“Memangnya kenapa? Kak Ziezie kan Kakak kami,” ujar Alea seraya memicingkan mata.“Dia istriku!” sambar Kenzo. “Ck!” Alea berdecak kesal, Kenzo terlalu berlebihan menurutnya. “Seluruh dunia juga tahu Kak Ziezie itu istri Bang Ken!” selorohnya. Sementara Kenzie dan Amanda, keduanya diam saja, memilih mengamati pembicaraan Alea dan Kenzo sambil tersenyum tanpa berniat menimpali percakapan tersebut. “Sudahlah, lepaskan Kenzie! Biarkan dia berkemas,” titah Kenzo pada kedua adik iparnya. Dengan sangat terpaksa, Amanda dan Alea melepaskan cekalan mereka di lengan Kenzie. “Aku bantuin ya, Kak,” ujar Alea.“Aku juga mau bantuin.” Amanda menimpali. “Boleh,” jawab Kenzie sambil tersenyum lebar. Ketiganya beranjak dari sana, mengabaikan Kenzo yang menatap tajam mereka. “Jangan terlalu lama, aku tidak suka menunggu!” teriaknya. Setelah Kenzie, Amanda, dan Alea hilang dari pandangan, Kenzo memutuskan menunggu istrinya seraya mengecek beberapa berkas. Baru beberapa menit berkutat de
Napas Kenzo tercekat, ia merasa kesulitan untuk sekadar menelan ludah. Permintaan Lidia sangat mustahil dilakukan, namun juga tak bisa dia abaikan. Benar-benar pilihan yang sulit. Kenzo berada di persimpangan, bingung harus menolak atau menerima. Tapi satu yang pasti, dalam setiap keputusan yang diambil, tentu ada risiko yang harus dipikirkan. Bersamaan dengan Kenzo yang sedang menimbang-nimbang harus memilih apa, Lidia kembali kejang-kejang, saat itulah Bara memintanya keluar. Serasa dihantam besi ribuan ton, bahu Kenzo meluruh ketika menyaksikan berbagai alat-alat medis terpasang di tubuh mamanya. “Om, ada apa?” Kenzie mendekat pada Kenzo saat pintu terbuka, ia melihat lelaki itu berjalan lemas dengan raut wajah yang terlihat begitu kacau.Kenzo mengabaikan Kenzie dan berjalan ke arah Rhea. “Rhea, ayo kita menikah,” ajaknya pada gadis itu. Rhea menganga tak percaya, begitupun Kenzie. Ada apa dengan Kenzo? Mereka baru saja merencanakan hal-hal indah unt
Sensasi hangat dari cahaya matahari menyapa kulit wajah Kenzie. Ia menggeliat dan membuka mata perlahan, pundaknya terasa sakit akibat tidur dengan posisi duduk. Kenzie memicingkan mata saat tangan besar berusaha melindungi wajahnya dari cahaya itu. “Kau?” “Selamat pagi,” sapa pria berjas putih yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya. “Apa yang kau lakukan?” “Bukan apa-apa,” jawab Bara singkat. Kenzie bangkit dan merapikan rambut serta penampilannya, mengabaikan nyeri di punggung dan leher. Ia perlu bertemu Kenzo dan bicara pada lelaki itu. Setelah semalam suntuk memikirkan langkah apa yang harus diambil, Kenzie sampai pada keputusan yang akan membawanya pada ketenangan. Ya, semoga Kenzie bisa mendapat ketenangan, bukan malah sebaliknya. Saat sudah melangkah menjauh, Kenzie teringat sesuatu, ia membalik badan dan menatap Bara. “Dimana Kenzo?”“Aku akan mengantarmu bertemu Ken.” Bara menarik pergelangan Kenzie secara tiba-tiba.“Beritahu saja dimana Kenzo, aku akan menem
“Kau gila?!” Kenzie bangkit dari duduknya, disertai tatapan tajam dan menusuk yang dilayangkan pada Kenzo. Kenzo menarik tangan Kenzie, memintanya duduk kembali. “Dengarkan aku dulu,” pintanya. “Tidak! Aku tidak mau,” tolak Kenzie tegas.Kenzo menangkup pipi Kenzie dan menatap dalam netra wanita itu. Seakan terbius pada tatapan tersebut, Kenzie membeku di tempatnya. “Tenanglah, ini tak seperti yang kau kira,” ujar Kenzo menenangkan. “Sampai kapanpun aku tak mau dimadu!” Kenzie menolak mentah-mentah keinginan Kenzo. Secinta apapun pada lelaki itu, ia tak sudi jika harus berbagi—berbagi suami, berbagi ranjang, berbagi kehangatan, dan berbagi jatah bulanan—. Oh tidak! Lebih baik dirinya yang mengalah dan mencari kebahagiaan lain daripada terjebak dalam situasi tersebut.“Bukankah agama membolehkan?” tanya Kenzo tanpa rasa bersalah.Kenzie menahan diri untuk tak memukul kepala Kenzo meskipun ia merasa sangat kesal. “Memang benar, agama kita tidak melarang.”“Lantas apa masalah
“Eh, Kak Manda, bukan siapa-siapa kok.” Alea menggaruk rambutnya yang mendadak gatal, kemudian mengubah ekspresi yang semula serius menjadi jenaka. “Aku ke sana dulu ya, mau cek dapur,” sambungnya sembari melenggang pergi.Amanda memandangi punggung Alea yang menjauh dengan berbagai tanya di kepala. Ia merasa tak salah dengar saat Alea menyebut-nyebut nama Gala ketika berbicara dengan Kenzie tadi. Tapi, mengapa wanita itu seperti enggan memberitahu yang sebenarnya? Apa yang disembunyikan Alea?“Yuk, lanjutin. Udah hampir gelap,” ucap Kenzie seraya merangkul pundak Amanda.Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Amanda. Saat itulah ia yang masih merasa sedikit penasaran, menanyakan segala tanya di benaknya pada sang kakak.“Kakak sama Alea habis ngobrolin apa? Tadi aku denger Alea nyebut-nyebut nama Gala. Apa kepindahan tiba-tiba ini ada hubungannya dengan laki-laki itu?” tebak Amanda.Kenzie terkekah pelan, ia menepuk pundak Amanda lembut. “Jelas gak ada, Man. Gala sama sekali gak ada hubun
Tok tok tok!Mata Kenzie dan Alea tertuju pada pintu berbahan kayu yang catnya sudah pudar, keduanya saling pandang seraya menerka-nerka, siapakah gerangan sosok di balik pintu tersebut?“Bentar, aku lihat dulu.” Alea beranjak dari sofa panjang yang tengah mereka duduki, sementara Kenzie hanya mengangguk kemudian kembali menatap layar ponselnya.Krek!Handel pintu yang ditarik meninggalkan suara derit kayu yang cukup nyaring. Sosok tinggi menjulang dengan penampilan berantakan dan sorot mata sendu membuat Alea mematung di tempatnya.“Kak Gala,” lirih Alea.“Kita perlu bicara.” Gala menarik pergelangan tangan Alea, saat itulah suara Kenzie terdengar dan secara otomatis menghentikan pergerakan mereka. “Siapa, Al?”Alea diam sejenak, haruskah dia mengatakan bahwa yang datang adalah Gala? Tidak-tidak! Itu bukan pilihan yang baik, mengingat dirinya sudah menceritakan perihal skandal lelaki tersebut dengan Kenzo dan mantan istrinya. Salah-salah, malah dia yang tak diizinkan bertemu Gala.De
“Zie…Zie, masih saja membahas soal cinta!” Kenzo memalingkan wajah. Tak berselang lama, ia kembali menatap Kenzie. “Hidup itu soal kepentingan, bukan cinta-cintaan,” lanjutnya tanpa beban, seakan tak memikirkan perasaan Kenzie saat ini.Kenzie tertegun. Pemikiran Kenzo benar-benar sulit dijangkau. Banyaknya perbedaan diantara mereka membuatnya semakin yakin untuk bercerai. Lagipula, untuk apa dia bertahan dalam hubungan jika hanya soal kepentingan?“Kurasa, pembicaraan kita sudah selesai!” Kenzie bangkit dari duduknya. “Satu lagi, kuharap ini terakhir kali aku melihatmu,” tutupnya seraya berlalu.Kenzo tak tinggal diam. Ia mencekal pergelangan tangan Kenzie, yang langsung ditepis kasar oleh wanita tersebut. Namun gagal karena cekalannya terlalu kuat. “Lepaskan! Jangan sentuh aku! Kita sudah tidak punya kepentingan apa pun lagi!”“Sepertinya kau sudah lupa, biar kubantu ingatkan kalau
“Darimana, Al?” tanya Kenzie saat Alea baru menampakkan batang hidungnya. Amanda yang sedang membantu kakaknya menyiapkan makan malam turut memusatkan perhatiannya pada gadis tersebut. “Jalan-jalan ke kafe seberang, Kak, cari angin,” jawab Alea berbohong. Ia melewati Amanda dan Kenzie kemudian bergegas membersihkan diri, mengingat tubuhnya terasa sangat lengket. “Menurut Kakak Alea aneh gak?” celoteh Amanda berbisik, khawatir ucapannya didengar Alea. “Aneh gimana?” Kenzie mengernyitkan kening. “Enggak kok,” sambungnya usai memberi jeda sejenak. “Aku ngerasa Alea lagi ngehindarin aku. Kayak lagi nutupin sesuatu.” Amanda mengutarakan isi hatinya. “Cuma perasaan kamu aja, Alea gak mungkin begitu,” ujar Kenzie menengahi. Usai percakapan singkat itu, mereka kembali melanjutkan aktivitas memasak menu makan malam dalam hening, keduanya seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga satu jam berlalu, nasi dan hidangan lainnya telah tersaji. Namun Alea belum keluar kamar. Amanda berini
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si