Dinginnya malam tak mampu membuat tubuh itu menggigil, rasa sakit yang menyelimuti membuat hati mati.Naraya melangkah meninggalkan rumah ibunya di malam yang begitu dingin, terus berjalan tanpa arah dengan pakaian dan alas kaki seadanya. Hatinya sakit kembali diingatkan akan kesalahan hingga membuat ayah tirinya meninggal, sebuah tragedi yang tak pernah siapapun harapkan.Hingga entah sampai mana Naraya melangkah, kakinya begitu lelah hingga akhirnya terduduk di trotoar sambil menangis. Dia menunduk dengan buliran kristal bening yang luruh hingga membasahi tanah, kedua pundak bergetar hebat karena tak sanggup lagi menahan kepedihan.Naraya seperti pengemis jalanan yang sedang meminta belas kasih, duduk dengan rambut yang acak-acakan serta menunduk dan menangis. Hingga dia pun mengeluarkan ponsel dengan tangan bergetar, kemudian menghubungi Kalandra karena hanya pemuda itu yang bisa mengobati sedikit kesedihannya.“A-Al.” Naraya bicara dengan suara bergetar.“Ra, ada apa? Kenapa kamu
Kalandra mengajak Naraya ke apartemen. Di sana meminta kekasihnya itu berganti pakaian karena yang dikenakan kotor.Naraya keluar dari kamar mandi mengenakan kemeja Kalandra, di sana tak memiliki pakaian karena semua yang dibelikan pemuda itu dibawanya pulang. Sedangkan ini sudah terlalu malam dan tentunya toko pakaian sudah tutup.“Kemarilah!” perintah Kalandra. Dia menepuk sisi ranjang dan meminta Naraya duduk di sampingnya.Naraya sedikit merasa canggung karena penampilannya, kemeja yang dikenakan memang kebesaran tapi bagian bawah hanya sepanjang paha dan itu membuatnya sedikit tak nyaman.Kalandra kembali menepuk kasur karena Naraya tak kunjung mendekat, menatap kekasihnya itu malah kebingungan dan berusaha menarik ujung kemeja ke bawah.“Kenapa? Aku sudah pernah melihat pahamu, kenapa harus malu?” tanya Kalandra menebak jika kekasihnya itu sedang kikuk.Naraya mencebik, kenapa Kalandra harus bicara demikian. Dia pun akhirnya mencoba tak acuh dengan penampilan, kemudian mendekat
Senyum yang dulu secerah matahari, kini begitu suram karena awan hitam yang menghalangi. Butuh sebuah angin perubahan untuk menyingkirkan awan hitam yang terus menghalangi kebahagiaan.Kalandra memandang Naraya yang sudah tidur, wajah gadis itu begitu damai seolah tanpa beban dan sedang bermimpi sesuatu yang begitu indah. Kalandra awalnya juga ingin tidur, tapi kelopak matanya menolak terpejam karena memikirkan kejadian yang menimpa Naraya.Hingga gendang telinga mendengar suara derit ponsel yang berada di atas nakas. Kalandra pun segera bangun dan berniat mematikan ponsel karena tak ingin menganggu tidur kekasihnya yang lelap setelah menangis begitu lama.Ekspresi wajah Kalandra berubah sengit saat tahu ponsel siapa yang berdering. Dia kesal melihat nama Sofia terpampang di layar ponsel Naraya.“Mau apa wanita ini menghubungi?” Kalandra bertanya-tanya dalam hati dengan rasa geram.Di rumah Sofia. Wanita itu kelimpungan saat tak mendapati Naraya di rumah. Dia sejak tadi mencoba menena
Sofi duduk di sofa, masih dengan memegang ponselnya. Tatapan wanita itu begitu tajam, terlihat banyak kebencian dan amarah di dalamnya. Sepuluh tahun membelenggu putri yang sejak awal dibuang, tapi berhasil diambilnya lagi dari keluarga yang merawat. Kini Sofi tidak akan membiarkan Kalandra mengambil Naraya lagi darinya.“Dia ingin mengambil Naraya, takkan semudah itu. Aku takkan membiarkannya membawa begitu saja Naraya, dia adalah anakku. Dia harus di sisiku dan mengurusku.”Sofi membenci keluarga Kalandra karena terus dipuji-puji oleh Naraya. Gadis itu begitu bersemangat saat menceritakan tentang kebaikan keluarga Kalandra yang sangat menyayangi dan tidak pernah membedakannya sama sekali. Hingga membuat rasa cemburu berkobar di hati Sofi, baginya keluarga Kalandra hanya memberi pengaruh buruk, sehingga putrinya selalu membanggakan mereka.**Sofi sedang menyiapkan sarapan di pagi hari. Nayla baru bangun setelah tidur nyenyak karena lelah dan marah semalam, sedikit merasa segar sebab
Sulur surya sudah merambat masuk dan menggoda insan yang masih tertidur lelap. Sinarnya melambai-lambai agar gadis yang masih terlelap dalam balutan selimut hangat itu bangun.Naraya mengerutkan hingga mencoba membuka kelopak mata. Dia mengucek mata dengan sedikit kasar karena rasanya begitu lengket sampai tak mau terbuka. Hingga melihat ke arah dinding kaca jika matahari sudah begitu tinggi dan menyorotkan sinarnya ke seluruh bumi.“Aku kesiangan.”Naraya bergegas bangun, menoleh ke sisi ranjang dan tak mendapati Kalandra di sana.“Apa dia sudah berangkat bekerja?” Naraya bertanya-tanya sendiri. “Kenapa dia juga tidak membangunkanku?” Naraya menggerutu karena tidak ada yang membangunkan.Gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar. Hingga terkejut ketika melihat siapa yang sedang berada di dapur.“Kamu sudah bangun, mau sarapan?”Kalandra memandang Naraya, pemuda itu berdiri sambil memakai celemek dengan satu tangan mem
Naraya memandang ponsel di mana ada belasan panggilan tak terjawab dari Sofi. Dia tidak melihat panggilan yang diterima karena jelas sudah dihapus oleh Kalandra.Naraya menghela napas kasar, kemudian memilih mengabaikan karena dirinya belum siap jika pulang dan bicara dengan Sofi, terlebih jika ada Nayla.“Ra, kamu belum siap?” Suara Kalandra terdengar dari luar kamar.“Aku sudah siap.” Naraya pun mencangklong tas kemudian berjalan keluar kamar.Kalandra memesankan pakaian untuk Naraya di pagi hari, sehingga kekasihnya itu memiliki pakaian untuk digunakan saat mereka pergi.“Kita mau pergi ke mana?” tanya Naraya karena Kalandra belum juga memberitahu ke mana mereka akan pergi hari ini.“Kamu ikut saja, yang penting kamu senang,” jawab Kalandra. Dia menautkan jemari mereka, mengajak Naraya menuju lift untuk turun ke basement.**Di rumah sakit. Kenan tampak bekerja di poliklinik melayani pasien. Pemuda itu bekerja dengan giat karena profesi yang diambil memang pilihannya sejak awal.Se
Bahagia itu sederhana, asal bisa bersama dengan orang yang dicintai, kemudian bisa tertawa bersama melepas lelah dengan canda, lantas saling menatap dan berkata, ‘Kita akan terus bersama.’**Kalandra mengajak Naraya pergi ke taman bermain, sungguh tempat yang tidak pernah dibayangkan oleh Naraya. Kalandra sendiri hanya berpikir jika tempat itu bisa membuat Naraya lebih rileks, melepas sedih dengan teriakan atau sekadar tawa.“Al.” Naraya menatap Kalandra dengan rasa tak percaya.“Kamu tidak suka?” tanya Kalandra yang takut jika Naraya tidak senang diajak ke taman bermain.“Apa kamu bercanda? Tentu saja aku sangat senang,” jawab Naraya dengan senyum lebar di bibir, senyum lepas karena dirinya begitu bahagia.Naraya menarik tangan Kalandra, sudah tidak sabar ingin menjelajah dan mencoba berbagai jenis wahana yang ada di taman bermain itu.Kalandra senang melihat Naraya yang menyukai tempat itu, langkahnya mengikuti sang kekasih, dari belakang bisa melihat tawa yang begitu lepas tanpa b
Perasaan itu tumbuh subur setelah dijaga dengan sepenuh hati. Meski pertemuan itu terlambat, tapi ada tekad untuk terus mendapatkan hati yang telah terpatri.**Kenan duduk di ruang kerjanya, memandang ponsel dengan nama Anira terpampang di sana.“Apa aku menghubunginya saja?”Tidak mengetahui kabar Naraya membuat Kenan gelisah, hingga dia pun nekat menghubungi gadis itu.Lama Kenan hanya mendengar suara dering dari seberang panggilan, tapi tak juga panggilannya dijawab oleh Naraya.“Apa dia sibuk?” Kenan mengakhiri panggilan itu karena Naraya tak merespon.Hingga Kenan berpikir, haruskah dia menemui Naraya di apartemen tempat gadis itu bekerja.**Di sisi lain. Naraya lega karena Kenan berhenti menghubunginya, hingga kemudian memilih memasukkan kembali ponsel ke tas.“Apa dokter itu selalu menghubungimu?” tanya Kalandra penuh curiga.“Hm ….” Naraya sedang mengulum es krim saat Kalandra bertanya, membuat es krim sedikit menempel di ujung bibir karena secara impulsif menoleh Kalandra.