Kenzo tak peduli pada ucapan Brata dan Lidia yang menentang keputusannya. Ia tetap pada pendiriannya—membawa Kenzie ke hadapan mereka. Malam ini, Kenzo datang menjemput Kenzie, dan mengajaknya bertemu Lidia dan Brata.
Selama di perjalanan, Kenzie menanyakan banyak hal, ia sangat gugup. Sedangkan Kenzo, lelaki itu cuek saja, mengabaikan ocehan Kenzie dan memilih fokus pada kemudi.
“Sudah sampai,” ucap Kenzo.
Benar saja, mobil mewah Kenzo sudah tiba di rumah yang bagi Kenzie lebih terlihat seperti istana.
Perlahan tapi pasti, tangan Kenzo menggenggam jemari Kenzie, mereka melangkah bersama, menemui orang tua Kenzo yang auranya begitu menakutkan di mata Kenzie.
“Ma, Pa.” Kenzo mencium punggung tangan orang tuanya, sambil terus menggenggam jemari Kenzie.
“Selamat malam, Om, Tante” sapa Kenzie berusaha ramah. Ia melakukan apa yang Kenzo lakukan, mencium punggung tangan Brata dan Lidia secara bergantian.
“Malam,” balas Brata singkat.
“Selamat malam. Siapa namamu?” Lidia menatap Kenzie dari atas hingga bawah, seolah tengah menilai wanita seperti apa yang menjadi pilihan putranya.
Kenzie tersenyum tipis. Dari sorot mata dan ekspresi saja, Kenzie tahu kalau orang tua Kenzo tak menyukainya. Bahkan, Ibu Kenzo menatapnya seolah dia adalah seorang kriminal.
“Kenzie, Tante,” jawab Kenzie sopan.
“Nama kampungan!” Gumaman Lidia terdengar jelas oleh Kenzie. Ia menggigit bibir bawahnya, ingin sekali menjawab namun tak mungkin. Kenzie harus menjaga sikap di depan mereka.
Sementara Kenzo, lelaki itu semakin mengeratkan genggamannya. Kenzie tak mengerti mengapa Kenzo bersikap demikian. Padahal, apa yang mereka lakukan malam ini bukanlah sungguhan.
“Silakan duduk, dan makan dengan tenang. Setelah itu, ceritakan tentang dirimu,” pinta Lidia.
Kenzie mengangguk dan menurut saat Kenzo menarik kursi dan mempersilakannya duduk. Ia duduk berdampingan dengan Kenzo, dan berhadapan dengan Brata. Kenzie sadar, sesekali Brata melirik padanya.
Makan malam berlangsung hening, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang memenuhi ruangan. Kenzie tak bisa berbuat banyak selain menyantap nasi dan lauk pauk di piringnya sampai tandas.
Beberapa menit berlalu. Sesuai permintaan Lidia, usai makan malam, Kenzie menceritakan segala hal tentang dirinya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia mengatakan dengan gamblang bagaimana kehidupannya pasca kedua orang tuanya meninggal.
“Jadi, kau yatim piatu dan menjadi kepala keluarga?” tanya Brata.
“Iya, Om,” balas Kenzie.
“Aku tahu, semua yang kau katakan itu kebohongan, kau melakukannya demi menarik simpati kami. Iya, kan?” Lidia menimpali. Ia menatap Kenzie sambil tersenyum sinis. “Aku sudah sering bertemu orang-orang sepertimu,” sambungnya.
“Ma!” Kenzo yang sedari tadi diam, angkat bicara. “Cukup menghakimi Kenzie. Dia tidak seperti yang kalian pikirkan!”
Kenzie yang mendengar nada bicara Kenzo naik beberapa oktaf, mengusap lembut lengan lelaki itu. “Tenang, Om, dia orang tuamu, jangan bicara seperti itu,” bisiknya.
Sedangkan Lidia, ia menatap ke arah lain. Sudah jelas, dari segi manapun Rhea seratus kali lebih baik daripada Kenzie.
“Kau sudah buta hingga tidak bisa menilai perempuan seperti apa Kenzie ini! Dia hanya jalang yang memanfaatkan kekayaanmu, sama seperti wanita sebelumnya!” balas Lidia. Ia tetap pada pemikirannya.
Lidia pergi meninggalkan meja makan setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, tak lama kemudian, Brata menyusul. Kenzie menghela napas, ia sudah menduga hal ini akan terjadi, bahkan saat pertama kali bertemu Kenzo.
“Maafkan orang tuaku. Mereka begitu karena tidak mengenalmu,” ucap Kenzo. Entah karena alasan apa, ia merasa harus meminta maaf.
“Tidak apa-apa,” ujar Kenzie.
“Kau tersinggung?”
“Untuk apa? Yang mereka katakan tidak ada satu pun yang benar. Aku bicara apa adanya, bukan untuk menarik simpati mereka.”
Kenzo tersenyum, ia menyelipkan rambut Kenzie ke belakang telinga sambil menatap wajah cantik wanita itu. “Good. Aku tidak menyesal telah memberimu seratus juta,” ungkapnya.
“Beri aku lima ratus juta, sekarang!” pinta Kenzie. Bohong jika ia mengatakan tak tersinggung, hatinya sedikit tercubit mendengar penghinaan orang tua Kenzo. Maka, Kenzie berniat menghibur diri dengan meminta uang pada lelaki itu.
“Akan kuberikan. Hanya saja, kau harus tidur denganku malam ini.” Kenzo mengerlingkan matanya.
“Om-om mesum, aku bukan jalang!”
Kenzie memukul Kenzo sekuat tenaga, merasa kesal setengah mati pada lelaki yang selalu bicara asal tanpa memikirkan dampak dari ucapannya.
“Jangan terlalu buas, aku hanya bercanda.”
“Aku bukan singa!” pekik Kenzie yang sontak membuat Kenzo tertawa.
***
“Mereka tidak suka padaku. Apa tidak sebaiknya kau mencari wanita lain yang sepadan denganmu? Atau menikahlah dengan gadis bernama Rhe…”
“Diam! Atau aku akan menurunkanmu di sini?!” ancam Kenzo. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Kenzie setelah kejadian tak mengenakkan saat makan malam tadi.
“Mengapa kau mempersulit diri sendiri?! Menikah saja dengan gadis itu, maka masalahnya akan selesai. Kau juga tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayarku.” Bukannya menuruti ucapan Kenzo, Kenzie malah memberi saran, saran yang sama sekali tidak ingin Kenzo dengar.
Kenzo menepikan mobilnya, kemudian menatap tajam pada Kenzie. Kenzie memindai ke segala arah, dan tak mendapati motor atau mobil lain melintas di sana. Suasana yang sepi dan hening membuat Kenzie panik. “Kau tidak serius dengan ancamanmu, kan?”
Kenzo hanya diam seraya tersenyum sinis. Ia mengambil ponselnya untuk bicara dengan seseorang. Kenzie yang masih sangat panik, sibuk melihat ke luar jendela, dan memastikan tidak ada hal mencurigakan di sekelilingnya.
Tak lama setelah panggilan usai, pria berpakaian serba hitam mengetuk jendela, Kenzo menurunkan kacanya dan mengambil map yang dibawa orang itu kemudian memberikannya pada Kenzie.
“Baca dan tanda tangan di sana,” titah Kenzo dingin.
Kenzie mengambil map pemberian Kenzo, dan membaca isinya dengan seksama. Setelah selesai, ia menatap Kenzo dan kertas tersebut bergantian. Setelah kejadian saat makan malam tadi, dan saran yang sempat ia lontarkan, mengapa Kenzo malah melakukan ini? Seolah tidak terpengaruh dan tetap pada keputusannya.
“Jangan menatapku begitu!” ketus Kenzo.
“Tapi, untuk apa ini semua?” Kenzie belum mengerti, untuk apa surat perjanjian itu? Bukannya mereka sudah sepakat untuk melakukan kerjasama? Mengapa harus ada surat perjanjian segala?
“Untuk memastikan kau tidak akan ke mana-mana.”
“Maksudnya?”
“Tanda tangan saja, jangan banyak bicara!”
“Aku akan tanda tangan. Tapi, berjanjilah satu hal, selama pernikahan kita kau tidak akan menyentuhku.”
Kenzo tak langsung menjawab, tatapannya menelisik, mengamati Kenzie secara intens.
“Hei! Apa yang kau lihat? Dasar om-om mesum!” maki Kenzie seraya menutupi bagian dadanya.
“Kecil. Aku sama sekali tidak tertarik.”
“Brengsek!” Kenzie memukul kepala Kenzo cukup keras.
Kenzo tertawa. Tawa yang tanpa sadar membuat Kenzie terpaku. Lagi-lagi, Kenzie terpesona dengan ketampanan Kenzo. Namun, saat mengingat siapa laki-laki di sampingnya, Kenzie menggeleng keras, ia tidak boleh tertarik pada pria seperti Kenzo. Mereka berbeda dari segala sisi.
“Aku tidak akan menyentuhmu, kecuali…”
“Kecuali apa?”
‘Khilaf,' batin Kenzo.” Sudah lah, tanda tangani saja! Kau terlalu berlebihan.”
Kenzie menatap Kenzo sekali lagi. “Kalau kau sampai menyentuhku, aku tidak akan segan-segan melaporkanmu pada polisi!” ancam Kenzie seraya merebut pulpen di tangan Kenzo.
“Terserah kau saja, aku sudah lelah meladeni anak kecil sepertimu!”
“Jangan panggil aku anak kecil!”
“Lantas apa? Siva?!”
“Kau saja yang terlalu tua,” cibir Kenzie seraya membubuhkan tanda tangan di atas materai.
Begitu Kenzie selesai menandatangani, Kenzo mengambil alih kertas tersebut dan melakukan hal serupa, kemudian menatap dalam bola mata Kenzie sambil tersenyum samar. Tanpa Kenzo sadari, gadis kecil di sampingnya sudah merencanakan sesuatu yang besar untuk membalas perlakuan tidak menyenangkan ia juga keluarganya.
Tidak ada yang bisa menghalangi Kenzo melakukan keinginannya, termasuk Brata dan Lidia sekalipun. Malam ini, ia akan menikah dengan Kenzie, pernikahan yang sangat tiba-tiba namun tetap tersusun dengan baik. Bagaimana dengan Kenzie? Mau tidak mau ia harus setuju saat Kenzo memberitahu tanggal pernikahan mereka, yang hanya berjarak satu minggu dari makan malam itu. “Ken, kau yakin akan menikahi gadis seperti dia?!” tanya Lidia sekali lagi. “Dia gadis yang baik, Ma, percayalah.” “Darimana kita tahu dia gadis yang baik, kalau latar belakang keluarganya saja tidak jelas.” Brata menambahkan. “Di mana letak tidak jelasnya, Pa? Orang tuanya meninggal dalam kebakaran, dia memiliki dua adik yang masih bersekolah.” “Keluarga lainnya?” “Tidak ada. Kenzo sudah selidiki latar belakang keluarga Kenzie, dia tidak punya keluarga atau sanak saudara, karena orang tuannya anak tunggal dan seorang perantau. Apa lagi yang Mama dan Papa ingin tahu?” jelas Kenzo. Memang benar, Kenzo sudah menyuruh oran
“Amanda!” pelan namun penuh tekanan, begitulah cara Kenzie menyebut nama sang adik.Mendengar suara itu, Kenzo segera mendorong tubuh Amanda. Ekspresinya terlihat santai, berbanding terbalik dengan Amanda yang kini tampak gusar, seolah tertangkap basah tengah berselingkuh dengan suami kakaknya.“Kak?”“Kamu ngapain peluk-peluk suami Kakak? Suka?” cecar Kenzie tanpa memberikan waktu pada Amanda untuk menjelaskan semuanya. Rasa kantuk yang semula masih menggantung di pelupuk mata, mengudara begitu saja.“Gak gitu,” elak Amanda.“Terus gimana? Sekarang jawab jujur, kamu suka sama suami Kakak?” ulang Kenzie.Kenzo yang menyaksikan kemarahan Kenzie pada adiknya, memeluk wanita itu seraya berbisik. “Tidak usah berlebihan, dia hanya tak sengaja memelukku karena takut gelap.”Kenzie melepas tangan Kenzo yang melingkari pinggangnya. Ia menatap tajam Kenzo. “Kalau Om
Kenzie memasuki kafe tempatnya bekerja dengan langkah gontai. Entah mengapa, pemandangan tadi membuat rencana awalnya untuk mengeruk harta Kenzo menjadi tak menarik lagi. Sejak ia memiliki dugaan Amanda menyukai Kenzo, dirinya kehilangan semangat untuk melakukan hal tersebut. Kenzie melakukan pekerjaan seperti biasa, membuat Anggita yang melihatnya mengernyitkan kening. “Zie, kamu masih kerja di sini? Aku pikir…” Anggita tak melanjutkan ucapannya. Ia melihat raut wajah Kenzie yang tampak tak bersahabat, khas seperti wanita yang sedang datang bulan. “Masih,” jawab Kenzie singkat kemudian berlalu, mendatangi pelanggan yang baru saja tiba. Anggita menatap punggung Kenzie yang menjauh, wanita itu menggelang pelan. Setelah ini, ia harus bertanya apa yang terjadi hingga membuat Kenzie seperti kurang bergairah dan tidak seceria biasanya. Menjelang makan siang, Anggita menghampiri Kenzie yang sedang duduk sendiri sambil merenung. Ia duduk di hadapan wanita yang sedang menopang dagu denga
Kenzo memperhatikan Kenzie yang sedari tadi hanya bergulang-guling, ia tersenyum penuh arti kemudian mendekat pada sang istri. Kenzie yang baru sadar akan kehadiran Kenzo terlonjak kaget, saat mendapati lelaki itu berbaring di sampingnya.“Astaga!” ucap Kenzie dengan tangan di depan dada. “Dasar jailangkung,” tambahnya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” ujar Kenzo.Kenzie mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk sempurna. Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya Kenzo baru pulang beberapa menit lalu, hal itu membuat Kenzie secara spontan beranjak membuka lemari, dan memberikan handuk pada lelaki itu.“Mandi.”“Kau mengajakku mandi?” tanya Kenzo seraya mengerlingkan matanya.“Lupakan, terserah kau mau mandi atau tidak!” tutur Kenzie. Ia meninggalkan Kenzo begitu saja.Kenzo terkekeh pelan mel
“Mengapa fotomu ada di layar ponsel adikku?” Kenzo menggeleng. “Bukannya dia adikmu, mengapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya.” Spekulasi Kenzie bahwa Amanda menyukai Kenzo semakin besar. Ia harus segera mencari Amanda dan membawanya pulang, setelah itu menanyai sang adik perihal dugaanya. Namun, ke mana dia harus mencari Amanda? Sementara Gala, satu-satunya teman wanita itu tak bisa dihubungi. “Awas saja kalau kau berani berbuat macam-macam pada adikku!” gertak Kenzie. “Bukan aku, tapi dia. Dialah yang macam-macam. Sebagai laki-laki normal, aku hanya merespons saja. Pernah dengar istilah tentang kucing dan ikan asin?” tanya Kenzo, ia menatap angkuh pada Kenzie. Kenzie mengepalkan kedua tangannya, emosinya nyaris meledak mendengar betapa santainya Kenzo berucap demikian. “Di mana kau sembunyikan Amanda?!” “Aku? Menyembunyikan adikmu? Cih! Yang benar saja. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita seperti dia. Jadi, untuk apa aku menyembunyikannya?” Plak! Kesombo
“Man, Kakak perlu ngomong sama kamu,” ucap Kenzie saat Amanda melintas di hadapannya. Beruntung hari ini merupakan hari libur, jadi Kenzie memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan sang adik. “Aku ada janji sama Gala, mau lari pagi,” sahut Amanda. “Sebentar, lima belas menit.” “Gala udah nunggu.” “Sepuluh menit.” Amanda menghela napas. “Oke. Di mana?” Kenzie berjalan menuju taman belakang dengan Amanda yang mengekor di belakangnya. Tempat itu sepi, hanya ada asisten rumah tangga yang sedang berlalu lalang membersihkan rumah dan pekarangan. Kenzo, lelaki itu masih bergulung dibalik selimut, sementara Alea, dia masih di kamar dan belum keluar sedari tadi. “Duduk,” titah Kenzie. Amanda menurut, ia mendaratkan bokongnya di samping Kenzie, namun sedikit memberi jarak. Hal tersebut disadari oleh Kenzie, ia tak mengira jika kejadian malam itu bisa membuat mereka menjadi asing seperti sekarang. “Kamu suka sama suami Kakak?” tanya Kenzie tanpa basa-basi. Untuk sejenak Amanda tak m
“Lantas untuk siapa? Anakmu?”“Tidak usah banyak tanya, bersiaplah, lima belas menit dari sekarang kita berangkat,” putus Kenzo.Kenzie tercengang. Bagaimana bisa Kenzo meminta bersiap hanya dalam waktu lima belas menit?“Kau gila? Lima belas menit terlalu singkat, aku butuh paling tidak tiga puluh menit untuk bersiap.” Kenzie mencoba bernegosiasi.“Baiklah, sepuluh menit,” tutup Kenzo seraya meninggalkan Kenzie yang sedang bersungut-sungut kesal.“Om-om gila!”“Sembilan menit lagi, pergunakan waktumu sebaik mungkin, kalau tidak kau akan kehilangan kesempatan emas ini,” sahut Kenzo dengan langkah lebarnya.“Brengsek!” umpat Kenzie. Ia segera berlari menuju kamar, membuka lemari dan memilih satu pakaian yang pas. Pilihannya jatuh pada dress selutut dengan motif bunga. Ada tali yang menggantung di area dada, juga kerutan di sekitar paha yang memperlihatk
Aura meninggalkan kediaman Kenzo dengan harga diri yang sudah tinggal separuh. Ia merasa sangat terhina diperlakukan demikian oleh lelaki yang dulu amat memujanya. Sekarang, di depan matanya, Kenzo lebih memilih wanita lain, ia tidak akan tinggal diam. Aura bertekad akan membalas perlakuan Kenzo, dan membuat lelaki itu sadar betapa kualitas dirinya jauh di atas wanita tadi. Masih dengan emosi meluap, Aura menghubungi seseorang dan memaki orang tersebut. “Siapa wanita yang bersama Ken?!” “Maksudku siapa dia? Dan mengapa bisa menjadi istri Kenzo?” “Brengsek! Tidak ada gunanya!” Tut! Aura memutus panggilan sepihak, kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia perlu bertemu seseorang untuk mengembalikan suasana hatinya yang sangat buruk karena perbuatan Kenzo. Meninggalkan Aura dengan segala kemarahannya, Amanda dan Gala sedang bersantai di bawah pohon rindang dengan sebotol air mineral di tangan masing-masing. “Kemarin kamu ke mana, Gal?” “Aku pergi nemenin Tante, Man.”
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si