“Kak Ziezie, minta uang SPP dong, udah nunggak dua bulan nih, aku bisa dikeluarin kalau bulan ini nunggak lagi!”
“Aku juga, Kak, hari Rabu ada praktik di laboratorium!”
“Sabar ya, Kakak usahain secepatnya.”
Ucapan Alea dan Amanda tadi pagi terngiang-ngiang di kepala Kenzie, membuatnya tidak fokus bekerja karena memikirkan hal itu.
Tring! Suara notifikasi membuyarkan lamunannya. Kenzie membaca pesan tersebut sekilas, pesan yang berisi tagihan pembayaran cicilan rumah yang juga sudah menunggak.
“Ah! Kepalaku mau pecah rasanya! Mana hutang ke bos bulan lalu juga belum dibayar,” gumam Kenzie sembari meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar.
“Kenapa, Zie? Kusut amat kayak baju belum disetrika seminggu,” gurau Anggita, rekan kerja Kenzie sambil tersenyum lebar.
“Biasa lah,” balas Kenzie singkat.
Anggita paham arti biasalah yang dikatakan Kenzie, ia mengeluarkan ponselnya, kemudian memberikan benda tersebut pada Kenzie. “Baca deh. Barangkali kamu minat,” ucap Anggita.
Suasana kafe yang tidak terlalu ramai, membuat Kenzie dan Anggita bisa bicara dengan leluasa. Kenzie menatap layar selama beberapa saat, membaca informasi yang tertera dengan seksama, kemudian mengembalikan benda itu pada pemiliknya.
“Gimana?” tanya Anggita.
“Memangnya itu beneran? Maksud aku, orang gila mana yang mau ngeluarin uang segitu banyak untuk sekadar bayar temen kencan?”
“Orang kaya, bukan orang gila,” ralat Anggita. “Coba aja, kamu lagi butuh uang, kan? Lagian, dia temen abang aku. Jadi, aku jamin gak bakal terjadi apa-apa sama kamu. Tugas kamu cuma jadi temen kencan, gak lebih,” bebernya penuh semangat.
Kenzie tak langsung menjawab, ia berpikir sejenak. Haruskah dirinya berkencan dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal? Meskipun hanya pura-pura, Kenzie merasa hal itu sangat memalukan. Tapi benar kata Anggita, ia butuh uang.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Kenzie mengambil keputusan untuk mengambil kesempatan itu. Semua ia lakukan demi Alea dan Amanda, Kenzie tak mau keduanya kehilangan kesempatan mengejar cita-cita menjadi dokter, seperti apa yang ia alami dulu. Ya, sekalipun harus mengorbankan dirinya dan kebahagiaannya.
“Oke deh, aku mau.”
“Pilihan yang bagus! Aku bakal atur pertemuan kalian malam ini.”
“Tapi, Ta.” Kenzie tampak ragu. “Umurnya empat puluh tahun, duda lagi. Kalau dia punya riwayat darah tinggi gimana? Kalau pas lagi kencan dia bawa anak, aku harus ngapain?” sambungnya khawatir.
Selama dua puluh lima tahun hidupnya, Kenzie belum pernah pacaran. Wajar jika sekarang ia merasa khawatir, terlebih dia akan menjadi teman kencan pria asing, dan semua yang dilakukan atas dasar terpaksa, bukan suka rela.
“Kamu tenang, rileks, semua bakal baik-baik aja.”
***
Malam harinya, Anggita dan Kenzie tiba di sebuah restoran bergaya klasik yang begitu elegan dan mewah, dilengkapi ornamen-ornamen antik seperti motor tua, hingga perahu yang terbuat dari rotan. Kedatangan mereka disambut oleh pelayan dengan senyum ramah, pelayan itu mengantar keduanya ke sebuah ruangan.
Kenzie melihat sekeliling yang tampak sepi, hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
“Ta, kok sepi banget?” tanya Kenzie heran.
“Ini namanya private room, Zie. Udah, ya, aku duluan. Bentar lagi orangnya dateng,” bisik Anggita. Ia berlalu begitu saja, tak menghiraukan Kenzie yang merengek minta ditemani.
Kini, tinggalah Kenzie sendiri, memilin baju sembari menggigit bibir bawahnya. Disaat bersamaan, jantungnya berdegup kencang, keringat membasahi pelipisnya.
Posisi Kenzie yang membelakangi pintu, membuatnya tak sadar jika sosok yang ditunggu tengah berjalan dengan langkah lebar, menuju tempat dimana dia berada.
“Ehm, maaf membuatmu menunggu,” ucap sosok tersebut saat berada tepat di hadapan Kenzie. Suara beratnya terdengar begitu seksi di telinga. “Boleh aku duduk?” lanjutnya.
Kenzie mengusap keringat di pelipisnya seraya menatap pria di hadapannya tanpa kedip. Bukan, bukan karena ada uban di rambut atau kulitnya yang keriput seperti bayangan Kenzie sebelumnya. Melainkan, ah entahlah, Kenzie sendiri sulit mendeskripsikannya. Yang jelas, mata bulatnya seolah enggan menatap ke arah lain. Pandangannya terkunci pada pria itu.
“Halo! Kau melamun?” panggil sosok tersebut.
Kenzie mengerjap-ngerjapkan mata. Lamunannya buyar kala melihat pria itu menatap aneh ke arahnya.
Tanpa menunggu persetujuan, pria tersebut menarik kursi di hadapan Kenzie, membuat posisi mereka saling berhadapan. Tak berselang lama, pelayan mengantarkan pesanan yang sebelumnya sudah diatur oleh Anggita, tentu saja setelah mendapat informasi dari abangnya.
“Selamat menikmati. Apakah sudah cukup, atau ada tambahan?” tanya pelayan tersebut ramah.
“Cukup. Bagaimana denganmu?” tanya pria itu pada Kenzie.
Tentu saja Kenzie menggeleng. Bagaimana tidak, di hadapannya tersaji banyak makanan yang terlihat lezat, dan sudah pasti harganya mahal. Kenzie bertekad akan membungkus makanan tersebut untuk diberikan pada kedua adiknya nanti.
“Baiklah, kalau begitu kami permisi,” ucap pelayan tadi yang dibalas dengan anggukan singkat keduanya.
Kenzie masih membisu, begitupun pria di hadapannya. Sampai akhirnya, terdengar suara deheman singkat, membuat Kenzie menoleh dan menatap sebentar ke arah pria tersebut.
“Aku tidak suka basa-basi. Siapa namamu?”
Suara bariton pria itu membuyarkan imajinasi Kenzie. Ya, Kenzie tengah membayangkan ia dan kedua adiknya menyantap hidangan di atas meja bersama. Kenzie yakin pasti mereka senang. Begitulah yang tergambar dalam benaknya.
“Hey! Apa kau bisu?!” teriak pria tersebut.
Kenzie tersentak, kemudian menggeleng keras. Belum sempat ia menyahut, pria itu kembali membuka suara. “Tidak buruk juga jika kau bisu. Aku suka wanita yang tidak banyak bicara,” sambungnya sambil tersenyum samar.
Kenzie mengepalkan tangan. Tadi, lelaki tersebut meneriakinya, sekarang malah bicara omong kosong. “Aku tidak bisu, Om!” ujarnya. Lelaki itu terlihat sangat tampan dan menyebalkan di waktu bersamaan.
“Om? Kau memanggilku Om? Aku bukan suami tantemu! Ingat itu!” tekan pria tersebut tak terima.
“Ck!” Kenzie berdecak sebal. “Lantas, aku harus memanggil apa? Bapak? Atau Kakek?” sambungnya asal.
“Kenzo, panggil aku Kenzo. Dan kau?”
“Kenzie,” jawab Kenzie singkat.
“Nama kita hampir sama, apa kita berjodoh?” tanya Kenzo tanpa beban.
Kenzie menganga tak percaya, bagaimana bisa Anggita bilang pria ini lebih dingin dari kulkas dua pintu? Dimana letak kulkas dan dua pintunya? Lihat, bahkan pria tersebut mengatakan sesuatu secara asal, membuat Kenzie memutar bola matanya dan memandang ke arah lain.
“Sebaiknya tidak menggunakan ilmu cocokologi, itu sudah tidak relevan di zaman semodern ini!” tegur Kenzie yang secara jelas menolak berjodoh dengan Kenzo. “Satu lagi. Bukankah Om tidak suka basa-basi? Mari kita mulai saja,” tegasnya.
Entah mendapat keberanian darimana, Kenzie benar-benar mengatakan sesuatu yang sejak tadi bersarang di kepala. Tidak ada perasaan takut, gugup, atau khawatir seperti sebelumnya, Kenzie manatap Kenzo dengan kepercayaan diri yang sudah terisi penuh.
“Kau masih terlalu kecil. Berapa usiamu?” tanya Kenzo setelah beberapa saat bersitatap dengan Kenzie.
“Dua puluh lima,” jawab Kenzie seraya kembali mengalihkan pandangan, ia malas menanggapi Kenzo yang mengatakannya terlalu kecil. Padahal, Kenzie merasa ia sudah cukup dewasa untuk berkencan, pria itulah yang terlalu tua. Alih-alih mencari teman kencan, Kenzo lebih cocok mencari teman hidup.
“Lebih tua dari yang kupikirkan,” gumam Kenzo yang masih terdengar ditelinga Kenzie.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanya Kenzie lugas. Ia ingin segera pergi dari tempat ini. Maka, penting baginya untuk mengetahui apa yang harus dilakukan agar mendapat bayaran sesuai informasi yang ia dapat dari Anggita.
“Apa kau tertarik padaku?” Bukan jawaban yang Kenzie terima, melainkan pertanyaan yang sudah sangat jelas jawabannya.
“Tentu saja tidak. Aku tidak tertarik dengan Om Om duda sepertimu!” balas Kenzie cepat.
“Bagus! Aku juga tidak tertarik denganmu. Tapi, aku butuh bantuanmu,” ujar Kenzo santai.
“Hah! Bantuan?” ulang Kenzie.
“Ya.”
“Bantuan apa?”
“Menikahlah denganku.”
“Menikahlah denganku.”“Tidak! Aku tidak mau! Bukannya tugasku hanya menjadi teman kencanmu?!” tolak Kenzie berapi-api.Kenzo tersenyum miring. “Kau terlalu polos.”“Apa maksudmu?!” bentak Kenzie.Lagi, Kenzo tersenyum miring dan menatap Kenzie penuh arti. “Jangan meneriakiku!”“Sampai kapanpun aku tidak akan mau menikah denganmu, Om! Jangankan menikah, menjadi kekasihmu saja aku akan berpikir satu juta kali!” tegas Kenzie dengan suara yang lebih lantang.Sebagai wanita normal, Kenzie mengakui ketampanan Kenzo. Laki-laki dengan rahang tegas, bibir ping alami, juga tubuh yang sangat pelukable itu terlihat matang, tampan dan memesona. Namun, untuk menikah dengan lelaki tersebut, ia sama sekali tidak tertarik. Selain karena perbedaan usia, Kenzie hanya ingin menikah dengan pria yang mencintainya, juga dia cintai. Ya, Kenzie tidak mau terjebak dalam hubungan tanpa cinta, terlebih dengan lelaki tua dan berstatus duda.‘Oh Tuhan! Masa mudaku yang berharga akan terbuang sia-sia jika menikah
Usai mengatakan itu, Kenzo kembali ke posisi awal, duduk bersandar seraya menatap bola mata Kenzie sambil tersenyum, senyum tipis yang membuat Kenzie terpesona dan kesal di waktu bersamaan. “Om-om gila! Mengapa kau sangat curang dan sok misterius seperti itu?!” hardik Kenzie. “Dimana letak curangnya?” “Kau terlalu banyak permintaan!” Kenzo mengedikkan bahunya, mengabaikan tatapan tajam Kenzie yang siap mengibarkan bendera perang. “Selama menjadi calon istriku, semua pergerakanmu akan diawasi. Jangan melakukan kesalahan, apalagi berkencan dengan pria lain di belakangku!” ucap Kenzo terdengar sangat posesif. Kenzie mengangguk malas. Padahal, ia sedang melakukan pendekatan dengan seorang pengusaha muda yang tampan juga baik hati. Tapi, Kenzie terpaksa mengesampingkan ego demi mencapai tujuannya. “Good girl,” ujarnya seraya mengacak lembut anak rambut Kenzie. “Besok malam kita akan bertemu orang tuaku. Pastikan kau mampu mengambil hati mereka, karena jika tidak…” “Aku bisa,” potong
Kenzo tak peduli pada ucapan Brata dan Lidia yang menentang keputusannya. Ia tetap pada pendiriannya—membawa Kenzie ke hadapan mereka. Malam ini, Kenzo datang menjemput Kenzie, dan mengajaknya bertemu Lidia dan Brata.Selama di perjalanan, Kenzie menanyakan banyak hal, ia sangat gugup. Sedangkan Kenzo, lelaki itu cuek saja, mengabaikan ocehan Kenzie dan memilih fokus pada kemudi.“Sudah sampai,” ucap Kenzo.Benar saja, mobil mewah Kenzo sudah tiba di rumah yang bagi Kenzie lebih terlihat seperti istana.Perlahan tapi pasti, tangan Kenzo menggenggam jemari Kenzie, mereka melangkah bersama, menemui orang tua Kenzo yang auranya begitu menakutkan di mata Kenzie.“Ma, Pa.” Kenzo mencium punggung tangan orang tuanya, sambil terus menggenggam jemari Kenzie.“Selamat malam, Om, Tante” sapa Kenzie berusaha ramah. Ia melakukan apa yang Kenzo lakukan, mencium punggung tangan Brata dan Lidia secara bergantian.“Malam,” balas Brata singkat.“Selamat malam. Siapa namamu?” Lidia menatap Kenzie dari
Tidak ada yang bisa menghalangi Kenzo melakukan keinginannya, termasuk Brata dan Lidia sekalipun. Malam ini, ia akan menikah dengan Kenzie, pernikahan yang sangat tiba-tiba namun tetap tersusun dengan baik. Bagaimana dengan Kenzie? Mau tidak mau ia harus setuju saat Kenzo memberitahu tanggal pernikahan mereka, yang hanya berjarak satu minggu dari makan malam itu. “Ken, kau yakin akan menikahi gadis seperti dia?!” tanya Lidia sekali lagi. “Dia gadis yang baik, Ma, percayalah.” “Darimana kita tahu dia gadis yang baik, kalau latar belakang keluarganya saja tidak jelas.” Brata menambahkan. “Di mana letak tidak jelasnya, Pa? Orang tuanya meninggal dalam kebakaran, dia memiliki dua adik yang masih bersekolah.” “Keluarga lainnya?” “Tidak ada. Kenzo sudah selidiki latar belakang keluarga Kenzie, dia tidak punya keluarga atau sanak saudara, karena orang tuannya anak tunggal dan seorang perantau. Apa lagi yang Mama dan Papa ingin tahu?” jelas Kenzo. Memang benar, Kenzo sudah menyuruh oran
“Amanda!” pelan namun penuh tekanan, begitulah cara Kenzie menyebut nama sang adik.Mendengar suara itu, Kenzo segera mendorong tubuh Amanda. Ekspresinya terlihat santai, berbanding terbalik dengan Amanda yang kini tampak gusar, seolah tertangkap basah tengah berselingkuh dengan suami kakaknya.“Kak?”“Kamu ngapain peluk-peluk suami Kakak? Suka?” cecar Kenzie tanpa memberikan waktu pada Amanda untuk menjelaskan semuanya. Rasa kantuk yang semula masih menggantung di pelupuk mata, mengudara begitu saja.“Gak gitu,” elak Amanda.“Terus gimana? Sekarang jawab jujur, kamu suka sama suami Kakak?” ulang Kenzie.Kenzo yang menyaksikan kemarahan Kenzie pada adiknya, memeluk wanita itu seraya berbisik. “Tidak usah berlebihan, dia hanya tak sengaja memelukku karena takut gelap.”Kenzie melepas tangan Kenzo yang melingkari pinggangnya. Ia menatap tajam Kenzo. “Kalau Om
Kenzie memasuki kafe tempatnya bekerja dengan langkah gontai. Entah mengapa, pemandangan tadi membuat rencana awalnya untuk mengeruk harta Kenzo menjadi tak menarik lagi. Sejak ia memiliki dugaan Amanda menyukai Kenzo, dirinya kehilangan semangat untuk melakukan hal tersebut. Kenzie melakukan pekerjaan seperti biasa, membuat Anggita yang melihatnya mengernyitkan kening. “Zie, kamu masih kerja di sini? Aku pikir…” Anggita tak melanjutkan ucapannya. Ia melihat raut wajah Kenzie yang tampak tak bersahabat, khas seperti wanita yang sedang datang bulan. “Masih,” jawab Kenzie singkat kemudian berlalu, mendatangi pelanggan yang baru saja tiba. Anggita menatap punggung Kenzie yang menjauh, wanita itu menggelang pelan. Setelah ini, ia harus bertanya apa yang terjadi hingga membuat Kenzie seperti kurang bergairah dan tidak seceria biasanya. Menjelang makan siang, Anggita menghampiri Kenzie yang sedang duduk sendiri sambil merenung. Ia duduk di hadapan wanita yang sedang menopang dagu denga
Kenzo memperhatikan Kenzie yang sedari tadi hanya bergulang-guling, ia tersenyum penuh arti kemudian mendekat pada sang istri. Kenzie yang baru sadar akan kehadiran Kenzo terlonjak kaget, saat mendapati lelaki itu berbaring di sampingnya.“Astaga!” ucap Kenzie dengan tangan di depan dada. “Dasar jailangkung,” tambahnya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” ujar Kenzo.Kenzie mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk sempurna. Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya Kenzo baru pulang beberapa menit lalu, hal itu membuat Kenzie secara spontan beranjak membuka lemari, dan memberikan handuk pada lelaki itu.“Mandi.”“Kau mengajakku mandi?” tanya Kenzo seraya mengerlingkan matanya.“Lupakan, terserah kau mau mandi atau tidak!” tutur Kenzie. Ia meninggalkan Kenzo begitu saja.Kenzo terkekeh pelan mel
“Mengapa fotomu ada di layar ponsel adikku?” Kenzo menggeleng. “Bukannya dia adikmu, mengapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya.” Spekulasi Kenzie bahwa Amanda menyukai Kenzo semakin besar. Ia harus segera mencari Amanda dan membawanya pulang, setelah itu menanyai sang adik perihal dugaanya. Namun, ke mana dia harus mencari Amanda? Sementara Gala, satu-satunya teman wanita itu tak bisa dihubungi. “Awas saja kalau kau berani berbuat macam-macam pada adikku!” gertak Kenzie. “Bukan aku, tapi dia. Dialah yang macam-macam. Sebagai laki-laki normal, aku hanya merespons saja. Pernah dengar istilah tentang kucing dan ikan asin?” tanya Kenzo, ia menatap angkuh pada Kenzie. Kenzie mengepalkan kedua tangannya, emosinya nyaris meledak mendengar betapa santainya Kenzo berucap demikian. “Di mana kau sembunyikan Amanda?!” “Aku? Menyembunyikan adikmu? Cih! Yang benar saja. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita seperti dia. Jadi, untuk apa aku menyembunyikannya?” Plak! Kesombo
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si