Nayla pergi menemui Prams, ternyata pria itu sedang bertemu dengan Hardi—mantan bos Naraya.
“Kalian membohongiku! Mana yang kalian janjikan!” bentak Hardi yang tidak terima karena tak bisa mendapatkan Naraya.
“Aku sudah luka begini pun kalian juga tidak tanggung jawab, sekarang kalian mau main kabur, padahal sudah mendapatkan uang dariku!” sembur Hardi lagi. Pria berusia empat puluh tahun itu memang sangat menginginkan Naraya, bahkan pernah berniat menjadikan kekasih Kalandra itu sebagai simpanan, tapi tentunya ditolak mentah-mentah oleh Naraya.
Nayla dan Prams saling senggol kaki, keduanya menunduk karena tidak bisa menepati janji.
“Beri kami waktu lagi, kami pasti akan membawanya ke hadapan Anda,” kata Nayla terlihat salah tingkah. Jangan sampai pria itu memintanya mengembalikan uang yang jelas sudah habis.
“Jangan buat janji lagi, kamu lihat ini!” Hardi menunjukkan kepala yang masih ada bekas
Naraya sedang membersihkan dapur saat mendengar suara pintu terbuka, hingga melihat Nayla baru pulang pada pukul sepuluh malam.“Dari mana kamu, jam segini baru pulang? Apa kamu tidak tahu jika Ibu sangat mencemaskanmu?” Naraya langsung menanyakan dari mana adiknya itu pergi.Nayla memicingkan mata ke arah Naraya yang ada di dapur saat mendengar suara kakaknya itu. Hingga perasaan kesal dan benci semakin bercokol saat ingat bagaimana dirinya harus melayani Hardi, pria tua bangka yang membuatnya risih. Semua itu akibat Naraya yang kabur malam itu, membuatnya kini harus membayar semuanya.“Untuk apa kamu sok-sok tanya dan perhatian, hah!” bentak Nayla yang kesal.Naraya sangat terkejut mendengar Nayla membentaknya, meski ini bukanlah pertama kali adiknya bersikap kasar kepadanya.“Aku hanya tanya karena Ibu sejak tadi cemas, kenapa kamu harus membentakku?” Naraya mulai kesal karena semakin hari Nayla semakin bersikap buruk.Nayla membanting tas ke lantai, kemudian berjalan cepat mengham
Dinginnya malam tak mampu membuat tubuh itu menggigil, rasa sakit yang menyelimuti membuat hati mati.Naraya melangkah meninggalkan rumah ibunya di malam yang begitu dingin, terus berjalan tanpa arah dengan pakaian dan alas kaki seadanya. Hatinya sakit kembali diingatkan akan kesalahan hingga membuat ayah tirinya meninggal, sebuah tragedi yang tak pernah siapapun harapkan.Hingga entah sampai mana Naraya melangkah, kakinya begitu lelah hingga akhirnya terduduk di trotoar sambil menangis. Dia menunduk dengan buliran kristal bening yang luruh hingga membasahi tanah, kedua pundak bergetar hebat karena tak sanggup lagi menahan kepedihan.Naraya seperti pengemis jalanan yang sedang meminta belas kasih, duduk dengan rambut yang acak-acakan serta menunduk dan menangis. Hingga dia pun mengeluarkan ponsel dengan tangan bergetar, kemudian menghubungi Kalandra karena hanya pemuda itu yang bisa mengobati sedikit kesedihannya.“A-Al.” Naraya bicara dengan suara bergetar.“Ra, ada apa? Kenapa kamu
Kalandra mengajak Naraya ke apartemen. Di sana meminta kekasihnya itu berganti pakaian karena yang dikenakan kotor.Naraya keluar dari kamar mandi mengenakan kemeja Kalandra, di sana tak memiliki pakaian karena semua yang dibelikan pemuda itu dibawanya pulang. Sedangkan ini sudah terlalu malam dan tentunya toko pakaian sudah tutup.“Kemarilah!” perintah Kalandra. Dia menepuk sisi ranjang dan meminta Naraya duduk di sampingnya.Naraya sedikit merasa canggung karena penampilannya, kemeja yang dikenakan memang kebesaran tapi bagian bawah hanya sepanjang paha dan itu membuatnya sedikit tak nyaman.Kalandra kembali menepuk kasur karena Naraya tak kunjung mendekat, menatap kekasihnya itu malah kebingungan dan berusaha menarik ujung kemeja ke bawah.“Kenapa? Aku sudah pernah melihat pahamu, kenapa harus malu?” tanya Kalandra menebak jika kekasihnya itu sedang kikuk.Naraya mencebik, kenapa Kalandra harus bicara demikian. Dia pun akhirnya mencoba tak acuh dengan penampilan, kemudian mendekat
Senyum yang dulu secerah matahari, kini begitu suram karena awan hitam yang menghalangi. Butuh sebuah angin perubahan untuk menyingkirkan awan hitam yang terus menghalangi kebahagiaan.Kalandra memandang Naraya yang sudah tidur, wajah gadis itu begitu damai seolah tanpa beban dan sedang bermimpi sesuatu yang begitu indah. Kalandra awalnya juga ingin tidur, tapi kelopak matanya menolak terpejam karena memikirkan kejadian yang menimpa Naraya.Hingga gendang telinga mendengar suara derit ponsel yang berada di atas nakas. Kalandra pun segera bangun dan berniat mematikan ponsel karena tak ingin menganggu tidur kekasihnya yang lelap setelah menangis begitu lama.Ekspresi wajah Kalandra berubah sengit saat tahu ponsel siapa yang berdering. Dia kesal melihat nama Sofia terpampang di layar ponsel Naraya.“Mau apa wanita ini menghubungi?” Kalandra bertanya-tanya dalam hati dengan rasa geram.Di rumah Sofia. Wanita itu kelimpungan saat tak mendapati Naraya di rumah. Dia sejak tadi mencoba menena
Sofi duduk di sofa, masih dengan memegang ponselnya. Tatapan wanita itu begitu tajam, terlihat banyak kebencian dan amarah di dalamnya. Sepuluh tahun membelenggu putri yang sejak awal dibuang, tapi berhasil diambilnya lagi dari keluarga yang merawat. Kini Sofi tidak akan membiarkan Kalandra mengambil Naraya lagi darinya.“Dia ingin mengambil Naraya, takkan semudah itu. Aku takkan membiarkannya membawa begitu saja Naraya, dia adalah anakku. Dia harus di sisiku dan mengurusku.”Sofi membenci keluarga Kalandra karena terus dipuji-puji oleh Naraya. Gadis itu begitu bersemangat saat menceritakan tentang kebaikan keluarga Kalandra yang sangat menyayangi dan tidak pernah membedakannya sama sekali. Hingga membuat rasa cemburu berkobar di hati Sofi, baginya keluarga Kalandra hanya memberi pengaruh buruk, sehingga putrinya selalu membanggakan mereka.**Sofi sedang menyiapkan sarapan di pagi hari. Nayla baru bangun setelah tidur nyenyak karena lelah dan marah semalam, sedikit merasa segar sebab
Sulur surya sudah merambat masuk dan menggoda insan yang masih tertidur lelap. Sinarnya melambai-lambai agar gadis yang masih terlelap dalam balutan selimut hangat itu bangun.Naraya mengerutkan hingga mencoba membuka kelopak mata. Dia mengucek mata dengan sedikit kasar karena rasanya begitu lengket sampai tak mau terbuka. Hingga melihat ke arah dinding kaca jika matahari sudah begitu tinggi dan menyorotkan sinarnya ke seluruh bumi.“Aku kesiangan.”Naraya bergegas bangun, menoleh ke sisi ranjang dan tak mendapati Kalandra di sana.“Apa dia sudah berangkat bekerja?” Naraya bertanya-tanya sendiri. “Kenapa dia juga tidak membangunkanku?” Naraya menggerutu karena tidak ada yang membangunkan.Gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar. Hingga terkejut ketika melihat siapa yang sedang berada di dapur.“Kamu sudah bangun, mau sarapan?”Kalandra memandang Naraya, pemuda itu berdiri sambil memakai celemek dengan satu tangan mem
Naraya memandang ponsel di mana ada belasan panggilan tak terjawab dari Sofi. Dia tidak melihat panggilan yang diterima karena jelas sudah dihapus oleh Kalandra.Naraya menghela napas kasar, kemudian memilih mengabaikan karena dirinya belum siap jika pulang dan bicara dengan Sofi, terlebih jika ada Nayla.“Ra, kamu belum siap?” Suara Kalandra terdengar dari luar kamar.“Aku sudah siap.” Naraya pun mencangklong tas kemudian berjalan keluar kamar.Kalandra memesankan pakaian untuk Naraya di pagi hari, sehingga kekasihnya itu memiliki pakaian untuk digunakan saat mereka pergi.“Kita mau pergi ke mana?” tanya Naraya karena Kalandra belum juga memberitahu ke mana mereka akan pergi hari ini.“Kamu ikut saja, yang penting kamu senang,” jawab Kalandra. Dia menautkan jemari mereka, mengajak Naraya menuju lift untuk turun ke basement.**Di rumah sakit. Kenan tampak bekerja di poliklinik melayani pasien. Pemuda itu bekerja dengan giat karena profesi yang diambil memang pilihannya sejak awal.Se
Bahagia itu sederhana, asal bisa bersama dengan orang yang dicintai, kemudian bisa tertawa bersama melepas lelah dengan canda, lantas saling menatap dan berkata, ‘Kita akan terus bersama.’**Kalandra mengajak Naraya pergi ke taman bermain, sungguh tempat yang tidak pernah dibayangkan oleh Naraya. Kalandra sendiri hanya berpikir jika tempat itu bisa membuat Naraya lebih rileks, melepas sedih dengan teriakan atau sekadar tawa.“Al.” Naraya menatap Kalandra dengan rasa tak percaya.“Kamu tidak suka?” tanya Kalandra yang takut jika Naraya tidak senang diajak ke taman bermain.“Apa kamu bercanda? Tentu saja aku sangat senang,” jawab Naraya dengan senyum lebar di bibir, senyum lepas karena dirinya begitu bahagia.Naraya menarik tangan Kalandra, sudah tidak sabar ingin menjelajah dan mencoba berbagai jenis wahana yang ada di taman bermain itu.Kalandra senang melihat Naraya yang menyukai tempat itu, langkahnya mengikuti sang kekasih, dari belakang bisa melihat tawa yang begitu lepas tanpa b
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda