“Kalian ini apa-apaan, sih?” Kenzie menengahi perdebatan kakak beradik itu saat percikan-percikan api terlihat di mata keduanya. “Maaf,” lirih Amanda. “Aku juga minta maaf,” ujar Alea. Pembicaraan hari ini berakhir begitu saja. Kenzie masuk kamar usai membereskan meja dan mencuci piring kotor. Ia tak keluar hingga pagi menjelang. Sementara Alea harus gigit jari manakala Kenzie tak menyatakan setuju untuk mencabut gugatan cerai itu. Alea merasa perlu mencari strategi baru, dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Di tempat berbeda Lidia dan Rhea tampak bersulang riang. Mereka tengah merayakan keberhasilan, rencana yang sudah disusun sedemikan rupa akhirnya berjalan lancar. Kenzo dan Kenzie termakan tipu muslihat keduanya. Sebentar lagi mereka akan bercerai, dan Kenzo dan Rhea akan segera menikah. Di sanalah puncak kebahagiaan keduanya. Mereka sama sama tidak sabar menunggu hari itu tiba. “Kau harus pintar-pintar mengambil hati Kenzo, Rhe. Aku sudah berkorban sedemikia
Kenzie yang semua menekurkan kepala, mendongak kala mendengar seseorang menjawab gumamannya. Tak salah lagi, pemilik suara yang sudah cukup familier di telinga itu adalah Bara. Lelaki tersebut menatap Kenzie seraya tersenyum lebar. Netra hitamnya memindai wajah Kenzie, mengamati setiap inchi paras wanita itu. “Kau?!” tekan Kenzie. “Hmmm.”“Penipu sepertimu tidak pantas menjadi dokter!” hardik Kenzie tanpa basa-basi. Ia terlanjur kesal dengan Bara, hingga kelepasan menghakimi lelaki itu tanpa mencari tahu kebenaran ucapan Anggita lebih dulu. Bara terkekeh pelan. Ia menarik kursi dan mengambil tempat di hadapan Kenzie, keduanya bersitatap sejenak. Kenzie menatap tajam pada Bara, sementara Bara melayangkan tatapan jenaka. Seakan kemarahan Kenzie sesuatu yang lucu baginya. “Kau terlalu serius, bersantai sejenak tak lantas membuatmu rugi, princess,” ujar Bara. “Ini sama sekali tidak lucu!” Kenzie menggebrak meja, hingga fokus beberapa orang tertuju pada mereka. “Memang tidak
Hari berlalu begitu cepat. Satu minggu setelah fakta kebohongan Lidia, yang didalamnya melibatkan Rhea dan Bara terungkap, Kenzie baru berani mengambil keputusan. Alea menjadi yang paling antusias mendengar keputusan sang kakak, sementara Amanda terlihat biasa saja. Perlahan tapi pasti, ia menyadari bahwa Alea lebih cocok bersama Gala, ketimbang dirinya. Belum lagi, akhir-akhir ini Gala juga sulit dihubungi, seakan menghindar dan tak ingin diganggu. Di sekolah pun mereka layaknya orang asing. Siang menjelang sore, Kenzie dan Kenzo bersepakat melakukan janji temu di sebuah coffe shop. Kenzo datang lebih dulu, sementara Kenzie terlambat beberapa menit.“Maaf membuatmu menunggu,” ujar Kenzie sedikit tidak enak. “Jika bukan dirimu, aku sudah pergi dari sini!” sahut Kenzo seraya menatap lekat wajah tirus sang istri. “Maaf,” cicit Kenzie. “Aku tahu kau tak suka menunggu,” sambungnya. Keduanya bertukar pandang sejenak, sampai akhirnya suara deheman terdengar, Kenzo lebih dulu memali
Aura kelimpungan kala beberapa pria yang dia ketahui sebagai anggota kepolisian mendatangi tempatnya. Secepat kilat ia memasukkan segelintir pakaian secara asal ke dalam sebuah koper, kemudian menyeret kasar koper berukuran tak terlalu besar itu. Berbagai pikiran buruk sudah memenuhi benak wanita tersebut. Tak ada lagi yang Aura pikirkan selain kabur dari sana. Naasnya, sebelum berhasil melarikan diri polisi sudah lebih dulu mengepung tempat itu. Tiga puluh lebih wanita berpakaian kurang bahan sama paniknya dengan Aura, mereka sibuk meminta perlindungan sang mami. “Mami siapa mereka?” “Diam! Kita harus segera pergi dari sini!”“Iya, tapi gimana caranya, Mam? Tempat ini udah dikepung!”Aura tak kehilangan akal, ia mencoba menelepon seseorang guna meminta bantuan. Sayangnya, orang tersebut tak menjawab panggilannya. Aura menggeram marah. Disaat seperti ini, tak ada yang bisa dia andalkan selain diri sendiri. “Kita keluar lewat ruang bawah tanah,” bisik Aura pada tiga wanita ya
Beberapa jam sebelum penangkapan Aura“Jadi, apa rencanamu?” tanya Kenzie begitu mereka sampai di pent house.“Sebentar, aku perlu mengurus beberapa hal lebih dulu.” Kenzo berlalu begitu saja dengan ponsel menempel di telinga.Kenzie mendengkus kesal. Memang sulit berurusan dengan Kenzo, lelaki itu punya banyak sekali kegiatan, hingga tak bisa hanya fokus pada salah satunya. Seperti sekarang, sudah lebih dari lima belas menit ia menunggu, Kenzo tak kunjung kembali. “Om!” panggil Kenzie.Tak ada sahutan. Kenzie berinisiatif menyusul Kenzo, namun urung saat mendengar suara derap langkah mendekat. Lelaki tersebut muncul dengan segaris senyum tersungging di bibir, sesuatu yang cukup menyita perhatian Kenzie. “Apa yang membuatmu terlihat sangat bahagia?” tanya Kenzie kala mendapati raut wajah Kenzo lebih cerah dari sebelumnya. Ia memicingkan mata, menaruh sedikit curiga. “Tidak ada,” jawab Kenzo santai.Tak berselang lama, ponsel Kenzie bergetar, menampilkan notifikasi pes
“Aku di sini, Gal.”Alea dan Gala kompak menatap ke arah yang sama. Di teras rumah minimalis itu, Amanda dengan hoodie biru laut dan rambut panjang tergerai tersenyum lembut. Ia membalas tatapan Gala kemudian bergabung dengan mereka. Selama sepersekian detik, keheningan mendominasi pertemuan tiga manusia yang saling menyimpan rasa. Hanya detik jarum jam yang terdengar memenuhi ruangan. Alea menundukkan kepala, sementara Amanda dan Gala saling bertukar pandang. “Aku udah denger semuanya,” ujar Amanda memecah hening. Gala segera bangkit dan menggenggam jemari Amanda, pemandangan yang membuat luka tak kasat mata di hati Alea semakin menganga. “Aku bisa jelasin. Kamu mau kan dengerin penjelasan aku?” Lembut dan penuh harap, begitulah cara Gala berbicara pada Amanda. Sorot matanya menatap penuh cinta, seakan seluruh dunianya terpusat di sana. Alea yang kini menjadi obat nyamuk diantara mereka tengah berjuang menahan sesak di dada. Saat itulah ia bangkit, tugasnya telah selesai.“
Kenzie menggeleng, senyum yang terlihat amat dipaksakan itu membuat Kenzo menarik wanita mungil tersebut dalam dekapannya. “Kau boleh menangis sepuasnya,” ucap Kenzo lembut. Semula Kenzie bergeming, tak membalas pelukan Kenzo. Samar-samar Kenzo mendengar suara isakan yang berasal dari bibir Kenzie. Ia menunduk untuk memastikan. “Menangislah! Aku tidak akan mengejekmu meskipun kau terlihat sangat jelek.”Spontan, Kenzie memukul dada bidang Kenzo. “Bahkan kau sudah mengejekku, membuat air mata ini tak jadi keluar,” sungutnya. “Baguslah, artinya dia tidak ingin membuatmu terlihat jelek saat bersamaku,” jawab Kenzo santai. Kenzie mengerucutkan bibir. Melihat itu, seutas senyum tipis menghiasi bibir Kenzo. Ia cukup lega melihat Kenzie tak jadi menitikkan air mata. Namun, situasi ini tak bisa terus menerus dibiarkan. Kenzo perlu memikirkan cara agar Kenzie tak mendapat hinaan lagi dari mamanya. “By the way, tadi kau luar biasa,” puji Kenzo. “Maaf,” sesal Kenzie seraya menunduk. “
“Dulu, mereka pernah sangat dekat, Nona.”Kenzie mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum tipis dan menarik kakinya yang sudah tak terasa sakit. “Sepertinya sudah cukup, aku ingin istirahat,” ujar Kenzie. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.”“Terima kasih.”Sepeninggal wanita paruh baya itu, Kenzie merebahkan diri sembari menatap langit-langit kamar. Keraguan merasuki hatinya, berbagai tanya bersarang di benak. Sudah tepatkah keputusannya untuk tetap berada di sisi Kenzo dan membantu lelaki tersebut? Tak hanya itu, berbagai pikiran buruk datang silih berganti. Bagaimana jika Kenzo hanya mengambil keuntungan darinya? Jika benar demikian, tentu ia menjadi pihak yang akan dicampakkan dan paling dirugikan nantinya. Kalau boleh jujur, Kenzie sudah kalah telak dari Kenzo. Dia bahkan telah menaruh rasa pada lelaki itu. Tepatnya kapan, Kenzie tak tahu, mungkin ketika dirinya dan lelaki itu menghabiskan malam bersama, atau saat pertemuan pertama mereka?
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si