"Anak manja! Jika tak mempunyai uang, jangan jajan di sini!" Satria yang pergi meninggalkan Rachel begitu saja. Rachel hanya mendesah dan tak habis pikir, dengan perkataan Satria kepadanya.
"Sialan, bisa-bisanya dia mengatai diriku anak manja. Siapa dia?"gumam batin Rachel greget melihat Satria yang menghilang dari hadapannya.
Intan Prameswari, sahabat Rachel yang berbadan besar. Ia telah tiba di tempat di mana mereka janjikan.
Kedua matanya berputar mencari keberadaan sahabatnya itu. Tubuhnya yang besar, membuat dirinya tak berhenti mengipas-ngipaskan kertas ke arah wajahnya.
"Aduh, kemana dia? Katanya sudah ada di sini, tapi kok nggak ada?" ujar Intan terkejut saat ada orang yang secara tiba-tiba menepuk pundaknya.
"Eh, copot!" ucap Intan dengan latah. Rachelpun tertawa begitu renyahnya melihat kelucuan sahabatnya itu.
Hampir setahun ia tak bertemu langsung dengan Intan. Komunikasi jarak jauh adalah alat yang mempererat hubungan mereka.
"Rachel, kamu tuh, ya!" gerutu Intan menepuk Rachel balik.
"Auw, sakit! Aduh ... duh!" ucap Rachel kesakitan. Intan terkekeh seraya menopangkan kedua tangan di pinggang.
"Heh, masih saja seperti dulu. Nggak berubah!" gumam Intan yang mengetahui akting sahabatnya itu.
Rachel mengibaskan tangannya. Bibirnya mulai manyun saat Intan mengomelinya tiada henti.
Secara perlahan, Rachel menghampiri Intan. Jari jemari tangannya mulai melingkar di tangan sahabatnya itu. Kepalanya mulai menyandar di bahu Intan yang padat seperti bantal.
"Aku rindu sama kamu," ucap Rachel dengan manja.
"Ya," jawab Intan datar.
Sesaat, kedua mata Intan mengerling melihat ke arah koper milik Rachel. Jari jemarinya tak berhenti menjentikkan ke arah dagunya seraya berpikir. Ada apa dan kenapa pada sahabatnya itu.
"Kenapa kamu bawa koper segala? Kayak orang minggat saja!" tebak Intan penasaran.
Rachel mendongak seraya tersenyum tipis dengan pertanyaan Intan barusan.
"Kenapa malah senyum-senyum?" tanya Intan bingung dengan tingkah sahabatnya itu. Kenapa?" cecar Intan menepuk pundak sahabatnya itu.
"Auw ... sakit!" rengek Rachel memegang bahu seraya memanyunkan bibirnya.
"Makanya jawab!" Intan yang begitu penasaran.
"Ke tempat kamu dulu, ya! Nanti aku ceritain semuanya," ajak Rachel memeluk tubuh Intan yang besarnya dua kali lipat darinya.
***
Suasana tegang dan sepi, kini menyelimuti dua keluarga yang sedang melakukan pertemuan yang begitu serius.
"Kenapa semuanya pada diam?" tanya mama Rita yang tak lain adalah mamanya Satria.
"Apa yang terjadi?" sahut Pak Dhaniel penasaran. Kedua matanya berputar menatap ke arah mereka semua yang terdiam dan tertunduk di hadapannya.
"Pak Dirga, apa yang terjadi?" ulang pak Dhaniel.
Perlahan, pak Dirga mulai menegakkan kepalanya dan mencoba untuk tersenyum manis ke arah calon besannya itu.
Dengan hati-hati, Ia memberikan surat dari putrinya yang menyatakan belum siap dengan perjodohan tersebut.
"Maafkan kami, Pak. Kami telah mengecawakan Bapak dan Ibu," kata pak Dirga seraya menundukkan kepalanya kembali. Dengan seksama, pak Dhaniel mulai membaca isi dari kertas tersebut.
Mama Rita yang penasaran dengan isinya, dengan cepat meraih selembar kertas itu dan mulai membacanya.
Sejenak, dan dengan gayanya yang wibawa, Pak Dhaniel menghela nafas seraya menyilangkan kedua kakinya. Tatapannya yang tajam, membuat mereka semua seakan tak berani menatapnya.
"Aduh, habis kita!" lirih Sera pada Nia.
"Iya. Gara-gara Rachel, kita jadi kena imbasnya," jawab Nia dengan nada yang rendah.
Kedua orangtua Rachel hanya pasrah akan kemarahan yang akan diluapkan oleh keluarga Angkasa tersebut. Mama Gina selalu menggenggam erat tangan suaminya. Tangannya gemetar dan tak mampu menatap wajah calon besannya tersebut.
"Apa sebelumnya kalian tak memberitahu tentang perjodohan ini?" tanya Pak Dhaniel yang melihat mereka mengangguk secara bersamaan.
"I-ya, Pak."
Mereka terlihat begitu tunduk dan takut pada keluarga Angkasa. Mereka sangat tau diri dengan posisi mereka selama ini. Sejak perjodohan itu diketahui oleh kedua belah pihak, keluarga Angkasa memberikan kehidupan yang layak pada keluarganya Rachel. Terutama semua kebutuhan hidup Rachel.
"Wajar saja, jika putri kamu belum siap dengan perjodohan ini. Dulu waktu saya memberitahu putra saya tentang ini, dia juga menolaknya mentah-mentah. Dan seiring berjalannya waktu, entah kenapa dia menerimanya dengan lapang dada," tutur Pak Dhaniel mengembangkan senyumnya. Merekapun secara bersamaan juga membalas senyum itu.
"Syukurlah, akhirnya mereka tidak marah pada kita," bisik Sera lega.
"Tapi, jika putri kamu menolak menikah dengan putra saya. Saya minta maaf, dan dengan sangat terpaksa kalian harus meninggalkan rumah ini." Ucapan pak Dhaniel membuat semua orang yang ada di rumah itu terkejut mendengarnya.
Kedua tante Rachel hanya bisa menelan salivanya dengan paksa. Hal yang mereka takutkan, ternyata memang akan terjadi, jika Rachel menolak pernikahan tersebut.
"Kalo boleh tau, apa kami bisa melihat foto putri kalian?" pinta mama Rita yang ingin mengetahui seperti apa gadis yang akan menjadi menantunya itu.
"I-ya!" gegas mama Gina mengambil foto Rachel. Beberapa menit kemudian, dengan langkah tergopoh-gopoh, mama Gina mulai menyerahkan foto Rachel pada calon besannya itu. Jantungnya berdetak kencang, tangannya juga gemetar ketika berada di depan mama Rita yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dirinya.
***
"Ah, akhirnya aku bisa rebahan juga," kata Rachel memejamkan mata seraya melentangkan kedua tangannya. Sejenak, ia melirik sahabatnya yang begitu menikmati camilan yang ia berikan padanya.
"Untung saja, aku memiliki sahabat di sini," desah Rachel tersenyum tipis memandang wajah imut Intan.
"Aku nggak bisa bayangin, jika aku hidup seorang diri di kota ini tanpa orang yang aku kenal. Bisa-bisa, aku jadi gelandangan," gumam batin Rachel meraih ponselnya yang bergetar.
Drt ... Drt ...
Tante Sera calling..
Rachelpun mendesah dan memilih untuk mematikan ponselnya.
"Kamu ngapain kemari?" tanya Intan yang mulai menjadi seorang detektif pada sahabatnya itu.
"Aku kabur dari rumah," jawab Rachel beralih duduk seraya menopangkan kedua tangan di dagunya.
"What? Kabur? Kenapa kamu kabur?" tanya Intan yang begitu syok mendengarnya.
"Aku dijodohkan dengan orang pilihan Oma." Intan hanya terperangah mendengar penuturan Rachel.
"Di jodohkan?"
"Heem, entah itu tua, muda, kaya ataupun orang biasa. Mereka sangat ngotot, untuk menikahkanku dengan orang itu," tutur Rachel melepas jaketnya.
"Tunggu! Kenapa oma tak menjodohkannya sama kedua tante kamu saja? Mereka kan, belum menikah?" tanya Intan mengernyitkan dahinya.
"Masalahnya oma ini, ibunya papa. Kalo, tante Sera dan tante Nia kan, adik dari mama," kata Rachel membenarkan.
"O ... begitu. Trus, kamu di sini sampai kapan?" tanya Intan yang membuat Rachel bingung untuk menjawabnya.
"Eh-m, sampai mereka tidak memaksaku lagi," katanya datar.
"Tapi, nggak gini juga caranya, Chel. Ya, seharusnya kamu bilang sama keluarga kamu, jika kamu nggak mau menikah. Kalo begini, kamu itu sama saja kabur dari masalah. Dan masalahnya nggak akan kelar-kelar."
"Biarin!"
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu mengagetkan mereka berdua. Dengan cepat, Intan berjalan membuka pintu dengan langkah yang seperti bebek.
Kedua matanya mengerling melihat ibu kontrakan datang di tempatnya.
"Siang, Bu," jawab Intan dengan senyum manisnya.
"Alah, nggak usah b**a-basi. Cepet!" ketus ibu kontrakan itu seraya menengadahkan tangannya dan berharap ada uang yang keluar dari dompet Intan.
"Untung ada si Rachel. Dia kan, orang kaya. Jadi, bisalah! Dia bayarin kontrakan ini," gumam batin Intan tersenyum senang.
"Heh, kenapa malah senyum-senyum? Kamu kira, dengan senyum manis kamu itu, uang akan jatuh dengan sendirinya?" Lagi dan lagi, Intan terkena semprot untuk kesekian kalinya.
"Tenang! Ibu tunggu di sini! Intan akan mengambil uangnya dulu," gegas Intan menutup pintunya kembali. Sesaat, ia melirik ke arah bu kontrakan dari balik jendela. Ia hanya menghela nafas seraya memegang dadanya.
"Dasar, nenek lampir! Bisa-bisanya dia marah lagi padaku. Jadi tak sabar, bagaimana reaksinya jika aku menaruh tumpukan uang berwarna merah tepat di tangannya," gegas Intan berjalan menghampiri sahabatnya.
Rachel terkejut saat sahabatnya bersikap begitu manis kepadanya.
"Ehm, aku tau, nih! Pasti ada maunya," tunjuk Rachel memicingkan matanya.
"Chel, aku pinjam uang, dong! Buat bayar kontrakan," kata Intan meringis.
Senyum Rachel mulai memudar akan permintaan sahabatnya itu. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak bisa membantu Intan.
"Chel, kok kamu malah diam? Buruan! Lagian, kamu kan juga akan tinggal di sini. Nggak apa dong, jika kamu yang bayarin," kata Intan.
"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu. Cuma masalahnya, aku nggak ada uang sama sekali," kata Rachel dengan hati-hati seraya menggigit bibir bawahnya.
"Chel, jangan becanda, deh!" kata Intan tersenyum tipis melihat Rachel mulai mengeprank dirinya.
Rachel menghela nafas dan mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya.
"Tan, aku nggak bercanda. Untuk kali ini, aku benar-benar nggak punya uang. Aku kecopetan!" tutur Rachel.
"What?"
"What? Kecopetan? Yang bener? Kamu nggak becanda 'kan?" cecar Intan memastikan. "Maaf, Tan. Emang itu kenyataannya," jawab Rachel tertunduk seraya memayunkan bibirnya. "Oh My God!" teriak Intan yang membuat Rachel dengan cepat menutup kedua telinganya. Rasanya seperti petir yang menyambar di siang hari. Rachel hanya memayunkan bibirnya seraya meremas-remas bajunya. Ia hanya menatap Intan yang terlihat begitu kecewa padanya. Tatapan mata Intan yang tajam, membuatnya memilih untuk menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang saat hentakan kaki sahabatnya mulai berjalan menghampirinya. "Kalo kamu tidak punya uang, bagaimana kamu hidup di sini?" kata Intan yang mengejutkan Rachel. "Udahlah, Tan. Jangan marah gitu! Serem tau!" pinta Rachel memegang tangan sahabatnya itu. "Aku pusing, Chel. Bagaimana caranya aku membayar kontrakan ini? Jika aku tak membayarnya sekarang, bisa-bisa kita akan terusir dari sini dan menjad
"Jangan bercanda deh, Tan? Bagaimana kamu menyuruhku untuk mengontrak sendiri di saat aku tak punya uang?" Rachel memanyunkan bibirnya. Ia tak bisa bayangkan jika ia hidup seorang diri tanpa uang sepersenpun. Gelak tawa Intanpun pecah melihat kelucuan sahabatnya itu. Rachel mengernyit memicing menatap Intan yang benar-benar menguji kesabarannya. Tepukan keraspun melayang di bahu Intan. Buk "Apaan sih? Sakit tau nggak?" keluh Intan memegang bahunya. "Kamu 'tuh yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu menggodaku seperti ini," kata Rachel kembali menatap wajahnya ke arah kaca kecil yang masih ada di tangan kirinya. Intan hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang dari dulu tidak berubah. Selalu membawa kaca kesayangannya ke manapun pergi. "Rachel-Rachel, berapa tahun kaca ini bersama kamu?" tanya Intan meledek sembari menunjuk kaca jadul itu. "Apaan, sih!" ujar Rachel memasukkan kacanya kembali.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" gumam batin Rachel mendesah dan melangkah pergi meninggalkan kantor tersebut. Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala seraya menopangkan kedua kakinya tepat di atas meja. Perlahan, Ia mulai mengendorkan dasinya. Ia mendesah sebal jika teringat perkataan mamanya yang selalu membahas tentang calon tunangannya. "Siapa cewek itu? Berani-beraninya, dia malah kabur di hari yang sangat spesial," desah Satria memejamkan matanya sejenak. "Untung saja, para wartawan tidak tau masalah ini. Jika ada salah satu media mengetahuinya, mau taruh dimana mukaku ini," gerutu Satria beralih berdiri seraya mondar-mandir ke sana kemari dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya. "Mama juga, kenapa nggak dibatalkan saja pertunangan ini? Kenapa malah di tunda segala? Secara tidak langsung, cewek itu menolakku secara mentah-mentah," ucap Satria geram. Tok tok tok Satria menoleh.
"Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya itu. Kedua matanya terbelalak kaget saat Rachel menoleh ke arahnya. "Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya. Sesaat, senyum Darwin memudar ketika wanita yang ia kira Rachel adalah orang lain. "Hah, bicara apa aku ini. Mana mungkin dia ada di sini? Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain," gumam batin Darwin memakai kacamatanya kembali. "Papa Darwin liatin apa?" tanya anak kecil tersebut yang bernama Olivia, putri dari atasannya. "Ti-dak. Om Darwin hanya melihat kucing sedang menyeberang jalan," jawab Darwin berbohong. Sesaat, Darwin mengkode Olivia untuk diam. Dia tak mau, jika at
Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut.Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut. Seketika, ia mematikan ponselnya. Ia tak mau berbicara ataupun mendengar suara dari Darwin. Ia ingin melupakan semuanya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya mendekap guling membelakangi Intan. Ia mulai memejamkan matanya kembali. Intan melirik sahabatnya yang terlihat muram dan tak bersemangat. "Chel," lirih Intan mencoba menggagalkan tidur sahabatnya itu. "Hem," lirih Rachel dengan mata yang masih tertutup. "Bagaimana? Apa kamu di terima?" tanya Intan penasaran. Saking penasarannya, ia beralih untuk duduk dan membangunkan Rachel. "Apaan, sih?" rengek Rachel dengan malesnya. "Cerita dulu, bagaimana apa kamu ket
"Kenapa bengong?" tanya Satria seraya menopangkan kedua tangan di dada. "Serius?" tanya Dinda seakan tak percaya. "Kalian tau, saya tak suka mengulang perkataan saya lagi," ketus Satria. "Ya, Pak!" jawab mereka serempak. "Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut saat suara teriakan tertuju padanya. "Pak Satria," teriak mereka serempak. Brak! Semua mata tertuju pada CEO yang terjatuh dan tertindih oleh cleaning servis tepat di atasnya. Ya, siapa lagi kalo bukan Rachel. Rachel tak berhenti berkedip ketika semua orang menatap dirinya dengan wajah yang terlihat begitu syok. Tangannya gemetar, ia melepas lap dan alat pembersih kaca itu dari tangannya. Jantungnya berdetak begitu kencang saat ia berada tepat di atas tubuh seseorang. "Kenapa kalian diam saja! Singkirkan orang yang menindihku ini!" ketus Satria dengan posisi yang tengkurap dan tak tau kalo seoran
"Tapi, kenapa aku merasa mengenal postur tubuh cleaning servis itu.Trus, kenapa dia terdiam saat aku bertanya padanya? Apa aku mengenalnya?" katanya berpikir sejenak. Iapun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Tanpa senyum, pandangan yang lurus membuat Satria tak merespon Dinda yang bertanya kepadanya. "Mau kemana? Tumben, dia pergi tak memberitahuku dulu? Apa mungkin, dia akan pulang? Tapi, jika dia pulang sekarang bukan Satria namanya. Dia 'kan, selalu pulang kerja di saat semua staf kantor pulang," gumam Dinda berpikir sejenak dan merapikan kembali laporan yang tertumpuk di meja kerjanya. Satria menuju ruang cctv yang letaknya dekat dengan receptionist. Ia berniat untuk melihat siapa cleaning servis yang menimpanya itu. Pikirannya selalu ada tanda tanya tentang cleaning servis itu. Ceklek! Suara pintu ruang cctv membuat dua karyawan yang bertugas di sana terkejut ketika atasannya berdiri dengan wajah yang
Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?"Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?" tanya Satria penasaran. Drt ... Drt ... Satria mengangkat telepon dari klien dan meninggalkan mereka. Mama Rita mennghela nafas panjang, ia tak menyangka jika putranya benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. "Ini sudah malam, tapi dia tetap saja mengurus pekerjaannya," keluh mama Rita yang seakan tak ada waktu untuk berbicara dengan putranya. "Ma, alangkah baikny