas membaca pesan grup mereka. Tapi, semalam usai diajak oleh Adnan sibuk mengobrol online sejenak, Risa cepat-cepat tidur saking lelahnya setelah acara jalan-ja
“Kamu serius? Tidak ada yang membahasku satu pun?” Risa mengangguk cepat. “Kebanyakan nonton drama Korea, tuh, pastinya!” ledek Vera kesal, nadi di pelipisnya berdenyut nyaris meledak. Harga dirinya seolah diremehkan. Padahal, tadi sudah sangat heboh sampai bikin beberapa orang jadi iri, ternyata semua hanya menjilat kepadanya! Mentang-mentang dirinya ini adalah bagian keuangan! Wanita berambut sebahu ini terlihat kecewa mendengar pengakuan Risa, dia juga sudah membuat dirinya jadi sangat malu, tapi usahanya sia-sia. “Bos baru itu seperti apa, sih? Sial! Aku sibuk mengurus laporan, jadinya belum bisa ikut gosip di grup mana pun! Awas saja kalau dia tidak seheboh yang mereka bicarakan!” “Hahaha. Sepertinya harapan mereka terlalu tinggi gara-gara bos-bos di sini sudah tua-tua. Kalau pun masih muda, tapi sudah ada pasangan. Daging segar memang selalu menarik, kan? Jangan salahkan mereka. Kamu juga, sih, pake heboh pamer kado begitu di saat semua orang sibuk dengan hal lain. Mana sem
Sesampainya di depan rumah Risa, Adnan meminta maaf atas insiden hari ini. “Tidak apa-apa! Sungguh! Itu, kan, bukan salah siapa pun? Kecelakaan semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, kok! Jangan terlalu dipikirkan.” Risa menggerak-gerakkan tangannya di udara, menolak permintaan maaf Adnan yang tampak memasang wajah murung dan gelap. “Aku minta maaf. Kamu mendapat hari yang tidak menyenangkan. Harusnya, ini menjadi kencan yang menakjubkan,” jelasnya dengan nada sedih. Tanpa disangka-sangka oleh Risa, pria yang kini hanya memakai kemeja putih tanpa jas mewah itu mulai memeluknya kuat-kuat. Risa gelagapan, salah tingkah. “A-Adnan... nanti ada yang lihat...” keluhnya sembari mencoba lepas dari pelukan sang pria. “Oh, maaf,” balasnya dengan wajah malu-malu. Risa tertegun kaget melihat ekspresi wajahnya, sangat tampan dan menggemaskan. Seketika saja sosok marah-marah menakutkannya tadi hilang dalam sekejap. “Ternyata Adnan punya karakter yang unik, ya?” puji Risa yang diiringi
Risa terdengar tertawa kaku tidak enak hati di seberang sana, makanya hanya bisa bergumam pelan ‘um’. Merasa Risa mulai menjaga jarak dengannya, Adnan segera mengambil alih. “Ada apa meneleponku pagi-pagi begini?” Risa mulai panik mendengarnya, menatap hadiah di tangan, merasa ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan itu. “Kenapa diam saja?” ledek sang pria dengan tawa rendahnya yang renyah. “I-itu Adnan... um... apa kamu yang memberiku hadiah akhir-akhir ini?” Dengan mata terpejam kuat, Risa akhirnya memberanikan diri menanyakan hal memalukan tersebut. Kalau bukan dari Adnan, bagaimana dia akan menjelaskannya? Kalau bukan dari Adnan, pria itu pasti berpikir dirinya sangat berharap dalam hubungan ini sampai merasa kegeeran, kan? Tidakkah itu agak memalukan meski mereka sudah mau menikah? “Hadiah?” “I-iya. Hadiah. Kemarin ada hadiah buku dan polpen, serta bunga tulip hias. Um... hari ini ada hadiah lagi. Lebih mahal daripada sebelumnya, kalung berlian dan cokelat. Juga masih ad
Bu Sari menekuk tubuhnya di depan pembatas meja, bertopang dagu tepat di depan meja Risa, dan berkata pelan penuh rayuan, “aku ini tidak begitu murahan, Risa. Tidak seperti mereka yang suka menjilat orang-orang demi keuntungan pribadi. Kamu tahu, kan, aku ini suka dengan barang-barang bermerek. Aku hanya ingin tahu lebih banyak apa-apa saja yang sudah diberikan olehnya kepadamu. Anggap saja aku sedang melakukan riset. Ini demi keuntungan perusahaan juga, kan?”Mulut Bu Sari sungguh licin seperti belut.Orang-orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman, tapi ada kebenaran dalam suaranya, tidak bisa membuat mereka protes karenanya.Risa menatapnya datar dan malas. Bu Sari sudah berkedip-kedip manja untuk merayunya, tapi wanita berambut hitam sepunggung ini tidak tergerak sedikit pun.Bagaimana dia ingin menceritakan semuanya? Mereka saja baru bertemu!“Bu Sari, mohon maaf. Tapi, saya baru berkenalan dengan pria itu. Dia adalah pria yang dijodohkan dengan saya. Jadi, maafkan saya jika har
“Kamu tidak suka? Apa ini benar-benar berlebihan? Aku pikir ini romantis.” Raut wajah Adnan langsung menampilkan senyum manis dan hangat. Melihat itu, hati Risa langsung lega. Dengan cepat, dia menyimpulkan bahwa semua ini memang benar adalah hadiah dari calon suaminya. “Um! Aku sangat menghargai semua pemberianmu, tapi lain kali sungguh tidak usah yang seperti ini, ya! Takutnya ada gosip yang tidak enak menyebar di kantor. Kamu tahu, kan, kalau ada gosip tidak enak bisa membuat kinerja jadi terganggu.” Adnan hanya mengangguk pelan, senyumnya terus melekat, sama sekali tidak banyak bicara usai Risa memperlihatkan foto-foto itu. Sang pria hanya memerhatikan Risa menggulir media sosialnya sambil menjelaskan hadiah-hadiah yang diterimanya, dan mengeluh soal beberapa teman kantornya yang mulai dekat-dekat hanya untuk menjilat kepadanya. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan bertemu dengan mereka.” Adnan berkata singkat begini membuat Risa yang berceloteh soal rasa penasaran teman-teman ka
Sejak mereka berpisah di restoran, Risa Abdullah benar-benar tidak berhubungan lagi dengan bos dinginnya. Selama tiga hari itu, dia terus menghindarinya dalam berbagai bentuk. Walaupun dia adalah bosnya, wanita itu berusaha untuk tidak menatap mata dengannya meskipun pria itu sekadar lewat di depannya, hanya menyapanya secara formal.Mungkin begitu juga Shouhei ingin mengujinya, makanya dia jarang sekali muncul dan bersikap sangat dingin.***Setelah tiga hari lewat, hari Senin pun tiba. Risa datang ke kantor dengan hati sedikit berat, tetapi dia senang. Tiga hari tanpa gangguan dari pria buas itu membuat hidupnya lebih baik dan damai.Adnan meneleponnya."Apakah aku akan menjemputmu sore nanti? Kamu bilang akan mengunjungi Ayah, bukan?"Risa yang sedang berjalan di trotoar tersenyum kecil dan menjawab dengan nada tulus, "Ya, tentu saja. Aku dengar kalau kondisi ayahmu sudah lebih baik. Walaupun dia belum sadar dari komanya, tapi dokter berkata ada kemajuan yang signifikan. Aku ingin
Pria dingin di meja mencoba untuk menenangkan diri. Lewat wajahnya yang tidak ada emosi sama sekali, dia berkata lebih lembut, "Risa Abdullah, kemarilah. Ayo duduk. Tidak baik menyisakan makanan seperti itu. Jangan melampiaskan amarahmu kepada hal-hal yang tidak bersalah. Kamu tidak ingin berdosa karena membuang-buang makanan, bukan?"Hati Risa tenggelam berat. Dia menatap muram pria dingin di meja itu, dengan tangannya yang mengepal erat. Bagaimana bisa dia begitu saja berkata seperti itu setelah mengancamnya dengan nyawa orang lain? Terlebih lagi, itu adalah nyawa calon ayah mertuanya!Melihat Risa tidak bergerak dari tempatnya, Shouhei lalu menatapnya lebih dingin. "Duduk," titahnya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Seketika saja, Risa merasakan sekujur tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang tidak biasa. Tatapan pria itu sangat menakutkan hingga membuat hatinya menciut hebat. Keringat dinginnya sudah turun banyak. Dengan perasaan enggan, dia berjalan kembali ke kursinya da
Pada Kamis esok paginya, Risa berangkat ke kantor dengan perasaan lesu. Sepertinya, berita mengenai kepala keluarga dari calon mertuanya menyebar dengan sangat cepat dan menghebohkan semua kalangan. Vera yang seketika melihatnya langsung mendekat buru-buru. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya dengan bisik-bisik. Risa hanya bisa menghela napas dan bergegas menuju lift, tidak ingin mendapat tatapan menarik dari banyak orang. Entah apa yang sudah beredar di internet, tetapi sepertinya itu juga terkait dengan dirinya. Vera yang sudah masuk bersama dengan Risa ke dalam lift, segera bersandar dan bertanya sembari memberi tatapan penasaran. "Katanya, rem mobil itu disabotase. Apakah benar?" Risa hanya bisa menggeleng pelan. Wajahnya semakin murung. "Aku tidak tahu. Adnan bilang, ayahnya hanya mengalami kecelakaan. Bahkan, gara-gara itu pernikahan kami harus ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan." Vera tersentak kaget mendengar ucapannya. "Jadi, pernikahan kalian ditu
Rencana lanjutan Shouhei tidak berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja, ada berita mengejutkan dari Ibu Kota."Risa, bangunlah! Kita sudah tiba," ucap Shouhei lembut sambil mengguncang pelan bahunya.Risa membuka mata dengan perasaan lemah. Sepertinya, dia belum sepenuhnya tersadar dari rasa kantuknya."Ada apa? Bolehkah aku tidur sebentar lagi?" ucapnya dengan nada serak.Shouhei langsung mendekatkan wajahnya ke depan wajah Risa. "Bangun. Kita sudah sampai di Ibu Kota."Risa membuka matanya lebar-lebar, terkejut luar biasa. Dia langsung mendorong pria di depannya."Kenapa begitu, sih? Bikin orang kaget saja!" protesnya marah.Shouhei hanya berdiri dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Nona cantik, bukankah kamu yang memaksa kita kembali ke Ibu Kota? Karena tidak sengaja mendengar kabar mengenai kecelakaan yang menimpa calon mertuamu."Risa seperti baru saja dipukul di belakang kepalanya. Seketika dia teringat dengan kejadian beberapa jam lalu."Oh, ya, ampun! Benar juga! Astaga, a
Karena tidak tahan dengan rasa lapar yang datang tiba-tiba kepadanya, Risa akhirnya terpaksa menuruti paksaan Shouhei yang terlalu tirani. Setelah makan beberapa suap, Risa baru menyadari sesuatu.Tunggu sebentar!Bukankah di yacht ini tidak ada orang lain selain mereka berdua?Itu artinya yang menyiapkan sarapan ini semua adalah dia, ataukah sudah disiapkan terlebih dahulu? Namun, saat Risa melihat hidangan rumit di depannya, keningnya segera berkerut.Shouhei, yang menyadari raut wajahnya yang berubah, segera menegurnyam, "Ada apa? Kamu tidak suka dengan sarapan yang kubuat?"Alis Risa naik dengan cepat, disertai rasa keterkejutan."Jadi benar, sarapan ini kamu yang membuatnya?"Senyum Shouhei terlihat sangat manis dan tampan. "Tentu saja. Menurutmu siapa lagi? Aku tidak akan sembarangan membiarkan orang lain memasak untukmu."Wajah Risa memerah dengan cepat. Perkataannya terkesan sangat romantis dan manis. Walaupun dia tersipu malu, tapi entah kenapa ada hal aneh yang tersembunyi
Matahari bersinar sangat lembut ketika Risa Abdullah terbangun keesokan harinya. Dia menatap linglung langit-langit yang asing baginya.Tunggu! Dia tidur di mana sekarang? Kenapa dia tidak ingat apa pun?Selama beberapa detik, dia mencoba memproses semuanya dengan pikiran kacau balau. Lalu setelah memejamkan mata sebentar, dia langsung panik mengingat kejadian semalam!Tidak!Risa tidak ingat tentang mimpi es krim rasa pandannya, tapi teringat kalau dia sedang berduaan hanya dengan Shouhei entah di mana di tengah laut saat ini.Takut terjadi hal yang tidak diinginkan sebelum hari pernikahannya, dia segera memeriksa tubuhnya dan lega mendapati pakaiannya masih utuh.“Ke mana dia? Kenapa tidak ada di mana pun?” tanyanya kepada diri sendiri begitu keluar kamar sambil mengenakan sandal tidur yang lucu.Risa mencari-cari keberadaan bos galaknya di semua lantai yacht mewah tersebut, tapi tidak menemukan siapa pun.“Kenapa rasanya sangat menakutkan begini?” gumamnya kepada diri sendiri, mengu
Meskipun Risa tidak begitu senang dengan apa yang telah disiapkan oleh Shouhei, tapi dia akhirnya bisa menikmatinya juga di bawah taburan bintang-bintang yang sangat banyak.Kembang api dinyalakan dalam berbagai macam jenis, membuat suasana di tepi pantai itu terlihat sangat meriah meski hanya ada mereka berdua.Tidak jauh dari sana, tempat untuk mengadakan makan malam dengan lilin romantis telah dipersiapkan sedemikian rupa.Pantai yang mereka datangi adalah salah satu pulai kecil yang berada tidak jauh dari pulau utama. Itu juga termasuk dari pulau yang telah dibeli oleh Shouhei.Tawa Risa sangat keras dan lepas. Dia menari dengan kedua tangan memegang kembang api yang memancarkan bunga api yang sangat indah. Keringatnya bahkan sampai menghiasi wajahnya.Walaupun dia terlihat senang, sebenarnya dia sangat merasa bersalah kepada Adnan. Tentu saja karena pernikahannya dengan pria itu hanya tinggal menghitung hari. Namun, karena dia berpikir mustahil bisa bersama cintanya yang sangat an
Keesokan paginya, di tempat lain, Adnan Budiraharja menatap kesal layar ponselnya dengan perasaan kacau.Dia telah mencoba mencari tahu keberadaan Risa sejak pesan aneh datang kepadanya. Sebenarnya, dia tahu siapa yang membalasnya, tapi dia masih mencoba memikirkannya.“Kamu yakin?” tanya Adnan kepada sekretaris pribadinya.Pria muda yang berdiri menghadapnya dengan gugup tampak tersenyum canggung. “Maaf, Pak. Tapi, sejauh yang bisa saya cari tahu kalau mereka katanya sedang dalam perjalanan bisnis.” Adnan mengerutkan kening dalam. “Perjalanan bisnis apa yang memakan waktu sangat lama dan tidak ada kabar terbaru sama sekali?”Sebentar lagi pernikahannya dengan Risa akan diadakan, tapi tiba-tiba saja dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Kedua orang tua wanita itu telah menenangkannya kalau tidak ada masalah sama sekali. Tapi, kenapa dia merasa tidak nyaman.Seburuk apapun seorang pria, Adnan tahu dengan jelas.“Selidik lebih jauh pergerakan Shouhei Shiraishi dua minggu ini, aku yakin
Seperti biasa, Shouhei tidak memikirkan pendapat Risa sama sekali. Dia langsung menggerakkan tangan ke arah seorang pelayan pria tua, lalu berkata kepada para tim desainer, “Silakan mengukur pakaian yang sedikit longgar untuknya. Aku tidak mau dia memakai pakaian yang ketat dan menonjol. Untuk masalah desainnya, berikan saja setelah kalian mengukur tubuhnya dan pastikan berikan yang terbaik.”Risa melotot hebat mendengar perintahnya yang sangat tirani.“Shouhei! Apa kamu mendengarku?! Aku bilang aku tidak akan melakukannya! Aku tidak akan menerima apa pun yang kamu berikan kepadaku lagi. Apa otakmu ada masalah?”Shouhei diam melihatnya, menatapnya berlama-lama. Dia lalu tersenyum paling lembut hingga membuat sang wanita merasa salah tingkah dan canggung.Kenapa dia malah tersenyum seperti itu?Apakah dia tidak marah?“Kamu mengerti, kan? Aku tidak mau diberikan pakaian mewah! Aku bisa membelinya sendiri! Lagi pula, untuk apa memiliki banyak pakaian yang tidak bisa dipakai setiap hari?