Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.
“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.
Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.
Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.
“Halo.”
“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.
Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
“Kak Ziezie, minta uang SPP dong, udah nunggak dua bulan nih, aku bisa dikeluarin kalau bulan ini nunggak lagi!” “Aku juga, Kak, hari Rabu ada praktik di laboratorium!” “Sabar ya, Kakak usahain secepatnya.” Ucapan Alea dan Amanda tadi pagi terngiang-ngiang di kepala Kenzie, membuatnya tidak fokus bekerja karena memikirkan hal itu. Tring! Suara notifikasi membuyarkan lamunannya. Kenzie membaca pesan tersebut sekilas, pesan yang berisi tagihan pembayaran cicilan rumah yang juga sudah menunggak. “Ah! Kepalaku mau pecah rasanya! Mana hutang ke bos bulan lalu juga belum dibayar,” gumam Kenzie sembari meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar. “Kenapa, Zie? Kusut amat kayak baju belum disetrika seminggu,” gurau Anggita, rekan kerja Kenzie sambil tersenyum lebar. “Biasa lah,” balas Kenzie singkat. Anggita paham arti biasalah yang dikatakan Kenzie, ia mengeluarkan ponselnya, kemudian memberikan benda tersebut pada Kenzie. “Baca deh. Barangkali kamu minat,” ucap Anggita. Suasana k
“Menikahlah denganku.”“Tidak! Aku tidak mau! Bukannya tugasku hanya menjadi teman kencanmu?!” tolak Kenzie berapi-api.Kenzo tersenyum miring. “Kau terlalu polos.”“Apa maksudmu?!” bentak Kenzie.Lagi, Kenzo tersenyum miring dan menatap Kenzie penuh arti. “Jangan meneriakiku!”“Sampai kapanpun aku tidak akan mau menikah denganmu, Om! Jangankan menikah, menjadi kekasihmu saja aku akan berpikir satu juta kali!” tegas Kenzie dengan suara yang lebih lantang.Sebagai wanita normal, Kenzie mengakui ketampanan Kenzo. Laki-laki dengan rahang tegas, bibir ping alami, juga tubuh yang sangat pelukable itu terlihat matang, tampan dan memesona. Namun, untuk menikah dengan lelaki tersebut, ia sama sekali tidak tertarik. Selain karena perbedaan usia, Kenzie hanya ingin menikah dengan pria yang mencintainya, juga dia cintai. Ya, Kenzie tidak mau terjebak dalam hubungan tanpa cinta, terlebih dengan lelaki tua dan berstatus duda.‘Oh Tuhan! Masa mudaku yang berharga akan terbuang sia-sia jika menikah
Usai mengatakan itu, Kenzo kembali ke posisi awal, duduk bersandar seraya menatap bola mata Kenzie sambil tersenyum, senyum tipis yang membuat Kenzie terpesona dan kesal di waktu bersamaan. “Om-om gila! Mengapa kau sangat curang dan sok misterius seperti itu?!” hardik Kenzie. “Dimana letak curangnya?” “Kau terlalu banyak permintaan!” Kenzo mengedikkan bahunya, mengabaikan tatapan tajam Kenzie yang siap mengibarkan bendera perang. “Selama menjadi calon istriku, semua pergerakanmu akan diawasi. Jangan melakukan kesalahan, apalagi berkencan dengan pria lain di belakangku!” ucap Kenzo terdengar sangat posesif. Kenzie mengangguk malas. Padahal, ia sedang melakukan pendekatan dengan seorang pengusaha muda yang tampan juga baik hati. Tapi, Kenzie terpaksa mengesampingkan ego demi mencapai tujuannya. “Good girl,” ujarnya seraya mengacak lembut anak rambut Kenzie. “Besok malam kita akan bertemu orang tuaku. Pastikan kau mampu mengambil hati mereka, karena jika tidak…” “Aku bisa,” potong
Kenzo tak peduli pada ucapan Brata dan Lidia yang menentang keputusannya. Ia tetap pada pendiriannya—membawa Kenzie ke hadapan mereka. Malam ini, Kenzo datang menjemput Kenzie, dan mengajaknya bertemu Lidia dan Brata.Selama di perjalanan, Kenzie menanyakan banyak hal, ia sangat gugup. Sedangkan Kenzo, lelaki itu cuek saja, mengabaikan ocehan Kenzie dan memilih fokus pada kemudi.“Sudah sampai,” ucap Kenzo.Benar saja, mobil mewah Kenzo sudah tiba di rumah yang bagi Kenzie lebih terlihat seperti istana.Perlahan tapi pasti, tangan Kenzo menggenggam jemari Kenzie, mereka melangkah bersama, menemui orang tua Kenzo yang auranya begitu menakutkan di mata Kenzie.“Ma, Pa.” Kenzo mencium punggung tangan orang tuanya, sambil terus menggenggam jemari Kenzie.“Selamat malam, Om, Tante” sapa Kenzie berusaha ramah. Ia melakukan apa yang Kenzo lakukan, mencium punggung tangan Brata dan Lidia secara bergantian.“Malam,” balas Brata singkat.“Selamat malam. Siapa namamu?” Lidia menatap Kenzie dari
Tidak ada yang bisa menghalangi Kenzo melakukan keinginannya, termasuk Brata dan Lidia sekalipun. Malam ini, ia akan menikah dengan Kenzie, pernikahan yang sangat tiba-tiba namun tetap tersusun dengan baik. Bagaimana dengan Kenzie? Mau tidak mau ia harus setuju saat Kenzo memberitahu tanggal pernikahan mereka, yang hanya berjarak satu minggu dari makan malam itu. “Ken, kau yakin akan menikahi gadis seperti dia?!” tanya Lidia sekali lagi. “Dia gadis yang baik, Ma, percayalah.” “Darimana kita tahu dia gadis yang baik, kalau latar belakang keluarganya saja tidak jelas.” Brata menambahkan. “Di mana letak tidak jelasnya, Pa? Orang tuanya meninggal dalam kebakaran, dia memiliki dua adik yang masih bersekolah.” “Keluarga lainnya?” “Tidak ada. Kenzo sudah selidiki latar belakang keluarga Kenzie, dia tidak punya keluarga atau sanak saudara, karena orang tuannya anak tunggal dan seorang perantau. Apa lagi yang Mama dan Papa ingin tahu?” jelas Kenzo. Memang benar, Kenzo sudah menyuruh oran
“Amanda!” pelan namun penuh tekanan, begitulah cara Kenzie menyebut nama sang adik.Mendengar suara itu, Kenzo segera mendorong tubuh Amanda. Ekspresinya terlihat santai, berbanding terbalik dengan Amanda yang kini tampak gusar, seolah tertangkap basah tengah berselingkuh dengan suami kakaknya.“Kak?”“Kamu ngapain peluk-peluk suami Kakak? Suka?” cecar Kenzie tanpa memberikan waktu pada Amanda untuk menjelaskan semuanya. Rasa kantuk yang semula masih menggantung di pelupuk mata, mengudara begitu saja.“Gak gitu,” elak Amanda.“Terus gimana? Sekarang jawab jujur, kamu suka sama suami Kakak?” ulang Kenzie.Kenzo yang menyaksikan kemarahan Kenzie pada adiknya, memeluk wanita itu seraya berbisik. “Tidak usah berlebihan, dia hanya tak sengaja memelukku karena takut gelap.”Kenzie melepas tangan Kenzo yang melingkari pinggangnya. Ia menatap tajam Kenzo. “Kalau Om
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si